Anda di halaman 1dari 15

Faktor Resiko

1. Gangguan fungsi ginjal sebelumnya


Tanpa melihat penyebabnya, gangguan fungsi ginjal yang telah ada
tampaknya menjadi faktor risiko penting CIN. Pada satu studi dikatakan 50% dari
pasien dengan nilai kreatinin 176 mol/L (2 mg/dL) makin memperburuk fungsi
ginjal.2 Pada dua studi lain dengan populasi yang kreatinin dasar rata-rata 2.5
mg/dL (220 mol/L), terjadi komplikasi CIN pada 30-50% pasien.
Pasien yang menjalani kateterisasi jantung, menemukan bahwa
risiko terjadi CIN lebih rendah (menggunakan definisi kenaikan kreatinin
serum > 0.5 mg/dL) pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, tapi
risiko akan tinggi pada pasien dengan riwayat azotemia (kreatinin serum
>1.2 mg/dL). Resiko meningkat secara eksponensial pada kreatinin serum
2 mg/dl.10 Penelitian lain mendapatkan hubungan sangat signifikan antara
peningkatan kreatinin dasar dan frekuensi nefrotoksik ( bervariasi mulai
2% pada kreatinin dasar < 1.5 mg/dL sampai 20% dengan kreatinin > 2.5
mg/dL). Studi kohort besar oleh Levy dkk menunjukkan bahwa walau
gangguan fungsi ginjal yang terjadi itu ringan tapi dapat menjadi masalah
besar dengan menurun nya laju filtrasi glomerolus.
2. Diabetes melitus dengan insufisiensi ginjal
Diabetes melitus dengan insufisiensi ginjal telah dibuktikan sebagai
faktor risiko independen CIN, dimana sebanyak 56% dari kasus menjadi gagal
ginjal yang menetap. Tambahan lagi pasien diabetes mellitus yang menderita
gagal ginjal kronik lanjut (kreatinin > 3.5 mg/dL) karena sebab selain nefropati
diabetikum mempunyai risiko yang lebih tinggi lagi untuk menjadi CIN.
Beberapa penulis menduga bahwa diabetes melitus saja mungkin merupakan
faktor risiko independen untuk terjadinya CIN. Tetapi Parfrey dkk pada
penelitian prospektif menunjukkan bahwa tak ada satupun dari 85 pasien diabetes
dengan fungsi ginjal normal berkembang menjadi gangguan ginjal yang
signifikan (ditunjukkan dengan peningkatan kreatinin serum > 59%) setelah
terpapar media kontras.
3. Status hidrasi yang kurang
Berkurangnya status hidrasi ( disebabkan gagal jantung kongesti,
sirosis hati atau kehilangan cairan yang abnormal), hipotensi yang lama (
khususnya bila disebabkan terapi kombinasi ACE inhibitor dan furosemid)
serta dehidrasi telah dilaporkan memberi kontribusi berkurangnya perfusi
ginjal prarenal, yang kemudian membuat iskemia. Penting diperhatikan
penilaian status hidrasi secara klinis saja tidak selalu dapat dipercaya.
Beberapa metode pengukuran dapat meningkatkan akurasi penilaian status
hidrasi diantaranya pengukuran diameter vena kava inferior dan indeks
kolaps vena kava inferior, tekanan atrial rata-rata, volume tubuh total yang
ditentukan dengan metode albumin serum radioiodinasi dan bioimpedans
elektrik. Prediksi non-invasif dari tekanan baji kapiler pulmonal
(pulmonary capillary wedge pressure/PCWP) penting untuk diagnosa.
Kombinasi parameter klinik dan beberapa metode ini dipandang lebih
akurat untuk mengevaluasi status hidrasi pasien.
4. Volume dan waktu pemberian media kontras
Dosis besar dan pemberian media kontras yang multipel dalam 72
jam meningkatkan risiko pasien untuk terjadinya CIN. Dosis letal, 50%
(LD 50) diatrizoat, media kontras osmolaritas tinggi (hiperosmolar
contrast media/HOCM), pada tikus diperkirakan 7.6 g l/kg, sedang dosis
letal iohexol, media kontras osmolaritas rendah (low osmolar media
contrast/LOCM), adalah 24.2 g l/kg. Tapi sayangnya nilai dosis letal pada
tikus tidak dapat memprediksi bagaimana media kontras akan
mempengaruhi ginjal manusia.
Rumusan volume media kontras berdasarkan berat badan pada
pasien yang menjalani angiografi koroner. Batasannya adalah 5 ml media
kontras per kilogram berat badan dengan maksimal 300 ml, dibagi nilai
kreatinin serum (dalam mg/dl). Terjadi nefropati pada 21% pasien yang
penggunaan media kontras nya melebihi formula yang dibuat
dibandingkan dengan hanya 2% saja pasien yang menggunakan volume
kontras dalam batasan yang dibuat.
5. Osmolaritas kontras
Pada studi klinis besar dan meta analisis menunjukkan bahwa
penggunaan media kontras osmolaritas rendah (LOCM) menurunkan risiko
nefropati dibandingkan dengan penggunaan media kontras osmolaritas tinggi
(HOCM) pada pasien risiko tinggi. Kenyataan ini terlihat hanya pada pasien
dengan disfungsi ginjal sebelumnya dimana material kontras diberikan secara
intraarteri. Tapi tak terlihat perbedaan manfaat pada pasien dengan fungsi ginjal
normal (dengan atau tanpa diabetes) dimana material kontras diberikan secara
intravena.
Studi terbaru memperkirakan bahwa iodixanol, media kontras dimer
isoosmolar non ionik (iso osmlar contrast media/IOCM) dengan tingkat toksisitas
yang lebih rendah daripada media kontras osmolaritas rendah (LOCM),
mempunyai manfaat yang berarti pada kelompok pasien resiko tinggi untuk
terjadinya CIN. Masih perlu penelitian klinik lebih lanjut untuk membuktikan
peran osmolaritas media kontras sebagai faktor risiko independen dan pilihan
pemberiannya.
Pertanyaan berikut adalah apakah terdapat perbedaan antara media
kontras monomer non-ionik dan dimer non-inoik. Penelitian oleh Chalmers dan
Jackson menunjukkan insidens CIN (peningkatan kreatinin serum 10%) yang
lebih rendah dengan menggunakan iodixanol. Tapi kriteria itu tidak umum
dipakai. Dengan menggunakan definisi kenaikan kreatinin serum 25%, tidak
dijumpai perbedaan diantara keduanya. Suatu penelitian kontrol yang lebih besar,
NEPHRIC, oleh Aspelin dkk, secara prospektif mengevaluasi 129 pasien dengan
diabetes melitus dan peningkatan kreatinin serum berkisar 1.5 3.5 mg/dL yang
menjalani angiografi koroner atau perifer menemukan bahwa kenaikan kreatinin
puncak rata-rata pada hari ketiga sampai ketujuh adalah 0.13 mg/dl dengan
iodixanol dan 0.55 mg/dl dengan iohexol (monomer non-ionik).
Insidens kenaikan kreatinin > 1 mg/dl ditemukan nol diantara 64 pasien
yang menggunakan iodixanol dan 10 diantara 65 pasien yang menggunakan
iohexol. Selain itu sebuah studi kecil pada pasien dengan peningkatan kreatinin
serum ringan sampai sedang yang menjalani urografi intravena, tidak
memperlihatkan perbedaan antara iodixanol dan iopamidol.
CIN terjadi dengan frekuensi 3-33% pada penelitian dengan iodixanol,
21-26% pada penelitian dengan iohexol, 6-12% dengan iopamidol, 16% pada
penelitian dengan iomeprol dan 11% dengan iopromide. Keakuratan
perbandingan ini belum jelas karena ketidaksamaan variabel yang digunakan,
termasuk bersihan kreatinin hitung (CCC), tempat pemberian kontras, dosis
pemberiannya, ada atau tidaknya diabetes mellitus, kondisi hidrasi pasien dan ada
atau tidaknya faktor risiko lain, tidak sama. menunjukkan perbandingan CIN
pada penggunaan berbagai media kontras.

