Anda di halaman 1dari 14

TUGAS EPIDEMIOLOGI

Oleh Kelompok 5 :

FITRI DWI ANGGRAINI


LESTARI SURYANINGSIH
SELVI NOVITA LESTARI
SUCI INDAH UTAMI

KELAS IIA

PRODI D-III GIZI


POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
2013
ANEMIA GIZI BESI

A. Gambaran Epidemiologi Penyakit


Status gizi di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia masih
dikaitkan dengan kondisi gizi kurang. Di indonesia dewasa ini diprioritaskan
empat masalah gizi pokok, diantaranya adalah kurang energi protein (KEP),
kurang vitamin A, anemia gizi dan gangguan akibat kekurangan yodium.
Anemia gizi adalah kekurangan kadar haemoglobin dalam darah (Hb <
11) yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk
pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan
karena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau
anemia gizi besi. Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan
masalah gizi terutama anemia gizi besi.
Anemia gizi merupakan masalah kesehatan yang ikut berpengaruh
terhadap penyebab tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi,
produktivitas kerja dan kemampuan belajar. Prevalensi anemia ibu hamil masih
relatif tinggi dan sebagian besar penyebabnya adalah kekurangan zat besi yang
diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga anemia yang ditimbulkan
disebut anemia kekurangan besi.
Keadaan kekurangan besi pada ibu hamil dapat menimbulkan gangguan
atau hambatan pada pertumbuhan baik pada sel tubuh maupun sel otak pada janin.
Pada ibu hamil dapat mengalami keguguran, melahirkan sebelum waktunya, bayi
lahir dengan berat tidak normal, perdarahan sebelum melahirkan serta pada waktu
melahirkan dan pada anemia berat dapat menimbulkan kematian ibu dan bayi.
Pada anak dapat mengalami gangguan pertumbuhan, tidak mencapai tinggi yang
optimal dan anak menjadi kurang cerdas. Anemia pada ibu hamil juga
meningkatkan resiko kematian ibu. Penyebab langsung kematian ibu adalah
perdarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi namun resiko
kematian meningkat bila ibu menderita anemia.
Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 1993-2005
prevalensi anemia di seluruh dunia tertinggi terjadi pada anak yang belum sekolah
yaitu 47,4%, kemudian pada ibu hamil 41,8% dan wanita tidak hamil 30,2%.
Prevalensi anemia pada ibu hamil di daerah Afrika yaitu 57,1%, di Asia Tenggara
48,2%, di daerah Amerika 24,1% dan di Eropa 25,1%.
Menurut Health Nutrition and Population Statistics (2005) kejadian
anemia pada ibu hamil terjadi di semua negara baik negara belum berkembang,
sedang berkembang dan negara maju. Prevalensi anemia pada ibu hamil tertinggi
terdapat di negara Kongo yaitu 67,3%, dan Ethiopia 62,68%. Di negara
berkembang prevalensi anemia pada ibu hamil cukup tinggi seperti di India 49,7%
dan Indonesia 44,33%. Sedangkan di negara maju prevalensi anemia pada ibu
hamil cukup rendah seperti di Prancis 11,46% dan United States 5,7%.
Angka prevalensi anemia gizi yang dikumpulkan melalui Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 mencatat bahwa prevalensi anemia
gizi sebesar 63,5% pada ibu hamil dan 55,5% pada balita. Pada SKRT 1995
prevalensi anemia gizi pada ibu hamil 50,9%, usia sekolah 47,5%, pada umur 10-
14 tahun 57,5% dan pada umur 15-44 tahun 48,9%.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001,
prevalensi anemia ibu hamil di Indonesia 40,1% dan pada tahun 2007 turun
menjadi 24,5%. Namun demikian keadaan ini mengindikasikan bahwa anemia
gizi besi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Provinsi dengan proporsi
tertinggi adalah Provinsi Bali (90,43%), Kep. Bangka Belitung (84,85%) dan
Nusa Tenggara Barat (81,51%). Sedangkan proporsi terendah adalah Provinsi
Papua (31,57%), Sulawesi Tengah (36,12%), dan Sulawesi Barat (38,19%).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PT Merck Tbk (2003) di Jawa
Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara prevalensi anemia cukup tinggi. Di Jawa
Timur dengan melibatkan 5.959 peserta tes darah di tiga kota, Kediri, Jombang,
dan Mojokerto, didapat 33% di antaranya anemia. Di Jawa Barat dengan peserta
tes darah sebanyak 7.439 di tiga kota, Garut, Tasikmalaya, dan Cirebon, 41% di
antaranya anemia. Sedangkan di Sumatera Utara dengan peserta tes darah
sebanyak 9.377 orang di tiga kota, Medan, Pematang Siantar, dan Kisaran,
didapati 33% diantaranya anemia.
Menurut penelitian Riswan tahun 2005 kejadian anemia gizi pada ibu
hamil di beberapa praktik bidan swasta di Medan proporsinya 53,3%.
Hasil penelitian Dolok Saribu di desa Maligas Tonga Kabupaten
Simalungun pada tahun 2006 menemukan Ibu hamil yang terkena anemia dengan
proporsi 57,4%. Sedangkan hasil penelitian Rohana di wilayah kerja Puskesmas
Cunda Muara Dua Aceh pada tahun 2008 kejadian anemia pada ibu hamil
proporsinya 59,3%.
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami
pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987)
menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu
semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.
Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin besar.
Hal ini ditegaskan kembali dalam suatu penelitian oleh Ridwan Amiruddin
di wilayah kerja Puskesmas Bantimurung Maros, yang memperoleh hasil sebagai
berikut :

