Oleh
Adi Rianto
1414051002
Kelompok 7
1.1.Latar Belakang
Pati merupakan salah satu jenis karbohidrat yang jumlahnya cukup banyak dalam
bahan pangan terutama dari tumbuhan. Pati diperoleh dengan cara ekstraksi dalam
air, diikuti dengan proses penyaringan, pengendapan, pencucian, dan pengeringan.
Secara fisik, pati dapat dibedakan dari tepung, antara lain pati lebih putih dan lebih
halus. Sebagai bahan pangan, pati merupakan sumber energi yang menghasilkan
energi 4 kkal/gram. Homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik ini merupakan
komponen utama dari biji-bijian dan umbi-umbian. Pati banyak digunakan dalam
berbagai produk pangan, antara lain sebagai bahan pengikat, pengental, pembentuk
gel, emulsifier, enkapsulasi, pembentuk film, pembentuk tekstur, agensia penstabil
(stabilizer) dan lain-lain. Tetapi beberapa produk olahan pati juga memerlukan
beberapa perbaikan sifat fisik dan kimia. Untuk memperbaikinya bias diberikan
bahan tambahan pangan misalnya hidrokoloid alginate dan karagenan (Riawan,
1998).
Kandungan amilosa dan amilopektin dalam setiap jenis pati berbeda tergantung pada
sumber botaninya. Pada umumnya kandungan amilosa pati berkisar antara 15-20%
dan amilopektin 70-85%. Menurut Whistler dan BeMiller (1997), kandungan amilosa
pati jagung, kentang dan gandum sekitar 20-30% dan amilopektin 70-80%,
sedangkan menurut Pomeranz (1991) kadar amilosa pati sagu adalah 24-27% dan
Polnaya dan Talahatu (2007) kadar amilosa 27,64%. Granula pati adalah padatan
yang membulat, tersusun dari molekul- molekul berantai lurus dan bercabang yang
teratur dengan arah jari-jari seperti kerang yang konsentrik. Granula pati ini
membentuk bangunan dengan susunan sebagai berikut: a) susunan teratur amilosa
dengan arah jari-jari; b) daerah amorf terdiri atas amilopektin; dan c) daerah kristalin
tersusun atas molekul-molekul amilosa. Bagian luar rantai yang lurus pada
amilopektin juga dapat membentuk susunan kristalin (Meyer, 1982). Molekul-
molekul berantai lurus membentuk daerah kristalin yang kompak sehingga susah
ditembus air, enzim dan bahan kimia. Sebaliknya daerah amorf lebih mudah
ditembus. Pati yang berasal dari sumber yang berbeda menunjukkan karakter yang
berbeda untuk distribusi ukuran granula, bentuk, kandunga amilosa dan lemak,
distribusi panjang rantai amilopektin dan struktur kristalinitas
1.2. Tujuan :
2.1. Pati
Pati adalah homopolimer dari glukosa yang tersintesis dalam tanaman melalui
pengikatan kimiawi dari ratusan hingga ribuan monomer glukosa yang melibatkan
berbagai enzim untuk membentuk molekul yang berantai panjang. Pati alami tersusun
dari dua macam molekul polisakarida yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan polimer berantai lurus dengan ikatan -1,4-D-glukosa dan amilopektin
yang merupakan polimer dengan ikatan -1,4-D-glukosa pada rantai lurusnya dan -
1,6-D-glukosa pada percabangannya. Amilopektin merupakan penyusun utama
kebanyakan granula pati. Fraksi amilosa dalam granula pati dapat mencapai 20-30%,
sedangkan amilopektinnya antara 70-80%. Perbedaan antara amilosa dan amilopektin
terletak pada pembentukan percabangan pada struktur linearnya, ukuran derajat
polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada granula pati. Amilosa dan
amilopektin berperan dalam menentukan karakteristik fisik, kimia dan fungsional
pati. Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa
berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003).
Setiap pati mempunyai sifat yang berbeda tergantung dari panjang rantai atom
karbonnya, dan ada tidaknya percabangan dalam rantai karbon tersebut. Dalam
bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut
sebagai granula. Granula pati tidak larut dalam air pada temperatur ruangan. Dalam
keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilap, tidak berbau dan tidak
berasa. Adanya perbedaan karakteristik granula pati akan sangat berpengaruh pada
sifat fisik, sifat kimia dan sifat fungsional pati. Viskositas, ketahanan terhadap
pengadukan, gelatinisasi, pembentukan tekstur, kelarutan pengental, kestabilan gel,
cold swelling dan retrogradasi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin serta
ukuran granula pati. (Hodge dan Osman, 1976).