Diagnosis
Diagnosis dapat diperkirakan dengan adanya oliguria setelah 24 48 jam
pemberian radiokontras. Diagnosis pre renal dan post renal juga harus tetap
dipertimbangkan, faktor komorbid seperti sepsis, gagal hati, pemaparan nefrotoksin
lainnya dan emboli kolesterol. Satu gambaran yang sering ditemukan adalah konsentrasi
natrium urine dan fraksi eksresi natrium menjadi rendah. Urinalisis menunjukkan cast
nekrosis tubular akut. Terdapat elemen seperti cast, debris di urine pada pasien yang
mendapat radiokontras, adanya kristal urat amorphic dan menunjukkan eksresi kristal
kalsium berat. Adanya nefrogram yang persisten setelah 24 48 jam setelah pemberian
radiokontras merupakan sebuah karakteristik.
Nefrogram persisten merupakan indikator yang sensitive untuk gagal ginjal akut
(83 % pasien gagal ginjal akut dengan nefrogram positif). Dengan spesifikasi tinggi (
93% pasien tanpa gagal ginjal akut tidak dengan nefrogram persisten). Adanya biomarker
urine dikeluarkan dari sel tubulus seperti gamma glutamyltranspeptidase, alanin
aminopeptidase, alkaline phospatase atau N asetil beta glucosaminidase, protacted
enzimuria, lima hari setelah radiokontras merupakan indikasi kerusakan tubulus.

