Anda di halaman 1dari 15

TUGAS-9

TL115103. EKOLOGI LINGKUNGAN

KERJASAMA INTERNASIONAL

Kelompok 1 (satu) :

1. Fari Fatullah (011602573125001)


2. Moh. Abdul Azis (011602573125010)
3. M. Rodjulun Kaffah (011602573125005)
4. Syahbudin (011602503125002)

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

2017
A. KERJASAMA INTERNASIONAL
1) Deklarasi Cocoyoc

Tigapuluh tahun sejak didirikanyya Perserikatan Bangsa-Bangsa, upaya


membangun tatanan kerjasama internasional terus berkembang hingga akhirnya
terlaksana Deklarasi Cocoyoc. Sebuah simposium di Cocoyoc, Mexico pada
tanggal 23 Oktober 1974 setelah pelaksanaan deklarasi Stockholm di Swedia. Di
dalam pertemuan ini mengidentifikasi mal-distribution sumber daya sebagai faktor
kunci dalam degradasi lingkungan. Pertemuan yang disponsori PBB ini di pimpin
oleh ekonom Barbara Ward, menyerukan tindakan pengembangan yang difokuskan
pada mengisi kebutuhan dasar manusia. Pasalnya pesan ini telah mencapai titik
kritis dimana murahnya bahan telah menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan
polusi dan mendorong pemborosan dan ekonomi terbuang oleh orang-orang kaya
dan yang miskin dapat menjadi semakin miskin. Isu masalah lingkungan pada saat
itu adalah kepadatan penduduk, kemiskinan buta huruf, kelangkaan energi dan
pencemaran lingkungan.

2) Earth Summit (KTT Bumi)

Earth Summit atau KTT Bumi atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi
memiliki banyak sebutan. Nama resmi konferensi ini adalah Konferensi
Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan atau dalam
bahasa Inggrisnya United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED). Pertemuan ini sering disebut juga KTT Rio.

KTT bumi diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada 3-14


Juni 1992 di Rio de Jeneiro, Brasil. Pertemuan ini digagas untuk menyatukan
pandangan tentang pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan. Konferensi
diikuti oleh 172 negara dan dihadiri oleh 108 kepala negara/pemerintah.

Pasca perang dunia II, dunia kembali memasuki masa damai yang panjang.
Hampir semua negara fokus menata pembangunan. Ada yang terlupakan dengan
pesatnya pembangunan, yakni masalah lingkungan hidup yang dari waktu ke waktu
kualitasnya makin memburuk. Saat itu terbit sebuah buku berjudul Musim semi

2
yang sepi (Silent Spring) karya Rachel Carson. Buku ini begitu menyentak dan
membuka mata dunia terhadap isu-isu lingkungan.

Merespon kepedulian lingkungan yang semakin luas Perserikatan Bangsa


Bangsa mengagas konferensi pertama lingkungan global yang di adakan pada
tanggal 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Konferensi dihadiri oleh 113 delegasi
dari berbagai negara dan hanya dua kepala negara yakni Olaf Palme dari Swedia
dan Indira Gandhi dari India. Meskipun begitu pertemuan ini menjadi tonggak
lingkungan hidup. Dalam pertemuan keluar resolusi pembentukan Badan
Lingkungan hidup PBB (UNEP). Selain itu, setiap tanggal 5 Juni diperingati
sebagai hari lingkungan hidup sedunia.

Sejak konferensi Stockholm polarisasi antara kubu pro pembangunan


(developmentalist) pro lingkungan hidup (Environmentalist) semakin menajam.
Kemudian muncul berabagai pertemuan dan laporan penting mengenai
pembangunan berkelanjutan, upaya mencari titik temu antara pembangunan dan
pelestarian lingkungan hidup. Salah satu yang paling penting
adalah laporan Brundtland (1987) yang merumuskan prinsip pembangunan
berkelanjutan.

Kemudian pada tahun 1992 Perserikatan Bangsa Bangsa menggagas


Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan di
Rio de Jeneiro, Brasil. Pertemuan ini dihadiri oleh 108 kepala negara dan disebut-
sebut sebagai pertemuan dengan partisipan kepala negara terbesar hingga saat itu.
Sehingga nama pertemuan ini dikenal sebagai KTT Bumi.

