Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN GANGGUAN JIWA


7 DIAGNOSA

HARGA DIRI RENDAH


ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI
GANGGUAN PROSES PIKIR: WAHAM
DEFISIT PERAWATAN DIRI
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
RESIKO BUNUH DIRI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners


Departemen Jiwa di RSJ Radjiman Widyodiningrat
12 Juni 23 Juni 2017

Oleh:

Adimas Mokhtar Sudayu, S.Kep

NIM. 150070300011150

Kelompok 7

PROGRAM NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
MASALAH UTAMA: HARGA DIRI RENDAH

1. DEFINISI
Menurut Keliat (2005) : Harga diri merupakan salah satu komponen dari
konsep diri. Dimana, konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan
keyakinan yang diketahui tentang dirinya dan mempengaruhi individu
dalam berhubungan dengan orang lain. Sedangkan harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dan harga diri rendah adalah
menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak
bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal
maka cenderung harga diri rendah. Harga diri rendah jika kehilangan kasih
sayang dan penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri sendiri
dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan
dari orang lain.
Menurut Towsend (1998) dalam Direja (2011) harga diri rendah adalah
evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif
dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan.
2. RENTANG RESPON KONSEP DIRI
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan
yang membuat seseorang mengetahui tentang diriya dan mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk sejak lahir
namun dipelajari (Stuart & Sunden, 2006).

Rentang Respon Konsep Diri

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Kerancuan Depersonalisasi


Positif Rendah Identitas Diri

a. Respons adaptif adalah respon yang dilakukan oleh individu dalam


menyelesaikan masalah. Dan respon tersebut dapat diterima oleh norma
sosial dan budaya dimana individu tersebut tinggal (Stuart, 2006). Respon
adaptif meliputi :
Aktualisasi Diri
Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan diterima. (Stuart &
Sunden, 2006)
Konsep Diri Positif
Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang
apa yang ada pada dirinya meliputi citra dirinya, ideal dirinya, harga
dirinya, penampilan peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini
akan menunjukkan bahwa individu itu akan menjadi individu yang
sukses. (Stuart & Sunden, 2006)
b. Sedangkan respons maladaptif adalah respon yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah. Dan respon tersebut menyimpang dari
norma-norma sosial dan kebudayaan setempat (Stuart, 2006). Respon
maladaptif tersebut adalah :
Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya
sendiri, termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak
berguna, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu mengkritik
diri sendiri dan/ atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif
yang diarahkan kepada orang lain, gangguan dalam berhubungan,
perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir,
serta menarik diri dari realitas. (Stuart & Sunden, 2006)
Identitas Kacau
Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak kanak ke dalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan kerancuan identitas yaitu tidak ada kode
moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal
eksploitatif, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri
sendiri, tingkat ansietas yang tinggi, dan ketidakmampuan untuk
empati terhadap orang lain. (Stuart & Sunden, 2006)
Depersonalisasi
Depersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis
dimana klien tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar
dirinya. Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya
sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan
asing baginya. (Stuart & Sunden, 2006)

3. TANDA dan GEJALA


Menurut Fitria (2009) dalam Direja (2011) manifestasi yang biasa muncul
pada klien gangguan jiwa dengan harga diri rendah:
Mengkritik diri sendiri.
Perasaan tidak mampu.
Pandangan hidup yang pesimistis.
Tidak menerima pujian.
Penurunan produktifitas.
Penolakan terhadap kemampuan diri.
Kurang memperhatikan perawatan diri.
Berpakaian tidak rapi, selera makan berkurang, tidak berani mentap
lawan bicara.
Lebih banyak menunduk.
Bicara lambat dengan nada suara lemah.

4. PROSES TERJADINYA MASALAH


Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang
tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang
negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan
awal (Townsend, 2009). Menurut Carpenito, L.J (2009) koping individu tidak
efektif adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko
mengalami suatu ketidakmampuan dalam mengalami stessor internal atau
lingkungan dengan adekuat karena ketidakkuatan sumber-sumber (fisik,
psikologi, perilaku atau kognitif). Sedangkan menurut Townsend, M.C (2009)
koping individu tidak efektif merupakan kelainan perilaku adaptif dan
kemampuan memecahkan masalah seseorang dalam memenuhi tuntutan
kehidupan dan peran.
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga
diri rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi
karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang
perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang
selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri
rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya
individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis),
individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul
pikiran bahwa dirinya tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi
dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan
menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional,
jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan
individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).

5. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Direja (2011) faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah
kronis adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang
kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, ideal diri yang tidak realistis.

6. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis
adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau
bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara
situasional maupun kronik.

7. MASALAH KEPERAWATAN yang MUNGKIN MUNCUL


Harga diri rendah kronis
Koping individu tidak efektif
Isolasi sosial
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
Risiko tinggi perilaku kekerasan
8. DATA YANG PERLU DIKAJI
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Harga diri rendah kronis Subjektif:
Mengungkapkan dirinya merasa tidak
berguna.
Mengungkapkan dirinya merasa tidak
mampu.
Mengungkapkan dirinya tidak semangat
untuk beraktivitas atau bekerja.
Mengungkapkan dirinya merasa malas
melakukan perawatan diri (mandi,
berhias,makan atau toileting).
Objektif:
Mengkritik diri sendiri.
Perasaan tidak mampu.
Pandangan hidup yang pesimistis.
Tidak menerima pujian.
Penurunan produktivitas.
Penolakan terhadap kemampuan diri.
Kurang memperhatikan perawatan diri.
Berpakaian tidak rapi.
Berkurang selera makan.
Tidak berani menatap lawan bicara.
Lebih banyak menunduk.
Bicara lambat dengan nada suara lemah.

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Harga diri rendah kronis
10. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Tujuan
Klien Keluarga
Klien mampu: keluarga mampu merawat klien
Mengidentifikasi kemampuan dan HDR di rumah dan menjadi
aspek positif yang dimiliki. sistem pendukung yang efektif
Menilai kemampuan yang dapat bagi pasie.
digunakan.
Menetapkan/memilih kegiatan
yang sesuai dengan kemampuan.
Melatih kegiatan yang sudah
dipilih, sesuai kemampuan.
Merencanakan kegiatan yang
sudah dilatih.
Kriteria Hasil
Klien Keluarga
Setelah ...x pertemuan, klien mampu: Setelah ....x pertemuan, keluarga
Mengidentifikasi kemampuan mampu:
aspek positif yang dimiliki. Mengidentifikasi kemampuan
Memiliki kemampuan yang dapat yang dimiliki klien.
digunakan. Menyediakan fasilitas untuk klien
Memilih kegiatan sesuai melakukan kegiatan.
kemampuan. Mendorong klien melakukan
Melakukan kegiatan yang sudah kegiatan.
dipilih. Memuji klien saat klien dapat
Merencanakan kegiatan yang melakukan kegiatan.
sudah dilatih. Membantu melatih klien.
Membantu menyusun jadwal
kegiatan klien.
Membantu perkembangan klien

Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk


Dx Klien keluarga

SP 1 SP 1

1. Identifikasi kemampuan dan 1. Jelaskan masalah yang


aspek positif yang dimiliki dirasakan keluarga dalam
klien merawat klien
2. Bantu klien menilai 2. Jelaskan pengertian, tanda
kemampuan klien yang dapat dan gejala harga diri rendah,
digunakan serta proses terjadinya
3. Bantu klien memilih kegiatan 3. Jelaskan cara merawat klien
yang akan dilatih sesuai dengan harga diri rendah
dengan kemampuan klien
4. Latih klien sesuai
kemampuan yang dipilih
5. Berikan pujian yang wajar
terhadap keberhasilan klien
6. Anjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan
SP 2 SP 2