Penatalaksanaan
Pengobatan yang telah dipercaya untuk nefropati akibat media kontras harusnya
dimulai dengan pengenalan gangguan ginjal setelah pemberiannya. Pada pasien-pasien
dengan risiko tinggi, fungsi ginjal harus dimonitor lebih hati-hati dengan mengukur nilai
kreatinin serum sebelum dan tiap hari selama 5 hari setelah pemberian media kontras atau
prosedur radiografi. Bila CIN teridentifikasi, penangananya sama seperti yang dilakukan
terhadap gagal ginjal akut karena sebab lainnya.
Perawatan rumah sakit dan monitor berkala elektrolit serum diperlukan untuk
mencegah hiperkalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipermagnesemia
dan asidosis metabolik yang berhubungan dengan kasus gagal ginjal akut tersebut.
Pemberian nutrisi yang tepat dan sesuai serta perhatikan asupan dan keluaran cairan yang
sesuai dengan kebutuhan, sampai nilai kreatinin kembali seperti semula. Kenaikan fosfat
yang tinggi bisa diterapi menggunakan pengikat fosfat (phosphate binder) seperti kalsium
karbonat (calcium carbonate); hiperkalemia diterapi dengan restriksi diet dan resin
pengikat kalium (potassium-binding resins) atau infus dekstros-insulin jika nilai kalium >
6.5 mmol/L. Koreksi asidosis mungkin memerlukan natrium bikarbonat per oral. Pada
kasus berat mungkin memerlukan hemodialisa sementara. Hanya sedikit pasien yang
tidak menunjukkan respon baik dengan terapi konservatif sehingga memerlukan dialisa
permanen atau transplantasi ginjal.
a. Vasodilator
Beberapa jenis vasodilator digunakan untuk mencegah nefropati
radiokontras dengan meningkatkan laju filtrasi glomerolus, menurunkan
konsentrasi radiokontrasintralumen dan memperpendek waktu transit.
Radiokontras menurunkan aliran darah kortek dan laju filtrasi glomerolus.
Calcium channel blocker telah digunakan untuk menurunkan insiden nefropati
radiokontras. Obat ini meningkatkan aliran darah ginjal dan menurunkan
reperfusi injuri setelah iskemia ginjal. Pemberian 10 mg nifedipin pada pasien
yang diberikan radiokontras osmolaritas tinggi pada pasien non diabetes,
proteinuria < 300 mg/dL dan laju filtrasi glomerolus lebih dari 100 mL/mnt.
Calcium channel blocker menyebabkan peningkatan aliran plasma ginjal dan laju
filtrasi ginjal dan kedua parameter ini berkurang pada pasien yang mendapat
radiokontras osmolaritas tinggi dan tidak berubah pada radiokontras osmolaritas
rendah.
b. Radiokontras removal
Sejak radiokontras baik dikeluarkan melalui hemodialisis, prosedur ini
dapat mengurangi risiko nefropati radiokontras pada pasien gagal ginjal atau
pemberian radiokontras yang terlalu besar. Penelitian 30 pasien yang dilakukan
hemodialisis setelah satu jam pemberian radiokontras tidak mengurangi risiko
nefropati radiokontras, begitu juga dengan profilaksis hemodialisis tidak
mengurangi angka nefropati radiokontras. Terdapat efek yang baik pada pasien
yang mendapatkan profilaksis hemofiltrasi veno-venous. Keperluan terapi
pengganti ginjal dapat diturunkan hingga delapan kali dan angka kematian dapat
diturunkan (2% pada kelompok hemofiltrasi dibandingkan kontrol yaitu sebesar
14%). Keuntungan continuous venovenous hemofiltration adalah untuk menjaga
hemodinamik serta menghindari hipovolumia dan hipotensi.
c. Theophyllin
Pasien yang diobati dengan theophyllin dan randomisasi radiokontras
osmolaritas rendah dan tinggi. Theophyllin dapat mencegah nefropati
radiokontras dan menurunkan kliren kreatinin. Kapoormeneliti 70 pasien diabetes
yang mendapatkan radiokontras molekul tinggi, ditemukan nefropati radiokontras
terjadi 3% pada pasien yang diberikan theophyllin dibandingkan 31% pada
kelompok kontrol. Penelitian terhadap 100 pasien yang mendapat radiokontras
osmolaritas rendah, ditemukan insiden nefropati radiokontras 4% dibandingkan
control 16%.
d. Dopamin dan fenoldopam
Dopamin dosis rendah merupakan vasodilator ginjal dan memperbaiki
laju filtrasi ginjal pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Weisberg et al.