Pasca KTT bumi banyak digelar pertemuan global penting berkenaan


dengan lingkungan hidup seperti Earth Summit+5 tahun 1997 di New York,
Amerika Serikat, yang menghasilkan Tujuan Pembangunan Milenium (Milenium
Development Goals), KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on
Sustainable Development) tahun 2002 di Johanesburg, Afrika Selatan, dan yang
terakhir Rio+20 pada tahun 2012 di Rio de Jeneiro, Brasil.

3
Hasil-hasil KTT BUMI

KTT Bumi menghasilkan dokumen-dokumen yang mengikat dan tidak


mengikat. Dokumen mengikat adalah kesepakatan yang mewajibkan para pihak
penandatangannya untuk mematuhi dan melaksanakan kesepakatan tersebut.
Sedangkan dokumen tidak mengikat lebih kepada norma-norma yang diharus
dilakukan tanpa adanya paksaan untuk melaksanakan.

Dokumen-dokumen yang tidak mengikat antara lain:

1) Agenda 21, sebuah program komprehensif pembangunan berkelanjutan.


2) Deklarasi Rio, berisi hak dan kewajiban negara berkenaan dengan lingkungan
dan pembangunan.
3) Prinsip-prinsip hutan, berisi prinsip-prinsip untuk mengelola hutan secara
lestari.

Dokumen-dokumen yang mengikat antara lain:

1) Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)


2) Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC)

3) Agenda 21

Asal mula dimulainya penentuan kebijakan dan program agenda 21


berdasarkan adanya komitmen global (internasional) dalam rangka mengatasi
kerusakan lingkungan di dunia. Komitmen bersama antar berbagai Negara di mulai
melalui adanya konferensi, konvensi, perhimpunan sampai adanya konvensi KTT
bumi.

Agenda 21 merupakan program aksi untuk mempersiapkan dunia dalam


menghadapi tantangan abad ke 21 agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan
pembangunan tetap berlanjut. Agenda 21 juga merupakan transformasi konsep
pembangunan berkelanjutan menjadi komitmen dan arahan untuk melakukan
tindak nyata dengan memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Selama
jangka waktu setelah konferensi tersebut, banyak yang berubah sementara beberapa
faktor masih sama bahwa adanya ancaman besar dan terus-menerus terhadap iklim

4
bumi dan pola kepunahan satwa, tumbuhan, tidak hanya terhadap ekologi dunia
tetapi juga kapasitas manusia untuk meningkatkan pendapatan dan menghapus
kemiskinan. Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi tersebut, pemerintah Indonesia
menyusun rancangan guna memenuhi persyaratan umum dari prinsip-prinsip
perjanjian lingkungan dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan di Indonesia. Dokumen agenda 21 diharapakan dapat
memberikan peran dan strategi perbaikan lingkungan khususnya akibat kerusakan
lingkungan global oleh terutama aktivitas manusia.

Agenda 21 dibuat berdasarkan adanya komitmen global (internasional)


dengan maksud mengatasi kerusakan lingkungan di dunia. Komitmen bersama
antar berbagai Negara di mulai melalui adanya konferensi, konvensi, perhimpunan
sampai adanya konvensi KTT bumi. Adapun tujuan dari agenda 21 adalah untuk :

1) Pelaksanaan dan pengembangan program aksi untuk terwujudnya


pembangunan berkelanjutan untuk saat ini dan abad ke 21
2) Pengintegrasian pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam satu
paket kebijakan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan (biogeofisik, sosekbud, kelembagaan, LSM).
3) Implementasi 7 aspek agenda 21 global

Dokumen agenda 21 global dianggap sebagai suatu hasil yang paling


penting dalam KTT bumi ini, yang berisi aksi-aksi dimana setiap pemerintah,
organisasi internasional, sektor swasta dan masyarakat luas, dapat melakukan
perubahan-perubahan yang diperlukan bagi pembangunan social ekonominya.
Adapun, 7 aspek yang ditekankan dalam agenda 21 global adalah :

1) Kerjasama internasional
2) Pengentasan kemiskinan
3) Perubahan pola konsumsi
4) Pengendalian kependudukan
5) Perlindungan dan peningkatan kesehatan
6) Peningkatan pemukiman secara berkelanjutan
7) Pemaduan lingkungan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan

5
4) Kyoto Prokol

Segera setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-bangsa


mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework Convention on
Climate Change) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio de
Janeiro, Brazil, negara-negara peserta konvensi mulai melakukan negosiasi-
negosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam mengurangi emisi
gas rumah kaca (selanjutnya disebut GRK).

