PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
yaitu suplai darah untuk dinding lateral dan suplai darah untuk septum
nasi. Suplai darah untuk dinding lateral berasal dari tiga sumber, yaitu : a.
ethmoidalis anterior dan a. ethmoidalis posterior, yang mana kedua
pembuluh darah ini merupakan cabang dari a. ophthalmica serta a.
sphenopalatina yang merupakan cabang terminal dari a. maxillaris
interna. Sedangkan untuk septum nasi, vaskulrisasi berasal dari a. labialis
superior, a. palatina mayor serta Plexus Kiesselbach disamping juga
berasal dari arteri-arteri yang memperdarahi dinding lateral hidung.
Inervasi saraf pada hidung meliputi persarafan sensorik oleh cabang
opthalmicus dan maxillaris dari n. trigeminus, n. olfactorius sebagai saraf
pembauan, persarafan motorik pada bagian luar hidung oleh n. facialis
serta persarafan otonom untuk mengatur diameter dari pembuluh darah
arteri dan vena pada hidung bagian dalam.
Jaringan limfatik hidung terdiri dari jaringan pembuluh anterior dan
posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil, bermuara disepanjang
pembuluh fasialis yang menuju leher, melayani bagian anterior hidung
vestibulum dan prekonka. Jaringan limfatik posterior melayani hampir
seluruh bagian hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah
hidung belakang melalui saluran superior, media dan inferior.
Secara fisiologis hidung memiliki fungsi primer dan sekunder.
Fungsi primer dari hidung ada empat, yaitu sebagai alat penciuman,
sebagai pintu masuk fisiologis udara pernafasan, sebagai alat penyaring
udara serta sebagai alat pengatur suhu dan kelembaban udara pernafasan.
Fungsi sekunder dari hidung adalah sebagai resonator box.
Fungsi penciuman dilakukan oleh n. olfactorius melalui komponen-
komponen penunjangnya yang melekat pada lamina kribriformis, sehingga
setiap gangguan aliran udara pada hidung dapat menyebabkan timbulnya
anosmia.
Pada keadaan yang dianggap kurang menguntungkan, seperti
layaknya sebuah pintu masuk, maka hidung akan melakukan mekanisme
pertahanan dengan membatasi aliran masuknya udara. Penyempitan jalan
3
masuk udara ini sering terjadi pada keadaan keradangan seperti pada
rinitis. Mekanisme ini kadang-kadang justru dapat menimbulkan masalah.
Edema mukosa saat mengalami rintis akut akibat infeksi maupun
rhinitis alergika diakibatkan adanya pelepasan dari mediator -mediator
kimiawi oleh sel-sel radang. Berbeda dengan mekanisme tersebut, maka
pada keadaan rhinitis vasomotor akan terjadi edema mukosa oleh karena
pelebaran dari pembuluh-pembuluh darah hidung akibat pengaruh dari
saraf perasimpatik. Namun demikian sampai saat ini belum jelas benar
bagaimana mekanisme kerja dari saraf otonom sebagaimana kita ketahui,
rhinitis vasomotor ini dipengaruhi oleh emosi, kelembaban udara, suhu,
latihan jasmani dan sebagainya.
Sebagai alat penyaring udara pernafasan, silia berperan untuk
mengarahkan kotoran-kotoran termasuk bakteri kearah faring untuk
kemudian tertelan atau dikeluarkan, sedangkan rambut-rambut pada bagian
anterior berperan untuk menyaring partikel-partikel yang lebih besar.
Fungsi pengaturan suhu dan kelembaban dilakukan oleh pembuluh -
pembuluh darah (kavernosa) pada mukosa konka dan septum, dengan
mengatur suhu udara agar mendekati 36 C. sedangkan pengaturan
kelembaban udara dikerjakan oleh kelenjar-kelenjar tuboalveolar dan bila
perlu juga oleh sel-sel goblet, sehingga akan didapatkan kelembaban yang
berkisar antara 75% - 80%.
4
2.2.Defenisi Rhinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang
didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan
hormon (kehamilan, hipertiroid), dan panjanan obat (kontrasepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klopromazin dan obat topikal
hidung dekongestan).
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik
serum).
Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor ronorhea,
nasal vasomotor instability, atau non-allergic perennial rhinitis.
5
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori
superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk
n.Vadianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan
terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi
pelepasan ko-transmiter asetikolin dan vasoaktif intestinal
peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan
vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belum
diketahui dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus
bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen, termasuk
rangsangan emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam
keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan.
Rinitis vasomor diduga sebagai akibat dari ketidak
seimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang
berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.
2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang
diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf
sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal
saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related
protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini meneran gkan
terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung.
3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan
epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau
nekrosis epitel, sehingga rangsangan non-spesifik
berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya
terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan
recruitment refkeks vaskular dan kelenjar mukosa hidung
6
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka
panajang dari trauma hidung melaui mekanisme neurogenik
dan neuropeptida.
7
2.5. Diagnosis
2.6. Penatalaksanaan
8
dalam larutan aqua seperti flutikoson propionat dan
mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali
sehari dengan dosis 200 mg. Pada kasus dengan rinore
yang berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal
(ipatropium bromida). Saat ini sedang dalam penelitian
adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal
yang mengandung lada.
3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau
konkotomi parsial konka inferior.
4. Neurektomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n.vidianus, bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil optimal. Operasi ini tidaklah
mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis,
diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia atau
anestesis infraorbita dan palatum. Dapat juga dilakukan
tindakan blocking ganglion sfenopalatina.
2.7. Prognosis
9
BAB III
KESIMPULAN
10