merandomisasi 50 pasien gagal ginjal kronis, diabetes dan mendapatkan hidrasi,
dopamin, atrial natriuretik peptida dan manitol. Pada non diabetes, dopamine
menurunkan kreatinin plasma dan pada diabetes terjadi perbaikan signifikan
aliran darah ke ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien diabetes dengan
disfungsi endotel terjadi perbaikan aliran darah kortek dan laju filtrasi glomerolus
yang mempengaruhi oksigenasi medula.Fenoldopam merupakan agonis DA- 1
selektif dapat menginduksi vasodilatasi ginjal, meningkatkan laju filtrasi
glomerolus, diuresis dan natriuresis. Studi prospektif membandingkan 110 pasien
risiko tinggi (kreatinin > 1,5 mg/dL) dengan kontrol, didapatkan insiden nefropati
radiokontras 4,5% dibandingkan kontrol 19%. Terdapat pasien risiko tinggi pada
kliren kreatinin < 60 L/min, insiden nefropati kelompok fenoldopam adalah 34%
dibandingkan 30% pada kelompok kontrol, sehingga dengan hasil inipemberian
dopamin dan fenoldopam tidak direkomendasikan pada pasien yang mempunyai
risiko tinggi.
e. Antioksidan N-Acetylsistein
N-acetylsistein memproteksi sel epitel tubulus, memperbaiki disfungsi
endotel dan mengurangi hipoksia medula. N-acetylsistein mencegah sitotoksik
dengan menetralisir radikal bebas, vasodilatasi regional, memperbaiki disfungsi
endotel, memperbaiki suplai oksigen, memperbaiki mikrosirkulasi medula ginjal
karena injuri reperfusi dan vasokonstriksi yang disebabkan oleh
radiokontras.Tepel et al. merandomisasi 83 pasien gagal ginjal kronis dengan
pemberian radiokontras osmolaritas rendah non ionik dan diberikan N-
acetylsistein 600 mg oral setiap 12 jam sehari sebelum dan sehari setelah
prosedur. Insiden nefropati radiokontras setelah 48 jam adalah 2% pada pasien
yang diberikan N-acetylsistein dibandingkan 21% pada kontrol. Dosis tinggi N-
acetylsistein sebelum prosedur radiokontras efektif mencegah nefropati
radiokontras (5% vs 21%).
f. Natrium bikarbonat
Pemberian natrium bikarbonat akan meningkatkan PH urine dan medula
ginjal yang akan menurunkan produksi radikal bebas dan memproteksi ginjal dari
injuri oksidasi pada nefropati radiokontras. Studi eksperimental menunjukkan
pemberian natrium bikarbonat lebih renoprotektif dibandingkan natrium klorida
pada gagal ginjal iskemi. Efikasi natrium bikarbonat dibandingkan dengan hidrasi
natrium klorida ditunjukkan pada studi prospektif terhadap 119 pasien,
ditemukan nefropati radiokontras terjadi pada 13,6% pasien yang menerima
natrium klorida dibandingkan dengan 1,7% pada pasien yang mendapat natrium
bikarbonat. Penelitian terhadap 191 pasien yang menerima profilaksis natrium
bikarbonat hanya terjadi tiga kasus (1,6%) nefropati radiokontras. Studi ini juga
menunjukkan bahwa infus natrium bikarbonat lebih efektif dari pada hidrasi
dengan natrium klorida. Kombinasi N-asetylsistein dan natrium bikarbonat
sebelum prosedur akan lebih protektif nefropati radiokontras dibandingkan
pemberian masing-masing.
g. Hemofiltrasi
Hemofiltrasi merupakan terapi pengganti ginjal berkelanjutan dan
memerlukan infus cairan pengganti isotonic (1.000 mL/h). Teknik ini
memberikan hidrasi volume yang besar tanpa menyebabkan kelebihan cairan dan
terjadi hemostabilitas selama prosedur. Studi yang melibatkan pasien dengan
gagal ginjal (kliren kreatinin 26 mL/mnt) yang mendapat angioplasti koroner
dengan radiokontras osmolaritas rendah (247 mL) dan dilakukan hemofiltrasi
selama 4 - 8 jam sebelum prosedur dan dilanjutkan 18 - 24 jam sesudah prosedur
menurunkan insiden nefropati radiokontras dari 50% pada kelompok kontrol
menjadi 5% pada kelompok yang dihemofiltrasi. Pasien dengan gagal ginjal
terminal dan mendapat radiokontras media dengan volume besar, hemofiltrasi
akan menyebabkan stabilitas hemodinamik, menghindari hipoperfusi renal, dan
menurunkan pemaparan radiokontras pada ginjal. Hemofiltrasi efektif untuk
menurunkan kadar radiokontras dalam sirkulasi. Kekurangan teknik ini adalah
biaya yang mahal (costeffective) dan memerlukan terapi yang intensif.

Pencegahan
Sebelum tindakan dengan zat kontras dilakukan sebaiknya dilakukan
pemeriksaan maupun tindakan pencegahan yang tepat terutama pada pasien
dengan gangguan ginjal sebelumnya. Pelaksanaaan strategi pencegahan sebelum
tindakan dilakukan masih menjadi pendekatan terbaik untuk mengurangi kejadian
CIN paska prosedural.

Gambar 2. Tindakan pencegahan kejadian CIN pada pasien yang akan menjalani
tindakan dengan penggunaan zat kontras.

Langkah pertama dalam mengurangi resiko gangguan pada ginjal adalah


dengan mengidentifikasi faktor resiko kejadian CIN dan memperjelas indikasi
untuk pemberian zat kontras. Sebagian besar faktor resiko umumnya dapat
dideteksi dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. Faktor-faktor seperti dehidrasi
dapat dideteksi dan dikoreksi sebelum terjadinya paparan terhadap medium
kontras. Resiko untuk terjadinya penurunan fungsi ginjal setelah pemberian zat
kontras akan semakin meningkat sebanding dengan jumlah faktor resiko yang
ditemukan.
The European Society of Urogenital Radiology dan the American College
of Radiology merekomendasikan penilaian terhadap faktor-faktor resiko termasuk
dehidrasi, gagal jantung, usia 70 tahun, dan penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
seiring dengan pemeriksaan level kreatinin serum pada penderita yang memiliki
resiko untuk terjadinya CIN. Dengan keberadaan faktor resiko yang bermakna,
pertimbangan untuk pemilihan teknik pencitraan alternatif, penghentian obat-
obatan nefrotoksik dalam 24-48 jam sebelum diberikan kontras serta penggunaan
zat kontras yang low-osmolar atau iso-osmolar dalam dosis yang terbatas harus
dipertimbangkan. Mempertahankan status hidrasi yang adekuat, dan pemberian
cairan tambahan juga direkomendasikan, namun penjelasan tentang dosis regimen
yang digunakan tidak dijelaskan.

Tabel 3 Langkah-langkah untuk menghindari kejadian CIN

Beberapa intervensi obat berdasarkan satu atau lebih mekanisme yang


telah dijabarkan sebelumnya telah diuji dalam beberapa studi untuk pencegahan
CIN. Beberapa telah memberikan hasil yang positif meskipn penggunaannya
belum dilakukan secara luas. Saat ini, hanya hidrasi dengan cairan intravena dan
penghindaran obat-obatan nefrotoksik yang telah digunakan secara luas untuk
mengurangi angka kejadian CIN.
1. Hidrasi
Memastikan tercapainya status hidrasi yang adekuat merupakan
cara yang paling sederhana dan efektif untuk melindungi fungsi ginjal.
Pada pasien dengan resiko tinggi, sebaiknya dilakukan hidrasi cairan
dengan NaCl 0,9% sebanyak 1 ml/kg per jam secara intravena, disesuaikan
dengan status hidrasi pasien saat itu dan kondisi penyakit jantung penyerta.
Hidrasi dilakukan selama 6-12 jam sebelum tindakan, dilanjutkan dengan
12-24 jam setelah tindakan, jika diuresis yang baik tercapai. Meskipun
studi klinis yang ada tidak secara seragam menunjukkan bahwa dehidrasi
adalah faktor resiko yang pasti, namun pemberian zat kontras akan
meningkatkan volume urin dan tingkat osmolaritas, dan efek ini akan
semakin diperpanjang oleh penurunan aliran darah ke ginjal dan GFR yang
sering ditemui pada pasien-pasien dengan kondisi dehidrasi.
Protokol pemberian hidrasi dengan NaCl 0,9% telah terbukti
mengurangi resiko terjadinya CIN dan sebaiknya digunakan secara rutin
sebelum tindakan yang menggunakan zat kontras dilakukan. Selain waktu
dan cara hidrasi, faktor lain seperti tonisitas dan komposisi cairan juga
tampaknya memegang peranan penting dalam proses hidrasi tersebut.
Studi prospektif pada 78 pasien dengan gangguan ginjal kronik
yang diberikan terapi cairan (1 mL/kg per jam selama 12 jam sebelum dan
setelah angiografi) terbukti menguntungkan dalam mengurangi kejadian
CIN setelah pemberian zat kontras. Studi prospektif menunjukkan bahwa
hidrasi dengan menggunakan sodium bicarbonate lebih superior
dibandingkan dengan normal saline. Tingkat kejadian CIN secara
signifikan lebih rendah pada grup sodium bicarbonate (1.7%, n = 1)
dibandingkan dengan grup normal saline (13.6%, n = 8).
Patofisiologi dari efek protektif sodium bicarbonate dalam
mencegah CIN masih belum jelas. Namun demikian, beberapa studi yang
dilakukan terhadap hewan menunjukkan bahwa bicarbonate dapat
scavenge oksigen reaktif radikal bebas, sehingga melindungi ginjal dari
proses iskemia akut. Studi lain menyebutkan bahwa pembentukan radikal
bebas (yang didukung oleh lingkungan yang asam) dapat dihambat dengan
meningkatkan pH dari cairan ekstraseluler tubular ginjal dengan
menggunakan bikarbonat.
2. N-Acetylcysteine
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa spesies oksigen
reaktif memegang peranan pada kerusakan ginjal yang disebabkan oleh zat
kontras. N-acetylcysteine (NAC), dapat berfungsi sebagai anti oksidan dan
berperan meningkatkan efek biologis dari NO dengan mengikat NO dan
membentuk S-nitrosothiol, yang lebih stabil dan poten sebagai vasodilator.
Interaksi ini dapat membatasi produksi dari radikal peroxinitrite karena
NAC akan berkompetisi dengan radikal superoxide dalam mengikat NO.
NAC juga dapat meningkatkan ekspresi dari NO synthase dan
memperbaiki aliran darah.
Kejadian CIN pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang akan
dilakukan CT mengalami penurunan yang drastis setelah pemberian NAC.
Dengan dosis 1,200 mg per hari, yang diberikan secara oral dalam dosis
terbagi sehari sebelum dan saat dilakukan tindakan, NAC terbukti
mencegah terjadinya penurunan fungsi ginjal lebih lanjut pada semua
pasien tersebut. Namun demikian, studi ini memiliki keterbatasan karena
jumlah sampelnya yang kecil (n = 83), kurangnya follow-up jangka
panjang, dan adanya fakta bahwa beberapa pasien memiliki nilai kreatinin
serum yang normal.
Penemuan yang positif dari studi yang dilakukan oleh Tepel dkk
ini kemudian didukung oleh hasil dari studi lainnya yaitu Acetylcysteine to
Prevent Angiography-Related Renal Tissue Injury (The APART trial)
yang melibatkan 54 pasien dengan keseluruhan angka kejadian CIN
sebesar 28% (RR 0.18 dengan 95% CI). Hasil dari beberapa studi ini,
digabungkan dengan efek menguntungkan dari NAC serta harganya yang
murah, membuat NAC menjadi pilihan di banyak tempat sebagai terapi
preventif, terutama pada pasien resiko tinggi yang akan menjalani
intervensi koroner. Meskipun penurunan resiko kejadian CIN oleh NAC
masih menjadi perdebatan, namun peningkatan morbiditas, mortalitas serta
pemanjangan masa rawatan yang diakibatkan oleh CIN menjadikan
penggunaan NAC menjadi lebih dapat diterima terutama pada pasien-
pasien dengan resiko tinggi. Dosis oral 600 mg dua kali sehari, satu hari
sebelum dan saat akan dilakukan prosedur merupakan regimen yang
paling sering digunakan. Penggunaan NAC secara intravena dengan dosis
150 mg/kg selama setengah jam sebelum prosedur atau 50 mg/kg yang
diberikan dalam 4 jam juga dapat digunakan terutama pada pasien-pasien
yang sedang dalam perawatan intensif ataupun bagi pasien yang tidak
dapat menggunakan NAC secara oral.
3. Zat Kontras
Berdasarkan komposisi kimia dan sifat farmakologisnya, zat
kontras dapat dibagi menjadi ionik atau non-ionik dan monomer atau
dimer. Perkembangan dalam beberapa tahun terakhir terutama dipusatkan
pada pengurangan kadar ionik dan osmolaritas, peningkatan sifat hidrofilik
serta jumlah atom iodine per molekul. Kadar toksisitas dari zat kontras
merupakan perhatian utama dalam perkembangan CIN dan dijelaskan
sebagai jumlah rasio atom iodine yang terlarut dalam zat pelarut, dimana
semakin tinggi rasionya maka semakin tinggi kadar sinar X yang
ditangkap.
Zat dengan rasio 1.5:1 termasuk dalam high osmolar contrast
media (HOCM, 2000mOsm/kg H2O) sedangkan zat dengan rasio 3:1
adalah low osmolar contrast media (LOCM, 600-900 mOsm/kg H2O), dan
yang paling baru, zat dengan rasio 6:1 yang disebut sebagai iso-osmolar
contrast media (IOCM, 290 mOsm/kg H2O) seperti iodixanol yang
memiliki osmolaritas yang hampir sama dengan plasma darah.
Pada satu sudi yang melibatkan 1,196 pasien, diperoleh data bahwa
pasien yang menerima HOCM (diatrizoate) memiliki resiko 3.3 kali lebih
besar untuk terjadinya nefropati dibandingkan dengan yang menerima
LOCM (iohexol). Selain itu, suatu meta analisa yang melibatkan 31 uji
klinis menyimpulkan bahwa penggunaan LOCM daripada HOCM
memberi efek menguntungkan pada pasien telah yang mengalami
penurunan fungsi ginjal.
LOCM lebih sedikit menimbulkan efek kardiovaskular dan reaksi
anafilaktik dibandingkan dengan HOCM namun harganya lebih mahal.
Saat ini, penggunaan LOCM atau IOCM direkomendasikan pada pasien-
pasien yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya CIN sedangkan
penggunaannya pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal dan tanpa
dijumpainya faktor resiko tidak memberikan manfaat yang bermakna
dibandingkan dengan HOCM.
Beberapa tahun terakhir, penggunaan iodixanol menjadi semakin
diminati dengan berbagai studi menunjukkan hasil yang positif dalam
penggunaannya pada pasien-pasien dengan resiko tinggi. Sebuah studi
menunjukkan bahwa ada penurunan insidensi CIN dengan penggunaan
iodixanol. Setelah itu, Aspelin dkk kembali menegaskan penemuan ini
dengan melaporkan penurunan insidensi CIN pada pasien resiko tinggi
dengan penggunaan iodixanol (11 kali lebih rendah) dibandingkan dengan
yang menggunakan LOCM. Namun demikian, studi ini memang memiliki
keterbatasan mengenai data jumlah penggunaan kontras yang dilaporkan.
Golshahi J, Nasri H. Gharipour M. Contrast-induced nephropathy; A literature
review. J Nephropathol. 2014; 3(2): 51-56. Risk Hidrasi