1. Evaluasi jadwal kegiatan 1. Latih keluarga


harian klien mempraktekkan cara
2. Latih kemampuan kedua merawat klien dengan harga
3. Anjurkan klien memasukkan diri rendah
dalam jadwal kegiatan harian 2. Latih keluarga melakukan
cara merawat langsung klien
harga diri rendah
SP 3
1. Bantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat
(dischange planning)
2. Jelaskan follow up klien
setelah pulang
MASALAH UTAMA: ISOLASI SOSIAL

1. DEFINISI
Menurut DEPKES RI (2000) dalam Direja (2011), kerusakan interaksi sosial
merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
Menurut Balitbang (2007) dalam Direja (2011), merupakan upaya
menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa
kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk
berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam
berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan
dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi
pengalaman.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) dalam Direja (2011), kerusakan
interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
tingkah maladaptif, dan mengganggu fungsi individu dalam hubungan
sosialnya.
Menurut Towsend (1998) dalam Direja (2011), kerusakan interaksi sosial
adalah suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi dalam pertukaran
sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien yang
mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada penarikan
diri.
Kesimpulan : isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana indifidu tidak mau
mengadakan interaksi terhadap komunitas disekitarnya, atau sengaja
menghindari untuk berinteraksi yang dikarnakan orang lain atau keadaan
disekitar diangap mengancam bagi indifidu tersebut.

2. ETIOLOGI
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di antaranya
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu
tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah,
pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan,
dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar
dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan (Direja, 2011).

3. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat
fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
Tahapan Perkembangan Tugas
Masa bayi Menetapkan rasa percaya diri
Masa bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
mandiri
Masa pra sekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung
jawab, dan hati nurani
Masa sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
berkompromi
Masa pra remaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
jenis kelamin
Masa remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
bergantung
Masa dewasa muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
teman, mencari pasangan, menikah, dan
mempunyai anak
Masa dewasa baya Belajar menerima hasil hubungan yang sudah
dilalui
Masa dewasa tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan perasaan keterikatan dengan
budaya

Faktor komunikasi dalam keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk
masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan
(double bind) yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga
menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau
ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk
berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan
suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal
ini disebabkan oleh norma-norma yang dianut oleh keluarga, dimana setiap
anggota keluarga yang tidak produktif seperti usila, berpenyakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
Faktor biologis
Faktor bilogis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien
skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki
struktur yang abnormal pada otak seperti atrofi otak, serta perubahan
ukuran dan bentuk sel-sel dan limbik dan daerah kortikal (Direja, 2011).

4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat
ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan
oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat ansietas
atau kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat
terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhinya kebutuhan individu.

5. TANDA dan GEJALA


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial:
Kurang spontan.
Apatis (acuh terhadap lingkungan).
Ekspresi wajah kurang berseri.
Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
Mengisolasi diri.
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
Asupan makanan dan minuman terganggu.
Retensi urine dan feses.
Aktivitas menurun.
Kurang energi (tenaga).
Rendah diri.
Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi
tidur) (Direja, 2011).
Seseorang dapat dikatakan mengalami gangguan isolasi jika individu
tersebut: menarik diri, tidak komunikatif, menyendiri, asyik dengan pikiran dan
dirinya sendiri, tidak ada kontak mata, afek tumpul, perilaku bermusuhan,
menyatakan perasaan sepi atau ditolak, kesulitan membina hubungan di
lingkungannya, menghindari orang lain, dan mengungkapkan perasaan tidak
dimengerti orang lain (Wiyati et al., 2010).

6. RENTANG RESPON

Adaptif Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Menarik diri


Otonomi Dependensi Ketergantungan
Bekerjasama Curiga Manipulasi
Interdependen Curiga
Berikut ini akan dijelaskan tentang respon yang terjadi pada isolasi sosial:
Respon adaptif
Respon adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini
adalah sikap yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi di lingkungan sosial.
b. Otonomi, kemampuan
Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons
maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.

7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.Mekanisme
koping yang sering digunakan pada menarik diri adalah proyeksi dan represi :
a. Proyeksi adalah keinginan yang tidak dapat ditoleransi ,mencurahkan
emosi kepada oranglain. Karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
b. Regresi adalah menghindari setres,kecemasan dengan menampilkan
prilaku kembali seperti pada perkembangan anak
c. Represi adalah menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan
atau komflik atau ingatan dari kesadaran yang cendrung memperkuat
mekanisme ego lainya.

8. POHON MASALAH
Resiko tinggi mencederai diri, orang lain,
dan lingkungan

Defisit perawatan diri GPS: Halusinasi

Intoleransi aktivitas Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

Koping individu tidak efektif


Koping keluarga tidak efektif

9. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


a. Isolasi sosial
b. Harga diri rendah kronis
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Koping individu tidak efektif
e. Koping keluarga tidak efektif
f. Intoleransi aktivitas
g. Defisit perawatan diri
h. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

10. DATA YANG PERLU DIKAJI


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Isolasi sosial Subjektif
Klien mengatakan malas bergaul
dengan orang lain
Klien mengatakan dirinya tidak
ingin ditemani perawat dan meminta
untuk sendirian
Klien mengatakan tidak mau
berbicara dengan orang lain
Tidak mau berkomunikasi
Data tentang klien biasanya
didapat dari keluarga yang mengetahui
keterbatasan klien (suami, istri, anak, ibu,
ayah, atau teman dekat).
Objektif
Kurang spontan
Apatis (acuh terhadap lingkungan)
Ekspresi wajah kurang berseri
Tidak merawat diri dan tidak
memperhatikan kebersihan diri
Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
Mengisolasi diri
Tidak atau kurang sadar terhadap
lingkungan sekitarnya
Asupan makanan dan minuman
terganggu
Retensi urine dan feses
Aktivitas menurun
Kurang berenergi atau bertenaga
Rendah diri
Postur tubuh berubah, misalnya sikap
fetus atau janin (khususnya pada posisi
tidur)

11. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi sosial

12. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Klien mampu: Setelah ... x pertemuan, klien SP 1
Menyadari mampu: Identifikasi penyebab
penyebab Membina hubungan saling Siapa yang satu rumah
isolasi sosial percaya dengan klien
Berinteraksi Menyadari penyebab Siapa yang dekan dengan
dengan orang isolasi sosial, keuntungan klien
lain dan kerugian berinteraksi Siapa yang tidak dekat
dengan orang lain dengan klien
Melakukan interaksi Tanyakan keuntungan dan
dengan orang lain secara kerugian berinteraksi dengan
bertahap orang lain
Tanyakan pendapat klien
tentang kebiasaan
berinteraksi dengan orang
lain.
Tanyakan apa yang
menyebabkan klien tidak
ingin berinteraksi dengan
orang lain.
Diskusikan keuntungan
bila klien memiliki banyak
teman dan bergaul akrab
dengan mereka
Diskusikan kerugian bila
klien hanya mengurung diri
dan tidak bergaul dengan
orang lain.
Jelaskan pengaruh isolasi
sosial terhadap kesehatan
fisik klien
Latih berkenalan
Jelaskan kepada klien cara
berinteraksi dengan orang
lain
Berikan contoh cara
berinteraksi dengan orang
lain
Beri kesempatan klien
mempraktekkan cara
berinteraksi dengan orang
lain yang dilakukan di
hadapan perawat
Mulailah bantu klien
berinteraksi dengan satu
orang teman/anggota
keluarga
Bila klien sudah
menunjukkan kemajuan,
tingkatkan jumlah interaksi
dengan 2, 3, 4 orang dan
seterusnya.
Beri pujian untuk setiap
kemajuan interaksi yang
telah dilakukan oleh klien
Siap mendengarkan
ekspresi perasaan klien
setelah berinteraksi
dengan orang lain,
mungkin klien akan
SP 2
Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
1)
Latih berhubungan sosial
secara bertahap
Masukkan dalam jadwal
kegiatan klien
SP 3
Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
1 dan 2)
Latih cara berkenalan dengan 2
orang atau lebih
Masukkan dalam jadwal
kegiatan klien
Keluarga mampu Setelah ... x pertemuan, SP 1
merawat klien keluarga mampu Identifikasi masalah yang
dengan isolasi menjelaskan tentang: dihadapi dalam merawat klien.
sosial di rumah Masalah isolasi sosial dan Penjelasan isolasi sosial
dampaknya pada klien Cara merawat klien isolasi
Penyebab isolasi sosial sosial
Sikap keluarga untuk Latih (simulasi)
membantu klien mengatasi RTL keluarga / jadwal
isolasi sosialnya Keluarga untuk merawat klien
Pengobatan yang SP 2
berkelanjutan dan Evaluasi kemampuan SP 1
mencegah putus obat Latih (langsung ke klien)
Tempat rujukan dan RTL keluarga / jadwal keluarga
fasilitas kesehatan yang untuk merawat klien
tersedia bagi klien SP 3
Evaluasi kemampuan SP 1
Latih (langsung ke klien)
RTL keluarga / jadwal keluarga
untuk merawat klien
SP 4
Evaluasi kemampuan keluarga
Evaluasi kemampuan klien
Rencana tindak lanjut keluarga
Follow up
Rujukan
MASALAH UTAMA: HALUSINASI

1. DEFINISI
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar
suara padahal tidak ada orang yang berbicara.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi: merasakan sensori palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan.
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang
nyata, artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa
stimulus/rangsangan dari luar.
Menurut Maramis (1990) dalam Sunaryo (2004) halusinasi adalah
pencerapan (persepsi) tanpa adanya rangsang apa pun pada panca indra
seseorang, yang terjadi pada keadaan sadar/bangun dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikotik ataupun histerik.
Sehingga, secara umum pengertian dari halusinasi adalah gangguan
persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi, suatu pencerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar,
suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui
pancaindera tanpa stimulus eksternal atau persepsi palsu. Berbeda dengan
ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang
terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata oleh
klien.

2. KLASIFIKASI HALUSINASI
Stuart dan Laria (1998) mengklasifikasikannya seperti tabel berikut :

Jenis Persentase Karakteristik


Halusinasi
Pendengaran 70% Mendengar suara- suara atau
(Auditorik) kebisingan, paling sering suara orang.
Suara berbetuk kebisingan yang
kurang jelas sampai kata- kata yang
jelas berbicara tentang klien bahkan
sampai ke percakapan lengkap antara
2 orang atau lebih tentang orang yang
mengalami halusinasi.

Penglihatan 20% Stimulus visual dalam bentuk kilatan

(Visual) cahaya, gambar geometris, gambar


kartun, bayangan yang rumit atau
kompleks, bayangan bisa
menyenangkan atau menakutkan
seperti melihat monster.
Penghidu Membaui bau- bauan tertentu seperti

(Olfactory) bau darah, urine atau feces.


Umumnya bau- bauan yang tidak
menyenangkan.
Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa
(Gustatory)
darah, urine atau feces.
Perabaan Mengalami nyeri atau
(Tactile)
ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
10%
jelas. Rasa tersetrum listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
Cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran
darah di vena atau arteri, pencernaan
makanan, atau pembentukan urine
Kinesthetic Merasakan pergerakan sementara
berdiri tanpa bergerak

3. RENTANG RESPON

Adaptif Mal Adaptif

Pikiran logis. Kadang-kadang Waham.


proses pikir Halusinasi.
Persepsi. terganggu. Kerusakan proses
Ilusi. emosi.
Akurasi. Emosi berlebihan. Perilaku tidak
Emosi konsisten Perilaku yang tidak terorganisasi.
dengan biasa. Isolasi sosial.
pengalaman. Menarik diri.
Hubungan sosial
harmonis.

4. PENYEBAB
A. Faktor predisposisi (Stuart and Sundeen, 1998 : 305) :
1. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan syaraf
syaraf pusat dapat menimbulkan gangguan realita. Gejala yang
mungkin timbul adalah : hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat
dan muncul perilaku menarik diri
2. Psikologis
Keluarga pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respons psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah : penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan
skizofrenia dan gangguan psikotik lain tapi tidak diyakini sebagai
penyebab utama gangguan. Kondisi sosial budaya mempengaruhi
gangguan orientasi realita seperti : kemiskinan, konflik sosial budaya
(perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stress.

4. Organik
Gangguan orientasi realitas muncul karena kelainan organik yang
mana bisa disebabkan infeksi, racun, trauma atau zat-zat substansi
yang abnormal sera gangguan metabolic masuk didalamnya. (Shiver,
1998 : 2002)

B. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan
setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan
tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap
stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologik yang
maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan
perilaku individu.
d. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor. Pada halusinasi terdapat 3 mekanisme koping yaitu :
Withdrawal : Menarik diri dan klien sudah asyik dengan pengalaman
internalnya.
Proyeksi : Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan (alam mengalihkan respon kepada sesuatu atau
seseorang).
Regresi : Terjadi dalam hubungan sehari-hari untuk memproses
masalah dan mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi
cemas.
Pada klien dengan halusinasi, biasanya menggunakan pertahanan
diri dengan menggunakan pertahanan diri dengan cara proyeksi yaitu untuk
mengurangi perasaan cemasnya, klien menyalahkan orang lain dengan
tujuan menutupi kekurangan yang ada pada dirinya.

5. PROSES TERJADINYA HALUSINASI


Halusinasi berkembang melalui 4 fase, yaitu sebagai berikut:
1. Fase pertama
Disebut juga sebaga fase comforting yaitu fase yang menyenangkan. Pada
tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik: klien
mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian
yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan
memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong
sementara.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respons verbal yang lambat jika
sedang asyik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
2. Fase kedua
Disebut dengan fase condemning atau ansietas berat yaitu halusinasi
menjadi menjijikkan, termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik:
pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan, kecemasan meningkat,
melamun, dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan
yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap dapat
mengontrolnya.
Perilaku klien: meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan
halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas.
3. Fase ketiga
Adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori
menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai
dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap
halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat,
tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase keempat
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat.
Karakteristik: halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah,
dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan
tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.
Perilaku klien: perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau kakatonik, tidak mampu merespons
terhadap perintah kompleks, dan tidak mampu berespons lebih dari satu
orang.