Tabel 1
Distribusi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Berdasarkan Umur Ibu
di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung, MarosTahun 2004
Umur ibu Anemia OR (Lower/Upper
Total
(thn) Ya Tidak Limit)
< 20, >35 20 (74,1%) 7 (25,9%) 27 2,801
20-35 51 (50,5%) 50 (49,5%) 101 (1,089/7,207)
Total 71 (55,5%) 57(44,5%) 128
Sumber : Ridwan Amiruddin dalam Jurnal Medika Unhas, dipublikasikan tahun
2007
Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari
35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35 tahun.

Tabel 2
Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Bumil di 27 Propinsi diIndonesia Tahun 1992
No. Propinsi Prevalensi (%)
1 DI Aceh 56,5
2 Sumatera Utara 77,9
3 Sumatera Barat 82,6
4 Riau 65,6
5 Jambi 74,2
6 Sumatera Selatan 58,3
7 Bengkulu 46,8
8 Lampung 60,7
9 DKI Jakarta 67,6
10 Jawa Barat 71,5
11 Jawa Tengah 62,3
12 DI Yogyakarta 73,9
13 Jawa Timur 57,8
14 Bali 71,1
15 NTB 71,3
16 NTT 59,7
17 Kalimantan Barat 55,2
18 Kalimantan Tengah 73,9
19 Kalimantan Selatan 64,9
20 Kalimantan Timur 70
21 Sulawesi Utara 48,7
22 Sulawesi Tengah 45,5
23 Sulawesi Selatan 50,5
24 Sulawesi Tenggara 71,2
25 Maluku 69,8
26 Irian Jaya 71,4
27 Timor Timur 48
Sumber : SKRT Tahun 1992
63,5
Indonesia
Berdasarkan Tabel 2, provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah
Sumatera Barat (82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi Tengah