Berat molekul amilosa berkisar antara 105-106 dengan derajat polimerisasi yang
mencapai kisaran 500 6000. Banyaknya gugus hidroksil yang terdapat dalam
senyawa polimer glukosa tersebut menyebabkan amilosa bersifat hidrofilik. Struktur
molekul amilosa dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
2.2.Pengupasan
Pengupasan merupakan pra proses yang bertujuan untuk memisahkan kulit dari
bahan. Pengupasan terdiri dari tiga macam cara yaitu pengupasan secara mekanis,
khemis (lye peeling) dan uap bertekanan. Pengupasan secara mekanis umumnya
dilakukan dengan menggunakan pisau biasa atau stainless steel. Namun, untuk
mendapatkan hasil akhir yang baik sebaiknya menggunakan pisau yang berbahan
stainless steel jika akan mengupas bahan pangan seperti buah-buahan agar tidak
terjadi pewarnaan gelap yang dapat mempengaruhi kenampakan produk. Efisiensi
pengupasan rendah dan lebih efektif untuk mengupas bahan yang berukuran besar
(Praptiningsih,1999).
2.3. Penegendapan
2.4. Densitas Kamba
Densitas kamba adalah perbandingan bobot bahan dengan volume yang ditempatinya,
termasuk ruang kosong diantara butiran bahan. Densitas kamba merupakan
perbandingan antara berat dengan volume bahan, yang memiliki satuan g/ml.
Densitas kamba juga menunjukkan porositas bahan, yaitu banyaknya rongga yang
terdapat diantara partikel-partikel bahan. Semakin tinggi densitas kamba
menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Bila densitas kamba rendah maka
massa yang kecil dapat memenuhi ruang yang besar. Menurut Kadarisman dan
Sulaeman (1992), densitas kamba dari produk pati singkong berkisar diantara 0.38 -
0.59 g/ml. Berdasarkan hasil praktikum densitas kamba yang dihasilkan berturut-turut
sebesar 0,69 g/ml;0,83 g/ml;0,60 g/ml; 0,69 g/ml; 0,57 g/ml; 0,56 g/ml; 0,69 g/ml dan
0,64 g/ml. Komponen lemak pada granula pati membentuk lapisan hidrofobik pada
permukaan dan menyebabkan tapioka cenderung membentuk gumpalan atau kurang
baur, sehingga terbentuk rongga apabila menempati suatu wadah (Pangestuti 2010).
Swelling power adalah kekuatan tepung untuk mengembang, yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor antara lain, seperti perbandingan amilosa-amilopektin, panjang rantai
dan distribusi berat molekul (Moningka, 1996). Swelling volume adalah kemampuan
pati untuk mengembang jika dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu. Collado et al.,
(2001) menyatakan Swelling volume merupakan perbandingan volume pasta pati
terhadap berat keringnya. Berdasarkan hal tersebut satuan swelling volume adalah
ml/g bk. Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai pertambahan
volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopalan et al., 1988).
Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara
molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan
menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika granula
pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling
terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati
pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh
granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat
hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels,
1985).
Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses
gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel
tidak dapat mencapai kondisi optimum. Dengan demikian kemampuan hidrasi yang
rendah kurang cocok untuk produk olahan yang membutuhkan tingkat gelatinisasi
yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga memengaruhi kemudahan dalam
menghomogenkan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tingkat
homogenitas adonan akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Adonan
yang homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang
ditandai tidak terdapatnya titik-titik putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang
telah dikukus (Tam et al. 2004).
III. METODELOGI PERCOBAAN
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah timbangan, pisau, parutan,alat press,
kain saring, loyang, toples, baskom, pH meter,oven, plastik, cawan petri, Erlenmeyer,
tabung sentrifuse, sentrifuse, vortex, dan rak tabung. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah singkong, aquades, dan air.