6. JENIS DAN TANDA-TANDA HALUSINASI


Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Bicara atau tertawa Mendengar suara atau
Pendengaran sendiri. kegaduhan.
Marah-marah tanpa Mendengar suara yang
sebab. mengajak bercakap-
Mengarahkan telinga ke cakap.
arah tertentu. Mendengar suara yang
Menutup telinga. menyuruh melakukan
sesuatu yang
berbahaya.
Halusinasi Menunjuk-nunjuk ke Melihat bayangan, sinar
Penglihatan arah tertentu. berbentuk geometris,
Ketakutan kepada bentuk kartoon, melihat
sesuatu yang tidak jelas. hantu atau monster.
Halusinasi Menghidu seperti Membaui bau-bauan
Penghidu sedang membaui bau- seperti bau darah, urine,
bauan tertentu. feses, kadang-kadang
Menutup hidung. bau itu menyenangkan.
Halusinasi Sering meludah. Merasakan rasa seperti
Pengecap Muntah. darah, urine atau feses.
Halusinasi Menggaruk-garuk Menyatakan ada
Perabaan permukaan kulit. serangga di permukaan
kulit.
Merasakan tersengat
listrik.
Manifestasi Klinis Halusinasi sesuai tahapannya
a) Tahap I
Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
Gerakan mata yang cepat
Respon verbal yang lambat
Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
b) Tahap II
Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas
misalnya peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah
Penyempitan kemampuan konsentrasi
Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas
c) Tahap III
Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya
daripada menolaknya
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor,
ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk
d) Tahap IV
Perilaku menyerang teror seperti panik
Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,
menarik diri atau katatonik
Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang
(Budi Anna Keliat, 1999)

7. PENATALAKSANAAN MEDIS HALUSINASI


Penatalaksanaan klien dengan halusinasi adalah dengan pemberian obat-
obatan dan tindakan lain, yaitu :
a) Psiko farmakologis
Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi pendengaran
yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat-
obatan anti-psikosis.
Adapun kelompok obat- obatan umum yang digunakan adalah :
DOSIS
KELAS KIMIA NAMA GENERIK
HARIAN
Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg
Klorpromazin (Thorazine) 30-800 mg
Flufenazin (Prolixine,
1-40 mg
Permiti)
Mesoridazin (Serentil) 30-400 mg
Fenotiazin Perfenazin (Trilafon) 12-64 mg
Proklorperazin (Compazine) 15-150 mg
Promazin (Sparine) 40-1200 mg
Tiodazin (Mellaril) 150-800 mg
Trifluoperazin (Stelazine) 2-40 mg
Trifluopromazine (Vesprin) 60-150 mg
Kloprotiksen (Tarctan) 75-600 mg
Tioksanten
Tiotiksen (Navane) 8-30 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzondiazepine Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Dihidroindolon Molindone (Moban) 15-225 mg

b) Terapi kejang listrik atau Electro Compulcive Therapy (ECT)


c) Terapi Aktivitas kelompok
(Purba, Wahyuni, dkk; 2009)

8. POHON MASALAH
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
PSP : Gangguan Persepsi Sensori (Halusinasi)

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan persepsi sensori

10. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Klien mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
Mengenali klien dapat Bantu klien mengenal isi halusinasi
halusinasi menyebutkan: (isi, waktu, terjadinya, frekuensi,
yang Isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, perasaan saat
dialaminya situasi, pencetus, terjadi halusinasi).
Mengontrol perasaan. Latih mengontrol halusinasi dengan
halusinasinya Mampu cara menghardik
Mengikuti memperagakan cara Tahapan tindakannya meliputi
program dalam mengontrol Jelaskan cara menghardik
pengobatan halusinasi halusinasi.
Peragakan cara menghardik.
Minta klien memperagakan ulang.
Pantau penerapan cara ini, beri
penguatan perilaku pada klien
Masukkan dalam jadwal kegiatan
klien.
Setelah ... x pertemuan, SP 2
klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
Menyebutkan kegiatan Latih berbicara/bercakap dengan
yang sudah dilakukan. orang lain saat halusinasi muncul.
Memperagakan cara Masukkan dalam jadwal kegiatan
bercakap-cakap klien.
dengan orang lain.
Setelah ... x pertemuan SP 3
klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1
Menyebutkan kegiatan dan 2).
yang sudah dilakukan. Latih kegiatan agar halusinasi tidak
Membuat jadwal muncul.
kegiatan sehari-hari Tahapannya :
dan mampu Jelaskan pentingnya aktivitas yang
memperagakannya. teratur untuk mengatasi halusinasi.
Diskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh klien.
Latih klien melakukan aktivitas.
Susun jadwal aktivitas sehari-hari
sesuai dengan aktivitas yang telah
dilatih (dari bangun pagi sampai
tidur malam).
Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan,
berikan penguatan terhadap perilaku
yang (+)
Setelah ... x pertemuan, SP 4
klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1, 2,
Menyebutkan kegiatan & 3).
yang sudah dilakukan. Tanyakan program pengobatan.
Menyebutkan manfaat Jelaskan pentingnya penggunaan
dari program obat pada gangguan jiwa.
pengobatan. Jelaskan akibat bila tidak digunakan
sesuai program.
Jelaskan akibat bila putus obat.
Jelaskan cara mendapatkan
obat/berobat.
Jelaskan pengobatan (prinsip 6
Benar)
Latih klien minum obat
Masukkan dalam jadwal harian klien.
Keluarga mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
Merawat klien di keluarga mampu Identifikasi masalah keluarga dalam
rumah dan menjelaskan tentang merawat klien.
menjadi sistem halusinasi Jelaskan tentang halusinasi
pendukung yang Pengertian halusinasi
efektif untuk Jenis halusinasi yang dialami
klien. klien
Tanda dan gejala halusinasi
Cara merawat klien halusinasi
(cara berkomunikasi,
pemberian obat, dan pemberian
aktivitas kepada klien).
Sumber-sumber pelayanan
kesehatan yang bisa dijangkau.
Bermain peran cara merawat.
RTL keluarga, jadwal keluarga
untuk merawat klien.
Setelah ... x pertemuan, SP 2
keluarga mampu: Evaluasi kemampuan keluarga (SP
Menyelesaikan 1).
kegiatan yang sudah Latih keluarga merawat klien.
dilakukan. RTL keluarga, jadwal keluarga untuk
Memperagakan cara merawat klien.
merawat klien
Setelah ... x pertemuan SP 3
keluarga mampu: Evaluasi kemampuan keluarga (SP
Menyebutkan kegiatan 2).
yang sudah dilakukan. Latih keluarga merawat klien.
Memperagakan cara RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
merawat klien serta merawat klien.
mampu membuat
RTL.
Setelah ... x pertemuan SP 4
keluarga mampu: Evaluasi kemampuan keluarga.
Menyebutkan kegiatan Evaluasi kemampuan klien.
yang sudah dilakukan. RTL keluarga
Melaksanakan follow- Follow up
up rujukan Rujukan
STRATEGI PELAKSANAAN
TINDAKAN KEPERAWATAN HARI KE 1

A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi klien:
- Klien tampak gelisah dan berbicara sendiri.
- Klien mengatakan mendengar bisikan-bisikan gaib.

2. Diagnosa keperawatan:
Gangguan persepsi sensori.

3. Tujuan khusus:
- Klien mampu mengenali halusinasi yang dialaminya
- Klien mampu mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik

4. Tindakan keperawatan:
- Identifikasi halusinasi: isi, frekuensi, waktu terjadi, situasi pencetus,
perasaan, respon.
- Jelaskan cara mengontrol halusinasi: menghardik, obat, bercakap-
cakap, melakukan kegiatan.
- Latih cara mengontrol halusinasi dengan menghardik.
- Masukkan dalam jadwal kegiatan klien untuk latihan menghardik.

B. STRATEGI KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN


KEPERAWATAN
ORIENTASI
1. Salam Terapeutik:
- Mengucapkan salam kepada klien.
- Memperkenalkan nama dan nama panggilan.
- Menanyakan nama dan nama panggilan klien.
Selamat pagi, Ibu! Perkenalkan nama saya Arfianita Ramadhani biasa
dipanggil Arfi, saya mahasiswi dari Universitas Brawijaya Malang yang
akan merawat Ibu hari ini. Oh iya, nama Ibu siapa? Biasanya di panggil
apa?
2. Evaluasi/ Validasi:
- Menanyakan perasaan klien saat ini.
Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Apa yang dirasakan Ibu saat ini?

3. Kontrak: Topik, waktu, dan tempat


- Menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu
mengenal halusinasi yang dialami dan cara mengontrol halusinasi,
serta melakukan kontrak waktu dan tempat.
Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang
selama ini Ibu dengar? Dimana kita mau duduk? Ya baiklah, kita disini
saja. Mau berapa lama kita ngobrolnya? Bagaimana kalau 15 menit?

KERJA: Langkah-Langkah Tindakan keperawatan.


1. Perawat meminta klien untuk menceritakan isi halusinasi, kapan
terjadinya, situasi yang membuat terjadi, perasaan klien saat terjadi
halusinasi.
2. Perawat menjelaskan cara-cara mengatasi halusinasi: menghardik, obat,
bercakap-cakap, melakukan kegiatan..
3. Perawat menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik saat
halusinasi muncul.
4. Perawat memperagakan cara menghardik halusinasi, yaitu: Pergi jangan
ganggu saya.
5. Perawat meminta klien untuk memperagakan cara menghardik halusinasi.
6. Perawat memberikan pujian setelah klien memperagakan cara
menghardik halusinasi.
Apakah Ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan
suara itu?
Apakah Ibu terus mendengar suara itu atau sewaktu-waktu? Kapan Ibu
terakhir kali mendengar suara itu? Berapa kali sehari? Pada waktu Ibu
sedang apa ketika suara itu muncul? Apakah ketika Ibu sendirian?
Apa yang Ibu rasakan pada saat mendengar suara itu? Apa yang Ibu
lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suaranya bisa
hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara itu
muncul?
Ada beberapa cara untuk mencegah suara-suara itu muncul yaitu dengan
menghardik, obat, bercakap-cakap, dan melakukan kegiatan. Tapi hari ini kita
belajar 1 cara dulu, yaitu dengan cara menghardik. Caranya adalah saat
suara-suara itu muncul Ibu langsung menutup telinga dan bilang di dalam
hati Pergi, pergiSaya tidak mau dengar. Jangan ganggu saya!! Begitu
diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi.
Coba sekarang Ibu lakukan!
Nah, begitu...bagus! coba lagi!
Nah bagus, Ibu sudah bisa!

TERMINASI:
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan:
Subyektif:
Perawat menanyakan bagaimana perasaan klien setelah mengikuti
kegiatan.
Bagaimana perasaan Ibu setelah latihan mengusir suara-suara gaib
yang Ibu dengar dengan cara menghardik tadi?

Obyektif:
Perawat meminta klien untuk mengulangi cara mengontrol halusinasi
(menghardik).
Coba Ibu ulangi lagi apa yang sudah kita pelajari hari ini?
Iya bagus, Bu

2. Tindak lanjut klien (apa yang perlu dilatih klien sesuai dengan hasil
tindakan yang telah dilakukan):
- Perawat menganjurkan klien untuk menerapkan cara yang telah
dipelajari jika halusinasi muncul.
- Perawat memasukkan kegiatan menghardik dalam jadwal kegiatan
harian klien.
Kalau suara-suara itu muncul lagi, silahkan Ibu coba cara tersebut.
Terus berlatih ya, Bu
Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja
latihannya?
3. Kontrak yang akan datang (Topik, waktu, dan tempat):
- Menyepakati kegiatan yang akan datang, yaitu cara mengontrol
halusinasi dengan obat.
- Menyepakati waktu dan tempat.
Baiklah Ibu, besok kita akan bertemu untuk belajar dan melatih cara
kedua mengontrol halusinasi yaitu dengan becakap-cakap dengan orang
lain.
Ibu mau dimana tempatnya? Oh, Ibu ingin tetap di sini saja ya?
Jam berapa Ibu bisa? Bagaimana kalau jam 10 saja? Waktunya kurang
lebih 15 menit saja.
Baiklah, sampai jumpa.
MASALAH UTAMA: WAHAM

1. DEFINISI
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol
(DEPKES RI, 2000).
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian
realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons
stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi atau informasi
secara akurat (Keliat, 1999).

2. RENTANG RESPON

Adaptif Mal Adaptif

Pikiran logis. Kadang-kadang Waham.


proses pikir Halusinasi.
Persepsi. terganggu. Kerusakan proses
Ilusi. emosi.
Akurasi. Emosi berlebihan. Perilaku tidak
3. TANDA dan GEJALA
Tanda dan gejalakonsisten
Emosi Perilaku
pada klien dengan yang tidak
perubahan terorganisasi.
proses pikir: waham adalah
biasa. Isolasi sosial.
sebagaidengan
berikut: Menarik diri.
pengalaman.
Menolak makan.
Tidak ada perhatian
Perilaku cocok. pada perawatan diri.
Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan.
Gerakan
Hubungan sosial
tidak terkontrol.
Mudahharmonis.
tersinggung.
Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan.
Menghindar dari orang lain.
Mendominasi pembicaraan.
Berbicara kasar.
Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan (Direja, 2011).

4. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di
otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
Faktor genetik (Direja, 2011)

5. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti
atau diasingkan dari kelompok.
Faktor biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
Faktor psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan (Direja, 2011).

6. JENIS WAHAM
Waham kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau
kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
saya ini pejabat di kementrian kesehatan!
saya punya perusahaan paling besar di dunia lho...
Waham agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
kalau saya mau masuk syurga, saya harus memakai pakaian serba putih
dan mengalungkan tasbih setiap hari.
saya adalah Tuhan yang bisa mengendalikan makhluk.
Waham curiga
Keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh: saya tahu... semua keluarga saya ingin menghancurkan hidup
saya karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang dialami saya.
Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu aau
terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh:
saya menderita kanker (padahal hasil pemeriksaan lab tidak ada sel
kanker pada tubuhnya).
Waham nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
ini alam kubur kan ya, semua yang ada disini adalah roh.

7. STATUS MENTAL
Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, tetapi mungkin terlihat
eksentrik dan aneh. Tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan terhadap
orang lain. Klien biasanya cerdik ketika dilakukan pemeriksaan sehingga
dapat memanipulasi data. Selain itu perasaan hatinya konsisten dengan isi
waham.

8. SENSORI dan KOGNISI


Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik
terhadap orang, tempat, dan waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya
akurat. Pengendalian impuls pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat
adanya rencana untuk bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan
pada orang lain.
Gangguan proses pikir: waham biasanya diawali dengan adanya riwayat
penyakit berupa kerusakan pada bagian korteks dan limbik otak. Bisa
dikarenakan terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung terjadinya
perubahan emosional seseorang yang tidak stabil. Bila berkepanjangan akan
menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain
dan lingkungan. Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respons
lingkungan kurang mendukung terhadap perilakunya dimungkinkan akan
timbul risiko perilaku kekerasan pada orang lain.
9. POHON MASALAH
Effect Resiko tinggi perilaku kekerasan

Core Problem Perubahan sensori waham

Causa Isolasi sosial: menarik diri

Harga diri rendah kronis

10. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


b. Resiko tinggi perilaku kekerasan
c. Perubahan proses pikir : waham
d. Isolasi sosial
e. Harga diri rendah

11. DATA YANG PELRU DIKAJI


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perubahan proses pikir : waham Subjektif
Klien mengatakan bahwa dirinya
adalah orang yang paling hebat.
Klien mengatakan bahwa ia
memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus.
Objektif
Klien terlihat terus ngoceh tentang
kemampuan yang dimilikinya.
Pembicaraan klien cenderung
berulang.
Isi pembicaraan tidak sesuai
dengan kenyataan.

12. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perubahan proses pikir : waham

13. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Klien mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
Berorientasi klien dapat memenuhi Identifikasi kebutuhan klien
kepada realitas kebutuhannya. Bicara konteks realita (tidak
secara bertahap mendukung atau membantah
Mampu waham klien)
berinteraksi Latih klien untuk memenuhi
dengan orang lain kebutuhannya dasar
dan lingkungan Masukkan dalam jadwal harian klien
Menggunakan Setelah ... x pertemuan, SP 2
obat dengan klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
prinsip 6 benar Menyebutkan Identifikasi potensi/kemampuan
kegiatan yang sudah yang dimiliki.
dilakukan Pilih dan latih kompetensi atau
Mampu menyebutkan kemampuan yang dimiliki
serta memilih Masukkan dalam jadwal kegiatan
kemampuan yang klien
dimiliki
Setelah ... x pertemuan SP 3
klien dapat Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1
menyebutkan kegiatan dan 2)
yang sudah dilakukan Pilih kemampuan yang dapat
dan mampu memilih dilakukan
kemampuan lain yang Pilih dan latih potensi kemampuan
dimiliki lain yang dimiliki
Masukkan dalam jadwal kegiatan
klien
Keluarga mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
Mengidentifikasi keluarga mampu Identifikasi masalah keluarga dalam
waham klien mengidentifikasi merawat klien
Memfasilitasi masalah dan Jelaskan proses terjadinya waham
klien untuk menjelaskan cara Jelaskan tentang cara merawat klien
memenuhi merawat klien waham
kebutuhannya Latih (stimulasi) cara merawat
Mempertahankan RTL keluarga / jadwal merawat klien
program Setelah ... x pertemuan, SP 2
pengobatan klien keluarga mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
secara optimal Menyebutkan kegiatan Latih keluarga cara merawat klien
yang sesuai dilakukan (langsung ke klien)
Mampu RTL keluarga
memperagakan cara
merawat klien
Setelah ... x pertemuan, SP 3
keluarga mampu Evaluasi kemampuan keluarga (SP
mengidentifikasi 2)
masalah dan mampu Evaluasi kemampuan klien
menjelaskan cara RTL keluarga
merawat klien. Follow up
Rujukan
MASALAH UTAMA: PERILAKU KEKERASAN

1. DEFINISI
Menurut Kusumawati dan Hartono (2010) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.

2. TANDA dan GEJALA


Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, ketus.
Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
dan kreativitas terhambat.
Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual (Direja, 2011).

3. RENTANG RESPON

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan:
Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol (Direja, 2011).
PASIF ASERTIF AGRESIF
ISI negatif dan positif dan menyombongkan
PEMBICARAAN merendahkan diri, menawarkan diri, diri, merendahkan
contohnya contohnya orang lain,
perkataan: perkataan: contohnya
dapatkah saya? saya dapat ... perkataan:
dapatkah kamu? saya akan... kamu selalu..
kamu tidak
pernah..
TEKANAN cepat lambat, sedang keras dan ngotot
SUARA mengeluh
POSISI BADAN menundukkan tegap dan santai kaku, condong ke
kepala depan
JARAK menjaga jarak mempertahankan siap dengan jarak
dengan sikap jarak yang akan menyerang
acuh/mengabaikan nyaman orang lain
PENAMPILAN loyo, tidak dapat sikap tenang mengancam,
tenang posisi menyerang
KONTAK MATA sedikit/sama sekali mempertahankan mata melotot dan
tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan

4. FAKTOR PREDISPOSISI
a. Faktor psikologis
Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
perilaku kekerasan.
Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
Rasa frustasi.
Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga atau lingkungan.
Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya
harga diri pelaku tindak kekerasan.
Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipeljari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori
menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-respons
yang lain. Faktor ini dapat dipelajari emlalui observasi atau imitasi, dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat emmbantu mendefinisikan ekspresi marah
yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata menimbulkan
perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal
(untuk interpretasi indera penciuman dan memori) akan menimbulkan mata
terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada
disekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut:
Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif.
Pengaruh biokimia/menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan
7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting
yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan geentik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana).
Gangguan otak, sindrom otak organikberhubungan dengan gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal),
trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal)
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kriminal
(Direja, 2011).
5. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) secara umum seseorang akan marah jika dirinya
merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep
diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri
maupun eksternal dari lingkungan.
Lingkungan: panas, padat, dan bising.
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat
menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai
berikut:
Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
Ketidakpastian seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa.
Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat
menghadapi rasa frustasi.
Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

6. MEKANISME KOPING
Menurut Direja (2011) perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping
klien, sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme
koping yang konstruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
diplacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain:
Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi
HCL meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urin dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal,
tubuh menjadi kaku, dan disertai reflek meningkat.
Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif.
Perilaku asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik
maupun psikologis dan dengan perilaku tersebut individu juga dapat
mengembangkan diri.
Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.

7. POHON MASALAH

Perilaku kekerasan GPS: Halusinasi

Regimen terapeutik inefektif Harga diri rendah kronis Isolasi sosial : menarik diri

Koping keluarga tidak efektif Berduka disfungsional

8. MASALAH KEPERAWATAN
b. Perilaku kekerasan
c. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
d. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
e. Harga diri rendah kronis
f. Isolasi sosial
g. Berduka disfungsional
h. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
i. Koping keluarga inefektif
9. DATA YANG PERLU DIKAJI
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perilaku Kekerasan Subyektif
Klien mengancam
Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
Klien mengatakan dendam dan jengkel
Klien mengatakan ingin berkelahi
Klien menyalahkan dan menuntut
Klien meremehkan
Objektif
Mata melotot/pandangan tajam
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras
Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
b. Stimulus lingkungan
c. Konflik interpersonal
d. Status mental
e. Putus obat
f. Penyalahgunaan narkoba/alkohol

10. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku kekerasan

11. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Klien mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
Mengidentifikasi klien mampu: Identifikasi penyebab, tanda,
penyebab dan Menyebutkan dan gejala serta akibat perilaku
tanda perilaku penyebab, tanda, kekerasan
kekerasan gejala, dan akibat Latih cara fisik 1: tarik napas
Menyebutkan jenis perilaku kekerasan dalam
perilaku kekerasan Memperagakan cara Masukkan dalam jadwal harian
yang pernah fisik 1 untuk mengontrol klien
dilakukan. perilaku kekerasan
Menyebutkan Setelah ... x pertemuan, SP 2
akibat dari perilaku klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
kekerasan yang Menyebutkan kegiatan 1)
dilakukan yang sudah dilakukan Latih cara fisik 2: pukul kasur /
Menyebutkan cara Memperagakan cara bantal
mengontrol fisik untuk mengontrol Masukkan dalam jadwal harian
perilaku kekerasan perilaku kekerasan klien
Mengontrol Setelah ... x pertemuan, SP 3
perilaku klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
kekerasannya Menyebutkan kegiatan 1 dan 2)
dengan cara: yang sudah dilakukan Latih secara sosial / verbal
Fisik Memperagakan cara Menolak dengan baik
Sosial atau verbal sosial / verbal untuk Meminta dengan baik
Spiritual mengontrol perilaku Mengungkapkan dengan baik
Terapi kekerasan Masukkan dalam jadwal harian
psikofarmaka klien
(obat) Setelah ... x pertemuan, SP 4
klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
Menyebutkan kegiatan 1, 2, & 3)
yang sudah dilakukan Latih secara spiritual:
Memperagakan cara Berdoa
spiritual Sholat
Masukkan dalam jadwal harian
klien
Setelah ... x pertemuan, SP 5
klien mampu: Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
Menyebutkan kegiatan 1, 2, 3, 4)
yang sudah dilakukan Latih patuh obat:
Memperagakan cara Minum obat secara teratur
patuh obat dengan prinsip 5B
Susun jadwal minum obat
secara teratur
Masukkan dalam jadwal harian
klien
Keluarga mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
Merawat klien di keluarga mampu Identifikasi masalah yang
rumah menjelaskan penyebab, dirasakan keluarga dalam
tanda dan gejala, akibat merawat klien.
serta mampu Jelaskan tentang perilaku
memperagakan cara kekerasan:
merawat. Penyebab
Akibat
Cara merawat
Latih cara merawat
RTL keluarga / jadwal untuk
merawat klien
Setelah ... x pertemuan, SP 2
keluarga mampu Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
menyebutkan kegiatan 1)
yang sudah dilakukan dan Latih (simulasi) 2 cara lain
mampu merawat serta untuk merawat klien.
dapat membuat RTL Latih langsung ke klien
RTL keluarga / jadwal keluarga
untuk merawat klien
Setelah ... x pertemuan, SP 3
keluarga mampu Evaluasi SP 1 dan SP 2
menyebutkan kegiatan Latih langsung ke klien
yang sudah dilakukan dan RTL keluarga/jadwal keluarga
mampu merawat serta untuk merawat klien
dapat membuat RTL
Setelah ... x pertemuan, SP 4
keluarga mampu Evaluasi SP 1, 2 & 3
melaksanakan follow up Latih langsung ke klien
dan rujukan serta mampu RTL keluarga
menyebutkan kegiatan Follow up
yang sudah dilakukan Rujukan
MASALAH UTAMA: DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. DEFINISI
Menurut DEPKES (2000) dalam Direja (2011) perawatan diri adalah salah
satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna
mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan
dirinya jika tidak dapat melakukan perawatn diri.
Menurut Nurjannah (2004) dalam Direja (2011) defisit perawatan diri
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan, toileting).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000) dalam Direja (2011) kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya.
Defisit perawatan diri juga dapat diartikan sebagai keadaan ketika individu
mengalami suatu kerusakan fungsi kognitif atau fungsi motorik, yang
menyebabkan penurunan kemampuan untu melakukan perawatan diri
(NANDA, 2009)

2. TANDA GEJALA
Menurut Depkes (2000) dalam Fitria, 2009 tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri adalah:
1. Fisik
Badan bau, pakaian kotor.
Rambut dan kulit kotor.
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut bau penampilan tidak rapi
2. Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif.
Menarik diri, isolasi diri.
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Sosial
Interaksi kurang.
Kegiatan kurang
Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri.

Batasan karakteristik dari deficit perawatan diri yaitu :


Disorientasi
Kesulitan mengenali benda-benda yang digunakan dalam perawatan
Kotor atau berpakaian tang tidak tepat
Tidak dapat merapikan rambut atau kuku
Tidak makan, makan makanan basi, atau tidak dimasak

3. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress (Stuart
& Sundeen, 1998).
Faktor Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri seperti stroke.
Faktor Psikologis : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Pada individu yang
mengalami kelemahan untuk melakukan perawatan diri sering kali
keluarga membiarkan individu tersebut untuk tergantung dengan orang
lain saat memenuhi perawatn dirinya sehingga individu tersebut terbiasa
dengan kondisi tersebut.
Faktor Sosiobudaya : Kurang dukungan dan latihan kemampuan
perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.

4. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan dan yang memerlukan energi ekstra untuk
koping (Stuart & Sundeen, 1998).
Sifat
Sifatnya berupa aspek psikologis dan sosial. Dari aspek psikologis
kemungkinan diakibatkan karena seseorang yang menderita penyakit
kronis ataupun gangguan kejiwaan lain sehingga secara psikologis
mereka mengalami penurunan motivasi dan kecemasan. Dari aspek
sosial ini berasal dari keluarga atau lingkungan sekitar. Dari aspek
biologis berupa kerusakan kognisi atau perceptual dan kelemahan.
Waktu
Yang perlu dikaji adalah lamanya klien tidak mampu melakukan
perawatan diri. Biasanya hal ini terjadi jika seseorang telah lama
menderita penyakit kronis.
Asal
Sumber penyebab deficit perawatan diri bisa berasal dari faktor internal
seperti keluarga yang memanjakan atau justru malah membiarkan dalam
hal perawatan diri.
Jumlah
Pengkajian mengenai kuantitas atau seberapa besar defisit perawatan diri
yang dialami dalam satu periode

5. JENIS DEFISIT PERAWATAN DIRI


Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu, atau aliran
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta
masuk dan keluar kamar mandi.
Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan
pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan,
menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos
kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan,
mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.
Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka
kontainer, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari
wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makanan, mencerna
makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau
gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
BAB/BAK
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban,
memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK
dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan perawatan diri di atas biasanya diakibatkan karena
stressor yang cukup berat dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa
mengalami harga diri rendah), sehingga dirinya tidak mau mengurus atau
merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan,
maupun BAB dan BAK. Bila tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka
kemungkinan klien bisa mengalami masalah risiko tinggi isolasi sosial
(Direja, 2011).

6. POHON MASALAH

Effect Risiko Tinggi PK

Defisit Perawatan Diri


Core Problem

HDR Kronis
Causa

Koping Individu Tidak Efektif

7. MASALAH KEPERAWATAN yang MUNGKIN MUNCUL


Defisit perawatan diri
Harga diri rendah
Risiko tinggi isolasi sosial
8. Data Yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Defisit perawatan diri
Subjektif:
Klien mengatakan dirinya malas mandi
karena airnya dingin, atau RS tidak tersedia
alat mandi.
Klien mengatakan dirinya malas berdandan.
Klien mengatakan ingin disuapi makan.
Klien mengatakan jarang membersihkan alat
kelaminnya setelah BAK maupun BAB.
Objektif:
Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan
kotor.
Ketidakmampuan berpakaian/berhias
ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak
sesuai, tidak bercukur (laki-laki), atau tidak
berdandan (wanita).
Ketidakmampuan makan secara mandiri
ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan
berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya.
Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai BAB/BAK tidak pada tempatnya,
tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Defisit perawatan diri
10. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Tujuan:
Klien Keluarga
Klien mampu: Keluarga mampu merawat anggota
Melakukan kebersihan diri sendiri keluarga yang mengalami masalah
secara mandiri. kurang perawatan diri
Melakukan berhias/berdandan
secara baik.
Melakukan makan dengan baik.
Melakukan BAB/BAK secara
mandiri.

Kriteria Hasil
Klien Keluarga
Setelah .......x pertemuan, klien dapat Setelah ...x pertemuan, keluarga
menjelaskan pentingnya: mampu meneruskan melatih klien
Kebersihan diri dan mendukung agar kemampuan
Berdandan/berhias klien dalam perawatan dirinya
Makan meningkat.
BAB/BAK
Dan mampu melakukan cara
merawat diri

Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk


Dx Klien keluarga

SP 1 SP 1

1. Jelaskan pentingnya 1. Jelaskan masalah yang


kebersihan diri dirasakan keluarga dalam
2. Jelaskan cara menjaga merawat klien
kebersihan diri 2. Jelaskan pengertian, tanda
3. Bantu klien mempraktekkan dan gejala defisit perawatan
cara menjaga kebersihan diri diri dan jenis defisit
4. Anjurkan klien memasukkan perawatan diri yang dialami
dalam jadwal kegiatan klien, serta proses terjadinya
3. Jelaskan cara merawat klien
dengan defisit perawatan diri
SP 2 SP 2

