Anda di halaman 1dari 2

PESTA ADAT GANTARANGKEKE

Jika dihubungkan dengan Islam, pesta dan ritual ini telah banyak mengalami pasang
surut. Acara ini telah dilaksanakan sejak kelahiran Karaeng Loe berabad-abad yang lalu.
Sebelum Islam datang, acara ini tentu saja didasarkan pada prinsip, keyakinan dan tradisi
masyarakat Makassar pra-Islam. Pada masa itu, praktek mistik, sesembahan, sesajen, arwah
luluhur, judi, ballo' (minuman keras khas Makassar), sangat dominan dalam acara ini.
Islam masuk ke Bantaeng pada awal abad XVII. Meski sejarah Islam di Bantaeng
belum terekonstruksi secara baik, banyak versi yang menjelaskan kedatangan Islam di
kawasan ini. Islam misalnya pertama kali dibawa ke Bantaeng oleh pedagang Muslim pada
XVI (Mahmud et al 2007: 147-8), Raja Tallo and Dato' ri Bandang pada awal abad XVII
(Ahimsa-Putra 1993: 104), La Tenri Rua Sultan Adam Raja Bone XI, dan sebagainya. Yang
penting dari ini semua, corak Islam yang mudah diterima ketika itu adalah tasawuf. Ini
disebabkan oleh kecenderungan mistik dan kebatinan masyarakat Bantaeng. Pada 2007,
jumlah umat Islam di Bantaeng mencapai 170.241 orang dari total penduduk 173.308 orang,
atau sekitar 98.23% (BPS 2008: 35, 118).
Ritual ini terus berlangsung seperti apa adanya hingga suatu masa ketika gerakan Darul
Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Kahar Muzakkar menyingkir ke pedalaman
Bantaeng, termasuk ke wilayah Gantarang Keke. Sejak Gerombolang, sebutan lain gerakan
DI TII di Sulawesi Selatan ini, berada di pedalaman dan menguasai kehidupan masyarakat
pedalaman, tradisi Pa'jukukang dan tradisi Gantarang Keke dilarang. Beberapa gaukang atau
pusaka-pusaka peninggalan yang digunakan dalam ritual Pa'jukukang dihancurkan. Salah
satu efeknya, para tetua adat serta pinati yang biasa melaksanakan ritual ini terpaksa
bersembunyi di mana-mana agar tidak terbunuh. Ritual terbesar di Bantaeng ini kemudian
kembali dilaksanakan ketika Gerombolangmenyerah.
Ketika Islam telah dipeluk secara mayoritas oleh masyarakat Bantaeng, beberapa teknis
pelaksanaannya telah mengalami perubahan dan adaptasi. Permainan judi
dan ballo' (minuman keras) tidak lagi memeriahkan pesta Pa'jukukang ini. Selain itu, adu
manusia hingga mati juga ditiadakan lama sebelumnya. Atas usul Raja Luwu (Sawerigading),
adu manusia diganti dengan adu ayam (Salam 1997: 29-30). Semua ini telah digantikan
dengan bentuk-bentuk kemeriahan yang tidak bertentangan dengan ajarah pokok Islam
seperti seni rakyat assempa' dan a'lanja' (adu kekuatan kaki untuk laki-laki dan anak-anak),
tari-tari daerah, bahkan qasidah.

Anda mungkin juga menyukai