SISTEMA UROGENITAL
yang dilaksanakan di
Oleh:
Ivan Risna Yanuar, S.KH
150130100111022
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai
keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah higiene dan erat berkatian dengan
kesehtan serta secara objektif tampak nyata. Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala,
tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan merupakan bagian yang normal dari proses
fisiologis tubuh, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan peningkatan usia hewan.
Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang lebih
dari satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakkan diagnosis dan terapinya menjadi lebih
sulit. Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan
buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;, dan keinginan untuk
mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. (Aulia, 2009).
Torsio kandung kemih merupakan kasus terpelintirnya kantung kemih yang
menyebabkan adanya penyempitan dan penyumbatan saluran kencing, dimana dampak yang
terjadi adalah tidak terkontrolnya pengeluaran urine sehingga menyebabkan ketidakhigienis,
ketidakyamanan dan terganggunya kesehatan pada hewan peliharaan. Penanganan terhadap
kasus ini sangat dianjurkan mengingat dampak yang ditimbulkan riskan bagi kesehatan hewan.
Dampak yangmungkin ditimbulkan adalah azotemia, abnormalitas urinasi, hingga intoksikasi
akibat reabsorbsi urine yang masuk ke dalam darah.
Diagnosis banding inkontinensia urin cukup luas dengan banyak penyebab. Terkadang
lebih dari satu faktor penyebab terlibat, sehingga penegakkan diagnosis danterapinya menjadi
lebih sulit. Membedakan etiologi ini merupakan hal yang penting karena setiap kondisi
memerlukan pendekatan terapi yang berbeda (Choe, 2001). Langkah terapis yang dapat
dilakukan dengan pemberian obat-obatan, terapi operatif, dan terapi outlet obstruksi.
TINJAUAN PUSTAKA
1.2 Etiologi
- Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius yang simptomatik seperti cystitis dan urethritis dapat
menyebabkan iritasi kandung kemih sehingga timbul frekuensi, disuria dan urgensi
yang mengakibatkan sulit berkemih. (Boscia et al., 1986; Resnick, 1988).
- Atrophic vaginitis
Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya gejala
rasa terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang, dispareunia, urgensi,
stress atau urge incontinence (Semmens et al., 1985).
- Obat-obatan
Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia. Obat-obatan seperti diuretik
akan meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih
- Mal Operasi
Terjadinya kesalahan posisi organ dan reposisi ketika laparotomy, baik untuk
kepentingan tujuan medis atau estetis.
2.2 Patofisiologi
Patofisiologi urinary incontinence (UI) dikarenakan karena adanya torsio pada bladder
urine. Normalnya, tekanan uretra saat istirahat lebih besar dari tekanan kandung kemih;
dengan adanya pemelintiran dan terjadinya obstruksi mengakibatkan peningkatan tekanan
intraabdominal akan ditransmisikan secara merata ke kandung kemih dan outlet sehingga
menimbulkan tensi pada rongga abdominal dan sakit pada pasien.
Urge inkontinensia urin adalah kehilangan urin yang tidak terkontrol, dimana tiba-tiba
ada perasaan terdesak untuk berkemih. Dapat disebabkan oleh kelainan neurologik, yang
terbanyak adalah idiopatik. Kandung kemih yang terlalu sensitif dapat berasal dari epitel
kandung kemih atau otot detrusor itu sendiri. Kontrol sistem saraf pusat yang tidak baik
terhadap proses penyimpanan urin dapat menyebabkan keadaan ini.
Overflow inkontinensia terjadi karena keluarnya urin yang tidak dapat dikontrol dari
kandung kemih yang sangat penuh dengan tekanan intravesikal lebih besar dari tekanan
penutup uretra. Urin biasanya keluar menetes terus menerus. Mixed inkontinensia urin
adalah suatu keadaaan yang merupakan gabungan dari stres inkontinensia urin dan urge
inkontinensia urin.