3.3 Metode percobaan
Pengujian terhadap kelarutan dalam air dan daya pembengkaan (swelling power)
dilakukan dengan cara membuat suspensi tepung (1% b/v) sebanyak 10 ml yaitu 1 g
pati ditimbang dan ditambahkan aquades 10 ml dimasukkan ke dalam tabung
sentrifus 15 ml yang telah diketahui berat kosongnya. Kemudian tabung beserta
isinya dipanaskan pada suhu 80 oC, dalam shaker waterbath masing-masing selama
30 menit. Kemudian suspensi disetrifuse pada 3000 rpm selama 15 menit, supernatan
dipisahkan dan endapan ditimbang sebagai berat granula membengkak . Supernatan
sebanyak 5 ml atau seadanya cairan yang tersisa dituangkan ke dalam cawan petri
yang telah ditimbang berta kosongnnya untuk dikeringkan dalam oven konvensional
pada suhu 105oC selama 4 jam sampai berat konstan.
Densitas kamba diukur dengan cara sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur sampai
volumenya mencapai 10 ml dan diketok sebanyak 5 kali, kemudian beratnya
ditimbang. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
Analisis warna pati dilakukan dengan cara sampel pati dari berbagai perlakuan
dimasukkan kedalam cawan petri, kemudian warna pati diamati dengan cara memberi
cahaya atau sinar dibawah cawan petri.
3.3.6 Analisis pH Pati Kering (Tapioka)
Pengukuran pH pati kering dilakukan dengan cara pati ditimbang sebanyak 1 g dan
ditambahkan aquades 10 ml kedalam Erlenmeyer, kemudian diukur pH nya
menggunakan pH meter.
4.1.Data Pengamatan
Keterangan:
1= Tidak putih
2= Agak putih
3= Putih
4= Sangat putih
4.1.4. Tabel 5. Analisis Kelarutan dalam Air dan Daya Pembengkakan
(Swelling Power)
4.2. Perhitungan
Rendemen pati = x 100%
37,42
Kelompok 1= x 100%= 7,46 %
500
40,0
Kelompok 2= 500 x 100%= 8,16 %
46,7
Kelompok 3= 500 x 100%= 9,34 %
32,5
Kelompok 4= 500 x 100%= 6,50 %
27,42
Kelompok 5= x 100%= 5.50 %
500
50,72
Kelompok 6= x 100%= 10,14 %
500
65,2
Kelompok 7= 500 x 100%= 13,04 %
42
Kelompok 8=500 x 100%= 8,40 %
0,04
Kelompok 6= x 100%= 4 %
1
0,02
Kelompok 7= x 100%= 2 %
1
0,02
Kelompok 8= x 100%= 2 %
1
7,14
Kelompok 1=1 (100%%) x 100%= 7,29%
7,10
Kelompok 2=1 (100%%) x 100%=
7,14
Kelompok 3=1 (100%%) x 100%= 7,29%
8,15
Kelompok 4=1 (100%2%) x 100%= 8,32 %
7,25
Kelompok 5=1 (100%%) x 100%= 7,63 %
7,17
Kelompok 6=1 (100%%) x 100%= 7,47 %
7,72
Kelompok 7=1 (100%2%) x 100%= 7,88 %
7,80
Kelompok 8=1 (100%%) x 100%= 7,96 %
4.2.5. Perhitungan Water Holding Capacity
WHC = berat bahan setelah dikeringkan 31C berat bahan awal X 100%
berat bahan awal
(1,83)(1 )
Kelompok 1= x 100%= 83 %
1
(1,76)(1 )
Kelompok 2= x 100%= 76 %
1
(1,71 )(1 )
Kelompok 3= x 100%= 71 %
1
(1,74 )(1 )
Kelompok 4= x 100%= 74 %
1
(1,68)(1 )
Kelompok 5= x 100%= 68 %
1
(1,76 )(1 )
Kelompok 6= x 100%= 76 %
1
(1,87)(1 )
Kelompok 7= x 100%= 87 %
1
(1,78)(1 )
Kelompok 8= x 100%= 78 %
1
4.3. Pembahasan
Swelling power adalah kekuatan tepung untuk mengembang, yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor antara lain, seperti perbandingan amilosa-amilopektin, panjang rantai
dan distribusi berat molekul (Moningka, 1996). Swelling volume adalah kemampuan
pati untuk mengembang jika dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu. Collado et al.,
(2001) menyatakan Swelling volume merupakan perbandingan volume pasta pati
terhadap berat keringnya. Berdasarkan hal tersebut satuan swelling volume adalah
ml/g bk. Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai pertambahan
volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopalan et al., 1988).
Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara
molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan
menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika granula
pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling
terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati
pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh
granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat
hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels,
1985).
Kelarutan merupakan berat tepung terlarut dan dapat diukur dengan cara
mengeringkan dan menimbang sejumlah supernatan. Kedua parameter tersebut
merupakan petunjuk besarnya interaksi antara pati dalam bidang amorphous dan
bidang kristalin (Baah, 2009). Seiring dengan kenaikan suhu, swelling power
semakin meningkat untuk semua jenis pati. Hal ini disebabkan ketika pati dipanaskan
dalam air yang berlebih, granula pati akan menyerap air sehingga lama kelamaan pati
tersebut menjadi mengembang swelling powernya meningkat ( Teja, 2008)
Kelarutan dan swelling volume merupakan dua hal yang berkaitan dan terjadi pada
saat gelatinisasi. Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam Ratyanake et al.
(2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih, struktur
kristalinnya menjadi terganggu sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan
hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin.
Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan swelling. Pemanasan yang terus
berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam
granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke
dalam sistem larutan (Baah, 2009).
Amilopektin merupakan faktor penting dalam pembengkakan granula pati, semakin
tinggi kandungan amilopektin pati maka semakin tinggi daya pembengkakan tepung,
sedangkan kandungan amilosa yang tinggi dapat mengurangi daya pembengkakan
pada tepung (Tester dan Morisson, 1990). Pada suatu produk makanan, amilopektin
bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang
berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus,
garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi,cenderung
menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara
terbatas (Tester dan Morisson, 1990
Swinkels (1985) menyatakan bahwa nilai swelling power dapat diukur pada kisaran
suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95C dengan interval 5C. Menurut
Pomeranz (1991), swelling power dapat diukur pada interval suhu 5C pada kisaran
suhu gelatinisasi sampai 100C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling
power dan kelarutan pati dengan interval 10C yaitu pada suhu 55C, 65C, 75C,
85C, dan 95C. Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan membuat
suspensi pati dalam botol sentrifusa lalu dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang
telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair (supernatan) dipisahkan dari endapan.
Swelling power diukur sebagai berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati
kering.
Tepung tapioka memiliki swelling power yang besar (Balagopalan et al., 1988).
Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula
pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan
mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut
Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya
mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah
molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka
semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan
akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi,
granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa. Menurut Pomeranz (1991),
kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan
peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui
dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran
swelling power. Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan pati
dari umbi-umbi yang lain.
Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang tinggi
mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Seperti halnya studi yang dilakukan
oleh Kim et al. (1996), melaporkan bahwa pati kentang yang mempunyai swelling
volume lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan mempunyai kelarutan yang
tinggi pula.
Keterkaitan antara swelling volume dan kelarutan terkait dengan kemudahan molekul
air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interkasi
hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan
mempunyai pengembangan yang tinggi. Tester and karkalas (1996) seperti yang
dikutip oleh Muhamed et al. (2008), telah mengekspresikan bahwa pengembangan
granula terjadi ketika granula dipanaskan bersama air dan ikatan hidrogen yang
menstabilisasi struktur double heliks dalam kristal terputus dan digantikan oleh ikatan
hidrogen dengan air. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari
dalam sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.
Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka kelarutan
semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa yang tinggi
pada umumnya memiliki kelarutan yang tinggi pula seperti halnya pati ubi jalar yang
mengandung amilosa 15 25%. Namun demikian, kandungan amilosa tidak
selamanya berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan kompleks antara amilosa
dengan lipid seperti pada kacang-kacangan dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim
et al. 1996).
Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses
gelatinisasi pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel
tidak dapat mencapai kondisi optimum. Dengan demikian kemampuan hidrasi yang
rendah kurang cocok untuk produk olahan yang membutuhkan tingkat gelatinisasi
yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga memengaruhi kemudahan dalam
menghomogenkan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tingkat
homogenitas adonan akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Adonan
yang homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang
ditandai tidak terdapatnya titik-titik putih atau kuning pucat pada adonan tepung yang
telah dikukus (Tam et al. 2004).