Pada saat pertemuan otoritas tertinggi tahunan dalam UNFCCC ke-3


(Conference of Parties 3 - COP) diadakan di Kyoto, Jepang, sebuah perangkat
peraturan yang bernama Protokol Kyoto diadopsi sebagai pendekatan untuk
mengurangi emisi GRK. Kepentingan protokol tersebut adalah mengatur
pengurangan emisi GRK dari semua negara-negara yang meratifikasi. Protokol
Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997, kurang lebih 3 tahun setelah
Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan bagaimana negara-negara
peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi GRK mereka.

Menurut pengertiannya secara umum (http://untreaty.un.org/), protokol


adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah disepakati. Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat
secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk
untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi
lebih detil dan spesifik.

Sepanjang COP 1 dan COP 2 hampir tidak ada kesepakatan yang berarti
dalam upaya penurunan emisi GRK. COP 3 dapat dipastikan adalah ajang
perjuangan negosiasi antara negara-negara ANNEX I yang lebih dulu
mengemisikan GRK sejak revolusi industri dengan negara-negara berkembang
yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara maju memiliki kepentingan
bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat lepas dari konsumsi energi dari
sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Untuk mengakomodasikan
kepentingan antara kedua pihak tersebut Protokol Kyoto adalah satu-satunya

6
kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi GRK yang
mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan lebih tegas dan terikat secara
hukum (legally binding).

Dalam Protokol Kyoto disepakati bahwa seluruh negara ANNEX I wajib


menurunkan emisi GRK mereka rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi tersebut
di tahun 1990. Tahun 1990 ditetapkan dalam Protokol Kyoto sebagai acuan dasar
(baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK. Bagi negara NON ANNEX I
Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK, tetapi mekanisme
partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di dalamnya, prinsip tersebut
dikenal dengan istilah "tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda"
(common but differentiated responsbility). Protokol Kyoto mengatur semua
ketentuan tersebut selama periode komitmen pertama yaitu dari tahun 2008 sampai
dengan 2012.

Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur masalah


pengurangan emisi GRK, seperti dijelaskan di bawah ini:

1) Joint Implementation (JI), mekanisme yang memungkinkan negara-negara


maju untuk membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit
penurunan atau penyerapan emisi GRK.
2) Emission Trading (ET), mekanisme yang memungkinkan sebuah negara maju
untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya. ET
dapat dimungkinkan ketika negara maju yang menjual kredit penurunan emisi
GRK memiliki kredit penurunan emisi GRK melebihi target negaranya.
3) Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme yang memungkinkan
negara non-ANNEX I (negara-negara berkembang) untuk berperan aktif
membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh
sebuah negara maju. Nantinya kredit penurunan emisi GRK yang dihasilkan
dari proyek tersebut dapat dimiliki oleh negara maju tersebut. CDM juga
bertujuan agar negara berkembang dapat mendukung pembangunan
berkelanjutan, selain itu CDM adalah satu-satunya mekanisme di mana negara
berkembang dapat berpartisipasi dalam Protokol Kyoto.

7
Bagi negara-negara ANNEX I mekanisme-mekanisme di atas adalah
perwujudan dari prinsip mekanisme fleksibel (flexibility mechanism). Mekanisme
fleksibel memungkinkan negara-negara ANNEX I mencapai target penurunan
emisi mereka dengan 3 mekanisme tersebut di atas.

Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum, yang
pertama adalah sekurang-kurangnya protokol harus diratifikasi oleh 55 negara
peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim, dan yang kedua adalah jumlah emisi total
dari negara-negara ANNEX I peratifikasi protokol minimal 55% dari total emisi
mereka di tahun 1990. Pada tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani
protokol tersebut yang berarti syarat pertama telah dipenuhi. Kemudian pada
tanggal 18 November 2004 Rusia akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto dan
menandai jumlah emisi total dari negara ANNEX I sebesar 61.79%, ini berarti
semua syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90
hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada tanggal 16 Februari 2005.

5) MDGs dan SDGs


MDGs

MDGs muncul dari pertemuan para pemimpin dunia yang mempunyai visi
yang sama yaitu memerangi kemiskinan dari berbagai aspek. Dari pertemuan
tersebut terlahirlah 8 Goals atau 8 tujuan, antara lain;

1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim


2) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
4) Menurunkan angka kematian anak
5) Meningkatkan kesehatan ibu
6) Memerangi HIV AIDS, malaria serta penyakit lainnya
7) Memastikan kelestarian lingkungan
8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

Dalam konteks Ekologi lingkungan, hanya 1 item yang perlu diperhatikan,


yaitu; memastikan kelestarian lingkungan. Di bawah ini adalah upaya yang belum
pernah terjadi sebelumnya telah menghasilkan pencapaian yang mendalam;

8
Ozone-depleting substances have been virtually eliminated since 1990, and
the ozone layer is expected to recover by the middle of this century.
Zat penghilang ozon telah dieliminasi sejak tahun 1990, dan lapisan ozon
diperkirakan pulih pada pertengahan abad ini.
Terrestrial and marine protected areas in many regions have increased
substantially since 1990. In Latin America and the Caribbean, coverage of
terrestrial protected areas rose from 8.8 per cent to 23.4 per cent between
1990 and 2014.
Kawasan lindung terestrial dan laut di banyak wilayah telah meningkat secara
substansial sejak tahun 1990. Di Amerika Latin dan Karibia, cakupan
kawasan lindung terestrial meningkat dari 8,8 persen menjadi 23,4 persen
antara tahun 1990 dan 2014.
In 2015, 91 per cent of the global population is using an improved drinking
water source, compared to 76 per cent in 1990.
Pada tahun 2015, 91 persen populasi global menggunakan sumber air minum
yang lebih baik, dibandingkan dengan 76 persen pada tahun 1990.
Of the 2.6 billion people who have gained access to improved drinking water
since 1990, 1.9 billion gained access to piped drinking water on premises.
Over half of the global population (58 per cent) now enjoys this higher level
of service.
Dari 2,6 miliar orang yang telah memperoleh akses terhadap air minum yang
lebih baik sejak tahun 1990, 1,9 miliar memperoleh akses terhadap air minum
perpipaan di tempat. Lebih dari setengah populasi global (58 persen) sekarang
menikmati tingkat layanan yang lebih tinggi ini.
Globally, 147 countries have met the drinking water target, 95 countries have
met the sanitation target and 77 countries have met both.
Secara global, 147 negara telah memenuhi target air minum, 95 negara telah
memenuhi target sanitasi dan 77 negara telah bertemu keduanya.
Worldwide, 2.1 billion people have gained access to improved sanitation. The
proportion of people practicing open defecation has fallen almost by half
since 1990.

9
Di seluruh dunia, 2,1 miliar orang mendapatkan akses terhadap sanitasi yang
lebih baik. Proporsi orang yang berlatih buang air besar terbuka hampir
setengahnya sejak tahun 1990.
The proportion of urban population living in slums in the developing regions
fell from approximately 39.4 per cent in 2000 to 29.7 per cent in 2014.
Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh di daerah
berkembang turun dari sekitar 39,4 persen di tahun 2000 menjadi 29,7 persen
pada tahun 2014.

SDGs

Sustainable Development Goals (SDG) adalah akuntansi pertama di mana


dunia berada pada awal perjalanan kolektif sampai tahun 2030. Laporan ini
menganalisis indikator terpilih dari kerangka indikator global dimana data tersedia
sebagai contoh untuk menyoroti beberapa kesenjangan dan tantangan kritis. Daftar
indikator SDG yang disepakati oleh Komisi Statistik PBB pada bulan Maret 2016
akan mengalami penyempurnaan dan perbaikan karena metode dan ketersediaan
data meningkat.

Sebanyak 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan 169 target


yang diumumkan, menunjukkan skala dan ambisi dari agenda universal yang baru.
Butir-butir tersebut dibangun berdasarkan Tujuan Pembangunan Milenium
(MDGs) dan melengkapi apa yang belum sempat tercapai. Butiran tersebut juga
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk mencapai kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan, baik tua maupun muda. Tujuan-tujuan
tersebut seluruhnya terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan, juga menyeimbangkan
tiga dimensi pembangunan berkelanjutan: ekonomi, sosial dan lingkungan.

Di bawah ini merupakan salah satu contoh target yang berhubungan dengan
ekologi lingkungan;

Tujuan 13. Mengambil aksi segera untuk memerangi perubahan iklim dan
dampaknya*

10
13.1 Menguatkan daya tahan dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya hal-hal yang
berkaitan dengan iklim dan bencana alam di semua negara

13.2 Mengintegrasikan ukuran-ukuran perubahan iklim kedalam kebijakan, strategi


dan perencanaan nasional

13.3 Memperbaiki pendidikan, penyadaran dan juga kapasitas baik manusia


maupun institusi terhadap mitigasi perubahan iklim, adaptasi, pengurangan dampak
dan peringatan dini

13.a Mengimplementasikan komitmen yang dibuat oleh pihak negara-negara maju


kepada Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim dengan tujuan
untuk memobilisasikan secara bersama $100 milyar pertahunnya pada tahun 2020
dari segala sumber untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang dalam
konteks aksi mitigasi dan transparansi terhadap implementasinya dan secara penuh
mengoperasionalisasikan Dana Iklim Hijau (GCF) melalui kapitalisasiya secepat
mungkin

13.b Mendukung mekanisme untuk peningkatan kapasitas untuk perencanaan dan


manjemen terkait perubahan iklim yang efektif di negara-negara kurang
berkembang dan negara berkembang kepulauan kecil, dengan berfokus pada
perempuan, remaja, dan masyarakat lokal dan marjinal

*Mengakui bahwa Kerangka Kerja Konvensi mengenai Perubahan Iklim


merupakan forum internasional, antar pemerintah utama untuk menegosiasikan
respon global terhadap perubahan iklim.

B. IMPLEMENTASI KERJASAMA INTERNASIONAL DI INDONESIA


Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Cocoyoc

Pada dasarnya peraturan pemerintah Indonesia sudah memuat konsep-


konsep dan prinsip-prinsip yang sama dengan Deklarasi Stockholm 1972 dan
Deklarasi Cocoyoc, misalnya kewenangan negara, hak dan kewajiban masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup dan konsep lainnnya. Hal ini dapat dilihat dari
pasal yang tercantum dalam UU 23/1997 (UUPLH), yaitu Pasal 4 yang berbunyi:

11
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas
tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Selain itu, ada juga Pasal 5 yang berbunyi:

1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan
dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menerapkan


asas-asas yang tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Cocoyoc.

Earth Summit (KTT Bumi), Agenda 21 dan Kyoto Protokol

Dalam Agenda 21 Indonesia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup,


1997), strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan terdiri dari 18 bab yang
memuat empat program pokok saling mengisi, yaitu :

(1) Pelayanan masyarakat,


(2) Pengelolaan limbah,
(3) Pengelolaan sumberdaya tanah, dan
(4) Pengelolaan sumberdaya alam.

Tiap program pokok diatas terbagi menjadi sejumlah program. Pelayanan


masyarakat memuat program (i) pengentasan kemiskinan, (ii) perubahan pola
konsumsi, (iii) dinamika kependudukan, (iv) pengelolaan dan peningkatan
kesehatan, (v) pengembangan perumahan dan pemukiman, dan (vi) sistem
perdagangan global, instrument ekonomi, neraca ekonomi, dan lingkungan terpadu.
Pengelolaan limbah memuat program (i) perlindungan atmosfer, (ii) pengelolaan

12
bahan kimia beracun, (iii) pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, (iv)
pengeloaan limbah radioaktif, dan (v) pengelolaan limbah padat dan cair.

MDGs dan SDGs

Tujuan MDGs ketujuh adalah untuk menghalangi kerusakan yang


dihasilkan dari pembangunan. Pembangunan di Indonesia telah banyak
mengorbankan lingkungan seperti menebang pohon, merusak lahan, membanjiri
sungai-sungai dan jalur air serta atmosfir dengan lebih banyak polutan. Tujuan ini
menelaah seberapa besar wilayah kita yang tertutup oleh pohon. Ini penting bagi
Indonesia karena kita memiliki sejumlah hutan yang paling kaya dan paling
beragam di dunia. Selama periode 1997 hingga 2000, kita kehilangan 3,5 juta hektar
hutan per tahun, atau seluas propinsi Kalimantan Selatan.