1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari
normal bila di bandingkan denga pola yang ormal yang umumnya di terima, yaitu
setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24
jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
2.4 Pemeriksaan penunjang
2.5 Terapi
Terapi farmakologi
Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi
non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita
Spesies : Kucing
Usia : 10 bulan
BW : - Kg
3.2 Anamnesis
Kucing betina DSH dengan umur 10 bulan didapati mengalami gangguan urinasi /
kebocoran/ ompol selama 3 bulan terakhir. Diketahui bahwa kucing mengalami urinasi
yang tidak teratur dengan lokasi urinasi yang tidak menentu, kandang ditemukan selalu
dalm keadaan basah. Hematuria, pollakiuria, dan stranguria ditemukan. Dilaporkan bahwa
kucing sudah disteril 122 hari pra terjadinya gangguan urinasi yang diketahui oleh pemilik.
Obat yang pernah digunakan adalah antibiotik, asam klavulanat.
IV . PEMBAHASAN
Kucing shorthair dibawa ke dokter hewan dengan keluhan kencing yang tidak
terkontrol, menurut pemilik kucing betina tersebut sudah dilakukan Spaying/steril berkisar
3 bulan sebelum gejala inkontinansi nampak pada kucing. Mendapati gambaran kasus
tersebut dilakukan pemeriksaan laboratoris, salah satunya dengan dipstik urinasi. Didapati
gambaran hasilnya adalah nilai spesisifik grafiti pada angka 1.028, disptik urine bllod ++,
pH 6.5. pemeriksaan biokimia dditemukan anjing mengalami azotemia. Tidak ditemukan
adanya kristal pada pemeriksaan mikroskopi dan pemeriksaan kultur tidak ditemukan
adanya infeksi bakteri. Observasi yang dilakukan kucing mengalami penurunan berat
badan 0.66 kg, dari berat semula 3.94 kg selama 3 bulan terakhir. Pemeriksan tidak
menunjukkan adanya abnormalitas namun pemeriksaan darah lengkap mengalami
penurunan. Pemeriksaan USG menunjukkan bilateral hidrunephrosis dn hydroureter,
kantung kemih nempak normal.lumen ureter mengalami distensi yang semula 4,5 mm
berubah menjadi 6,0 mm. Pada pemeriksaan CT scan kontras pyelography
direkomendasikan untuk identifikas secara detil masalah yang timbul. Pada hari 225 post
spaying adanya pembesaran pada kantung kemih. Penagnanan ialah dengan peberian
Valium 0,25mg/kg setiap 12 jam dan prazosin.
Gambar 1. Hasil Foto CT Scan
Ket : (A) Transverse tomografi (CT) gambar menunjukkan hidronefrosis bilateral di kucing
dengan saluran kemih obstruksi akibat torsi. kandung kemih (B) Transvers gambar CT
menunjukkan hidroureter bilateral (panah) di kucing dengan kemih obstruksi saluran
karena torsi kandung kemih .
Investigasi lanjutan dilakukan pada kucing tersebut pada usia 18 bulan, 298 hari pasca
spaying. Pola urinasi nampak normal, meskipun pada awlanya nampak adanya
inkontinensi pada pola urnasi. Pemeriksanan CT scan dilakukan untuk mengevaluasi dari
saluran urinasi, sternal recumbency dijadikan posisi dalam pengambilan gambar CT scan,
menggunakan iodine sebagai agen kontras diberikan secara intravena. Gambaran
menunjukkan ujung kantung kemih mengalami distensi. Di wilayah trigonum lumen
menjadi buncit meruncing ke arah sfingter uretra pada area pinggir panggul. Pengamatan
lanjutan pada hari ke 315 post spaying, didapati perlekatan omentum pada ujung bladder.
Disseksidilaukan untuk mengidentifikasi torsi dari leher bladder, perputaran sekitar 150
mengarah ke kanan, tujutan diseksi untuk mereposisi paa posisi semula. Proses pembalikan
menjadi lebih sulit karena sebeluumnya suah ada perlekatan omentum, solusinya dadalah
dengan melakukan perobekan perlekatan omentum tersebut agar dpat kembali pada posisi
awalnya. Sitopeksi paramedia digunakan dalam bedah ini. Post operasi dierikan analgesi
buprnorphine, maintenanse dengan sodium laktat. Observasi dilakukan setiap hari di tray.
Sepuluh hari pasca operasi menunjukkan gejala klinis yang sebelumnya terjadi pada
kucing teratasi. 10 hari post operasi, kucing dilaporkan sudah aktif dan nasu makan baik
meskipun masih mengalami polydipsi. Pemeriksaan laboratoris menunjukkan sudah tidak
ditemui adanya proteinuria, tekanan darah normal, kantong kemih menunjukan ukuran
normal. Pemeriksaan ulang CT diperoleh berkurangnya cairan pada nepron (hidronefrosis)
dan mengecilnya ukuran ginjal. Pasca melakukan tindakan penyembuhan, kucing dinilai
memiliki resolusi persembuhan yang cukup bagus, meskipun terdapat perubahan struktur
alur saluran kemih, namun tidak akan mengakibatkan kerusakan pada ginjal. Pada hari ke
469 dan 603 setelah OH, serum kreatinin yang didapatkan tidak menunjukkan angka yang
mengarah pada abnormalitas.
Dalam laporan kasus ini masalah klinis yang terjadi pada kucing pasien adalah
inkontinensia kemih. Pada kucing remaja kejadian ini paling umum disebabkan oleh
inkompeten ureter ectopia atau uretra sphincter kongenital. Dalam satu studi, 19 kasus
kucing menderita inkontinensia urin, 10 diantaranya mengalami ureter ectopia dan
sembilan inkompeten uretha sfingter incompetence. Torsio urine bladder dilaporkan
terjadi pada anjing dan manusia. Torsio urin bladder terjadi pasca pembedahan pada sisi
kaudal abdomen, seperti contohny adalah operasi OH. Pada kasus ini, solusi dalam
penanganan torsio adalh dengan pembedahan, dilaporkan tidk terjadi komplikasi paska
bedah. Tim medis melakukan insisi cystopexy untuk mempertahankan kandung kemih
dalam posisi anatomi yang benar setelah bedah koreksi. Cystopexy telah dilakukan dan
direkomendasikan setelah pengurangan kandung herniasi dalam hubungannya dengan
perineal dan herniorrhaphy inguinalis di kucing.
Gambar 2. Pembedahan reposisi Urine Bladder
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kasus ini merupakan kasus pertama yang dilaporkan terjadinya torsio kantong kemih
pada kucing, dimana penyebab inkontinensia urin pada kucing.Kasus ini diduga telah
terjadi akibat efek skunderdari OH solusi dalam menanganinya adalah dengan dilakukan
tindakn operatif dan reposisi.
DAFTAR PUSTAKA
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stoke.Jakarta.
Holt PE. Urinary incontinence in dogs and cats. Vet Rec 1990; 127: 347350.2
Holt PE and Gibbs C. Congenital urinary incontinence in cats: a review of 19 cases. Vet Rec
1992; 130: 437442.
Jones AK. Unusual case of feline incontinence. Vet Rec 1983; 112: 555.
Viktrup L. The risk of lower urinary tract symptoms five years after the first delivery.
Neurology and Urodynamics. 2002;21:2-29.
Wilson PD, Herbison GP,. A randomized controlled trial of pelvic floor muscle exercises to
treat postnatal urinary incontinence. Int Urogynecol J 1998. 9:257-64.
Scientific committee of the first international consulation on incontinence. Assessment and
treatment of Urinary Incontinence. Consensus. The lancet. 2000; 355:2153-58.