Anda di halaman 1dari 16

TUGAS TERSTRUKTUR HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

PERSOALAN PENDAHULUAN

DISUSUN OLEH :

- E1A015250 ENRICO RYANTAMA


- E1A015255 PUPUT FILANDO P.
- E1A015256 RUBIYA AMILA D.
- E1A015257 REZKY M. A. R.
- E1A015258 ERSDI NOFEMBRITA
KOLOMPOK : 27

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan

rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas berupa makalah yang berjudul Persoalan

Pendahuluan. Dimana penulisan makalah ini merupakan salah satu persyaratan dalam

menyelesaikan mata kuliah Hukum Perdata Internasional.

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada

teknis penulisan maupun pada materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk

itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan penulisan

makalah ini.

Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada dosen Hukum Perdata

Internasional yang telah memberi banyak pengetahuan, juga keluarga tercinta yang telah

memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada kami dalam

menyelesaikan makalah ini. Dan juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi siapapun yang membacanya

dan dapat menjadi tambahan ilmu bagi kamu penyusun makalah ini, aamiin.

Purwokerto, 1 Desember 2016

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisah dari kultur kehidupan
manusianya sehingga memungkinkan adanya hubungan diantara satu sistem hukum dengan
sistem hukum yang lainnya sebanding dengan mobilitas masyarakat di dunia. Sehingga lahir
hukum perdata Internasional yang mewadahi penyelesaian perkara yang terjadi diantara
masyarakat dari berbagai negara.

HPI adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan
atau peristiwa antar warga (warga) Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-
titik pertalian dengan stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara yang
berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, pribadi dan soal-soal.

Sebagai bagian dari hukum perselisihan, Hukum Perdata Internasional (HPI) pada
dasarnya merupakan perangkat di dalam sistem hukum nasional yang mengatur hubungan-
hubungan atau peristiwa-peristiwa hukum yang menunjukkan kaitan lebih dari satu sistem
hukum nasional.

Persoalan-peesoalan HPI pada dasarnya muncul dalam perkara-perkara yang


melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum dan hukum intern dari yurisdiksi-yurisdiksi itu
berbeda satu sama lain, HPI juga dapat dipahami sebagai proses dan aturan-aturan yang
digunakan oleh pengadilan untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan pada
perkara yang sedang dihadapi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Persoalan Pendahuluan?
2. Bagaimana cara-cara penyelesaian Persoalan Pendahuluan?
3. Apa yang menjadi batasan dari Persoalan Pendahuluan terhadap lain-lain
persoalan yang berdekatan?
4. Apa pentinganya Persoalan Pendahuluan?
5. Bagaimana pemakaian Lex Fori dan Lex Causae dalam Persoalan Pendahuluan?
6. Bagaimana bentuk kasus Persoalan Pendahuluan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Persoalan Pendahuluan

Masalah Persoalan Pendahuluan dalam hpi dapat dirumuskan secara sederhana


sebagai suatu persoalan/masalah hpidalam sebuah perkara yang harus dipecahkan dan / atau
ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah hpi yang menjadi pokok
perkara dapat ditetapkan oleh hakim1

Persoalan pendahuluan dalam bahasa asing:

1. Vorfrage Inzident frage (Jerman),


2. question prealable, preliminaire, incidente ou prejudicielle (Perancis)
3. preliminary
4. subsequent
5. incident question (Inggris)
6. preleable of voorvraag (Belanda)2

Jadi masalah incidential question dapat timbul dalam penyelesaian suatu perkara hpi karena:

putusan terhadap persoalan hukum yang menjadi pokok sengketa


(Hauptfrag/Hoofdvraag/Main Question) akan bergantung pada penetapan hukum atas suatu
hubungan hukum atau persoalan hukum lain yang harus dilakukan terlebih dahulu
(Vorfrag/Voorvraag/Incidential Question/Preliminary Question)3

Persoalan Vorfrage timbul apabila keputusan tentang suatu persoalan hukum


(Hauptfrage) tergantung pada ketentuan tentang sah atau tidak sahnya, atau dari isi, sesuatu
hubungan hukum lain (Vorfrage)

Persoalan Pendahuluan, yang harus dibedakan dari persoalan bagian (Nevenvraag),


adalah persoalan HPI mengenai hukum materil manakah harus dipergunakan atas suatu
hubungan hukum, yang dalam peristiwa tertentu Nampak sebagai bagian daripada keputusan

1
Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.2001),hlm.111
2
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia ( Bandung : Binacipta,1987),hlm.220
3
Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional ( Bandung : PT Citra Aditya Bhakti 2001),hlm.112
hukum mengenai persoalan pokok walaupun dalam system HPI dari forum, hal ini berdiri
sendiri.4

Pranata persoalan pendahuluan (incidental question) dalam perkembangan HPI dapat


dilihat juga sebagai salah satu pranata HPI yang mungkin digunakan hakim untuk
merekayasa putusan perkara, atau setidak-tidaknya mengarahkan penentuan hukum yang
harus diberlakukan untuk menyelesaikan, baik masalah pokok, maupun masalah
pendahuluannya.

Persoalan HPI utama dalam incidential question ini sebenarnya terletak pada
pertanyaan:

apakah subsidiary issue akan ditetapkan berdasarkan suatu system hukum


yang diberlakukan melalui penunjukan oleh kaidah HPI khusus dan
(repartition)? Atau
apakah subsidiary issue akan ditetapkan berdasarkan system hukum yang
juga akan sebagai Lex Causae untuk primary/main issue-nya (Absorption)?

Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan incidential
question, maka perlu dipenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:

Main Issue yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI
yang berdasarkan kaidah HPI forum harus tunduk pada hukum asing
Dalam perkara yang sama harus terdapat Subsidiary Issue yang
mengandung unsur asing, yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI
yang terpisah dan diselesaikan melalui penggunaan kaidah HPI lain secara
independen
Kaidah HPI yang digunakan untuk menentukan Lex Causae bagi Subsidiary
issue akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang
akan dihasilkan seandainya Lex Causae dari Main Issue yang digunakan5

Ada 2 (dua) jalan untuk menyelesaikan masalah Persoalan Pendahulian ini:

4
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Binacipta, 1987 ),hlm.221-222
5
Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.2001),hlm.112-113
1. Bahwa setelah diketemukan bahwa atas persoalan pokok tentang warisan harus
dipergunakan hukum Junani (Lex Causae), maka persoalan sah tidaknya
perkawinan juga ditentukan menurut Lex Causae itu. Lex Causae ini dipandang
sebagai Concept De Cadre atau Caderwet.
2. Jalan kedua ialah bahwa dengan tidak mengindahkan Lex Causae, maka hakim
Indonesia akan memergunakan HPI-nya sendiri yaitu HPI dari Lex Fori untuk
menentukan Persoalan Pendahuluan tentang sah tidaknya perkawinan itu.

Pada kemungkinan pertama kita berbicara tentang afhankelijke aanknoping yaitu


penyelesaian vorfrage digantungkan kepada Lex Causae, sedangkan kemungkinan kedua
disebut penyelesaian secara berdiri sendiri (zelfstandige aanknoping)6

B. Cara-cara Penyelesaian Persoalan Pendahuluan


Dalam teori HPI berkembang 3 (tiga) pandangan tentang cara penyelesaian Persoalan
Pendahuluan, yaitu sebagai berikut:
Absorption
Prinsipnya, melalui absorption, Lex Causae yang dicari dan ditetapkan
melalui penerapan kaidah HPI untuk mengatur masalah pokok (Main Issue)
akan digunakan juga untuk menjawab Persoalan Pendahuluan. Jadi, setelah
Lex Cause untuk masalah pokok ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI
Lex Fori, maka masalah pendahuluannya akan ditundukan pada Lex Causae
yang sama. Cara ini ada kalanya disebut cara penyelesaian berdasarkan Lex
Causae.

Kualifikasi serta penentuan kaidah hukum intern apa yang harus


digunakan untuk memutus masalah-pendahuluannya akan bergantung pada
Lex Causae yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah pokok
(afhankelijke aanknoping).

Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan Lex
Causae untuk masalah pendahuluan secara khusus, dan tidak perlu

6
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Binacipta,1987),hlm.223
menetapkan Lex Cause dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan
mengabaikan system hukum mana yang akan merupakan Lex Cause untuk
menjawab masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasi berdasarkan Lex
Fori dan menggunakan kaidah-kaidah HPI-nya yang relefan khusus untuk
menetapkan Lex Cause dari masalah-pendahuluan (zelfstandige aanknoping).
Cara ini disebut penyelesaian dengan Lex Fori.

