PERSOALAN PENDAHULUAN
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas berupa makalah yang berjudul Persoalan
Pendahuluan. Dimana penulisan makalah ini merupakan salah satu persyaratan dalam
Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun pada materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan penulisan
makalah ini.
Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada dosen Hukum Perdata
Internasional yang telah memberi banyak pengetahuan, juga keluarga tercinta yang telah
memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Dan juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi siapapun yang membacanya
dan dapat menjadi tambahan ilmu bagi kamu penyusun makalah ini, aamiin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisah dari kultur kehidupan
manusianya sehingga memungkinkan adanya hubungan diantara satu sistem hukum dengan
sistem hukum yang lainnya sebanding dengan mobilitas masyarakat di dunia. Sehingga lahir
hukum perdata Internasional yang mewadahi penyelesaian perkara yang terjadi diantara
masyarakat dari berbagai negara.
HPI adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan
atau peristiwa antar warga (warga) Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-
titik pertalian dengan stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara yang
berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, pribadi dan soal-soal.
Sebagai bagian dari hukum perselisihan, Hukum Perdata Internasional (HPI) pada
dasarnya merupakan perangkat di dalam sistem hukum nasional yang mengatur hubungan-
hubungan atau peristiwa-peristiwa hukum yang menunjukkan kaitan lebih dari satu sistem
hukum nasional.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Persoalan Pendahuluan?
2. Bagaimana cara-cara penyelesaian Persoalan Pendahuluan?
3. Apa yang menjadi batasan dari Persoalan Pendahuluan terhadap lain-lain
persoalan yang berdekatan?
4. Apa pentinganya Persoalan Pendahuluan?
5. Bagaimana pemakaian Lex Fori dan Lex Causae dalam Persoalan Pendahuluan?
6. Bagaimana bentuk kasus Persoalan Pendahuluan?
BAB II
PEMBAHASAN
Jadi masalah incidential question dapat timbul dalam penyelesaian suatu perkara hpi karena:
1
Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.2001),hlm.111
2
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia ( Bandung : Binacipta,1987),hlm.220
3
Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional ( Bandung : PT Citra Aditya Bhakti 2001),hlm.112
hukum mengenai persoalan pokok walaupun dalam system HPI dari forum, hal ini berdiri
sendiri.4
Persoalan HPI utama dalam incidential question ini sebenarnya terletak pada
pertanyaan:
Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan incidential
question, maka perlu dipenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:
Main Issue yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI
yang berdasarkan kaidah HPI forum harus tunduk pada hukum asing
Dalam perkara yang sama harus terdapat Subsidiary Issue yang
mengandung unsur asing, yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI
yang terpisah dan diselesaikan melalui penggunaan kaidah HPI lain secara
independen
Kaidah HPI yang digunakan untuk menentukan Lex Causae bagi Subsidiary
issue akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang
akan dihasilkan seandainya Lex Causae dari Main Issue yang digunakan5
4
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Binacipta, 1987 ),hlm.221-222
5
Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.2001),hlm.112-113
1. Bahwa setelah diketemukan bahwa atas persoalan pokok tentang warisan harus
dipergunakan hukum Junani (Lex Causae), maka persoalan sah tidaknya
perkawinan juga ditentukan menurut Lex Causae itu. Lex Causae ini dipandang
sebagai Concept De Cadre atau Caderwet.
2. Jalan kedua ialah bahwa dengan tidak mengindahkan Lex Causae, maka hakim
Indonesia akan memergunakan HPI-nya sendiri yaitu HPI dari Lex Fori untuk
menentukan Persoalan Pendahuluan tentang sah tidaknya perkawinan itu.
Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan Lex
Causae untuk masalah pendahuluan secara khusus, dan tidak perlu
6
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Binacipta,1987),hlm.223
menetapkan Lex Cause dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan
mengabaikan system hukum mana yang akan merupakan Lex Cause untuk
menjawab masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasi berdasarkan Lex
Fori dan menggunakan kaidah-kaidah HPI-nya yang relefan khusus untuk
menetapkan Lex Cause dari masalah-pendahuluan (zelfstandige aanknoping).
Cara ini disebut penyelesaian dengan Lex Fori.
7
Seto, Bayu, Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.2001),hlm.113-115
Harus diadakan pembedaan antara Persoalan Pendahuluan dan teilfrage
dari persoalan pokok. Suatu persoalan termasuk bagian dari huptfrage jika
mengenai hubungan hukum yang sedang dijadiakan pokok sengketa. Tidak perlu
seluruh hubungan hukum yang tersangkut tetapi cukup jika hanya bagian-bagian
mutlak (Begriffsnotwendige). Begriffsnotwendige Voraussetzungen yang
diepersoalkan. Begriffsnotwendige Bestandteile ini merupakan bagian-bagian
dari persoalan pokok (Teilederhaupirage). Sebagai contoh dapat disebut misalnya:
soal apakah dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan melanggar hukum
(Deliksfahigkeit), persoalan kemampuan bertindak dalam hukum untuk kontrak-
kontrak. Ini adalah contoh daripada bagian-bagian pokok daripada masalah pokok.
Satu contoh lain adalah apabila kita harus mengadili gugatan seorang isteri
terhadap suaminya menyenai harta benda dalam perkawinan. Harus terdapat suatu
perkawinan antara pihak dan perkawinan ini merupakan syarat mutlak untuk
adanya persoalan harta benda. Perkawinan disini merupakan Teil der
Hauptfrage dan bukan suatu Vorfrage (Persoalan Pendahuluan). Dalam hal ini
akan dipergunakan Lex Fori dan bukan Lex Causae. Ternyata tidak demikian
mudah untuk menentukan apakah suatu persoalan termasuk Vorfrage atau
Teilfrage.
b. Terhadap Kwalifikasi
Antara persoalan pendahuluan dan kwalifikasi seringkali kita melihat
mencampuradukan karena kedua persoalan ini berdekatan adanya.
Kualifikasi primer adalah memasukan fakta-fakta dalam kotak-kotak
hukum. Seorang penumpang kapal terbang misalnya telah membeli karcis dan
waktu mendarat dari Jakarta ke singapur telah mengalami kecelakaan disebabkan
kesalahan sang pilot. Apakah tuntutan yang diajukan dihadapan Pengadilan
Negeri Jakarta terhadap maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways adalah
berdasarkan kontrak pengangkutan yang mensyaratkan supaya pengangkutan ini
dilakukan secara aman. Atau sebaliknya persoalan ini termasuk tuntutan
berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum (tort) yang telah terjadi di luar
negeri. Masalah ini adalah kwalifikasi primer yaitu memasukkan fakta-fakta dari
peristiwa bersangkutan kedalam kategori hukum. Setelah dilakukan primary
classification ini, maka dapat ditentukan pilihan akan hukum yang dipergunakan
berdasarkan titik-titik pertalian dalam peristiwa bersangkutan. Misalnya jika
dalam contoh kita tadi dia mengkwalifisir fakta-faktanya sebagai Perbuatan
Melanggar Hukum (tort), maka ia akan memakai Lex Locus Delicti mengenai
kwalifikasi sekunder kita saksikan bahwa baru kemudian setelah hakim
melakukan pilihan hukum yang dipakainya harus ditentukan berapa banyak dan
seara manakah dia harus memergunakan hukum asing. Contoh : ia harus
menggunakan hukum Perancis dan ia menghadapi apa yang dinamakan Instituut
Hukum Personne Morale (Badan Hukum). Apa yang diartikan dengan istilah ini
harus dikwalifikasikan menurut hukum Perancis yang dipergunakan Kwalifikasi
Sekunder.
Persoalan Pendahuluan berlainan dari kwalifikasi walaupun memunyai
hubungan erat.
Pada kwalifikasi sekunder kita menghadapi masalah pembatasan daripada
hukum yang telah dipilih sebagai yang berlaku, yaitu berkenaan suatu hal yang
bersifat tergantung (subsidier), kemudian essentially subordinate or subsidiary
pada kwalifikasi primer yang sudah dilakukan. Misalnya telah kita melakukan
kwalifikasi secara primer bahwa perbuatan tertentu termasuk pengertian
kontrak. Persoalan tentang wewenang bertindak dalam hukum, hanya timbul
sebagai persoalan yang tergantung dari adalah subsidier pada kwalifikasi primer
mengenai kontrak. Inilah kwalifikasi sekunder atau kwalifiasi subsidier,
karena persoalan ini tidak mungkin timbul secara berdiri sendiri. Munculnya
hanya sebagai persoalan subsidier tidak ada penentuan kwalifikasi primer yang
mendahului. Sebaliknya persoalan legitimacy yang kita saksikan tampil atas
kekuatan sendiri tanpa terlebih dahulu telah dilakukan suatu kwalifikasi primer
persoalan-persoalan ini memunyai kaidah HPI-nya sendiri dan kaidah HPI ini bisa
berlainan dalam sistem-sistem hukum yang berbeda.
Persoalannya dalam contoh kita adalah : Jika hukum Y menunjuk kepada
hukum X sebagai hukum yang mengatur soal warisan dan kemudian timbul
persoalan legitimacy ini, apakah persoalan yang belakangan ini akan ditentukan
oleh HPI dari Y atau dari X. Inilah yang merupakan Persoalan Pendahuluan.
F. Contoh Kasus
8
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Binacipta,1987),hlm.226-233
e. Dua minggu setelah perkawinan mereka kembali ke New York, dan
melanjutkan hidup disana sebagai suami isti selama 32 (tiga puluh dua) tahun
dan dikarunia 6(enam) orang anak;
f. Pada tahun 1945, Fnnie May meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah
harta peniggalan yang kini dikuasai suaminya Sam May
g. Setelah Fnnie meninggal dunia, salah seorang anaknya mengajukan gugatan di
pengadilan New York untuk menentang kewenangan Sam May (ayahnya)
untuk menguasai dan mengurusi kekayaan peninggalan istrinya;
h. Dasar dari gugatan ini adalah karena perkawinan Sam dan Fannie May did an
berdasarkan hukum Rhode Island dianggap tidak sah9
Persoalan Hukum;
1. Apakah Sam May berwenang untuk menguasai dan mengurus kekayaan Fannie
May, dengan alas hak bahwa ia adalah pasangan yang masih hidup (surviving
spouse) dari sepasang suami istri yang telah menikah dengan sah. Hal ini harus
diputuskan berdasarkan Lex Domicili dari Sam dan Fnnie, yaitu hukum New
York. Gugatan sang anak inilah yang menjadi masalah pokok (Haupfrage Main
Question) dalam kasus ini.
2. Untuk memutus persoalan pada butir 1 ini pengadilan New York menghadapi
kenyataan bahwa mereka harus memutuskan terlebih dahulu, Apakah perkawinan
Sam dan Fnnie May did an berdasarkan Rhode Island dapat diterima sebagai
perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah incidental question (vorfrage,
persoalan-pendahuluan) dalam kasus ini yang harus ditetapkan terlebih
dahulu,sebelum hakim dapat memutus persoalan pokoknya.
Fakta Hukum:
- Hukum intern New York : menganggap perkawinan antara seorang paman dengan
seorang kemenakan adalah incestuous dan karena itu batal demi hukum;
- Kaidah HPI New York sama sekali tidak jelas mengenai keabsahan dari perkainan
dua orang warga New York yang diresmikan disuatu Negara bagian lain. Karena
itu sah tidaknya perkawinan harus ditentukan berdasarkan hukum dari tempat
peresmian perkawinan (Lex Loci Celebrationis);
9
Gautama, Sudargo, Aneka Masalah Dalam Praktik Pembaharuan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990, Bab II, hlm. 90 dan seterusnya.
- Kaidah HPI New York juga tidak jelas mengenai pengakuan terhadap keabsahan
sebuah perkawinan warga New York di suatu Negara bagian lain dan yang
dianggap sah di Negara bagian lain itu;
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa
perkawinan yang dianggap sah berdasarkan kaidah-kaidah agama dan tradisi
tertentu, akan dianggap sah pula berdasarkan hukum Negara.
Jadi dalam perkara ini hakim New York telah melakukan Repartition, dengan
mendudukan persoalan-pendahuluannya (sah-tidaknya perkawinan) pada sistem hukum yang
berbeda (hukum Rhode Island) dari sistem hukum yang digunakan untuk menjawab masalah
pokoknya (hukum New York).10
10
Seto, Bayu, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti, 2001), hlm. 115-
118.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Masalah Persoalan Pendahuluan dalam hpi dapat dirumuskan secara
sederhana sebagai suatu persoalan/masalah HPI dalam sebuah perkara yang harus
dipecahkan dan / atau ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah
hpi yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh hakim. Dalam teori HPI
berkembang 3 (tiga) pandangan tentang cara penyelesaian Persoalan Pendahuluan, yaitu
absorption,repartition, dan pendekatan kasus demi kasus.Pembatasan dari persoalan
pendahuluan terhadap lain-lain persoalan yang berdekatan yaitu terhadap teilfragen dan
kwalifikasi.. Persoalan-persoalan pendahuluan dalam praktik jarang terjadi dan hakim oun
tidak sering memertimbangkannya. Hal ini disebabkan karena harus ada tiga syarat yang
dipenuhi sebelum tampil persoalan pendahuluan ini:Bahwa dalam suatu persoalan HPI harus
dipergunakan hukum asing.Bahwa HPI asing bersangkutan harus lain hasilnya daripada
kaidah-kaidah HPI forum sang hakim.Pemakaian Lex Fori dan Lex Causae dalam Persoalan
Pendahuluan.Perbedaan pendapat yang terutama adalah apakah untuk persoalan pendahuluan
ini harus dipakai Lex Fori atau Lex Causae. Mereka yang mengatakan Lex Causae harus
dipakai melihat bahwa persoalan pendahuluan harus diselesaikan menurut hukum yang
dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan pokok (Hauptfrage). Mereka ini memakai titik
taut yang tergantung pada Lex Causae, suatu afhankelijke aanknoping.
DAFTAR PUSTAKA