1. Evaluasi jadwal kegiatan 1. Latih keluarga


harian klien mempraktekkan cara
2. Jelaskan cara makan yang merawat klien dengan
baik defisit perawatan diri
3. Bantu klien mempraktekkan 2. Latih keluarga melakukan
cara makan yang baik cara merawat langsung
4. Anjurkan klien memasukkan kepada klien defisit
dalam jadwal kegiatan harian perawatan diri
SP 3 SP 3

1. Evaluasi jadwal kegiatan 1. Bantu keluarga membuat


harian klien jadwal aktivitas di rumah
2. Jelaskan cara eliminasi yang termasuk minum obat
baik (dischange planning)
3. Bantu klien mempraktekkan 2. Jelaskan follow up klien
cara eliminasi yang baik setelah pulang
4. Anjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 4

1. Evaluasi jadwal kegiatan


harian klien
2. Jelaskan cara berdandan
3. Bantu klien mempraktekkan
cara berdandan
4. Anjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
MASALAH UTAMA: RESIKO BUNUH DIRI

1. DEFINISI
Menurut Fitria (2009) dalam Direja (2011) bunuh diri adalah suatu
keadaan dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau
melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Direja (2011) perilaku
desruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktifitas bunuh diri, niatnya
adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai suatu yang
diinginkan.
Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk
membunuh diri sendiri. Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu
yang mengalami gangguan mood, terutama depresi (Videbeck, 2008).
Menurut Edwin Shneidman (1953, 1981) dalam Videbeck (2008)
mendefinisikan dua kategori bunuh diri: langsung dan tidak langsung.
Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk
mengakhiri hidup seperti pengorbanan diri (membakar diri), menggantung
diri, menembak diri sendiri, meracuni diri, melompat dari tempat yang
tinggi, menenggelamkan diri, atau sufokasi. Bunuh diri tidak langsung
adalah keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai
dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat, makan
berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis,
atau olahraga atau pekerjaan yang membahayakan.

2. TANDA dan GEJALA


Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang tersebut tidak
membuat rencana yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan
rencana bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan, celaan terhadap diri
sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi
dan gelisah, insomnia yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban,
keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial. Adapun petunjuk psikiatrik
antara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, alkoholisme dan
penyalahgunaan obat, kelainan tindakan dan depresi mental pada remaja,
demensia dini/status kekacauan mental pada lansia. Sedangkan riwayat
psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/kehilangan, hidup sendiri, tidak
bekerja, perubahan/kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor
kepribadian: implisit, agresif, rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif,
keputusasaan, HDR, batasan/gangguan kepribadian antisosial (UNIMUS,
2013).

3. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Stuart GW & Laraia (2005) dalam UNIMUS (2013), faktor
predisposisi bunuh diri antara lain:
Diagnostik >90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya risiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian,
kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
risiko penting untuk perilaku destruktif.
Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan perilaku
destruktif diri.

4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut UNIMUS (2013) faktor pencetus seseorang melakukan bunuh diri
adalah:
Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress.
Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada
diri sendiri.
Cara untuk mengakhiri keputusan.
5. MEKANISME KOPING
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, dan magical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada
seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman
bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi
merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang
(Direja, 2011).

6. POHON MASALAH

Effect Bunuh Diri

Core Problem Risiko Bunuh Diri

Causa Isolasi Sosial

HDR Kronis

7. MASALAH KEPERAWATAN yang MUNGKIN MUNCUL


Risiko bunuh diri
Bunuh diri
Isolasi sosial
Harga diri rendah kronis (Direja, 2011).

8. DATA yang PERLU DIKAJI


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Risiko bunuh diri Subjektif:
Mengungkapkan keinginan bunuh diri
Mengungkapkan keinginan untuk mati
Mengungkapkan rasa bersalah dan
keputusasaan
Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri
sebelumnya dari keluarga
Berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang dosis obat yang mematikan
Mengungkapkan adanya konflik interpersonal
Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku
kekerasan saat kecil
Objektif:
Impulsif
Menunjukkan perilaku yang mencurigakan
(biasanya menjadi sangat patuh)
Ada riwayat penyakit mental (depresi psikosis,
dan penyalahgunaan alkohol)
Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau
penyakit terminal)
Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan
pekerjaan, atau kegagalan dalam karier)
Status perkawinan yang tidak harmonis

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko Bunuh Diri

10. ASKEP
Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Dx Klien keluarga

SP 1 SP 1

1. Identifikasi benda-benda yang 1. Jelaskan masalah yang


dapat membahayakan klien dirasakan keluarga dalam
2. Amankan benda-benda yang merawat klien
dapat membahayakan klien 2. Jelaskan pengertian, tanda
3. Lakukan kontrak treatment dan gejala risiko bunuh diri
4. Ajarkan cara mengendalikan dan jenis perilaku bunuh diri
dorongan bunuh diri yang dialami klien, serta
5. Latih cara mengendalikan proses terjadinya
dorongan bunuh diri 3. Jelaskan cara merawat klien
dengan risiko bunuh diri
SP 2 SP 2

1. Identifikasi aspek positif klien 1. Latih keluarga


2. Dorong klien untuk berpikit mempraktekkan cara
positif terhadap diri merawat klien dengan risiko
3. Dorong klien untuk bunuh diri
menghargai diri sebagai 2. Latih keluarga melakukan
individu yang berharga cara merawat langsung klien
risiko bunuh diri
SP 3 SP 3

1. Identifikasi pola koping yang 1. Bantu keluarga membuat


biasa diterapkan klien jadwal aktivitas di rumah
2. Nilai pola koping yang biasa termasuk minum obat
digunakan (dischange planning)
3. Identifikasi pola koping yang 2. Jelaskan follow up klien
konstruktif setelah pulang
4. Dorong klien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Anjurkan klien menerapkan
pola koping konstruktif dalam
kegiatan harian
SP 4

1. Buat rencana masa depan


yang realistis bersama klien
2. Identifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang
realistis
3. Beri dorongan klien
melakukan kegiatan dalam
rangka meraih masa depan
yang realistis
DAFTAR PUSTAKA

Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia :
Lipincott-Raven Publisher. 1998
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. EGC :
Jakarta
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa.
2000. Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa . Jakarta
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1 Keperawatan.
Jakarta. Salemba Medika.
Gondohutomo, Amino. 2008. Defisit perawatan diri. http://rs-
amino.jatengprov.go.id/index.php/home-rsj/1-latest-news/1-defisit-
perawatan-diri. Diakses tanggal 8 Oktober 2010 pukul 16.44 WIB
Herdman, T.Heater, Phd, RN. 2012. NANDA International NURSING
DIAGNOSIS: DEFINITIONS & CLASSIFICATION 2012-2014. United
Kingdom: WILEY-BLACKWELL.
Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 2005
Keliat Budi Anna, dkk. 1987. Proses Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC
Keliat Budi, Anna. 1995. Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien
Gangguan Jiwa . Jakarta: EGC
Maramis, W.F. 1990. Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya: Erlangga Universitas
Press
Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan
Keluarga . Jakarta: CV. Sagung Seto
St Louis Mosby Year Book.1995
Stuart, G.W and Sundeen. Principle and practice of psychiatric nursing. 5thed.
Stuart, Gail W & Sandra J. Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi
3. EGC. Jakarta
Stuart. G.W and Laraia. Principle and practice of psychiatric nursing.7thed. St
Louis Mosby Year Book. 2001
Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.
Bandung : RSJP Bandung. 2000
Townsed, Mary C. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
Psikiatri:pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Edisi ketiga.
Alih Bahasa: Novi Helera C.D. Jakarta. EGC. Jakarta1998.
Videbeck SL. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Videbeck, Sheila L. 2088. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Yosep,Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai