Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif.

Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian

tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media

buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang

tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi

tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman

dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan

di tempat steril (Gunawan 1987).

Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut tissue culture adalah membudidayakan

suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya

(Hendaryono dkk, 1994).

Menurut Suryowinoto dan Suryowinoto (1977), dasar teori yang digunakan adalah

teori totipotensi yang ditulis oleh SCHLEIDEN dan SCHWANN yang menyatakan bahwa

teori totipotensi adalah bagian tanaman yang hidup mempunyai totipotensi, kalau

dibudidayakan di dalam media yang sesuai, akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi

tanaman yang sempurna, artinya dapat bereproduksi, berkembang biak secara normal melalui

biji atau spora.

Fungsi kultur jaringan (Sisunandar, 2011) :

1. Memperbanyak tanaman

2. Eliminasi virus

3. Perbaikan kualitas tanaman


4. Tanaman haploid

5. Fusi protoplas

6. Variasi seleksi somaklonal

7. Modifikasi genetik

8. Menyimpan spesies tanaman

9. Produsen metabolit sekunder

Banyak sekali bagian tanaman yang dapat dikulturkan seperti embrio, tunas, meristem

dan lain-lain. Teknik kultur jaringan didasari oleh konsep totipotensi sel yang artinya total

genetic potential atau setiap sel dari tubuh multisel memiliki potensi memperbanyak diri dan

berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (George dan Sherrington, 1984).

2.2 Kultur Jaringan Tunas

Kultur mata tunas/single-node atau multiple-node culture (invitro layering), kultur

mata tunas ini merupakan salah satu teknik invitro yang digunakan untuk perbanyakan

tanaman dengan merangsang munculnya tunas-tunas aksilar dari mata tunas yang

dikulturkan. Seperti halnya kultur pucuk, eksplan yang digunakan dalam kultur mata tunas

dapat berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang mengandung satu

atau lebih mata tunas (mengandung satu atau lebih buku). Dikenal dua teknik kultur mata

tunas yaitu eksplan yang mengandung mata tunas lebih dari satu ditanam secara horisontal di

atas medium padat (teknik invitro layering) atau (2) tiap buku yang mengandung satu mata

tunas dipotong-potong dan ditanam secara terpisah dalam tiap-tiap botol kultur (Luri, 2009).

2.3 Pengearuh IBA Terhadap Proses Kultur Jaringan Tunas

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik bukan hara, yang dalam

jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat mengubah proses fisiologi
tumbuhan. Fungsi ZPT tersebut adalah untuk merangsang pertumbuhan morfogenesis dalam

kultur sel, jaringan, dan organ (Gunawan, 1987).

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik komplek alami yang disintesis oleh

tanaman tingkat tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

ZPT yang sering digunakan pada kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Jika konsentrasi

auksin lebih besar daripada sitokinin maka akar akan tumbuh, dan bila konsentrasi sitokinin

lebih besar daripada auksin maka tunas akan tumbuh. Interaksi dan perimbangan antara zat

pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen,

menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1987).

Ada lima jeni zat pengatur tumbuh yaitu auksin, sitokinin, giberelin, Inhibitor/asam

absisat dan etilen. ZPT menstimulasi pertumbuhan dengan memberi isyarat kepada sel target

untuk membelah atau memanjang, beberapa ZPT menghambat pertumbuhan dengan cara

menghambat pembelahan atau pemanjangan sel. Sebagian besar molekul ZPT dapat

mempengaruhi metabolisme dan perkembangan sel-sel tumbuhan. ZPT melakukan ini dengan

cara mempengaruhi lintasan sinyal tranduksi pada sel target. Pada tumbuhan seperti halnya

pada hewan, lintasan ini menyebabkan respon selular seperti mengekspresikan suatu gen,

menghambat atau mengaktivasi enzim, atau mengubah membran. Pengaruh dari suatu ZPT

bergantung pada spesies tumbuhan, situs aksi ZPT pada tumbuhan, tahap perkembangan

tumbuhan dan konsentrasi ZPT. Satu ZPT tidak bekerja sendiri dalam mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, pada umumnya keseimbangan konsentrasi dari

beberapa ZPT-lah yang akan mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Luri,

2009).
Metode Mohr merupakan kunci keberhasilan dalam kultur jaringan. Berikut ini tabel

kombinasi ZPT auksin sitokinin dalam metode Mohr (Mohr dan Schopfer dalam

Hendaryono, 1994) :

Auksin merupakan salah satu ZPT yang sering digunakan dalam kultur jaringan

tanaman dengan dimasukkan ke dalam media tumbuh. Peran fisiologis auksin adalah

mendorong pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xylem dan floem, serta

pembentukan akar. Dalam kultur jaringan, auksin diperlukan untuk pembentukan klorofil,

pertumbuhan kalus, suspensi sel morfogenesis akar dan tunas. Auksin sintetis terdiri atas

indole 3 acetic acid (IAA), indole 3 butyric acid (IBA), 1-naphthaleneacetic acid (NAA),

dan herbisida yang bersifat auksin (Wattimena, 1992).


DAFTAR PUSTAKA

Dodds, J.H. dan L.W. Roberts. 1983. Experiments in Plant Tissue Culture. Cambridge

Cambridge University Press.

George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by Tissue Culture, Handbook

and Directory of Commercial Laboratories. Reading, UK.: Eastern Press. Imelda,

M. 1991. Penerapan

Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan

Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti dan Wijayani Ari. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Konisius.

Yogyakarta.

Luri, S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). http://kultur-jaringan.blogspot.com/2009/09/zat-

pengatur-tumbuh-zpt.html. Diakses pada tanggal 24 maret 2013, pukul 16.59.

Sisunandar, A. Rival, P. Turquay, Y. Samosir. S.W. Adkins. 2011. Cryopreservation of

coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryos does not induce morphological,

cytological or molecular changes in recovered seedlings. Planta 232:435-447.

Suryowinoto, S. M., dan M. Suryowinoto. 1977. Perbanyakan Vegetatif pada anggrek,

Penerbit Yayasan Kanisius. Yogyakarta. hal : 57.

Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman I. Pusat Antar- Universitas Bioteknologi,

Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai