Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Hidung merupakan salah satu organ tubuh manusia yang


mempunyai berbagai fungsi penting. Fungsi hidung yang utama adalah
dalam proses pernafasan, yaitu sebagai tempat masuk dan keluarnya udara
yang dipergunakan dalam proses respirasi. Fungsi hidung yang kedua
adalah sebgai organ terluar dari saluran pernafasan juga berfungsi sebagai
benteng pertahanan pertama bagi jalan nafas terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan, sehingga sering mengalami gangguan penyakit.
Selain itu hidung juga mempunyai fungsi kosmetik.
Secara garis besarnya penyakit-penyakit yang mengenai hidung
dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok seperti kelainan
kongenital, penyakit radang atau rhinitis, kelainan akibat trauma,
neoplasma serta beberapa penyakit sistemik yang manifestasinya ke
hidung. Disamping itu terdapat beberapa penyakit yang tidak berdiri
sendiri melainkan merupakan suatu penyakit lanjutan atau komplikasi dari
penyakit primernya, seperti sinusitis paranasalis yang dapat merupakan
komplikasi dari rhinitis menahun.
Penyakit rhinitis atau keradangan pada hidung berdasarkan
penyebabnya dapat dibagi tiga yaitu rinitis karena infeksi, rhinitis karena
alergi dan rhinitis non infeksiosa non alergi, yang salah satunya adalah
rhinitis vasomotor yang terjadi karena gangguan vasomotor, dimana
gangguan vasomotor hidung merupakan suatu respon terhadap berbagai
faktor stimulus non alergi yang menyebabkan bertambahnya akitvitas
parasimpatis.
Dalam laporan ini hanya akan dibahas tentang rhinitis vasomotor,
suatu gangguan akibat disfungsi saraf otonom pada hidung.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Hidung


Anatomi hidung terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar dan bagian
dalam. Hidung bagian luar merupakan bagian yang secara langsung
ditutupi oleh kulit. Pada bagian superior atau batang hidung terdapat os
nasal dan proccessus frontalis os maxillaris, bagian inferiornya dibentuk
oleh beberapa tulang rawan dan sebagian lagi adalah jaringan ikat serta
otot. Ujung hidung bagian luar disebut apex, kearah posterior dan inferior
apex berhubungan dengan bibir melalui columella.
Hidung bagian dalam, terdiri dari suatu rongga yang dilapisi oleh
epitel. Rongga ini memiliki lubang pada bagian depan yang disebut nares,
lubang belakang yang berhubungan secara langsung dengan nasopharing
yang disebut choana.
Pada dinding lateral terdapat bentukan yang disebut concha dengan
tiga meatus, yaitu : meatus nasi inferior yang merupakan ruangan diantara
concha inferior dan dasar hidung serta tempat bermuaranya ductus
nasolacrimalis, meatus nasi media yang berupa ruangan diantara concha
inferior dan concha media, disini terdapat orificium dari sinus frontalis,
grup anterior sinus ethmoidalis serta terdapat hiatus semilunaris yang
merupakan orificium dari sinus maxillaris, meatus nasi superior berada
diatas concha media dan disini terdapat beberapa orificum yang
menghubungkannya dengan grup posterior sinus ethmoidal serta sinus
sphenoidalis. Kadang-kadang didapatkan concha suprema diatas concha
superior. Konka suprema, superior dan media berasal dari lamina lateralis
os ethmoidalis, sedangkan concha inferior merupakan tulang tersendiri
yang melekat pada os maxilla.
Vaskularisasi hidung terdiri dari beberapa arteri yang berbeda serta
banyak didapatkan anastomosis yang dibentuk dari arteri-arteri tersebut.
Pada prinsipnya suplai darah pada hidung dalam, terbagi menjadi dua

2
yaitu suplai darah untuk dinding lateral dan suplai darah untuk septum
nasi. Suplai darah untuk dinding lateral berasal dari tiga sumber, yaitu : a.
ethmoidalis anterior dan a. ethmoidalis posterior, yang mana kedua
pembuluh darah ini merupakan cabang dari a. ophthalmica serta a.
sphenopalatina yang merupakan cabang terminal dari a. maxillaris
interna. Sedangkan untuk septum nasi, vaskulrisasi berasal dari a. labialis
superior, a. palatina mayor serta Plexus Kiesselbach disamping juga
berasal dari arteri-arteri yang memperdarahi dinding lateral hidung.
Inervasi saraf pada hidung meliputi persarafan sensorik oleh cabang
opthalmicus dan maxillaris dari n. trigeminus, n. olfactorius sebagai saraf
pembauan, persarafan motorik pada bagian luar hidung oleh n. facialis
serta persarafan otonom untuk mengatur diameter dari pembuluh darah
arteri dan vena pada hidung bagian dalam.
Jaringan limfatik hidung terdiri dari jaringan pembuluh anterior dan
posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil, bermuara disepanjang
pembuluh fasialis yang menuju leher, melayani bagian anterior hidung
vestibulum dan prekonka. Jaringan limfatik posterior melayani hampir
seluruh bagian hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah
hidung belakang melalui saluran superior, media dan inferior.
Secara fisiologis hidung memiliki fungsi primer dan sekunder.
Fungsi primer dari hidung ada empat, yaitu sebagai alat penciuman,
sebagai pintu masuk fisiologis udara pernafasan, sebagai alat penyaring
udara serta sebagai alat pengatur suhu dan kelembaban udara pernafasan.
Fungsi sekunder dari hidung adalah sebagai resonator box.
Fungsi penciuman dilakukan oleh n. olfactorius melalui komponen-
komponen penunjangnya yang melekat pada lamina kribriformis, sehingga
setiap gangguan aliran udara pada hidung dapat menyebabkan timbulnya
anosmia.
Pada keadaan yang dianggap kurang menguntungkan, seperti
layaknya sebuah pintu masuk, maka hidung akan melakukan mekanisme
pertahanan dengan membatasi aliran masuknya udara. Penyempitan jalan

3
masuk udara ini sering terjadi pada keadaan keradangan seperti pada
rinitis. Mekanisme ini kadang-kadang justru dapat menimbulkan masalah.
Edema mukosa saat mengalami rintis akut akibat infeksi maupun
rhinitis alergika diakibatkan adanya pelepasan dari mediator -mediator
kimiawi oleh sel-sel radang. Berbeda dengan mekanisme tersebut, maka
pada keadaan rhinitis vasomotor akan terjadi edema mukosa oleh karena
pelebaran dari pembuluh-pembuluh darah hidung akibat pengaruh dari
saraf perasimpatik. Namun demikian sampai saat ini belum jelas benar
bagaimana mekanisme kerja dari saraf otonom sebagaimana kita ketahui,
rhinitis vasomotor ini dipengaruhi oleh emosi, kelembaban udara, suhu,
latihan jasmani dan sebagainya.
Sebagai alat penyaring udara pernafasan, silia berperan untuk
mengarahkan kotoran-kotoran termasuk bakteri kearah faring untuk
kemudian tertelan atau dikeluarkan, sedangkan rambut-rambut pada bagian
anterior berperan untuk menyaring partikel-partikel yang lebih besar.
Fungsi pengaturan suhu dan kelembaban dilakukan oleh pembuluh -
pembuluh darah (kavernosa) pada mukosa konka dan septum, dengan
mengatur suhu udara agar mendekati 36 C. sedangkan pengaturan
kelembaban udara dikerjakan oleh kelenjar-kelenjar tuboalveolar dan bila
perlu juga oleh sel-sel goblet, sehingga akan didapatkan kelembaban yang
berkisar antara 75% - 80%.

4
2.2.Defenisi Rhinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang
didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan
hormon (kehamilan, hipertiroid), dan panjanan obat (kontrasepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klopromazin dan obat topikal
hidung dekongestan).
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik
serum).
Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor ronorhea,
nasal vasomotor instability, atau non-allergic perennial rhinitis.

2.3. Etologi Dan Patofisiologi

Etiologi dan patofisiologi yang belum pasti diketahui.


Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi
rinitis vasomotor :
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen
Th 1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan
sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-
transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang
menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung.
Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanajang hari yang
menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung
yang bergabtian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai
siklus nasi. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan
mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui
romgga hidung yang berubah-rubah luasnya.

5
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori
superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk
n.Vadianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan
terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi
pelepasan ko-transmiter asetikolin dan vasoaktif intestinal
peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan
vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belum
diketahui dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus
bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen, termasuk
rangsangan emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam
keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan.
Rinitis vasomor diduga sebagai akibat dari ketidak
seimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang
berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.
2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang
diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf
sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal
saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related
protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini meneran gkan
terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung.
3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan
epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau
nekrosis epitel, sehingga rangsangan non-spesifik
berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya
terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan
recruitment refkeks vaskular dan kelenjar mukosa hidung

6
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka
panajang dari trauma hidung melaui mekanisme neurogenik
dan neuropeptida.

2.4. Gejala Klinis

Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai


rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum,
minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan
pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan
dan stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan
sebagai gangguan individu tersebut.
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi,
namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan
kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang
mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh
kerana asap rokok dan sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3
golongan, yaitu :
1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan
respon yang baik dengan terapi antihistamin dan
glukokortikosteroid topikal.
2. Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan
pemberian anti kolonergik topikal.
3. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya
memberikan respon yang baik dengan terapi
glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.

7
2.5. Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara ekslusi, yaitu


menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hurmonal dan akibat
obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas
berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah
tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi.
Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertropi). Pada
rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada
golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak
jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret
hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif.
Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

2.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada rinitis vasomor bervarariasi, tergantung pada


faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi
dalam:
1. Menghindari stimulasi/faktor pencetus
2. Pengobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan
oral, cuci hidung dengan larutan garam fisiologis,
kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO 25%
atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat
ditinggikan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan
terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2
minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru

8
dalam larutan aqua seperti flutikoson propionat dan
mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali
sehari dengan dosis 200 mg. Pada kasus dengan rinore
yang berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal
(ipatropium bromida). Saat ini sedang dalam penelitian
adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal
yang mengandung lada.
3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau
konkotomi parsial konka inferior.
4. Neurektomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n.vidianus, bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil optimal. Operasi ini tidaklah
mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis,
diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia atau
anestesis infraorbita dan palatum. Dapat juga dilakukan
tindakan blocking ganglion sfenopalatina.

2.7. Prognosis

Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada


golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis
alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.

9
BAB III
KESIMPULAN

Rhinitis vasomotor merupakan suatu sidrom klinik hidung yang


terdiri dari gejala hidung tersumbat berulang, disertai dengan ingus yang
encer dan bersin bersin
Faktor pencetus dari rhinitis vasomotor ini bisa terjadi pada
seseorang dengan aktifitas parasimpatis yang berlebih, diantaranya faktor
fisik, faktor psikis, faktor endokrin dan faktor penggunaan obat -obatan
simpatolitik.
Aktivitas yang berlebihan dari saraf parasimpatis akan
menyebabkan dilatasi dari arteri-arteri dan kavernosa pada hidung, yang
berdampak sebagai penyempitan dari caavum nasi. Disamping ini akan
memberikan penampakan mukosa hidung yang hiperemi serta sekresi
kelenjar yang meningkat.
Gejala yang sering didapatkan pada rhinitis vasomotor in i adalah
hidung tersumbat yang dominan yang bisa disertai dengan rinore dan
bersin-bersin.
Diagnosis banding dari rhinitis vasomotor antara lain rhinitis
alergika, rhinitis medikamentosa dan rhinitis akut infeksiosa. Sedangkan
komplikasi yang sering timbul pada rhinitis vasomotor adalah sinusitis
paranasalis, polip nasi serta otitis media.
Penatalaksanaannya dapat berupa konservatif (medis dan non
medis) ataupun tindakan pembedahan.

10

Anda mungkin juga menyukai