B. Faktor Penyebab
Penyakit anemia muncul akibat penurunan jumlah dan mutu sel darah
merah yang antara lain berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi serta oksigen
untuk proses fisiologis dan biokimia jaringan tubuh. Terkena anemia berarti
pasokan oksigen dan zat-zat gizi ke seluruh tubuh berkurang sehingga
menimbulkan dampak fisiologis dan psikologis. Gejalanya anemia biasanya
dikenal sebagai 4 L, yakni letih, lemah, lesu, dan loyo. Di samping itu, muka
pucat, kehilangan selera makan, sering pusing, sulit konsentrasi, serta mudah
terserang penyakit.
Secara garis besar, terdapat dua tipe anemia, yaitu anemia gizi dan
nongizi. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang diperlukan dalam
pembentukan dan produksi sel-sel darah merah. Di Indonesia anemia gizi masih
menjadi masalah gizi yang cukup serius terutama anemia gizi besi.
Anemia gizi besi adalah anemia yang disebabkan kurangnya zat besi untuk
pembentukan hemoglobin (Hb). Penderita anemia defisiensi besi khususnya
adalah perempuan dan anak-anak. Anemia gizi besi banyak diderita oleh ibu
hamil, menyusui, dan perempuan usia subur. Perempuan usia subur mempunyai
siklus tubuh yang berbeda dengan lelaki, anak, dan balita sebab mereka harus
mengalami haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu kebutuhan zat
besi (Fe) relatif lebih tinggi.
Penyebab utama anemia gizi besi ini adalah konsumsi zat besi yang tidak
cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar
terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Keanekaragaman
konsumsi makanan sangat penting dalam membantu meningkatkan penyerapan Fe
di dalam tubuh. Akan tetapi, pemahaman atas kebutuhan zat-zat gizi secara
keseluruhan agak kurang. Apalagi makanan yang diberikan sekarang cenderung
kaya lemak dan karbohidrat, tetapi miskin mineral dan vitamin. Mungkin saja
terjadi seorang anak gemuk tetapi tampak pucat, loyo, dan kurang lincah karena
ternyata ia kekurangan zat besi. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang
lebih menyeluruh mengenai anemia gizi besi dan cara-cara untuk mencegahnya,
sehingga penekanan pada upaya mengonsumsi makanan bergizi cukup dan
lengkap sangat dianjurkan.
Hal-hal yang dapat menyebabkan defisiensi zat besi yaitu:
1. Diet rendah besi (hanya 1 mg besi yang diabsorbsi dari setiap 10-20 zat
besi yang masuk ke tubuh sehingga tubuh kurang dapat memanfaatkan
asupan besi secara optimal).
2. Komposisi makanan tidak baik untuk penyerapan Fe (terlalu banyak
mengkonsumsi jenis sayuran, kurang protein hewani dikarenakan zat besi
yang terkandung dalam sayur-sayuran lebih tidak diserap secara sempurna,
dibanding dengan zat besi dalam daging).
3. Pertumbuhan (masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan paling
cepat dan membutuhkan banyak zat besi dalam tubuhnya sehingga asupan
zat gizinya juga lebih tinggi).
4. Kelainan saluran pencernaan (hal ini mengakibatkan tubuh tidak dapat
menyerap zat besi yang masuk dengan baik).
5. Kehilangan darah (seperti pada menstruasi, perdarahan, mimisan, dan
sebagainya mengakibatkan terjadinya defisiensi zat besi karena banyak
eritrosit yang di dalamnya mengandung Hb, terbuang keluar dari tubuh).
6. Kehamilan (ibu hamil membutuhkan lebih banyak asupan zat besi).
7. Bayi yang tidak diberikan ASI, melainkan diberi minum susu sapi
(dikarenakan albumin susu sapi tidak seluruhnya cocok dengan bayi, dapat
merusak saluran pencernaan bayi yang masih rentan, sehingga mudah
menyebabkan perdarahan dan menyebabkan kehilangan darah serta zat
besi).
8. Kelainan transpor besi (jarang ditemui).
Penyebab Lain
Penelitian di negara berkembang mengemukakan bahwa bayi lahir dari ibu
yang menderita anemia kemungkinan akan menderita anemia gizi, mempunyai
berat badan lahir rendah, prematur dan meningkatnya mortalitas (Academi of
Sciences, 1990).
Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak (Soemantri, 1982):
a. Pengadaan zat besi yang tidak cukup
1) Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup.
a) Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar
b) Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi yang berat
c) Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum persalinan
2) Asupan zat besi kurang cukup
b. Absorbsi kurang
1) Diare menahun
2) Sindrom malabsorbsi
3) Kelainan saluran pencernaan
c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir
kurang bulan
d. Kehilangan darah
1) Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada
poliposis rektum
2) Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.

Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena
rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat
perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing
tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan
(asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau
dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi),
polyphenol (coklat, teh, dan kopi).

C. Gambaran Penyakit Berdasarkan Konsep Penyebab


Zat besi merupakan unsu terpenting bagi manusia. Besi dengan
konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian dari
molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paruparu.

Zat Besi Dalam Tubuh


Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu yang fungsional dan
yang reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk
Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin.
Zat besi yang ada dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi
selain daripada sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk
kompartmen fungsional. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka
kebutuhan akan eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum
tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam
bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada
dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk feritin dan
hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Pada keadaan tubuh
memerlukan zat besi dalam jumlah banyak, misalnya pada anak yang sedang
tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah reserve biasanya
rendah.
Zat Besi Dalam Makanan
Dalam makanan terdapat 2 macam zat besi yaitu besi heme dan besi non
hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi dalam makanannya.
Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau, kacang kacangan,
kentang dan sebagian dalam makanan hewani. Sedangkan besi hem hampir semua
terdapat dalam makanan hewani antara lain daging, ikan, ayam, hati dan organ
organ lain.

Metabolisme Zat Besi


Untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka keseimbangan zat besi
di dalam badan perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah
zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah besi yang diperoleh
badan dari makanan. Jika yang dikeluarkan lebih banyak dari yang diperoleh dari
makanan maka tidak akan terjadi keseimbangan.