Granula pati tapioka berbentuk bulat dan bulat seperti terpotong pada salah
satu sisi membentuk seperti drum ketel. Ukuran granula pati tapioka sekitar 4 5 m,
banyak granula granula menunjukkan keberadaan hilum di bagian tengahnya. Pati
singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat rendah, lebih rendah
dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal.
1. Pengendapan pati akan mempengaruhi pH pati, dimana pati yang lebih lama
diendapkan akan memiliki ph yang lebih rendah yaitu 3,59.
2. Rendemen tapioka yang paling banyak dihasilkan yaitu pada perlakuan singkong
tanpa pengupasan dengan lama pengendapan 17 jam, diperoleh rendemen sebesar
13,04 %.
3.Daya pembengkakan pati dari berbagai perlakuan tidak berbeda secara signifikan
yaitu sekitar kisaran 2-3 %. Hal ini terjadikarena tingginya amilosa dalam pati.
4. Pati yang dikupas dan dilakukan pengendapan memiliki penurunan pH yang lebih
rendah dibanding pati yang tanpa pengupasan dan dilakukan pengendapan.
5.Pati yang memiliki holding capacity yang paling tinggi yaitu perlakuan tanpa
pengupasan dengan perendaman selama 17 jam sebesar 87 %
6. Pati yang diendapkan lebih lama(24 jam) memiliki warna yang lebih putih
dibandingkan dengan waktu perendaman yang hanya sebentar(1 jam)
7. Densitas kamba pada pati dari berbagai perlakuan tidak berbeda jauh yaitu pada
kisaran 0,57 g/ml 0,83 g/ml
DAFTAR PUSTAKA
Balagopalan, C., Padmaja, G., Nanda, S.K., dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava in
Food, Feed, and Industry. CRC Press, Baco Raton, Florida.
[CAC] Codex Alimentarius Commision. 1995. Edible Cassava Flour (CODEX
STAN 176-1989 (Rev.11995)). Codex Alimentarius Commision, USA.
Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between thermal, rheological
characteristics, and swelling power for various starches. J. Food
Engineering Vol.50 : 141-148.
Swinkels, J.J.M. 1985. Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam :
G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology.
Marcel Dekker, Inc., New York.
Astawan, M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Artikel pada
Kompas 23 Maret 2003.
Chapman, V.J dan Chapman, D.J. 1980. Seaweed and Their Used. 3rd Edition.
Chapman and Hall London. New York.
Glicksman, M. 1983. Food Hydrocolloids Vol II. Florida: CRC Press, Inc
Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Carbohydrates, pp. 41-130. Di dalam O.R.
Fennema, ed. Principle of Food Science. Part I. Food chemistry. Mercel
Dekker, Inc. New York
King, A.H. 1983. Brown Seaweed Extracts (Alginates). In: M. Glickman. Food
Hydrocolloids. Vol II. CRC Press Inc; Bocaaraton Florida. Hal. 115-182.
Lehninger, A.1998. Dasar Dasar Biokimia. Maggy Thenawidjaya; Penerjemah.
Jakarta: Erlangga
Rachmaniar, dkk. Karasteristik Alginat asal Sargassum sp. Laporan Hasil Penelitian.
Lembaga Ilmu Pengetahuan. Jakarta.
Suhardi. 2006. Manfaat alginat ekstrak Makroalga Coklat Dalam Industri Pangan.
Warta Oseanografi-LIPI.
.
Susanti, D. A. dan Harjiono. 2014. Pengaruh Karaginan Terhadap Karakteristik Pasta
Tepung Garut Dan Kecambah Kacang Gude Sebagai Bahan Baku Bihun.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 4. Hal. 50-57
Yunizal. 1999. Teknologi ekstraksi alginat dari rumput laut cokelat (phaeophyceae).
Edisi kedua, Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian
Perikanan Laut, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Yunizal. 2004. Teknologi Ekstraksi Alginat. Jakarta : Pusat Riset Pengolahan Produk
dan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan.
Zhao Y., H. Chen, Y. S. Wang, and Q. Qian . 2016. Effect Of Sodium Alginate And
Its Guluronic Acid/Mannuronic Acid Ratio On The Hysicochemical
Properties Of High-Amylose Cornstarch. Starch/Strke 2016, 68, 19.
LAMPIRAN
Foto praktikum