Semua ini menimbulkan masalah besar bagi penduduk yang


menggantungkan penghidupan mereka pada hutan, khususnya sekitar 10 juta
penduduk miskin, termasuk kelompok masyarakat adat. Penggundulan hutan juga
seringkali disertai dengan kebakaran hutan yang menimbulkan masalah kesehatan
yang serius selain memproduksi gas rumah kaca yang dilepaskan dalam jumlah
besar ke atmosfer. Penggundulan hutan juga mengurangi keragaman hayati kita.
Seperti yang sudah anda bayangkan, untuk indikator MDGs ini, Indonesia masih
jauh dari target.

Untuk keperluan air minum, tujuan MDGs ketujuh antara lain menetapkan
target untuk menurunkan separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki
akses yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman.

Dengan kemajuan yang kita capai hingga saat ini, nampaknya kita hampir
memenuhi target. Namun dalam kenyataannya, untuk dapat mencapai target
minimal air bersih akan sulit. Penyebabnya berbeda-beda antara kawasan
perkotaan dengan pedesaan. Di kawasan perdesaan sistem yang telah terpasang
mencapai 50%, tetapi tidak terpelihara dengan baik.

Indonesia, melalui Wakil Presiden HM Jusuf Kalla, pada Sidang Umum


Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) tahun lalu, berkomitmen ikut agenda
pembangunan global pada kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

13
(Sustainable Development Goal/SDG). Indonesia turut mendeklarasikan agenda
pembangunan itu pada 25 September 2015 di New York, Amerika Serikat.

Perbedaan antara MDG dan SDG secara prinsip adalah SDG lebih ambisius
dan lebih sulit pencapaiannya dibandingkan dengan MDG. Jika di dalam MDG
banyak indikator yang hanya membebani target pengurangan hingga
setengahnya, maka SDG justru ingin menuntaskan sebagian indikatornya menjadi
zero goals.

Indonesia terlambat 8-10 tahun dalam pelaksanaan MDG, sehingga belum


mampu mencapai target 19 indikator dari 67 indikator MDG. Indikator yang tidak
tercapai antara lain mengurangi penduduk miskin, menekan kematian ibu
melahirkan dan meminimalkan jumlah balita bergizi kurang. Sebagian besar dari
indikator di atas ada dalam sektor kesehatan, namun dipicu berbagai sektor lain
seperti pendidikan, sanitasi dan keterbatasan infrastruktur. Kegagalan pencapaian
target MDG juga disebabkan kurang dilibatkannya kelompok masyarakat sipil dan
dunia usaha

C. KESIMPULAN

Kerjasama internasional yang telah dilakukan mulai dari Deklarasi


Stockholm, Deklarasi Cocoyoc, Earth Summit, Agenda 21, Kyoto Protokol, MDGs
dan SDGs merupakan pertemuan yang bertujuan mengatasi permasalahan
lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB. Pertemuan yang dilakukan di
Stockholm, Swedia adalah pertemuan pertama kali yang dilakukan oleh PBB yang
membahas tentang permasalahan lingkungan hidup. Kemudian berlanjut pada
Deklarasi Cocoyoc yang berlangsung pada tanggal 23 Oktober 1974 di Cocoyoc,
Mexico.

Kemudian pada tahun 1992 Perserikatan Bangsa Bangsa menggelar


Konferensi yang dikenal dengan Earth Summit (KTT Bumi) di Rio de Jeneiro,
Brasil dan menghasilkan diantaranya adalah Agenda 21. Prinsip Agenda 21 adalah
perjanjian lingkungan dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan yang kemudian melahirkan MDGs dan SDGs.

14
DAFTAR PUSTAKA

http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/neg
otiation_kyoto_p.cfm (diakses pada tanggal 15 Juni 2017)

https://jurnalbumi.com/ktt-bumi/ (diakses pada tanggal 15 Juni 2017)

Renasafitri, (diakses pada tanggal 15 Juni 2017)


http://rennasavitri.blogspot.co.id/2009/05/agenda-21-ku.html.

http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/sustainable-development-
goals.html (diakses pada 14 Juni 2017)

http://blhd.bantenprov.go.id/upload/005_SUSTAINABLE%20DEVELOPMENT
%20GOALS%202015-2030.pdf (diakses pada 14 Juni 2017)

http://www.undp.org/content/dam/undp/library/corporate/brochure/SDGs_Booklet
_Web_En.pdf (diakses pada 14 Juni 2017)

https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/331/265 (diakses pada 14


Juni 2017)

15

Anda mungkin juga menyukai