John H, Nahl D, dan Yoo V. Contrast-induced nephropathy. J Vasc Surg


2011;54:575-9. Prevention

Michele A, Teresa F, Antonio P, Massimo S, Domenico R, dan Ashour M.


Review Article: Prevention of Contrast-Induced Nephropathy through
a Knowledge of Its Pathogenesis and Risk Factors. The Scientific World Journal
2014 : 1-16. Antioksidan

Sukru A, Mehmet E, Rabia E, dan Huseyin U.Contrast-induced nephropathy:


a contemporary and simplified review. Interv. Cardiol. (2010) 2(2), 233242.
NAC hidration

Susan I. Contrast-Induced Nephropathy: Nursing Implications. Critical Care


Nurse. 2012;32[3]:41-48. Prevention risk factor

Samuel N, Rosenberger C, Seymour R, dan Mogher K. Review Article


Why Is Diabetes Mellitus a Risk Factor for Contrast-Induced Nephropathy.
BioMed Research International 2013 : 1- 8.

Rastogi R, Bhagat PK, Gupta Y, Sharma S, Sinha P, et al. (2017) Contrast


Induced Nephropathy - A Review. Arch Clin Nephrol 3(1): 001-003. prevention

Mohammed NM, Mahfouz A, Achkar K, Rafie IM, Hajar R. Contrast-induced


nephropathy. Heart Views 2013;14:106-16. Risk diagnose therapy

Fhling M, Seeliger E, Patzak A dan Pontus B. Understanding and preventing

contrast-induced acute kidney injury. Macmillan Publishers Limited 2017 : 1-12.

Chang CF, Lin CC. Current concepts of contrast-induced nephropathy: A brief


review. Journal of the Chinese Medical Association 76 (2013) 673-81.risk
diagnose therapy prevention

Narenji Sani R, Eshraghi A, Farokhnejad S. Contrast-induced nephropathy: a


review of literature. Rev Clin Med. 2015;2(4):212-215. Prevention

Chao CT. Epidemiology, Clinical Features and Diagnosis of Contrast Induced


Nephropathy: A Brief Review. Gen Med 2013 (1): 102-6. Risk diagnose

Anda mungkin juga menyukai