Pendekatan kasus demi kasus


Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan Lex Cause untuk
masalah-pendahuluan atau incidental questionnya harus dilakukan dengan
pendekatan kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakikat perkara atau
kebijaksanaan dan kepentingan forum yang mengadili perkara. Menurut
Cheshsire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental question
diselesaikan melalui Absorption. Namun demikian Cheshire sendiri tampak
cenderung untuk menggunakan pola pendekatan yang ketiga (case-by-case
approach) dengan memperhatikan kelas dari jenis perkara yang sedang
dihadapi. Melalui pendekatan ini, misalnya untuk perkara-perkara HPI
dibidang pewarisan benda-benda bergerak (succession to movables) sbaiknya
digunakan Arbsorption, sedangkan untuk perkara-perkara dibidang perbuatan
melawan hukum (tort) atau kontrak sebiknya digunakan Repartition. Di negara
Belanda,misalnya, pengadilan lebih banyak menggunakan repartition,
sedangkan Inggris, seperti yang disinyalir oleh Cheshire, ada kecenderungan
untuk (secara tidak sadar) melakukan absorbsi.

Studi lebih lanjut akan diperlukan untuk menentukan cara penyelesaian


yang mana yang sebaiknya digunakan untuk kebutuhan Indonesia, walaupun
didalam draft akademik rancangan undang-undang HPI Indonesia, masalah ini
tampaknya belum diatur secara jelas.7

C. Pembatasan dari persoalan pendahuluan terhadap lain-lain persoalan yang berdekatan.


a. Terhadap Teilfragen.

7
Seto, Bayu, Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.2001),hlm.113-115
Harus diadakan pembedaan antara Persoalan Pendahuluan dan teilfrage
dari persoalan pokok. Suatu persoalan termasuk bagian dari huptfrage jika
mengenai hubungan hukum yang sedang dijadiakan pokok sengketa. Tidak perlu
seluruh hubungan hukum yang tersangkut tetapi cukup jika hanya bagian-bagian
mutlak (Begriffsnotwendige). Begriffsnotwendige Voraussetzungen yang
diepersoalkan. Begriffsnotwendige Bestandteile ini merupakan bagian-bagian
dari persoalan pokok (Teilederhaupirage). Sebagai contoh dapat disebut misalnya:
soal apakah dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan melanggar hukum
(Deliksfahigkeit), persoalan kemampuan bertindak dalam hukum untuk kontrak-
kontrak. Ini adalah contoh daripada bagian-bagian pokok daripada masalah pokok.
Satu contoh lain adalah apabila kita harus mengadili gugatan seorang isteri
terhadap suaminya menyenai harta benda dalam perkawinan. Harus terdapat suatu
perkawinan antara pihak dan perkawinan ini merupakan syarat mutlak untuk
adanya persoalan harta benda. Perkawinan disini merupakan Teil der
Hauptfrage dan bukan suatu Vorfrage (Persoalan Pendahuluan). Dalam hal ini
akan dipergunakan Lex Fori dan bukan Lex Causae. Ternyata tidak demikian
mudah untuk menentukan apakah suatu persoalan termasuk Vorfrage atau
Teilfrage.
b. Terhadap Kwalifikasi
Antara persoalan pendahuluan dan kwalifikasi seringkali kita melihat
mencampuradukan karena kedua persoalan ini berdekatan adanya.
Kualifikasi primer adalah memasukan fakta-fakta dalam kotak-kotak
hukum. Seorang penumpang kapal terbang misalnya telah membeli karcis dan
waktu mendarat dari Jakarta ke singapur telah mengalami kecelakaan disebabkan
kesalahan sang pilot. Apakah tuntutan yang diajukan dihadapan Pengadilan
Negeri Jakarta terhadap maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways adalah
berdasarkan kontrak pengangkutan yang mensyaratkan supaya pengangkutan ini
dilakukan secara aman. Atau sebaliknya persoalan ini termasuk tuntutan
berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum (tort) yang telah terjadi di luar
negeri. Masalah ini adalah kwalifikasi primer yaitu memasukkan fakta-fakta dari
peristiwa bersangkutan kedalam kategori hukum. Setelah dilakukan primary
classification ini, maka dapat ditentukan pilihan akan hukum yang dipergunakan
berdasarkan titik-titik pertalian dalam peristiwa bersangkutan. Misalnya jika
dalam contoh kita tadi dia mengkwalifisir fakta-faktanya sebagai Perbuatan
Melanggar Hukum (tort), maka ia akan memakai Lex Locus Delicti mengenai
kwalifikasi sekunder kita saksikan bahwa baru kemudian setelah hakim
melakukan pilihan hukum yang dipakainya harus ditentukan berapa banyak dan
seara manakah dia harus memergunakan hukum asing. Contoh : ia harus
menggunakan hukum Perancis dan ia menghadapi apa yang dinamakan Instituut
Hukum Personne Morale (Badan Hukum). Apa yang diartikan dengan istilah ini
harus dikwalifikasikan menurut hukum Perancis yang dipergunakan Kwalifikasi
Sekunder.
Persoalan Pendahuluan berlainan dari kwalifikasi walaupun memunyai
hubungan erat.
Pada kwalifikasi sekunder kita menghadapi masalah pembatasan daripada
hukum yang telah dipilih sebagai yang berlaku, yaitu berkenaan suatu hal yang
bersifat tergantung (subsidier), kemudian essentially subordinate or subsidiary
pada kwalifikasi primer yang sudah dilakukan. Misalnya telah kita melakukan
kwalifikasi secara primer bahwa perbuatan tertentu termasuk pengertian
kontrak. Persoalan tentang wewenang bertindak dalam hukum, hanya timbul
sebagai persoalan yang tergantung dari adalah subsidier pada kwalifikasi primer
mengenai kontrak. Inilah kwalifikasi sekunder atau kwalifiasi subsidier,
karena persoalan ini tidak mungkin timbul secara berdiri sendiri. Munculnya
hanya sebagai persoalan subsidier tidak ada penentuan kwalifikasi primer yang
mendahului. Sebaliknya persoalan legitimacy yang kita saksikan tampil atas
kekuatan sendiri tanpa terlebih dahulu telah dilakukan suatu kwalifikasi primer
persoalan-persoalan ini memunyai kaidah HPI-nya sendiri dan kaidah HPI ini bisa
berlainan dalam sistem-sistem hukum yang berbeda.
Persoalannya dalam contoh kita adalah : Jika hukum Y menunjuk kepada
hukum X sebagai hukum yang mengatur soal warisan dan kemudian timbul
persoalan legitimacy ini, apakah persoalan yang belakangan ini akan ditentukan
oleh HPI dari Y atau dari X. Inilah yang merupakan Persoalan Pendahuluan.

D. Pentinganya Persoalan Pendahuluan


Ada perbedaan pendapat antara para sarjana mengenai penting tidaknya persoalan ini.
Ada yang menganggap sebagai salah satu masalah fundamentil dalam HPI one of the
fundamental problems in the conflict of laws, katanya masalah vorfrage memunyai
hubungan erat dengan pertentangan-pertentangan asasi dalam teori-teori HPI.
Nampaknya para penulis tidak sepaham mengenai ajaran teori umum HPI ini seperti
juga denganlain-lain bidang teori-teroi umum HPI.
Perbedaan paham antara para penulis terutama disebabkan karena belum ada
persesuaian paham mengenai istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai oleh para
sarjana. Seringkali istilah yang dipakai adalah sama bunyinya, tetapi arti yang diberikan oleh
para sarjana adalah berbeda.
Persoalan-persoalan pendahuluan dalam praktik jarang terjadi dan hakim oun tidak
sering memertimbangkannya. Hal ini disebabkan karena harus ada tiga syarat yang dipenuhi
sebelum tampil persoalan pendahuluan ini:
1. Bahwa dalam suatu persoalan HPI harus dipergunakan hukum asing.
2. Bahwa HPI asing bersangkutan harus lain hasilnya daripada kaidah-kaidah HPI forum
sang hakim.
3. Bahwa kaidah materiil dari kedua stelsel bersangkutanjuga harus berbeda adanya.
Apabila salah satu syarat ini tidak dipenuhi maka dalam praktik akan timbul persoalan
pendahuluan

E. Pemakaian Lex Fori dan Lex Causae dalam Persoalan Pendahuluan


Perbedaan pendapat yang terutama adalah apakah untuk persoalan pendahuluan ini
harus dipakai Lex Fori atau Lex Causae. Mereka yang mengatakan Lex Causae harus dipakai
melihat bahwa persoalan pendahuluan harus diselesaikan menurut hukum yang dipergunakan
untuk menyelesaikan persoalan pokok (Hauptfrage). Mereka ini memakai titik taut yang
tergantung pada Lex Causae, suatu afhankelijke aanknoping.
Sebaliknya aliran kedua mengatakan HPI dari Lex Fori yang dipakai untuk persoalan
pendahuluan. Ini adalah aliran titik taut yang berdiri sendiri zelfstandige aanknoping.
(I) Aliran pertama yang mengedepankan Lex Causae adalah aliran yang
merupakan Heersende leer, tetapi pendukung-pendukung dari kedua aliran
ini dapat dianggap sebenarnya sama kuatnya.
Mereka yang pro-Lex Causae disebut Les Causards adalah antara lain:
Melcior, Wengler, Wolff, Neuhaus, Neumayer, Scricl, Robertson, Niboyet,
Lagarde, Di Nederland Voskuil, Van Sasse Van Yssel.
(II) Aliran kedua, Les Foristes dapat disebut duiantaranya sarjana-sarjana
sebagai berikut: Raape, Kegel, Miederer, Schnitzer, Francescakis,Maury,
Rabel, Morris, untuk Nederland Van Hoodstraten, D Winter, Jessurun,
DOliveira, Dubbink, Van Brakel Kisch, Van Der Ploeg.
(III) Disamping dua aliran besar ini dapat juga disebut aliran yang hendak
menempuh jalan tengah dan tidak secara tegas apriori pro Lex Fori atau Lex
Causae. Tergantung dari peristiwa mana yang dihadapi, barulah akan diambil
sikap mengenai persoalan pendahuluan bersangkutan. Disini dapatdisebut
antara lain Lemaire, Louis-Lucas juga Chesthire menurut kami tergolong
pendirian tengah ini. Pendiriannya adalah sesuai dengan praktik hukum di
Inggris yang juga tidak menentukan secara a priori apa yang akan
diperguanakan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang bersifat prealabel
ini. 8

F. Contoh Kasus

1. Re Mays Estate (1953)


Kasus posisi :
a. Sam dan Fannie May adalah paman dan kemenakan yang berkediamaan tetap
di Negara bagian New York, Amerika Serikat. Mereka adalah orang-orang
keturunan yahudi.
b. Sam dan Fannie berniat untuk menikah, tetapi berdasarkan hukum Negara
bagian New York perkawinan antara paman dan kemenakan dianggap batal
demi hukum karena bersifat incestuous. Sebenarnya, berdasarkan hukum
agama dan adat Hibrani, seorang paman dan kemenakan dapat saja menikah.
c. Menyadari hambatan itu, pada tahun 1913 Sam dan Fannie May pergi ke
Negara bagian Rhode Island, dengan harapan agar mereka dapat menikah
disana berdasarkan hukum setempat;
d. Mereka berhasil menikah berdasarkan kaidah hukum adat Yahudi/Hibrani di
Rhode Island pada tahun yang sama dan perkawinan mereka diakui sah
berdasarkan hukum Negara bagian Rhode Island;

8
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Binacipta,1987),hlm.226-233
e. Dua minggu setelah perkawinan mereka kembali ke New York, dan
melanjutkan hidup disana sebagai suami isti selama 32 (tiga puluh dua) tahun
dan dikarunia 6(enam) orang anak;
f. Pada tahun 1945, Fnnie May meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah
harta peniggalan yang kini dikuasai suaminya Sam May
g. Setelah Fnnie meninggal dunia, salah seorang anaknya mengajukan gugatan di
pengadilan New York untuk menentang kewenangan Sam May (ayahnya)
untuk menguasai dan mengurusi kekayaan peninggalan istrinya;
h. Dasar dari gugatan ini adalah karena perkawinan Sam dan Fannie May did an
berdasarkan hukum Rhode Island dianggap tidak sah9

Persoalan Hukum;

1. Apakah Sam May berwenang untuk menguasai dan mengurus kekayaan Fannie
May, dengan alas hak bahwa ia adalah pasangan yang masih hidup (surviving
spouse) dari sepasang suami istri yang telah menikah dengan sah. Hal ini harus
diputuskan berdasarkan Lex Domicili dari Sam dan Fnnie, yaitu hukum New
York. Gugatan sang anak inilah yang menjadi masalah pokok (Haupfrage Main
Question) dalam kasus ini.
2. Untuk memutus persoalan pada butir 1 ini pengadilan New York menghadapi
kenyataan bahwa mereka harus memutuskan terlebih dahulu, Apakah perkawinan
Sam dan Fnnie May did an berdasarkan Rhode Island dapat diterima sebagai
perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah incidental question (vorfrage,
persoalan-pendahuluan) dalam kasus ini yang harus ditetapkan terlebih
dahulu,sebelum hakim dapat memutus persoalan pokoknya.

Fakta Hukum:

- Hukum intern New York : menganggap perkawinan antara seorang paman dengan
seorang kemenakan adalah incestuous dan karena itu batal demi hukum;
- Kaidah HPI New York sama sekali tidak jelas mengenai keabsahan dari perkainan
dua orang warga New York yang diresmikan disuatu Negara bagian lain. Karena
itu sah tidaknya perkawinan harus ditentukan berdasarkan hukum dari tempat
peresmian perkawinan (Lex Loci Celebrationis);

9
Gautama, Sudargo, Aneka Masalah Dalam Praktik Pembaharuan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990, Bab II, hlm. 90 dan seterusnya.
- Kaidah HPI New York juga tidak jelas mengenai pengakuan terhadap keabsahan
sebuah perkawinan warga New York di suatu Negara bagian lain dan yang
dianggap sah di Negara bagian lain itu;
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa
perkawinan yang dianggap sah berdasarkan kaidah-kaidah agama dan tradisi
tertentu, akan dianggap sah pula berdasarkan hukum Negara.

Proses Pemutusan Perkara:

Langkah-langkah berpikir dan pertimbangan hakim New York tampak sebagai


berikut:
a. Hakim New York pertama kali menjunjuk kea rah hukum Rhode Island sebagai
Lex Loci Celebrationis untuk menentukan keabsahan perkawinan Sam dan Fannie
May, karena hukum intern New York sendiri tidak jelas mengenai hal itu.
b. Perkawinan Sam dan Fannie May adalah perkawinan agama (Hibrani) yang sah,
dan perkawinan semacam itu akan diakui sah pula oleh Lex Loci Celebrationis
(hukum Rhode Island);
c. Berdasarkan pertimbangan itu, hakim memutuskan bahwa perkawinan Sam dan
Fannie May (Incidental Question) adalah perkawinan yang sah;
d. Karena perkawinan Sam dan Fannie May dianggap sah, maka berdasarkan hukum
Ney York, dari suatu perkawinan yang sah akan terbit kewenangan pada pasangan
yang masih hidup untuk menguasai dan mengurus kekayaan dari pasangan yang
telah meninggal terlebih dahulu (Main Question, Hauptfrage);
e. Jadi Sam May berhak untuk tetap menguasai kekayaan peninggalan Fannie dalam
kedudukannya sebagai suami yang sah.

Jadi dalam perkara ini hakim New York telah melakukan Repartition, dengan
mendudukan persoalan-pendahuluannya (sah-tidaknya perkawinan) pada sistem hukum yang
berbeda (hukum Rhode Island) dari sistem hukum yang digunakan untuk menjawab masalah
pokoknya (hukum New York).10

10
Seto, Bayu, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti, 2001), hlm. 115-
118.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Masalah Persoalan Pendahuluan dalam hpi dapat dirumuskan secara
sederhana sebagai suatu persoalan/masalah HPI dalam sebuah perkara yang harus
dipecahkan dan / atau ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah
hpi yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh hakim. Dalam teori HPI
berkembang 3 (tiga) pandangan tentang cara penyelesaian Persoalan Pendahuluan, yaitu
absorption,repartition, dan pendekatan kasus demi kasus.Pembatasan dari persoalan
pendahuluan terhadap lain-lain persoalan yang berdekatan yaitu terhadap teilfragen dan
kwalifikasi.. Persoalan-persoalan pendahuluan dalam praktik jarang terjadi dan hakim oun
tidak sering memertimbangkannya. Hal ini disebabkan karena harus ada tiga syarat yang
dipenuhi sebelum tampil persoalan pendahuluan ini:Bahwa dalam suatu persoalan HPI harus
dipergunakan hukum asing.Bahwa HPI asing bersangkutan harus lain hasilnya daripada
kaidah-kaidah HPI forum sang hakim.Pemakaian Lex Fori dan Lex Causae dalam Persoalan
Pendahuluan.Perbedaan pendapat yang terutama adalah apakah untuk persoalan pendahuluan
ini harus dipakai Lex Fori atau Lex Causae. Mereka yang mengatakan Lex Causae harus
dipakai melihat bahwa persoalan pendahuluan harus diselesaikan menurut hukum yang
dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan pokok (Hauptfrage). Mereka ini memakai titik
taut yang tergantung pada Lex Causae, suatu afhankelijke aanknoping.
DAFTAR PUSTAKA

- Bayu Seto, Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, PT Citra Aditya Bhakti,


Bandung, 2001.
- Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta,
Bandung, 1987.
- Sudargo Gautama, Aneka Masalah Dalam Praktik Pembaharuan Hukum di Indonesia,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990.

Anda mungkin juga menyukai