Penyerapan Zat Besi


Absorbsi zat besi dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu :
1) Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang
dibutuhkan. Bila besi simpanan berkurang, maka penyerapan besi akan
meningkat.
2) Rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) dapat menurunkan
3+ 2+
penyerapan Asam klorida akan mereduksi Fe menjadi Fe yang lebih
mudah diserap oleh mukosa usus.
3) Adanya vitamin C gugus SH (sulfidril) dan asam amino sulfur dapat
meningkatkan bsorbsi karena dapat mereduksi besi dalam bentuk ferri
menjadi ferro. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi dari makanan
melalui pembentukan kompleks ferro askorbat. Kombinasi 200 mg asam
askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan besi sebesar
25 50 persen.
4) Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentuknya
kompleks besi fosfat yang tidak dapat diserap.
5) Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe
6) Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe
7) Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan penyerapan
Fe.
8) Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe

Pada bayi absorbsi zat besi dari ASI meningkat dengan bertambah tuanya
umur bayi. Perubahan ini terjadi lebih cepat pada bayi yang lahir prematur dari
pada bayi yang lahir cukup bulan. Jumlah zat besi akan terus berkurang apabila
susu diencerkan dengan air untuk diberikan kepada bayi.
Bayi yang lahir BBLR mempunyai reserve zat besi yang lebih rendah dari
bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi
terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi
normal, sehingga reserve zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu kebutuhan
zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR
mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan
kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal.

Penyebab utama anemia gizi besi ini adalah konsumsi zat besi yang tidak
cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar
terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu anemia gizi
juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lain yang saling berkaitan seperti sosial
ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan,
pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi.
Faktor lain munculnya anemia :
a) Penyakit kronis
Penyakit kronis tertentu, contohnya kanker dan HIV/AIDS. Dapat mempengaruhi
produksi sel darah merah, menghasilkan anemia kronis. Gagal ginjal juga dapat
menyebabkan anemia. Penyakit kronis atau infeksi dapat menyebabkan tubuh
membuat lebih sedikit sel-sel darah merah. Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan ringan dalam hemoglobin.
b) Sosial ekonomi
Permasalahan gizi ini menjadi kompleks dan terus berkembang. Dimulai dari akar
permasalahan nasional yaitu, krisis politik-ekonomi-sosial yang merupakan faktor
pendorong umum peliknya permasalahan gizi. Dengan adanya krisis multidimensi
ini menyebabkan tingginya tingkat pengangguran, kurang pangan, dan
kemiskinan. Lalu hal tersebut terkait juga pada masalah pokok khusus di dalam
masyarakat yakni kurangnya pemberdayaan wanita dalam keluarga dan kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat. Maka pemahaman pengetahuan dan
pendidikan gizi menjadi sempit di dalam masyarakat.

c) Pendidikan
Adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan prilaku
positif yang meningkat. Apabila pengetahuan seseorang tinggi terhadap
pentingnya zat gizi terhadap tubuh , maka orang akan mengetahui zat-zat gizi
yang harus dia konsumsi, sehingga terhindar dari penyakit kekurangan gizi.

d) Informasi
Seseorang mendapatkan informasi yang lebih banyak akan menambah
pengetahuannya.

e) Budaya
Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yaitu
meliputi sikap dan kepercayaan. Kepercayaan seseorang terhadap makanan
sebagai sumber zat gizi dapat mempengaruhi pola makan seseorang.

Penyebab Lain
Penelitian di negara berkembang mengemukakan bahwa bayi lahir dari ibu
yang menderita anemia kemungkinan akan menderita anemia gizi, mempunyai
berat badan lahir rendah, prematur dan meningkatnya mortalitas (Academi of
Sciences, 1990).
Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak (Soemantri, 1982):
a. Pengadaan zat besi yang tidak cukup
1. Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup.
Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar
Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi
yang berat
Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum
persalinan seperti adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan
retroplasesta
2. Asupan zat besi kurang cukup
b. Absorbsi kurang
1. Diare menahun
2. Sindrom malabsorbsi
3. Kelainan saluran pencernaan
c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir
kurang bulan dan pada saat akil balik.
d. Kehilangan darah
1. Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada
poliposis rektum, divertkel Meckel
2. Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.

Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena
rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat
perdarahan menahun.
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
1. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
2. Saluran genitalia (perempuan): menorhagia.
3. Saluran kemih: hematuria.
4. Saluran nafas: hemoptisis.
5. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan
(asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
rendah.
6. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.
7. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau
dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi),
polyphenol (coklat, teh, dan kopi).

Anda mungkin juga menyukai