Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan
perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan
tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus
dan November.
Mitra Bestari : Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia)
Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi
Bandung)
Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung)
Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi
Bandung)
Dewan Penelaah Naskah : Prof. R. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Fisika dan Keselamatan Bangunan, Pusat
Litbang Permukiman)
Lasino, S.T. APU. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman)
Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat
Litbang Permukiman)
Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang
Permukiman)
Dra. Inge Komardjaja, Ph. D. (Bidang Permukiman dan Aksesibilitas, Pusat Litbang
Permukiman)
Ir. Lya Meilany S., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang
Permukiman)
Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Rekayasa Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman)
Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan dan Lingkungan, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Maryoko Hadi, M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang Permukiman)
Alamat Redaksi : Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812
Bandung 40008
Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail : info@puskim.pu.go.id
Akreditasi
Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi B Nomor 299/AU2/P2MBI/08/2010
Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 754/D.2/2010 Tanggal 26 Agustus 2010
Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352
Volume 5 No. 3 November 2010
Pengantar Redaksi
Ucapan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kehendakNya pula kami dapat
kembali mempersembahkan hasil karya penulis melalui terbitan Jurnal Permukiman. Membuka edisi ini,
kami menampilkan tulisan mengenai bangunan vernakular yang dilanda gempa dimana kelebihan
bangunan tersebut hanya mengalami kerusakan kecil. Namun kelebihan yang ada tidak dipotensialkan
karena munculnya perubahan-perubahan pada perkembangan bangunan meliputi bentuk, sistem
struktur, material yang digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan). Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi,
dan Andi Harapan memaparkannya dalam tulisan yang berjudul Perkembangan Tipologi Rumah
Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa.
Tipologi Kawasan Perumahan dengan Kepadatan Penduduk Tinggi dan Penanganannya yang ditulis
oleh Heni Suhaeni, menjelaskan mengenai cara efektif untuk mempermudah dalam menemukenali
kondisi kawasan perumahan kumuh berdasarkan faktor penentu melalui penyusunan klasifikasi yang
sistematis.
Penelitian Studi Peluang Penghematan Pemakaian Energi pada Gedung Sekretariat Jenderal Pekerjaan
Umum ditulis oleh Wahyu Sujatmiko. Gedung Sekjen Pekerjaan Umum dikaji tingkat efisiensi
penggunaan energinya melalui selubung bangunan, intensitas konsumsi energi, profil energi, tingkat
pencahayaan, kondisi termal ruangan, dan persepsi termal penghuni.
Upaya pemanfaatan lumpur Sidoarjo untuk pembuatan bata merah dan genteng keramik yang kedap
dan kuat dilakukan dengan menambahkan bahan penyetabil fly ash sebanyak 10% hingga 40% dari
berat bahan, suhu bakar minimum 800C untuk bata dan 1000C untuk genteng serta dengan waktu
sintering selama 3 jam. Tulisan ini disampaikan oleh Lasino, Moch. Edi Nur dan Dany Cahyadi dalam
judul Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng.
Sebagai penutup, Sarbidi memaparkan mengenai Kajian Ketersediaan Air Tawar untuk Air Baku Di
Pulau Kecil, dimana pulau tersebut mempunyai kemampuan yang kecil untuk menyimpan cadangan air
tawar untuk air baku. Selain itu pula evapotranspirasinya sangat berpengaruh terhadap fluktuasi potensi
air tawar untuk air bersih rumah tangga.
i
Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352
Volume 5 No. 3 November 2010
Daftar Isi
Pengantar Redaksi i
Daftar Isi ii
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng 132 - 138
Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi
Kajian Ketersediaan Air Tawar untuk Air Baku Di Pulau Kecil, Studi Kasus : Pulau
Miangas 139 - 146
Sarbidi
ii
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010:107-115
Abstrak
Desa Duku Ulu, Bengkulu merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Rejang Lebong, yang sudah sering
mengalami kejadian gempa yang menyebabkan banyak bangunan yang rusak (ringan, sedang, dan berat).
Uniknya terdapat beberapa bangunan vernakular khas daerah tersebut yang masih bertahan (hanya
mengalami rusak kecil). Sayangnya kelebihan ini tidak dipotensialkan oleh masyarakat, perkembangan
bangunan yang muncul sekarang justru banyak mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi adalah
perubahan bentuk, sistem struktur, material yang digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan). Terdapat
5 tipologi bangunan vernakular di desa ini yang merupakan hasil perkembangan bangunan yang ada.
Tipologi 1 merupakan rumah lama masyarakat Rejang (yang keberadaannya sudah sangat jarang, yang
dinyatakan masyarakat sebagai rumah paling tua di Rejang Lebong, yang terbuat dari kayu yang dibangun
sekitar tahun 1800-an). Tipologi 2 merupakan perkembangan dari tipologi 1 tetapi dengan bentuk yang
lebih sederhana (hanya tinggal 5 bangunan). Tipologi 3 merupakan tipologi kolonial, yang
pembangunannya dibantu oleh Belanda sekitar tahun 1924. Tipologi 4 merupakan tipologi yang dibangun
oleh tukang dari Sungai Musi (Palembang), yang dibangun sekitar tahun 1980-an. Tipologi yang terakhir
adalah tipologi 5 yang banyak dikembangkan oleh penduduk yang dibangun tahun 1990-an. Perubahan
bentuk yang terjadi menunjukkan perkembangan bangunan rumah vernakular kearah pengurangan
terhadap respon gempa, yang dapat dilihat dari bentuk bangunan, sistem struktur bangunan, material yang
digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan). Gempa yang seharusnya menjadi indikator peningkatan
pengetahuan lokal penduduk untuk merespon gempa justru tidak terjadi. Kejadian gempa menyebabkan
semakin buruknya respon bangunan terhadap resiko gempa. Tidak heran ketika gempa tahun 1979, 1997,
dan 2000 banyak bangunan rumah vernakular tersebut yang rusak berat. Hilangnya kemampuan penduduk
disebabkan oleh 3 faktor, yaitu: 1) semakin berkurangnya ahli (tukang) yang membangun bangunan, 2)
susahnya mencari material kayu, 3) budaya instan, yang ingin cepat membangun rumah.
Kata Kunci: Rumah vernakular, gempa, Desa Duku Ulu
Abstract
Desa Duku Ulu, one of the oldest kampong in Rejang Lebong Region, is the earthquake area. Some of
earthquakes made several damages especially for buildings. Interestingly, many of vernacular houses are
survived and got only light damages while there are many modern building got great damages.
Unfortunately, the potential of vernacular houses are not optimized by the local people. As time pass by,
many house has been constructed with different ways. The study methods used are field study, semi-
structured interview and forum group discussion with local community and documentation by field
measuring and building redrawing. Field study and semi-structured interview focus on two aspects of
observations, which are: 1) traditional building and 2) skill & local resource use. Observations to vernacular
building include 4 aspects: 1) house form & design, 2) structural system, 3) material used, 4) joinery & other
details (construction system). Observation to skills and local resource include: 1) building skill, and 2) culture
(such as solidarity). Based on the study methods, the different ways of vernacular building construction
related can be seen in the houses form, structural system, material, and construction system. There are five
typologies of vernacular houses in this Kampong. Typology 1 is old vernacular house of Rejang people. It was
constructed at 1800s and made by wood. Typology 2 is developed and simplified form of typology 1. Typology
3 is Colonial Typology, because it was made with a help form Dutch in 1920s. Typology 4 is made by
craftsmen from Meranjat, Palembang at 1980s. Typology 5 is house that had been developed by people in
1990s. The changes of houses typology show the degradation responses to earthquake. It can be seen in
building form, structural system, material, and construction system (joint). The trial and error process of
learning from earthquake is not happened. No wonder, when earthquakes come in 1979, 1997, and 2000
107
Perkembangan Tipologi Rumah (Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan)
many vernacular houses got heavy damages. It is because of three factors: 1) lack of craftsmen, 2) lack of
wood, 3) instant culture in constructing houses.
Keywords: Vernacular house, earthquake, Desa Duku Ulu
108
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010:107-115
109
Perkembangan Tipologi Rumah (Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan)
Bentuk tipologi 4 tipikal sama dengan bentuk dan dokumentasi melalui pengukuran bangunan
bangunan di daerah Meranjat, Palembang. Bentuk vernakular. Empat (4) aspek yang digunakan
bangunan semakin panjang. Gempa tahun 1991 sebagai dasar pengamatan terhadap bentuk dari
dan 1997 menyebabkan berbagai kerusakan pada pengetahuan lokal terkait dengan bangunan rumah
bangunan ini. Bentuk atap yang unik (khas vernakular, yaitu: bentuk bangunan rumah
Melayu), sangat sulit untuk diikuti oleh tukang vernakular, sistem struktur, metode membangun,
lokal di Desa Duku Ulu, sehingga muncul tipologi 5, dan material yang digunakan. Secara keseluruhan
yang merupakan tipologi yang berkembang sampai penelitian ini dilakukan dalam lima tahapan, mulai
sekarang. dari kajian pustaka, pengambilan data lapangan
(observasi lapangan), analisis, rekayasa tipologi
METODE PENELITIAN bangunan vernakular, hingga kesimpulan dan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekomendasi terhadap ke-5 tipologi bangunan
observasi lapangan, semi-structured interview, FGD tersebut terkait dengan gempa.
(forum group discussion) dengan masyarakat lokal,
Bahaya Gempa
Kapasitas
Indigenous Knowledge
Bangunan Vernakular
Aspek Pengamatan
Kesimpulan
110
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
Tabel 1 Perbandingan Tipologi Bangunan Rumah Vernakular Bengkulu di Desa Duku Ulu Berdasarkan Aspek Pengamatan (Bentuk Bangunan, Sistem Struktur, Material yang
Digunakan, dan Sistem Konstruksi/ Detail)
No Aspek Pengamatan Tipologi 1 Tipologi 2 Tipologi 3 Tipologi 4 Tipologi 5
1 Bentuk Bangunan
Denah Bangunan Bentuk bangunan adalah Bentuk bangunan adalah Bentuk bangunan adalah kotak Bentuk bangunan adalah Bentuk bangunan ini adalah
2
kotak dengan ukuran 7,20 x kotak dengan ukuran 7,15 dengan ukuran 6,74 x 13,58 m kotak dengan ukuran 6,70 x kotak dengan ukuran 5,23 x
2 2 2 2
8,24 m x 10,58 m 15,08 m 16,42 m
2 Sistem Struktur
Tengah Dinding rangka kayu yang terdiri dari merupakan rangka kayu rangka kayu yang terdiri dari rangka kayu yang terdiri dari rangka kayu yang terdiri
kolom (struktur utama) yang terdiri dari kolom kolom (struktur utama) disatukan kolom (struktur utama) dari kolom (struktur utama)
disatukan oleh balok kayu (struktur utama) disatukan oleh balok kayu (horisontal dan disatukan oleh balok kayu disatukan oleh balok kayu
(horisontal dan vertikal) oleh balok kayu (horisontal vertikal) sehingga membentuk (horisontal dan vertikal) (horisontal dan vertikal)
sehingga membentuk suatu dan vertikal) sehingga suatu struktur rangka yang solid sehingga membentuk suatu sehingga membentuk suatu
struktur rangka yang solid membentuk suatu struktur struktur rangka yang solid struktur rangka yang solid
rangka yang solid
Bagian Rangka Lantai Rangka lantai terdiri dari Rangka lantai terdiri dari Balok anak serta papan kayu Rangka lantai terdiri dari Balok anak serta papan
Bawah balok induk lantai yang balok induk lantai yang sebagai penutup lantai balok induk lantai yang kayu sebagai penutup lantai
terintegrasi solid dengan terintegrasi solid dengan terintegrasi solid dengan
balok dan didukung oleh balok dan didukung oleh balok dan didukung oleh
balok-balok anak serta balok balok
papan kayu sebagai penutup
lantai
Pondasi Pondasi menggunakan Pondasi menggunakan Pondasi menggunakan sistem Pondasi menggunakan Pondasi menggunakan
sistem umpak yang terdiri sistem umpak yang terdiri umpak yang terdiri dari kaki sistem umpak yang terdiri sistem umpak yang terdiri
dari kaki pondasi dan dari kaki pondasi dan pondasi dan telapak pondasi. dari kaki pondasi dan dari kaki pondasi dan
telapak pondasi. Kaki telapak pondasi. Kaki Berbeda dengan tipologi rumah telapak pondasi. Kaki telapak pondasi. Kaki
pondasi disambung dengan pondasi disambung lainnya, kaki pondasi menyatu pondasi disambung dengan pondasi disambung dengan
sistem knock down dan dengan sistem knock down dengan telapak yang terbuat dari sistem knock down dan sistem knock down dan
dipasak dengan kolom dan dan dipasak dengan kolom beton. Teknologi ini dipasak dengan kolom dan dipasak dengan kolom dan
rangka lantai. Kaki pondasi dan rangka lantai. Kaki diperkenalkan oleh Belanda rangka lantai. Kaki pondasi rangka lantai. Kaki pondasi
diletakkan pada telapak pondasi hanya diletakkan (tahun 1920-an). Kolom dan hanya diletakkan pada hanya diletakkan pada
pondasi yang dibuat khusus pada telapak pondasi. rangka lantai ditopang oleh kaki telapak pondasi. telapak pondasi.
berbentuk kotak dari batu. pondasi dengan diberikan coakan
sebagai tempat penyanggah.
3 Material yang
digunakan
Bagian Penutup Atap Ijuk Seng Seng Seng Seng
Atas Rangka Atap Kayu Bulat (utuh) Kayu Bulat (utuh) Kayu Kotak ( tidak utuh/ Kayu Kotak (tidak utuh/ Kayu Kotak (tidak utuh/
olahan) olahan) olahan)
Langit-Langit Anyaman Bambu Anyaman Bambu Papan Papan Papan
Rangka Kayu + Bambu Kayu + Bambu Kayu Kayu Kayu
Langit-Langit
Bagian Dinding Kayu + bambu (dapur) Kayu Kayu Kayu Kayu
Tengah Rangka Kayu Kayu Kayu Kayu Kayu
Dinding
112
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
Tengah vertikal dan disambung vertikal dan disambung dipaku ke rangka dinding (tanpa secara horisontal dan secara horisontal dan
menggunakan sistem pasak menggunakan sistem penomoran). vertikal dan dipaku (tanpa vertikal dan dipaku (tanpa
Perkembangan Tipologi Rumah (Iwan S., Sugeng T., Andi H.)
penomoran.
Rangka Rangka dinding Rangka dinding Rangka dinding dihubungkan Rangka dinding Rangka dinding
Dinding dihubungkan dengan sistem dihubungkan dengan dengan sistem coakan dan dihubungkan dengan sistem dihubungkan dengan sistem
coakan dan dipasak. sistem coakan dan dipaku. coakan dan dipaku. coakan dan dipaku.
dipasak.
Bagian Lantai Penutup lantai adalah papan Penutup lantai adalah Penutup lantai adalah papan. Penutup lantai adalah Penutup lantai adalah
Bawah dan bambu belah pada area papan. papan. papan.
dapur.
Rangka Lantai Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan Rangka lantai dihubungkan
dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan dengan sistem coakan dan
dipasak. dipasak. dipaku. dipaku. dipaku.
Pondasi Kaki pondasi disambung ke Kaki pondasi disambung ke Kaki pondasi merupakan satu Kaki pondasi disambung ke Kaki pondasi disambung ke
kolom dan rangka lantai kolom dan rangka lantai kesatuan dengan telapak pondasi kolom dan rangka lantai kolom dan rangka lantai
dengan coakan dan dipasak. dengan coakan dan (dari beton). Beton dicoak dengan coakan dan dipasak. dengan coakan dan
Kaki pondasi diletakkan dipasak. Kaki pondasi sebagai alas kolom dan rangka Kaki pondasi diretakkan dipasak. Kaki pondasi
diatas telapak pondasi diletakkan diatas telapak lantai. diatas telapak pondasi diletakkan diatas telapak
berbentuk kotak (dari batu). pondasi berbentuk bulat berbentuk bulat (dari batu). pondasi berbentuk kotak
(dari batu). (dari beton).
114
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010 : 107-115
115
Tipologi Kawasan Perumahan (Heni Suhaeni)
Abstract
Human settlement in the urban slum areas generally have a complicated problem, because physical, social
and economic factors are involved in such matters. Basically, each factor which is involved in such matters
requires specific solution. The government of Indonesia has targeted to achieve free from slum in 2025.
However, to gain the target that Indonesia is free from slum in 2025 is required to classify systematically.
Classification is useful for the process of problem identification, it can make easier to determine which factor
influences such problem accurately. This research is focused on the classification of the urban slum areas to
gain typology of urban slum and its alternative solution. The objective of this research is to find out the
method which can be used as a basis for handling and improving environmental housing quality. Method of
study is primary data which are collected from urban slum area is analyzed by SPSS. The variables which are
assessed are the characteristic of housing and its infrastructure, the social and economic characteristic of
dwellers. The result of this research indicates that the classification of urban slum area can be classified
quickly and accurately through cluster analysis SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) which are
based on determinant factors.
Keywords: Typology, classification, high density, slum, urban, housing
116
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
Terkait dengan program Millenium Development bangunan >110 bangunan/ha (Zarmawis, 2000).
Goals Indonesia yang salah satu sasarannya adalah Karakteristik lain yang disebutkannya adalah
memperbaiki dan mewujudkan kualitas lingkungan lokasi berada di lokasi yang sangat strategis
perumahan perkotaan yang aman dan sehat sampai dengan lokasi yang sangat berbahaya
(Bappenas, 2007), Pemerintah telah melakukan (Zarmawis, 2000).
berbagai upaya perbaikan untuk kawasan
Dari gambaran tersebut sebenarnya klasifikasi
perumahan kumuh melalui berbagai program
kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi
kegiatan, seperti kampung improvement program
pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu pada
(KIP) dan peremajaan kawasan kumuh perkotaan
kepadatan penduduk> 200 jiwa/ha. Dengan
(urban renewal). Akan tetapi sejauh ini masih
pertimbangan rentang waktu yang telah lama
tercatat pada sejumlah kawasan perumahan
berlalu dimana kondisinya berbeda dengan kondisi
dengan kepadatan tinggi, kualitas lingkungannya
saat ini, terutama terkait dengan tingkat kepadatan
mengalami penurunan (Pusdata, 2008). Disamping
yang meningkat dan lokasi yang berbeda, maka
itu, penyelenggaraan urban renewal yang
penelitian yang dilakukan disini adalah
dilakukan pun seringkali kurang tepat sasaran
menggunakan data primer di lokasi sampel
(Darrundono, 2006).
penelitian Kota Bandung dengan kepadatan
Merujuk pada hasil kajian yang pernah dilakukan penduduk mencapai 500 jiwa/ha.
di negara lain tentang penanganan kawasan
Disamping itu, data primer hasil survei diolah
perumahan kumuh perkotaan, telah memberikan
dengan menggunakan keunggulan analisis statistik
informasi baru bahwa menyusun sebuah tipologi
diharapkan dapat memudahkan dalam proses
untuk kawasan perumahan kumuh adalah cara
pengolahan, analisis dan tampilan hasil penelitian
yang efektif agar dapat memperbaiki perumahan
(Klenieski, 2006).
kumuh secara tepat sejalan dengan faktor-faktor
kunci yang mempengaruhinya (Naimeh, 2008).
Brenda Scheer tahun 1998 juga pernah FOKUS PENELITIAN
menjelaskan bahwa masalah perumahan yang Penelitian ini difokuskan pada klasifikasi
menjadi kumuh karena mengalami penurunan sistematis kawasan perumahan kumuh dengan
kualitas lingkungan, akan lebih efektif ditangani kepadatan penduduk 500 jiwa/ha. Klasifikasi
apabila dilakukan dengan cara melakukan tipologi dilakukan berdasarkan karakteristik fisik rumah,
atau klasifikasi. karakteristik sosial dan ekonomi penduduknya,
sehingga diperoleh tipologi kawasan perumahan
Dengan cara melakukan tipologi atau klasifikasi kumuh dan alternatif penanganan yang dapat
terhadap perumahan kumuh dapat ditemukenali dilakukan secara bertahap sejalan dengan
berbagai variabel yang berpengaruh terhadap keperluannya.
terbentuknya kawasan perumahan menjadi
kumuh. Hasil klasifikasi sistematis ini dapat
TUJUAN PENELITIAN
ditampilkan dalam bentuk tipologi kawasan
perumahan kumuh. Tipologi yang ditampilkan Menyusun klasifikasi untuk mempermudah
dapat ditunjukkan dalam berbagai pola atau pengorganisasian, perbaikan dan pembangunan
tingkatan dan berbagai ukuran parameter sesuai kawasan perumahan kumuh dengan kepadatan
dengan keperluannya guna mencapai efisiensi penduduk yang tergolong tinggi di perkotaan.
serta mempermudah pilihan-pilihan penanganan
secara optimal dan tepat sasaran. SASARAN
Secara umum kegiatan penelitian untuk kawasan Menemukan konsep tipologi kawasan perumahan
perumahan kumuh dengan kepadatan penduduk kumuh berdasarkan karakteristik fisik rumah,
yang tinggi di kota-kota Indonesia sudah pernah sosial dan ekonomi yang dapat dijadikan dasar
dilakukan. Contohnya hasil kajian yang pernah acuan dalam menangani kawasan perumahan
dilakukan oleh Zarmawis tahun 2000 dengan kumuh perkotaan.
lokasi sampel penelitian Kota Yogyakarta. Hasilnya
menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi METODOLOGI
penduduk ditandai dengan mayoritas penduduk Lokasi penelitian yang dijadikan sampel adalah
yang berpenghasilan rendah, bekerja di sektor Kelurahan Jamika dengan kepadatan penduduk
informal perkotaan dengan jenis aktivitas ekonomi 500 jiwa/ha (BPS, 2005). Lokasi ini berada di
yang beragam. Mereka tinggal dalam lingkungan Kecamatan Bojongloa Kaler dan merupakan
permukiman dengan fasilitas dan prasarana yang kawasan perumahan perkotaan dengan kepadatan
berada dibawah standar minimal. Kepadatan penduduk tertinggi di tingkat kelurahan Kota
penduduk mencapai>200 jiwa/ha dan kepadatan Bandung.
117
Tipologi Kawasan Perumahan (Heni Suhaeni)
Kriteria kepala keluarga yang dipilih sebagai budaya masyarakat dan penggerak utama yang
sampel penelitian adalah penduduk dengan lama membangun tipologi perkotaan. Teknologi adalah
tinggal di kawasan perumahan tersebut selama 3 fasilitator yang mendorong seseorang atau
tahun atau lebih dengan asumsi bahwa mereka kelompok masyarakat mengerjakan sesuatu,
mengenal kondisi kawasan perumahan tersebut contohnya gedung-gedung bertingkat adalah
sebagai tempat tinggal mereka. Cara pemilihan produk teknologi dan trend budaya yang
sampel digunakan stratifikasi yang proporsional mendorong pola-pola perilaku masyarakat
untuk setiap kelompok sampel. melakukan sesuatu secara terarah karena
kepentingan atau kebutuhannya (Lozano, 1990).
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner
terstruktur yang dirancang untuk dapat menjaring Tipologi dapat dibedakan antara satu tipologi
karakteristik fisik perumahan serta karakteristik dengan tipologi lainnya berdasarkan masanya
sosial dan ekonomi penduduk. Setiap kuesioner (waktunya). Dalam masa pembentukan, sebuah
yang sudah diisi secara lengkap dikompilasi tipologi dibangun untuk memenuhi suatu standar
dengan format excel untuk mempermudah dalam serta beradaptasi dengan beragam kondisi dan
mengolah data menjadi informasi dalam bentuk persyaratan. Selama periode tersebut konsep
format excel ataupun SPSS. Hasil kompilasi data tipologi yang ditampilkan akan diperjelas menjadi
divalidasi dengan cara crosscheck melalui metode sebuah model yang dibangun berdasarkan ciri dan
focus group yang dilakukan di kantor kelurahan pola yang memenuhi persyaratan/standar yang
yang dihadiri oleh mantri statistik, tenaga diminta. Akan tetapi, pada masa transisi seringkali
lapangan, beberapa orang penduduk setempat dan menuntut adanya perubahan dan aturan baru yang
tokoh masyarakat. Pada tahap berikutnya, data perlu dimodifikasi. Contohnya fenomena
diberikan coding, nominal angka atau pembobotan. meningkatnya jumlah kendaraan pribadi menuju
Pengolahan untuk analisis data dilakukan dengan pusat kota merupakan sebuah proses perubahan
beberapa cara, descriptive statistics frequency, two sosial yang berimplikasi terhadap community
step cluster, dan K-mean cluster. Pada dasarnya design. Kondisi tersebut merupakan proses
ketiga cara tersebut sama yaitu proses identifikasi perubahan sosial yang perlu dipahami oleh para
data melalui klasifikasi sampel data atas dasar designer atau planner, bagaimana proses tersebut
kesamaan karakteristik dan faktor dominan. akan berlangsung dan berpengaruh terhadap
komunitas, apakah tipologi yang diciptakan masih
TINJAUAN PUSTAKA akan tetap sama seperti semula dengan
Tipologi konsekuensi menimbulkan konflik-konflik internal,
Menurut Kamus Sosiologi yang disusun oleh ataukah harus mencari tipologi yang adaptif
Marshall tahun 1994 tipologi diartikan sebagai dengan perubahan baru (Lozano, 1990).
klasifikasi. Dalam ensiklopedia tipologi Kawasan Perumahan Perkotaan
diterjemahkan sebagai klasifikasi sistematis. The Proses urbanisasi yang terjadi di negara-negara
Great Soviet Encyclopedia (1979) tipologi dapat sedang berkembang bukan disebabkan oleh faktor
didefinisikan sebagai klasifikasi sistematis revolusi industri seperti yang terjadi di negara-
berdasarkan karakteristik tertentu. Dalam konteks negara barat, akan tetapi proses urbanisasi yang
perkotaan istilah tipologi diartikan oleh Lozano terjadi karena migrasi penduduk (Kleniewski
(1990) sebagai pengenalan suatu objek atau 2006).
elemen yang inti dasarnya mempunyai
kemungkinan untuk dapat ditemukan di tempat Migrasi penduduk merupakan sebuah respon
lain yang sejenis. Istilah tipologi ini biasa penduduk terhadap pembangunan yang tidak
digunakan dalam mengidentifikasi pola-pola ruang merata (Pacione, 2001). Ada dua faktor mengapa
perkotaan (Lozano, 1990). Tipologi dapat migrasi penduduk terjadi, yaitu faktor pendorong
terbentuk dari berbagai varian dengan berbagai dan penarik (Drakakis-Smith, 2000). Faktor
kombinasi tanpa kehilangan ciri atau karakteristik pendorong terjadi karena adanya tekanan yang
utama dari objek tersebut dan dibentuk melalui memaksa penduduk untuk berpindah. Faktor
proses selektif berdasarkan pada objek atau penarik, yaitu dasar-dasar yang memberikan daya
elemen dasar. tarik tempat tujuan migrasi, contohnya, kehidupan
perkotaan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
Dalam perkembangannya tipologi tidak hanya migrasi penduduk ke kota banyak disebabkan oleh
dapat terbentuk dari objek atau elemen fisik, tetapi peluang penghasilan, pekerjaan, pendidikan dan
juga kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan budaya kehidupan sosial yang lebih dinamis di perkotaan
mempengaruhi terbentuknya tipologi. Sebagai daripada di perdesaan yang cenderung statis.
contoh komponen teknologi berperan penting
dalam membentuk tipologi perkotaan, karena Jumlah penduduk yang terus bertambah dan lahan
teknologi merupakan salah satu dari komponen perkotaan yang dimanfaatkan semakin penuh
118
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
sesak, sehingga kawasan perumahan dengan Public housing dibangun secara konvensional oleh
kepadatan tinggi di kawasan perkotaan terbentuk pemerintah atau oleh swasta, bersifat formal dan
tanpa dapat dihindari. Kota-kota di negara sedang merupakan adopsi dari bentuk penyediaan
berkembang cenderung membentuk ukuran kota perumahan yang mengacu pada berbagai standar
yang semakin besar melebar dan proporsi negara maju.
penduduk terkonsentrasi pada satu kota utama
Squatter settlements yaitu rumah-rumah yang
(Kleniewski, 2006).
terbangun tanpa perencanaan dengan status
Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya dapat illegal, karena dibangun tanpa prosedur dasar
memperburuk kualitas lingkungan internal pada hukum yang berlaku dan seringkali melahirkan
skala unit neigbourhood kawasan perumahan rasa tidak aman bagi para penghuninya.
perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi
Private housing yaitu perumahan yang dibangun
pasokan air bersih yang tidak memadai dan kurang
oleh swasta dan umumnya berorientasi pada harga
memenuhi standar kesehatan (Pacione, 2001).
pasar. Di negara-negara sedang berkembang
Keberadaan polutan karena saluran air kotor,
umumnya private housing ini tidak populer karena
sampah dan drainase yang tidak mendapatkan
harga unit yang ditawarkan tidak terjangkau oleh
perlakukan yang tepat. Kondisi tempat
kebanyakan penduduknya.
berkehidupan yang penuh sesak mengganggu
sirkulasi dan kualitas udara serta kesehatan Slum settlements atau permukiman kumuh pada
penduduk yang berpengaruh terhadap kondisi umumnya merupakan perumahan permanen
kesehatan dan keselamatan penduduk. Beberapa dengan status kepemilihan yang legal, akan tetapi
penyakit yang mudah menular dalam kondisi menjadi kumuh karena kurangnya pemeliharaan,
tersebut seperti Tubercolose (TBC), influenza, diare perbaikan dan usia bangunan yang sudah tua,
yang merupakan penyakit menular melalui ruang sehingga menjadi kumuh. Biasanya jenis
udara yang sempit, atau menular melalui air yang permukiman kumuh ini tersebar luas dan mudah
tidak mencukupi. Standar unit hunian sehat untuk ditemukan di negara-negara sedang berkembang.
satu keluarga yang dihuni oleh 4 orang mengikuti Permukiman kumuh ini sering menjadi tempat
Standar Nasional Indonesia (SNI) selayaknya favorit sebagai tempat pertama untuk bertahan
berukuran 36 m2 dengan ukuran kapling 60 m2. dan berkehidupan di perkotaan oleh orang-orang
Akan tetapi, pada banyak kasus, seringkali yang bermigrasi atau pindah ke kota terutama
penduduk terpaksa harus tinggal dengan untuk mencari penghasilan tetapi tidak memiliki
menempati ruang-ruang yang sempit. Satu unit keahlian, pengetahuan atau keterampilan dalam
rumah dihuni oleh lebih dari 5 orang anggota bekerja.
keluarga. Apabila kondisi tersebut tidak ditunjang
oleh asupan makanan yang memadai berakibat HASIL ANALISIS DATA PENELITIAN
pada daya tahan tubuh yang lemah dan rentan Hasil analisis data yang dilakukan dengan cara
sakit (Pacione, 2001). yang paling sederhana yaitu dengan analisis data
Kondisi tersebut di atas dapat dilihat sebagai SPSS melalui descriptive statistic, cara ini adalah
masalah yang kompleks, karena berbagai faktor yang paling mudah untuk membuat klasifikasi atau
saling terkait dan sulit teruraikan benang pengelompokkan serta menghitung besarannya
merahnya, sehingga akhirnya penanganannya sesuai dengan kepentingan penanganan. Sebagai
dinilai tidak tepat sasaran. Oleh sebab itu contoh atas dasar asumsi bahwa standar unit
diperlukan proses identifikasi yang seksama dan hunian rumah sehat dapat dilihat melalui ukuran
klasifikasi atas beberapa faktor yang sangat unit kapling atau unit rumah, maka klasifikasi
berpengaruh terhadap kondisi kawasan dilakukan berdasarkan pada ukuran standar unit
perumahan, terutama pada kawasan perumahan kapling dan rumah.
yang memiliki kemudahan akses yang tinggi Karakteristik Fisik Perumahan
terhadap pusat kegiatan ekonomi, karena lokasi Hasil klasifikasi atau tipologi yang ditampilkan
tersebut secara sosial seringkali menjadi tempat ternyata ditemukan luas unit kapling yang kurang
yang disukai sebagai tempat berkehidupan dan dari 60 m2 mencapai jumlah 61,67% (lihat grafik
secara ekonomi sebagai tempat mencari nafkah 1), apabila standar minimal unit kapling terkecil
keluarga. sebesar 60 m2, maka ukuran kapling yang kurang
Secara umum terdapat 4 (empat) sumber utama dari 60 m2 dapat dinyatakan sebagai ukuran
penyediaan perumahan sebagai tempat hunian kapling yang tidak memenuhi standar untuk
keluarga (Hartshorn, 1992 dan Pacione, 2001), sebuah unit hunian keluarga. Untuk ukuran kapling
yaitu: antara 60-99 m2 teridentifikasi sebesar26,67% dan
kapling dengan ukuran > 100 m2 hanya mencapai
10%.
119
Tipologi Kawasan Perumahan (Heni Suhaeni)
120
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
rata-rata antara 99-105 m2, sehingga walaupun kelompok masyarakat yang unit huniannya
jumlah anggota keluarga lebih banyak unit tergolong sempit yaitu kaplingnya kurang dari 60
huniannya masih dapat mewadahi kebutuhan m2 dengan unit rumah kurang dari 21 m2 serta
ruang keluarga. Kelompok kedua dengan luas unit sudah terbiasa tinggal di kawasan perumahan
rumah dan kapling yang sempit, rata-rata antara kumuh. Bagi kelompok ini umumnya yang menjadi
24 25 m2, sehingga kebutuhan ruang keluarga prioritas dalam hidupnya adalah pemberdayaan
tidak terwadahi. Walaupun demikian, kedua ekonomi keluarga. Oleh sebab itu pula, apabila
kelompok menunjukkan sikap yang sama bahwa tempat huniannya direncanakan untuk dibangun,
kedua kelompok tersebut tidak mau untuk pindah maka mereka akan merasa terganggu karena
ke tempat lain dan kedua kelompok tersebut ragu- mereka tidak memiliki pilihan akan tinggal dimana
ragu untuk tinggal di rumah vertikal, karena alasan lagi. Kondisi ini diperkuat dengan status hunian
kemampuan finansial yang tidak mau menjadi rumah ternyata sekitar 76% merupakan rumah
beban baru atau tambahan yang harus menjadi milik sendiri dan hanya 23% rumah yang dihuni
tanggungannya. Pada awalnya, kawasan merupakan rumah dengan status kontrak atau
perumahan kumuh ini merupakan kampung lama sewa (grafik 6). Sedangkan status tanah yang
yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat ditempati menunjukkan hanya 31% merupakan
setempat. Dalam perkembangan selanjutnya, tanah sertifikat hak milik, 39% merupakan tanah
kawasan perumahan ini dengan kepadatan hak guna bangunan, sisanya sebesar 30%
penduduk yang terus meningkat belum mampu penduduk tidak tahu persis apa status tanah yang
ditata, dimanfaatkan dan dikembangkan ke arah ditempatinya (grafik 7).
pemanfaatan ruang vertikal yang mampu
menambah dan mengakomodasi kebutuhan ruang 80 76.67
40
38.97
30
31.13 29.9
10
121
Tipologi Kawasan Perumahan (Heni Suhaeni)
lahan tidak efisien dan tidak produktif, maka untuk bidang pendidikan, tenaga kerja, kesehatan,
mencapai efisiensi penggunaan lahan serta tata perdagangan, industri atau yang lebih spesifik
ruang yang aman dan sehat perlu penataan ulang dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah).
dengan cara urban renewal dibangun rumah susun Penanganan ini sepantasnya dilaksanakan sebagai
sederhana. Alasan utamanya jelas bahwa program jangka pendek, menengah dan panjang
perumahan tersebut tidak memenuhi standar dan berkelanjutan tanpa terputus disertai evaluasi
dasar minimal sebagai tempat hunian keluarga yang terukur pada kasus-kasus tersebut.
yang sehat dan aman. Pembebasan tanah dapat
Kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi
mengikuti Peraturan Presiden Republik Indonesia
umumnya menimbulkan masalah bukan hanya bagi
nomor 36/2005, yaitu pembangunan untuk
Pemerintah, tetapi juga bagi penduduknya, karena
kepentingan umum. Akan tetapi, Pemerintah dan
sepanjang waktu aktivitas terbanyak yang
Pemerintah Daerah perlu mengeluarkan subsidi
dikerjakan oleh masyarakat dilakukan di
yang besar. Tanpa subsidi besar dari Pemerintah
lingkungan rumah. Secara teoritis, seringkali pada
dan Pemerintah Daerah akan sulit dicapai tujuan
kawasan kepadatan penduduk tinggi tidak dapat
agar penduduk awal dapat bermukim kembali di
dihindarkan untuk selalu bertemu orang,
lokasi semula, karena secara finansial tidak mampu
merespon atau bereaksi, dan selama itu pula tubuh
membayar biaya angsuran untuk perumahan.
dan mental seseorang terus bekerja. Tanpa sadar
Revitalisasi ataupun urban renewal untuk seseorang secara psikologis bisa mengalami
mengoptimalkan fungsi dan nilai lahan perkotaan kelelahan. Untuk mengurangi kondisi tersebut
dapat bekerjasama dengan investor. Penggantian seseorang dapat mengurangi interaksi, respons
harga lahan dapat mengikuti harga pasar, akan atau mencari ruang lain untuk beristirahat atau
tetapi penduduk awal diperkirakan akan bisa juga dengan cara menurunkan sensitivitasnya
mengalami kesulitan untuk mendapatlan akses dan dengan sedikit acuh, sehingga tubuh tidak perlu
bekerja di kawasan semula, karena alasan memberikan respon. Akan tetapi konsekuensinya
keterjangkauan. Penduduk yang berasal dari dari adalah sensitivitasnya menjadi imun dan tidak
kawasan tersebut pun akan menderita kehilangan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh sebab
peluang kerja dan kesulitan untuk melanjutkan itu pula sebagian masyarakat terlihat seolah
kehidupannya. Kondisi ini pun akan tetap menjadi mereka kurang perhatian terhadap lingkungannya.
beban bagi Pemerintah atau Pemerintah Daerah
apabila dikaitkan dengan target MDGs tahun 2025 KESIMPULAN
Indonesia bebas kumuh. Oleh sebab itu, masalah Hasil pengolahan dan analisis data dapat
kawasan perumahan kumuh bukan semata-mata disimpulkan bahwa kawasan perumahan dengan
masalah fisik, tetapi juga harus kepadatan penduduk tinggi memiliki tipologi
mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi sebagai berikut :
penduduknya.
- Klasifikasi ukuran unit rumah yang paling kecil
Secara ekonomi dan sosial, ada dua alternatif yang adalah 5-21 m2 dan 24-35 m2. Ukuran unit
perlu ditangani, yaitu kelompok kepala keluarga rumah ini dengan luas kapling kurang dari 60 m2
lulusan SD dengan penghasilan rendah dan tidak dan jumlahnya mencapai 61%. Secara fisik
memiliki keterampilan. Penanganan yang perlu perumahan ini kurang atau tidak memenuhi
diberikan adalah pendidikan dan pelatihan untuk standar minimal sebagai unit hunian keluarga,
dapat meningkatkan keterampilan dan karena kebutuhan ruang keluarga tidak
penghasilan, bukan hanya untuk para kepala terwadahi sepenuhnya. Perumahan inipun
keluarganya saja tetapi juga memperhatikan anak- menjadi kumuh tanpa organisasi tata ruang
anak generasi berikutnya. Walaupun kebijakan perumahan yang sehat dan aman, penggunaan
wajib belajar mulai diberlakukan sampai sembilan lahan menjadi tidak optimal dan kurag produktif,
tahun, sebagai upaya pencegahan bertambahnya karena tidak memanfaatkan ruang produktif
penduduk yang tidak terdidik, maka pengendalian vertikal, seperti halnya rumah susun yang
dan evaluasi terkait dengan hal tersebut tetap mampu menciptakan ruang secara vertikal untuk
harus diperhatikan apabila sasaran MDGs tahun memenuhi dan mewadahi kebutuhan ruang
2025 bebas kumuh ingin diraih. masyarakat.
Demikian juga dengan lulusan SMA walaupun - Klasifikasi secara sosial dan ekonomi terhadap
penghasilan bisa lebih baik daripada lulusan SD, penduduk di perumahan kumuh dapat
tetapi standar hidup di kota perlu biaya hidup yang diklasifikasikan ke dalam kelompok penghasilan
lebih tinggi agar mampu hidup lebih layak. Sektor rendah sampai dengan menengah ke bawah,
sosial dan ekonomi sebaiknya ditangani secara dengan karakteristik bekerja pada sektor
terpadu oleh dinas atau sub-dinas terkait dengan informal dan secara ekonomi bergantung pada
122
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 116-123
keberuntungan lokasi sebagai pusat kegiatan Hartshorn. TA. 1992. Interpreting the City, an Urban
ekonomi, contohnya bekerja sebagai pedagang Geography. New York: John Wiley & Sons.
kaki lima, tukang parkir, buruh, kuli, pendidikan Kleniewski, N. 2006. Cities, Change and Conflict: A
kebanyakan hanya lulus SD dan tidak memiliki Poltitical Economy of Urban Life. USA: 3rd
keterampilan. Thomson Wadworth Belmont, CA.
Lozano, E.E. 1990. Community Design and the
Penanganan perumahan dengan kondisi tersebut
Culture of Cities, the Crossroad and the Wall.
perlu dilakukan dalam program jangka pendek,
New York: Cambridge University Press.
menengah dan panjang. Hal ini berkaitan dengan
Marshall, G. 1994. The Concise Oxford of Sociology.
target waktu dan juga masalah sosial dan ekonomi
New York: Oxford University Press.
penduduk yang tidak dapat ditangani dalam waktu
Naimeh, R. Alireza, E. and Zienab, R. 2008. The
singkat. Penanganan dilakukan secara terpadu
Principle of Housing Typology in Renewal of
antar sektor dan sub-sektor melalui kerjasama
Detereorated Fabrics. Faculty of Architecture
antar dinas dan sub-dinas terkait. Penyediaan
University College of Fine Arts. University of
alokasi biaya atau dana yang proporsional, base
Teheran. 2nd International Conference on Built
data yang akurat, serta program yang
Environment in Developing countries
berkelanjutan akan mampu menghasilkan
(ICBEDC 2008).
penanganan yang terukur, efektif dan tepat sasaran
Pacione, M. 2001. Urban Geography a Global
serta diharapkan mampu mencapai target
Perspective. London: Routledge.
Indonesia bebas kumuh tahun 2025.
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor
36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
SARAN Pelaksanaan Pembangunan untuk
- Penelitian ini disarankan untuk dilakukan di Kepentingan Umum
kota lain selain Kota Bandung untuk dapat Pusdata. 2008. Buku Induk Statistik Pekerjaan
menemukan tipologi kawasan kepadatan tinggi Umum (BIS PU). Pusat Pengolahan Data
dengan jenis, pola atau bentuk yang mungkin Sekretariat Jenderal Departemen Pekerjaan
berbeda dengan hasil yang ditemukan di kota Umum.
Bandung, sehingga dapat memperkaya temuan Scheer, B.C. 1998. Typology and Urban Design
tipologi lainnya. Guidelines: Preserving the City Without
- Untuk mencapai sasaran MDGs 2025 dimana Dictating Design dalam buku Rethinking XIX
setiap individu atau kelompok dapat tinggal di Century City. Petruccioli., A (eds). Cambridge,
lingkungan perumahan yang sehat dan aman, Massachusettes: Aga Khan Programme for
maka setiap kota atau kabupaten perlu Islamic Architecture.
memiliki base data untuk keperluan Tim Bappenas. 2007. Summary Report Millennium
penanganan tersebut, agar setiap rencana Development Goals Indonesia Bappenas.
pembangunan dapat mencapai sasaran yang Jakarta: Ministry for National Development
terukur dan tepat sasaran. Planning / National Development Planning
Agency.
UNFA. 2007. Peering into the Dawn of an Urban
Millenium. United Nations Population Fund,
DAFTAR PUSTAKA
Online Report, Stateof World Population
BPS. 2005. Bandung Dalam Angka 2005. Badan (UNFA), www.unfpa.org/swp/2007/ diunduh
Pusat Statistik Bandung (BPS). tanggal 17Desember 2009.
Darrundono. 2006. Kawasan Kumuh Kota dan Zarmawis Ismail. 2006. Penanggulangan
Pembangunan Berkelanjutan. Seminar & Kemiskinan Masyarakat Perkampungan
Workshop Pusat Litbang Permukiman Kumuh di Yogyakarta: Kasus Kelurahan
Bandung. Keparakan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan
Drakakis-Smith. 2000. Third World Cities. London: Pembangunan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Routledge, 11 New Fetter Lane. Indonesia.
The Great Soviet Encyclopedia. 1979.
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/
typology diunduh tgl 27 Januari 2010.
123
Studi Peluang Penghematan (Wahyu Sujatmiko)
Abstrak
Gedung lama seperti Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum yang telah berusia lebih 25
tahun perlu dikaji tingkat efisiensi penggunaaan energinya. Terkait dengan tujuan tersebut, studi peluang
penghematan energi pada Gedung Sekjen-PU telah dilakukan dengan mengkaji selubung bangunan (OTTV
dan RTTV), Intensitas Konsumsi Energi (IKE), profil energi, tingkat pencahayaan, kondisi termal ruangan
dan persepsi termal penghuni. Hasil studi memperlihatkan bahwa OTTV 21,71 W/m 2, RTTV 7,31 W/m2, IKE
154,815 kWh/m2/tahun (12,9 kWh/m2/bulan), faktor daya 0,922, berarti kategori efisien, akan tetapi fasa
tidak seimbang sehingga terjadi arus netral yang cukup besar, konsentasi CO 2 rendah, yakni 762,5 ppm,
tetapi rata-rata temperatur dan kelembaban tinggi, yakni 26,3 oC dan 61,3%, berarti terdapat kebocoran
energi. Rentang rata-rata tingkat pencahayaan 98-147 lux, berarti di bawah standar 250 lux. Penghuni
merasakan bahwa kondisi ruangan lebih rendah dari netral, tidak seluruh penghuni menerima kondisi ini
dan cenderung ingin kondisi temperatur lebih rendah. Dengan demikian direkomendasikan untuk
melakukan penghematan dengan perbaikan tingkat kebocoran pemakaian pengkondisian udara dan
meningkatkan tingkat pencahayaan saat ini.
Kata Kunci: Bangunan perkantoran, konservasi energi, IKE, OTTV, RTTV, kesan termal, Gedung Sekjen-PU
Abstract
Old buildings like the General Secretary of Ministry of Public Works building, which has been aged over 25
years, are needed to examine the level of efficiency in the use of energy. Related to this goal, studies on energy
saving opportunities in the General Secretary of Ministry of Public Works building has been done by
reviewing building envelope (OTTV and RTTV), Energy Consumption Intensity (IKE), energy profile, the level
of lighting, thermal conditions of the room and occupant thermal perception. Results of studies show that
OTTV is 21.71 W/m2, RTTV is 7.31 W/m2, IKE is 154.815 kWh/m2/year (12.9 kWh/m2/month), power factor
is 0.922, which means all efficient, but phase currents are not balanced so there is neutral currents, CO2
concentration is relatively low, i.e 762.5 ppm, but the average temperature and humidity are high, i.e 26.3 oC
and 61.3% respectively, thus there is the possibility of energy leakage. The range of average level of
illumination is 98-147 lux, which means far below the standard, i.e 250 lux. The occcupants feel that the room
condition is cooler than neutral, not all occupants receive this condition and tend to the lower temperature
conditions. Thus recommended to make savings by improving the level of leakage of air conditioning usage
and improve the current level of lighting.
Keywords: Office building, energy conservation, IKE, OTTV, RTTV, thermal perception, General Secretary of
Ministry of Public Works Building
124
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
125
Studi Peluang Penghematan (Wahyu Sujatmiko)
METODE PENELITIAN listrik lantai 3 & 4 dan Panel 4:110 V memasok lift
Objek penelitian berupa Gedung Sekretariat dan basement.
Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum yang Kemudian dilakukan pengukuran kondisi termal
terdiri dari 85 ruangan dalam 1 basement dan 4 ruangan (temperatur Tdb, temperatur radian Tglobe
lantai, terletak di kompleks Kementerian Pekerjaan dan kelembaban RH menggunakan alat ukur
Umum Jalan Pattimura 20 Jakarta Selatan Questemp), tingkat pencahayaan dengan lux
sebagaimana tertera pada gambar 1. Penelitian meter Lestem pada titik ukur bidang kerja (0,75
dilaksanakan bulan April Mei 2009. Pertama- m dari lantai) tepat di bawah lampu (disebut Lux
tama dilakukan pengamatan selubung bangunan, tinggi) dan tidak tepat atau jauh dari lampu
dihitung tingkat hemat selubung dengan (disebut Lux rendah), kadar CO2 ruangan dengan
menghitung nilai OTTV menggunaan persamaan 1 Testo (tiap ruangan satu titik ukur) dan kesan
dan RTTV dengan persamaan 2. termal penghuni menggunakan kuesioner
Kemudian dilakukan perhitungan IKE kenetralan termal (KusA1), preferensi termal
menggunakan data rekening listrik yang diperoleh (KusA2) dan keterterimaan termal (KusA3).
dari pengelola bangunan dan membagi terhadap Responden dipilih satu orang yang bersedia
luasan lantai yang dikondisikan (menggunakan mengisi kuesioner untuk tiap ruangan yang ada
mesin pendingin/ mesin pengkondisian udara) penghuninya saat pengukuran berlangsung.
10.637,5 m2. Diperoleh data 76 responden dari 670 karyawan
yang hadir dengan jumlah karyawan keseluruhan
Selanjutnya pengukuran profil pemakaian energi terdata 744 orang.
dengan HIOKI Power Meter pada 4 panel listrik
bergantian, masing-masing panel 7 hari dalam HASIL DAN PEMBAHASAN
seminggu siang malam. Panel listrik induk Gedung
Perhitungan OTTV dilakukan dengan
Sekjen adalah: Panel 1:220 V memasok listrik
menggunakan persamaan 1 dengan dihitung
lantai II dan VIP lantai 1-2-3, Panel 2: 220 V
bertahap.
memasok listrik lantai 1, Panel 3:110 V memasok
(a) (b)
Up
Up
Up
17 m
142,8 m
(c)
Gambar 1 Gedung Sekretariat Jenderal PU (a) Lokasi Dalam Google Earth (Tanda Garis Merah Putus-Putus), (b)
Selubung Bangunan dan (c) Denah Lantai Tipikal (Hasil Analisis)
Pertama menghitung konduksi panas melalui Dengan demikian hasil perhitungan OTTV dan
dinding (tabel 3), kemudian menghitung konduksi RTTV tersebut memenuhi ketentuan maksimal 45
panas melalui kaca (tabel 4) dan transmitansi W/m2. Dengan demikian menurut SNI 03-6389-
panas melalui kaca (tabel 5). Dengan menjumlah 2000 bangunan Gedung Sekjen PU tergolong
total aliran panas dan total luasan, diperoleh OTTV berselubung hemat energi.
selubung sebesar 21,71 W/m2.
Selanjutnya pada gambar 2 disampaikan data
Adapun perhitungan RTTV menggunakan rekening pemakaian listrik (kWh) untuk
persamaan 2 dengan memakai data-data berikut: perhitungan IKE. Pada gambar 2.a ditampilkan
luas atap Ar 2803,15 m2, tranmitansi termal bahan rekening bulan April 2006 Desember 2007.
atap Ur 0,5 W/m2.K, beton ekspos 0,61 dan Terlihat pemakaian listrik berfluktuatif seiring
TDek24, diperoleh hasil RTTV sebesar 7,31 W/m2. aktifitas penghuni, dimana menurut hasil
126
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
wawancara dengan pengelola, pemakaian listrik dan faktor daya naik turun mengikuti besar arus
bulan Januari 2007 tertinggi karena pada bulan pemakaian dengan nilai rata-rata 0,922. Pada tabel
tersebut penghuni banyak kerja lembur untuk 7 disampaikan data perbandingan pemakaian
menyelesaikan Laporan APBN 2006. Total listrik untuk hari libur (hari Jumat jam 21.00
pemakaian listrik setahun pada tahun 2007 adalah sampai Senin jam 06.00). Terlihat faktor daya yang
1.646.851,2 kWh, sehingga diperoleh IKE pertahun relatif sama dengan pemakaian hari biasa dan pada
154,815 kWh/m2/tahun dan IKE perbulan 12,9 hari libur pemakaian listrik tetap ada, mencapai
kWh/m2/bulan untuk luasan bangunan yang 14,07%.
dikondisikan. Hasil ini menurut Standar Dirjen LPE
Berdasarkan data tabel 6, dapat dihitung
(tabel 1) cukup efisien dan menurut ASEAN (tabel
penurunan daya untuk penghematan listrik. Dari
2) tergolong kategori energi standar. Pada gambar
tabel 6 terlihat bahwa beban puncak maksimal
2.b ditampilkan rekening bulan Januari April
345,14 kVA. Sedangkan daya terpasang yang
2009. Terlihat rata-rata pemakaian listrik tiap
terbaca pada rekening PLN adalah 630 kVA, jadi
bulan lebih rendah, yakni 103.428,00 kWh,
beban puncak saat pengukuran sekitar 55% dari
sehingga diperoleh IKE perbulan 9,7
daya terpasang. Biaya beban per kVA adalah Rp.
kWh/m2/bulan. Apabila dibandingkan dengan IKE
23.800. Jadi tiap bulan pengelola Gedung Sekjen PU
perbulan tahun 2007, terlihat terjadi penurunan
harus membayar Rp. 23.800 x 630 =
IKE yang cukup besar 25% dibandingkan IKE
Rp.14.994.000. Dapat dipertimbangkan di sini
tahun 2007. Menurut pihak pengelola gedung,
kemungkinan penurunan daya terpasang.
selama tahun 2008 terjadi langkah-langkah
Seandainya daya terpasang diturunkan menjadi
penghematan dengan pengurangan jumlah lampu
sekitar Rp. 23.800 x 400 = Rp. 9.520.000. Jadi
dan pembatasan waktu lembur.
terdapat penghematan sebesar Rp. 14.994.000
Selanjutnya dianalisis profil pemakaian energi 24 Rp. 9.520.000 = Rp. 5.474.000,- tiap bulan. Namun,
jam selama satu minggu pada keempat panel pengurangan daya perlu mempertimbangkan hal
pasokan listrik PLN. Grafik hasil pengukuran berikut; dari data rekening 2006 2007 terlihat
ditampilkan satu saja, yakni hasil pengukuran bulan pemakaian energi terbesar adalah Desember
panel 1 seperti tertera pada gambar 3. Januari dan Agustus September. Sedangkan
Perbandingan data keempat panel disampaikan pada survei ini pengukuran dilakukan bulan April
pada tabel 6. Hasil pengukuran keempat panel Mei. Dengan demikian bukan dilakukan pada
memperlihatkan adanya karakteristik yang sama, bulan-bulan dengan kecenderungan terbesar
yakni terdapat ketidakseimbangan fasa R-S-T, pemakaian, sehingga hasil ini perlu
beban utama terjadi pada hari kerja Senin Jumat mempertimbangkan kecenderungan tersebut.
dengan beban puncak pada rentang pukul 11 14
Tabel 3 Perhitungan OTTV-Konduksi Panas Melalui Dinding Tembok
2
Arah Bahan Luas (m ) SC U Hasil kali (W)
Utara dinding bata 626 12 2.71 0.6 12215,10
dinding 1276,56 12 2.71 0.6 24908,23
Selatan dinding 2033,65 12 2.71 0.6 39680,59
dinding roster 75,1 12 2.71 0.6 1464,87
Barat dinding 319,4 12 2.71 0.6 6231,65
Timur dinding 255,52 12 2.71 0.6 4985,32
Jumlah 4586.19 89485.74
Sumber: Hasil Analisis
127
Studi Peluang Penghematan (Wahyu Sujatmiko)
(a)
Besar konsumsi listrik (kWh) Gedung Sekjen PU Tahun 2009
10,9
Besar Pemakaian (kWh)
x 10000
10,7
10,5
10,3
10,1
9,9 Total kWh
9,7
9,5
Januari Februari Maret April
Bulan
(b)
Gambar 2 Profil Tagihan Konsumsi Listrik (kWh) Gedung Utama Dep PU (a) April 2006 Desember 2007, dan (b)
Januari April 2009 (Hasil Analisis)
(a)
128
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
(b)
(c)
Gambar 3 Profil (a) Besar Arus, (b) Faktor Daya dan (c) Besar Daya Hasil Pengukuran Panel 1 Gedung Sekjen PU
(Hasil Analisis)
Tabel 6 Perbandingan Hasil Pengukuran Pemakaian Listrik pada Ke-4 Panel Induk
Arus Daya Daya
Daya Semu Faktor
Panel Semu
Fasa R Fasa S Fasa T Tiga Fasa Aktif (kW) Reaktif (kVAr) Semu (kVA) Puncak (kVA) Daya
(%)
1 535218 620022 784963 646734 389696 189341 439028 36,93 117,2 0,895
2 662337 408991 625741 565689 363809 995551 377632 31,76 103,3 0,961
3 649966 521798 427675 533146 190548 54305 199254 16,76 60,6 0,925
4 446865 451952 469699 456173 160701 61013 172971 14,55 64,0 0,905
Total 1104754 1300210 1188885 100,00 345,14 0,922
Sumber : Hasil Analisis
129
Studi Peluang Penghematan (Wahyu Sujatmiko)
Tabel 8 Hasil Pengecekan Fasa R-S-T-N pada Panel Pembagi Tiap Lantai
Lokasi Panel Hasil Pengukuran
No Panel Induk Asal Keterangan
Pembagi R S T N
1 Panel Bsm 110 V Basement 31,04 61,97 75,24 Tidak ada N
2 Panel Lt 1 220 V Lantai 1 68,71 101,70 154,68 76,97
3 Panel Lt 2 220 V Lantai 2 87,65 100,99 141,10 136,21
4 Panel Lt 3 110 V Lantai 3 91,80 80,80 79,00 0,00 Tidak ada N
5 Panel Lt 3 220 V Lantai 3 49,08 76,37 49,07 65,74 Ground = 0.15 A
6 Panel Lt 4 110 V Lantai 4 181,10 193,70 192,40 Tidak ada N
7 Panel Lt 4 220 V Lantai 4 52,90 17,80 66,70 11,53 Panel kecil
Sumber : Hasil Analisis
Selanjutnya pada tabel 8 disampaikan hasil Pada tabel 10 ditampilkan hasil statistik kondisi
pengukuran fasa R-S-T dan N pada panel pembagi termal ruangan. Terlihat kondisi temperatur
lantai dan diperoleh adanya ketidakseimbangan ruangan rata-rata Tdb dan Tglobe masing-masing
fasa dan arus netral yang cukup besar. Arus netral 26,34 oC dan 26,47 oC atau hampir sama. Hal ini
perlu mendapat perhatian karena kabel netral menandakan kondisi selubung bangunan yang
umumnya berdiameter kecil sehingga cepat panas relatif bagus dalam menahan panas radian. Sebagai
tidak dipasang saklar pengaman karena tidak perbandingan udara luar rata-rata Tdb 30,7 oC, Tglobe
dipersyaratkan PUIL 2000. 33,39 oC dan RH 75,5% dan koridor tak
dikondisikan Tdb 27,1 oC, Tglobe 27,5 oC dan RH
Selanjutnya, pada tabel 9 disampaikan hasil
74,86%. Rata-rata Tdb ruangan di atas 25 oC
pendataan peralatan, AC dan lampu yang
memenuhi ketentuan penghematan energi.
dipergunakan pada seluruh ruangan yang ada.
Terlihat dengan melihat rating nominal peralatan Selanjutnya, pada tabel 10 tertera nilai rata-rata
yang ada tanpa memperhitungkan lama waktu CO2 ruangan sebesar 762,8 ppm dan RH 61,3%,
pemakaian (lama waktu pemakaian diasumsikan jauh dari ketentuan ASHRAE 62.1-2000 yang
sama), diperoleh AC peringkat tertinggi, lalu mengizinkan untuk penghematan energi kadar CO2
peralatan kantor, peralatan lain-lain dan lampu. ruangan hingga 700 ppm di atas udara luar. Kadar
CO2 udara luar rata-rata 488,71 ppm, sehingga
130
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 124-131
kadar CO2 maksimal 1189 ppm masih bisa Dengan demikian pemakaian listrik Gedung
diterima. Kadar CO2 rendah, padahal Tdb dan RH Sekjen-PU tergolong hemat, akan tetapi kondisi
relatif tinggi, hal ini diduga akibat jendela yang kenyamanan visual dan termal penghuni belum
dibiarkan terbuka ketika mesin AC menyala dan dipenuhi. Untuk memenuhi kondisi yang hemat
lubang-lubang pada dinding yang tidak tertutup tapi juga nyaman secara visual dan termal perlu
rapat. Tercatat 25 ruangan (berarti 29,4%) yang dilakukan sejumlah langkah sebagai berikut :
terbuka saat pengukuran padahal mesin AC sedang penurunan daya, pembenahan ketidakseimbangan
dijalankan. fasa R-S-T, perbaikan tingkat penerangan dan
perbaikan kebocoran energi pengkondisian udara.
Pada tabel 10 hasil pengukuran tingkat
pencahayaan menunjukkan hasil rata-rata 98
147,7 lux, berarti jauh di bawah ketentuan standar SARAN
250 lux5. Dengan demikian langkah konservasi Pada penelitian ini kenyamanan visual hanya
yang telah dilaksanakan pengelola dengan dibandingkan antara data terukur dengan standar
mematikan sebagian lampu dipandang tidak tepat, acuan, tetapi tidak mempertimbangkan kesan
tidak sesuai dengan tujuan konservasi, yang kenyamanan visual penghuni. Pada penelitian
diharapkan dapat menghasilkan bangunan hemat selanjutnya untuk melengkapi kuesioner
tanpa mengesampingkan aspek kenyamanan, baik kenyamanan termal perlu dimasukkan juga
termal maupun visual. kuesioner kenyamanan visual.
Pada tabel 11 tertera rata-rata statistik KusA1 dari
UCAPAN TERIMA KASIH
76 responden adalah -0,57 berarti antara pilihan
agak hangat dan hangat. Dengan demikian kondisi Terima kasih penulis sampaikan kepada Fefen
ruangan dirasakan penghuni lebih sejuk dari Suhendi, ST atas bantuannya selama pengukuran
netral. Untuk KusA2 diperoleh rata-rata 1,25 dan kepada Prof. Dr. Masno Ginting atas
berarti responden memilih antara menerima dan bimbingannya selama penulisan karya tulis ini saat
tidak menerima, yang berarti tidak semua Diklat Peneliti.
menerima kondisi ruangan. Sedangkan KusA3
diperoleh rata-rata 1,39 yang berarti antara tidak DAFTARPUSTAKA
berubah dan ingin lebih sejuk, berarti cenderung UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
ingin kondisi bertemperatur lebih rendah dan hasil Dirjen Cipta Karya-PU.
korelasi menunjukkan bahwa antara KusA1 dan SNI 03-6196-2000 Prosedur Audit Energi pada
KusA2 berkorelasi positif 0,589 dan antara KusA1 Bangunan Gedung. BSN.
dan KusA3 negatif -0,468. Nugroho, dkk, 2007, Audit Energi Gedung Dirjen
LPE. PPE-ITB.
KESIMPULAN SNI 03-6389-2000 Konservasi Energi pada Selubung
Selubung bangunan Gedung Sekjen PU termasuk Bangunan. BSN.
selubung hemat energi (OTTV 21,71 W/m2 dan SNI 03-6197-2000 Konservasi Energi Sistem
RTTV 7,31 W/m2), IKE 154,815 kWh/m2/tahun Pencahayaan. BSN.
(12,9 kWh/m2/bulan) tergolong cukup efisien dan Sujatmiko, W, W. Hendradjit, dan Soegijanto, 2008,
termasuk kategori energi standar, faktor daya Menuju Penyusunan Standar Kenyamanan
bagus 0,922 tapi terdapat ketidakseimbangan fasa Adaptif di Indonesia, Prosiding Pertemuan
R-S-T sehingga terukur arus netral yang cukup Ilmiah Standardisasi (PPIS) 2008. BSN.
besar, daya terpakai sekitar 55% daya terpasang, Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang Penghematan
hari libur ada pemakaian listrik 14,10%, Energi pada Bangunan Pemerintah.
pencahayaan 98-147 lux (di bawah standar 250 ASHRAE 62.1-2007, 2007, ASHRAE Standard-
lux), ada kebocoran udara(kadar CO2 rendah 762,5 Ventilation for Acceptable Indoor Air Quality,
ppm, rata-rata temperatur dan kelembaban tinggi Atlanta-USA. ASHRAE.
26,3oC dan 61,3%. Ruangan dirasakan sebagian BSN, 2000, Peraturan Umum Listrik Indonesia
penghuni lebih dingin dari netral, tapi tidak semua (PUIL).BSN.
menerima kondisi ini dan ingin temperatur lebih
rendah.
131
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
Abstrak
Lumpur Sidoarjo (LUSI), merupakan bahan mineral yang dikeluarkan dari dalam bumi akibat kegagalan
teknis dalam pengeboran (eksplorasi) migas yang terjadi di Porong Sidoarjo sejak tahun 2006. Bahan ini
berbentuk butiran halus, berwarna abu-abu kehitaman, sangat plastis dan memiliki nilai susut kering yang
tinggi. Unsur kimia yang terkandung didominasi oleh silika (> 50%), alumina (26%) dan beberapa unsur
lain seperti besi, kalsium dan magnesium dengan jumlah yang relatif kecil. Dalam upaya pemanfaatannya,
dicoba untuk dikembangkan sebagai bahan bangunan seperti bata merah dan genteng keramik melalui
proses pembakaran sehingga diperoleh produk yang keras dan stabil. Karena sifat teknis dari bahan dasar
yang kurang baik, maka untuk memperbaikinya perlu ditambahkan bahan penyetabil yang dalam penelitian
ini menggunakan fly ash sebanyak 10 sampai 40% dari berat bahan. Proses pembentukan bata dan genteng
dilakukan setelah bahan baku dicampur dengan air sampai menjadi adonan yang lembab dan dibentuk
dengan menggunakan alat cetak. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa untuk pembuatan bata suhu
bakar minimum adalah 800 oC dan untuk pembuatan genteng harus mencapai suhu bakar 1000 oC dengan
waktu sintering selama 3 jam menghasilkan bata merah dan genteng yang kedap dan kuat. Dengan hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lumpur tersebut dapat dikembangkan sebagai bahan bangunan
keramik seperti bata merah dan genteng dengan menambahkan abu batubara.
Kata Kunci: Lumpur Sidoarjo, fly ash, bahan bangunan keramik, bata merah, genteng keramik
Abstract
Mud of Sidoarjo (LUSI)/ representing mineral material that is produced from within the earth as an effect of
technical failure in oil & gas drilling (exploration) in Porong Sidoarjo since 2006. In general, the shape of this
materials is very fine particle, grey-black colour, very plastic and have high value of dry shrinkage. The
chemical composition contained in the mud is dominated by silica (> 50%), alumina (26%), and small
amount of some other elements such as iron, calcium and magnesium. In the effort of utilizing this materials
it has been tried to develop to be an red brick and roof tile ceramic through combustion process to obtaine a
good and stabile product. Repairement of mud basic nature is done by adding stabilizing materials where in
this research is conducted by using fly ash with the amount of 10 to 40% by weight of total materials. The
forming process of granular materials is conducted after raw material is mixed with water until the mixture
become soft and wet which further was formed by using brick and tile molding. The research result has
obtained that minimum combustion temperature for making red brick reached at 800 and for roof tile at
1000 oC with 3 hours of burning time, which produced of red brick and roof tile with good performance, hard
and stabile. The result indicated that the materials of mud Sidoarjo can be developed for ceramic building
materials such as red brick and roof tile with fly ash as a substitution materials.
Keywords: Mud of Sidoarjo, fly ash, ceramic base material, red brick, roof tile
132
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 132-138
Selanjutnya untuk jangka panjang, dalam upaya lebih besar dari 20 mikron dan lebih kecil dari
pemanfaatan mineral serta mendukung kegiatan 2 mikron
pembangunan yang akan dilaksanakan perlu d. Berdasarkan komposisi kimianya, tanah liat
dikembangkan pemanfataan lumpur tersebut tersusun dari oksida-oksida sebagai berikut :
sebagai bahan bangunan. Berdasarkan sifat-sifat SiO2 : 50 70%
dasar yang dimiliki serta hasil uji coba yang telah Al2O3 : 10 35%
dilakukan ternyata lumpur tersebut setelah Fe2O3 : 2 8%
ditambah dengan fly ash dapat dikembangkan TiO2 : 0,1 2%
menjadi bata merah dan genteng keramik melalui CaO : 0,5 15%
proses pembakaran dengan hasil yang cukup baik, MgO : 0,2 5%
keras, stabil dan memiliki bobot lebih ringan SO3 : 0 0,5%
dibanding dengan produk pada umumnya. HP : 3 12%
e. Spesifikasi tanah liat sebagai bahan bangunan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat
keramik disajikan dalam Tabel 1.
teknis bahan baku khususnya sebagai bahan dasar
1) Berdasarkan partikel butiran :
dalam pembuatan bata dan genteng. Dengan
demikian dalam pengembangannya dapat Tabel 1 Ukuran Partikel Tanah Liat
diberikan suatu perlakuan yang tepat untuk Ukuran (mm) Persentase (%)
menghasilkan produk yang baik dan memenuhi
> 1,0 03
syarat baik dari aspek proporsi bahan tambahan
(substitusi), optimalisasi suhu bakar dan waktu > 0,20 0 20
pembakaran yang diperlukan. > 0,09 8 - 25
Lingkup penelitian meliputi analisis bahan baku/ > 0,06 10 -30
lumpur (sifat kimia, fisik dan mekanik), uji coba > 0,02 15 - 45
pembakaran skala laboratorium dari berbagai > 0,002 20 - 65
proporsi bahan tambahan (fly ash), serta pengujian < 0,002 15 50
mutu bata dan genteng yang dihasilkan. Melalui
Sumber : Suripto, Teknologi Bahan Bangunan dari Tanah Liat,
serangkaian penelitian tersebut, maka akan
Bandung 1995
diperoleh suatu produk yang memenuhi
persyaratan teknis dengan proporsi campuran dan Untuk mendapatkan gambaran tanah yang
suhu bakar yang optimum. cocok sebagai bahan baku untuk jenis bahan
bangunan (Suripto, 1995), dapat
KAJIAN PUSTAKA dikelompokkan berdasarkan distribusi
butirannya sebagai berikut :
Tanah/ Lempung
Tanah/ lempung adalah akumulasi partikel mineral Tabel 2 Fraksi Butir yang Cocok untuk Produk yang
yang ikatan antar partikelnya lemah, yang Sesuai
terbentuk karena pelapukan dari batuan. Ikatan Jenis produk
lemah tersebut disebabkan oleh pengaruh Fraksi butiran Block
karbonat/ oksida yang tersenyawa diantara Bata pejal Genteng
dinding
partikel atau adanya bahan organik.
< 2 mikron, min 20 25 25
Pembentukan tanah dapat disebabkan oleh (% ) 24 30 35
pengaruh fisik atau kimiawi. Bahan yang berbutir < 28 45
0,002 mm disebut lempung. Pelapukan dapat < 20 mikron, min 50 45 35
menyebabkan terjadinya tanah primer (terdapat (% ) 59 50 32
60 25
ditempat terjadinya disintegrasi) dan tanah
Sumber : Suripto, Teknologi Bahan Bangunan dari Tanah Liat,
sekunder (tanah mengalami transportasi).
Bandung 1995
Beberapa klasifikasi tanah/ lempung yang 2) Berdasarkan plastisitasnya
digunakan dalam industri bahan bangunan seperti: Batas plastisitas (PL) adalah menunjukkan
a. Berdasarkan sifat fisiknya (lempung marl, jumlah air tertentu yang ditambahkan dimana
lempung merah, lempung loams, batu lempung massa lempung air tidak dapat
dll.) mempertahankan bentuk setelah dikenai
b. Berdasarkan mineralnya (lempung kaolinit, tekanan.
halloysit, illit, montmorilonit, kaolonit-
halloysit) Batas cair (LL) adalah dimana lempung air tidak
c. Berdasarkan distribusi butirannya, lempung dapat mempertahankan plastisitasnya karena
tersusun 3 fraksi yaitu fraksi 20-2 mikron, mulai mengalir.
133
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
Indeks plastisitas (IP) adalah selisih kadar air permukaannya rata dan tidak menampakkan
antara batas cair dengan batas plastis (dari adanya retak-retak yang merugikan.
percobaan Atterberg).
Ukuran standar bata merah seperti pada Tabel 3
IP = < 10%, lempung tidak plastis berikut :
IP = 10 20%, lempung agak plastis Tabel 3 Ukuran Bata Merah Pejal Standar
IP = 20 30% lempung plastis
IP = > 30%, lempung sangat plastis. Ukuran, mm
Modul
3) Berdasarkan kepekaan terhadap pengeringan/ Tinggi Lebar Panjang
DSe). M 5 65 2 90 3 190 4
Berdasarkan nilai kepekaan terhadap M 5b 65 2 100 3 190 4
pengeringan/ DSE (Suripto, 1995), yang mana
teori didasarkan pada hubungan antara kadar M 6a 52 2 110 4 230 5
air setelah dikeringkan sampai penyusutan M 6b 55 3 110 6 230 5
berhenti. Setelah digambarkan, akan diperoleh
2 (dua) daerah yaitu sebelah atas garis kadar M 6c 70 3 110 6 230 5
air kritis disebut daerah bahaya dan sebelah M 6d 80 3 110 6 230 5
bawah garis kadar air kritis disebut daerah
aman. Sumber : SNI 15-2094-2000 Bata Merah Pejal untuk Pasangan
Dinding
Kemudian dihitung nilai kepekaan terhadap
Bata merah pejal harus mempunyai kekuatan
pengeringan/ Dse yaitu :
tekan yaitu kuat tekan rata-rata yang diperoleh
Dse = < 1, tidak peka terhadap pengeringan,
dari hasil pengujian 30 buah contoh, berikut
Dse = 1 2, peka terhadap pengeringan
koefisien variasinya untuk masing-masing kelas
Dse = > 2, sangat peka terhadap pengeringan
bata, seperti ditentukan pada Tabel 4.
Nilai Dse > 2, biasanya tidak disarankan, karena
Bata merah pejal tidak boleh mengandung garam
akan menimbulkan kesulitan pada proses
yang dapat larut sedemikian banyaknya sehingga
pengeringan.
pengkristalan dapat mengakibatkan lebih dari 50%
Selanjutnya bila dilihat dari nilai susut permukaan bata tertutup tebal oleh bercak-bercak
keringnya adalah sebagai berikut : putih.
< 6%, tidak peka terhadap pengeringan, Tabel 4 Kuat Tekan Rata-rata dan Koefisien Variasi
6 10%, peka terhadap pengeringan, yang Diizinkan
> 10%, sangat peka terhadap pengeringan.
Kelas Kekuatan tekan rata-rata Koefisien variasi
Variasi besarnya penyusutan bergantung pada Mutu 2 2 maks,%
kg f/cm N/mm
teknologi yang digunakan serta geometri
barang yang dibuat. 50 50 5 22
- pembentukan cara cor (casting) : susut > 100 100 10 15
10%
- pembentukan cara masa kering, setengah 150 150 15 15
kering : susut 6% Sumber : SNI 15-2094-2000 Bata Merah Pejal untuk Pasangan
- pembentukan cara massa plastis keras, Dinding
plastis lunak susut 610%
Genteng Keramik
4) Berdasarkan kekuatan kering (green strength) Genteng keramik adalah suatu unsur bangunan
Contoh uji tanah kering harus mempunyai kuat yang berfungsi sebagai penutup atap dan yang
lentur > 10 kg/cm2. dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa dicampur
dengan bahan lain, dibakar sampai suhu yang
Bata Merah
cukup tinggi, sehingga tidak hancur apabila
Bata merah pejal untuk pasangan dinding adalah
direndam dalam air.
bahan bangunan yang berbentuk prisma segi
empat panjang, pejal atau berlubang dengan Definisi ini mencakup genteng lengkung cekung,
volume lubang maksimum 15%, dan digunakan genteng lengkung rata dan genteng rata tidak
untuk konstruksi dinding bangunan, yang dibuat berglasir atau tidak diberi lapisan engobe.
dari tanah liat dengan atau tanpa dicampur bahan
Genteng keramik menurut syarat-syarat mutu
aditif dan dibakar pada suhu tertentu.
(pandangan luar, ketepatan ukuran, ketepatan
Bentuk standar bata merah adalah prisma segi bentuk, ketepatan terhadap perembesan air dan
empat panjang, bersudut siku-siku dan tajam,
134
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 132-138
kekuatan menahan beban lentur) dibagi dalam 3 genteng sudah mencapai tingkat kematangan
(tiga) tingkat mutu: yang baik, stabil dan tidak rapuh.
Tingkat mutu I
Selanjutnya secara rinci rancangan percobaan
Tingkat mutu II
dapat diuraikan dalam Tabel 6.
Tingkat mutu III
Tingkat mutu IV Tabel 6 Variasi Kadar LBB
Tingkat mutu V Proporsi
Suhu bakar
No. campuran (%) Keterangan
Syarat Mutu o
( C)
Lusi LBB
Pandangan luar, ketepatan bentuk dan kekuatan
lentur dari genteng keramik sesuai Tabel 5. 1 90 10 800 s.d 1000
Kadar LBB untuk
2 80 20 800 s.d 1000 pembuatan bata 10-30%,
Tabel 5 Syarat Mutu Genteng Keramik
3 70 30 800 s.d 1000 dan untuk pembuatan
Tingkat Beban lentur, kg
Syarat fisik genteng 20 40%
Mutu 2 4 60 40 800 s.d 1000
minimum rata
Sumber : Rancangan Penelitian
I 110 150 Warna rata, bunyi
II 90 120 nyaring 3) Rangkaian Kegiatan
III 60 80
Kerapatan baik Kegiatan ini akan dilaksanakan dengan
rangkaian sebagai berikut :
IV 35 50
Persiapan bahan baku (pengeringan, peng-
V 25 30 crusher-an, pengayakan).
Sumber : SNI 03-2095-1991 Genteng Keramik Pengujian bahan baku :
a. Analisa fisik
Bila diuji penyimpangan bentuk genteng b. Analisa kimia
keramik ratarata maksimum 3%. Pembuatan benda uji bata dan genteng
Genteng keramik untuk semua tingkat mutu dengan berbagai proporsi campuran seperti
harus tahan terhadap perembesan air. tercantum dalam Tabel 7.
Pada pengujian perembesan air, air tidak boleh Tabel 7 Proporsi Campuran Bata dan Genteng
menetes dari bagian bawah genteng dalam waktu
Bata merah Genteng keramik
kurang dari 2 jam.
No. Lumpur Limbah Lumpur Limbah
Sidoarjo Batubara Sidoarjo Batubara
METODOLOGI (lusi) (Lbb) (lusi) (Lbb)
Metode penelitian yang digunakan adalah 1 90% 10% 80% 20%
eksperimental, dengan melakukan percobaan di 2 80% 20% 70% 30%
laboratorium dari berbagai variabel dan benda uji.
3 70% 30% 60% 40%
Percobaan laboratorium dimaksudkan untuk
mengetahui sifat-sifat dasar bahan tanah/ lumpur Sumber : Rancangan Penelitian
untuk bahan baku bata dan genteng yang akan Pembakaran benda uji dengan suhu 800C,
dikembangkan. Selanjutnya hasil yang diperoleh dan 1000C
dibandingkan dengan persyaratan teknis Pengujian benda uji :
(spesifikasi) yang berlaku untuk mengetahui jenis - Kuat tekan
produk yang memenuhi syarat dan layak - Beban lentur
dikembangkan. - Perembesan air
Uraian kegiatan laboratorium ini meliputi : - Penyerapan air
1) Pemeriksaan Sifat-sifat Dasar Tanah/ Lumpur - Berat Jenis
Pemeriksaan sifat-sifat dasar tanah liat/ lumpur - Section rate
yang dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat - Sifat-sifat fisik lainnya
fisik, mekanis dan kimia, sebelum
dikembangkan lebih lanjut. HASIL PENELITIAN
2) Rancangan Percobaan Hasil Pengujian Lumpur
Percobaan pembuatan bata dan genteng dibagi 1. Pengujian sifat fisik-mekanik dari lumpur
menjadi 2 (dua) tahap, yaitu pertama disajikan dalam Tabel 8.
pemberian bahan tambahan dengan berbagai 2. Hasil analisis kimia dari lumpur disajikan
variabel untuk mendapatkan kadar optimal dalam Tabel 9.
berdasarkan karakteristik produk yang
dihasilkan, kedua adalah uji bakar untuk Hasil Pengujian Produk Pembakaran/ Keramik
mendapatkan suhu sintering dimana bata dan 1. Hasil pengujian kuat lentur dan kuat tekan
contoh uji keramik.
135
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
Benda uji dari hasil pembakaran pada suhu 800 Tabel 10 Hasil Pengujian Kuat Tekan dan Kuat Lentur
s.d 1000 oC dari berbagai variabel campuran, Suhu Kuat lentur, Kuat tekan,
No Lusi: LBB
berbentuk balok ukuran 15 x 2,5 x 2,5 cm untuk o
bakar, C kg/cm
2
kg/cm
2
uji kuat lentur dan kubus ukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 1 100 : 0 800 7,4 61,84
cm untuk uji kuat tekan, hasil pengujian 2 100 : 0 900 7,8 64,26
disajikan pada Tabel 10. 3 100 : 0 1000 8,7 72,62
4 90 : 10 800 7,6 65,81
Tabel 8 Hasil Pengujian Sifat Fisik-Mekanik Lumpur 5 90 : 10 900 8,2 71,93
Hasil 6 90 : 10 1000 8,9 80,56
No. Uraian uji Syarat Ket.
uji 7 80 : 20 800 8,6 85,84
1 Plastisitas 8 80 : 20 900 9,7 94,92
Batas cair 65,50 9 80 : 20 1000 11,4 108,61
(LL),% 10 70 : 30 800 11,8 82,74
Batas plastis 28,10 11 70 : 30 900 13,4 90,12
(PL),% 12 70 : 30 1000 15,8 98,56
Indeks 37,40 < 30,00 Sangat Sumber : Hasil Penelitian
plastis plastis 2. Hasil pengujian bata merah
(IP),%
Benda uji merupakan hasil pembakaran
2 Klasifikasi CH Lanau
dengan tungku bakar pada suhu 800 s.d 1000
plastisitas oC dengan waktu pijar (sintering) selama 3
tinggi
3 Berat isi 1,79 jam. Sesuai dengan persyaratan mutu yang
basah, ditetapkan, pengujian bata merah meliputi
g/cm
3 ukuran, kuat tekan, section rate, penyerapan
Berat isi 1,12 air dan berat jenis. Rangkuman hasil
kering, pengujian disajikan dalam Tabel 11 dan Tabel
g/cm
3
12.
4 Besar butir,
Tabel 11 Hasil Pengujian Sifat Fisik Bata Merah
> 2 mm,% 0,00
Hasil uji Hasil uji Hasil uji
> 0,02 22,00
mm,% No. Uraian uji Kadar LBB Kadar LBB Kadar LBB
10% 20% 30%
0,02-0,002 36,00
mm,% Berat jenis,
1 1,53 1,49 1,40
< 0,002 52,00 gr/cc
mm,% Penyerapan
2 24,34 26,74 30,02
5 Nilai DSe, 1,09 Peka thd air,%
pengeringan 3 Kadar air,% 0,57 1,03 1,33
6 Susut 7,10 Peka thd Section rate,
4 2 12,7 13,5 15,2
kering,% pengeringan gr/cm /mnt
7 Susut 0,72 Sumber : Hasil Penelitian
bakar,% Tabel 12 Hasil Pengujian Sifat Mekanis Bata Merah
8 Kuat lentur 11,20 > 10,00 Cukup baik Luas Kuat tekan
kering, Kode bidang Berat Beban
2
(kg/cm )
kg/cm
2 No.
sampel tekan (gram) (kg) 2 2
Sumber : Hasil Penelitian 2 Masing Rata
(cm )
Tabel 9 Hasil Analisis Kimia Lumpur 1 (90:10) 90,25 1.698,8 4000 44,32 43,21
2 (90:10) 90,25 1.799,2 3800 42,10
No. Uraian uji/unsur Hasil uji Syarat
3 (90:10) 90,25 1.945,6 3900 43,21
1 SiO2, .................. % 52,79 50 70
2 Al2O3 ................. % 26,35 10 35 1 (80:20) 90,25 1.622,1 4400 48,75 52,01
3 Fe2O3,................ % 8,51 28 2 (80:20) 90,25 1.763,8 4300 47,64
3 (80:20) 90,25 1.744,6 4300 47,64
4 CaO, .................. % 1,97 0,5 15
5 MgO, ................. % 2,53 0,2 5 1 (70:30) 90,25 2.149,6 2850 31,02 38,21
6 K2O,................... % 2,86 - 2 (70:30) 90,25 1.749,6 2860 31,69
3 (70:30) 90,25 1.873,3 2790 30,91
7 Na2O3, ............... % 2,08 -
Sumber : Hasil Penelitian
8 SO3, ................... % 0,98 0 - 0,5
9 HP, .................... % 1,92 3 - 12 3. Hasil pengujian genteng keramik
Sesuai dengan persyaratan mutu yang
Sumber : Hasil Penelitian
ditetapkan, pengujian genteng keramik
136
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 132-138
meliputi sifat fisik dan mekanik atau beban yang memiliki berat jenis yang relatif rendah
lenturnya. Rangkuman hasil pengujian disajikan dibanding tanah liat serta terjadinya rongga dalam
dalam Tabel 13. komponen setelah dibakar karena abu batubara
Tabel 13 Hasil Pengujian Genteng Keramik
tersebut masih banyak mengandung karbon yang
dapat terbakar dan menjadi rongga.
Beban
Perembesan Penyerapan
Kode No. lentur,
air air, (%) Dalam uji coba bakar dengan berbagai variasi
kgf bahan tambahan (LBB) dan suhu bakar diperoleh
A 1 40,2 data bahwa suhu bakar optimum untuk pembuatan
(80 : 20) bata merah adalah 800 oC sedangkan untuk
2 38,9 genteng keramik 900 oC dan agregat adalah 1000
3 37,6 oC, hal ini dikarenakan karakteristik fisik yang
4 39,4
berbeda dari produk yang dihasilkan sehingga
5 36,8
memerlukan titik leleh (sintering) yang berbeda
6 37,5
Rata-rata 38,4 tdk rembes 8,24 pula dengan kadar LBB 30%. Dari uji coba ini
terlihat bahwa semakin tinggi kadar LBB dan suhu
B 1 56,8 bakar semakin tinggi pula kekuatannya, hal ini
(70 : 30) disebabkan bahwa pemberian bahan tambahan
2 58,2 tersebut memberikan kontribusi kestabilan fisik,
3 54,7 kimia dan sifat sintering dari bahan tersebut.
4 55,4
Indikasi perubahan sifat fisik ini dapat terlihat pula
5 57,1
6 55,0 pada tahap pengeringan dan setelah dibakar, yang
Rata-rata 56,2 tdk rembes 12,36 mana lumpur asli banyak mengalami retak dan
pecah setelah mengering dan dibakar sedangkan
C 1 23,6 contoh uji yang diberi bahan tambahan antara 20
(60 : 40) s.d 30% cukup stabil, keras dan memiliki kekuatan
2 26,1 yang lebih tinggi.
3 28,4
4 22,7
Uji Bata Merah
5 24,6 Hasil pengujian bata merah memberikan nilai kuat
6 29,4 tekan yang cukup baik dengan sifat fisik (berat
Rata-rata 25,8 rembes 21,29 jenis, penyerapan air, section rate) dan
Sumber : Hasil Penelitian performance bata yang sangat bagus dan dapat
memenuhi persyaratan untuk dinding non
PEMBAHASAN struktural atau digunakan untuk rumah sederhana.
Hal ini dikarenakan oleh sifat-sifat bahan baku
Sifat Fisik Lumpur Sidoarjo (LUSI) yang cukup baik (sifat fisik dan unsur kimia)
Secara fisik, lumpur Sidoarjo sangat halus, plastis setelah dilakukan pencampuran dengan LBB, serta
dan memiliki penyusutan yang tinggi, kondisi ini proses pembentukan sampai pembakaran yang
menyebabkan hasil yang diperoleh dalam produksi memenuhi prosedur baku pembuatan bahan
agregat akan mengalami kerusakan baik dalam keramik.
tahap pengeringan maupun pembakaran sehingga
tidak memenuhi persyaratan. Oleh karena itu perlu Untuk pengembangan bata merah kadar abu
bahan tambahan sebagai penyetabil dari bahan batubara optimum diperoleh pada komposisi 20%
yang memiliki kadar silika tinggi misalnya fly ash dari berat tanah/ lumpur dengan kekuatan tekan
untuk mendapatkan produk yang stabil, kuat dan rata-rata sebesar 52 kg/cm2 dan dapat
presisi. dikategorikan masuk ke kelas 50, kondisi ini juga
didukung dengan unsur kimia yang ada setelah
Sifat Kimia dicampur yang menjadi lebih proporsional
Kandungan kimia dalam lumpur didominasi oleh terutama unsur silika meningkat dibanding
silika, alumina dan besi dengan jumlah lebih dari sebelum dicampur.
87% sehingga sangat baik digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan bahan bangunan Uji Genteng Keramik
keramik, walaupun tetap harus melihat terhadap Sedangkan pembuatan genteng kadar abu batubara
sifat-sifat teknis lainnya. optimum diperoleh pada komposisi 30% dari
berat tanah/ lumpur dengan beban lentur rata-rata
Uji Coba Bakar sebesar 56,2 kg dengan perembesan yang cukup
Semakin besar kandungan limbah batubara (LBB) baik dan ringan dan dapat dikategorikan masuk ke
dalam campuran menghasilkan produk yang kelas mutu IV, genteng ini dapat digunakan untuk
semakin ringan, hal ini disebabkan abu batubara
137
Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo (Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi)
rumah sederhana dengan konstruksi/ struktur ringan, kedap air dan dapat memenuhi syarat
ringan. Demikian pula halnya untuk pembuatan mutu kelas IV.
genteng, pada kadar abu batubara 20% dan 40%,
Rekomendasi
memiliki beban lentur yang lebih rendah, hal ini
Untuk pengembangan bata dan genteng skala
disebabkan pada proporsi tersebut memiliki
produksi perlu disesuaikan dengan pola
penyusutan dan kadar rongga yang belum
penanganan lumpur di lapangan, untuk
seimbang sehingga kekuatannya tidak optimal.
menjaga keselamatan kerja dan keamanan
lingkungan serta mendapatkan hasil endapan
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI yang cukup baik sehingga mudah dalam
Kesimpulan penanganan dan pengolahannya.
Lumpur Sidoarjo (LUSI) dapat dikembangkan Bila akan didirikan unit produksi sebaiknya
sebagai bahan bangunan keramik khususnya berlokasi disekitar bencana untuk
bata merah dan genteng. memudahkan dalam penyediaan bahan
Karena lumpur tersebut sangat halus dan sekaligus sebagai upaya dalam memberikan
memiliki sifat kepekaan pengeringan serta nilai kesempatan kerja bagi masyarakat setempat.
susut yang tinggi, maka diperlukan bahan Kelayakan secara ekonomis dari unit usaha ini
tambahan berupa fly ash/ abu batubara atau perlu dikaji lebih lanjut.
pasir silica untuk meningkatkan kekuatan dan
stabilitasnya. DAFTAR PUSTAKA
Semakin besar kandungan abu batubara (fly
Craig FF, Budi Susilo. S. 1995. Mekanika Tanah,
ash) dalam campuran menghasilkan produk
edisi keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.
yang semakin ringan, hal ini disebabkan abu
Fanani Hamzah, dkk. 1995. Laboratorium Teknologi
batubara yang memiliki berat jenis yang relatif
Keramik. Bandung: Balai Besar Industri
rendah dibanding tanah liat serta terjadinya
Keramik.
rongga dalam komponen setelah dibakar
Lasino, 2007. Penelitian Pemanfaatan Lumpur
karena abu batubara tersebut masih banyak
Sidoarjo untuk Agregat Buatan. Bandung.
mengandung karbon yang dapat terbakar dan
Lasino, dkk. 1997. Buku Pegangan Kuliah
menjadi rongga.
Pusdiktek: Pengetahuan Bahan di Bidang
Untuk pembuatan bata merah, suhu bakar
Sarana dan Prasarana ke-PU-an. Bandung.
optimum dapat dicapai pada 800 oC, dengan
Randing. 1997. Penelitian Tanah Liat dari Lahan
waktu sintering selama 3 jam dan penambahan
Gambut untuk Bahan Bangunan. Bandung.
LBB 20% dimana dapat menghasilkan mutu
Suripto, MA. 1995. Teknologi Bahan Bangunan dari
bata yang kuat ringan serta dapat memenuhi
Tanah Liat. Bandung: Balai Besar Industri
syarat mutu kelas 50.
Keramik.
Sedangkan untuk pembuatan genteng suhu Watson, DA. 1972. Construction Materials and
bakar optimum dapat dicapai pada temperatur Processes. Mc Graw Hill Book Company.
1000 oC, dengan waktu sintering 3 jam dan -------. SNI 15-2094-2000. Bata Merah Pejal untuk
penambahan LBB 30% dimana dapat Pasangan Dinding.
menghasilkan mutu genteng yang cukup baik, -------. SNI 03-2095-1991. Genteng Keramik.
138
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
Abstrak
Pulau Miangas adalah salah suatu pulau kecil di Indonesia mempunyai luas 3,15 km2. Pulau umumnya untuk
permukiman, kebun kelapa, kebun campuran, hutan, rawa dan pantai. Suhu maksimum 35 C dan minimum
20C. Curah hujan antara 1581 mm 4313 mm. Tahun 2005 berpenduduk 645 jiwa diproyeksikan menjadi
872 jiwa pada tahun 2030. Sumber air tawar untuk air bersih sangat terbatas. Tulisan menyajikan air tawar
untuk air baku. Kajian mencakup identifikasi permasalahan, pengumpulan data klimatogi dan curah hujan
dari stasiun hujan terdekat. Evapotranspirasi dianalisis dengan rumus Penman, debit andalan dan debit
rata-rata menggunakan metode Dr. F.J. Mock. Kajian menyimpulkan Pulau Miangas mempunyai kemampuan
kecil dalam menyimpan cadangan air tawar, evapotranspirasi sangat mempengaruhi fluktuasi potensi air,
debit andalan 80% setengah bulanan maksimum 4,31 m3/dt, minimum 0,06 m3/dt dan ratarata 0,1955
m3/dt serta debit rata-ratanya maksimum 0,529 m3/dt, minimum 0,076 m3/dt dan rata-ratanya 0,258
m3/dt, trend ketersediaan debit air tawar terus menurun menghadapi kebutuhan air bersih yang terus
meningkat hingga tahun 2030, potensi air yang tersedia hanya mampu memenuhi kebutuhan air baku untuk
air bersih. Untuk menjaga kelestarian potensi air disarankan agar melestarikan kawasan hutan untuk
konservasi air, mengolah air laut untuk kebutuhan air baku non domestik dan melibatkan masyarakat
mengelola sumber daya air.
Kata Kunci: Klimatologi, curah hujan, evapotranspirasi, potensi air, air baku, konservasi
Abstract
Miangas Island is one of small island in Indonesia has the 3.15 km 2. Island generally used the settlement,
coconut, mix planting, bush, swamp and coastal area. Maximum temperature is 35 C minimum is 20C. Rain
intensity is 1.581 mm to 4.313 mm. It has 645 people predicted is 875 in year of 2030. Freshwater sources are
limited. Article explains freshwater potential is for domestic raw water. Research involves the identification,
collecting data climatology and rainfall. Evapotranspiration analyzed with Penman, reliability rate used Dr.
F.J. Mock method. Research concludes island has low capacity in water storing; evapotranspiration influences
the fluctuation of potential water; 80% reliability rate of a half month was maximum 4.31 m 3/sec, minimum
0.06 m3/sec, average was 0.1955 m3/sec; the average rate was maximum 0.529 m3/sec, minimum 0.076
m3/sec, average was 0.258 m3/sec; the trend of raw water potential decleans to faces the water demand lifts
until 2030; existing water potential only able to fulfill the clean water demand. To save the potential water
resources is suggested to preserve the forest area to be the water conservation; treats the sea water is to
services the non domestic water demand and involves the local community in managing the water resources.
Keywords: Climatology, rainfall, evapotranspiration, water potential, raw water, conservation
139
Kajian Ketersediaan Air (Sarbidi)
Perikanan No. 67 Tahun 2002, definisi pulau kecil timbul pertanyaan : Berapa besar cadangan
adalah pulau yang berukuran kurang dari atau ketersedian air baku yang ada ? Apa saja kegiatan
sama dengan 10.000 km2 dengan jumlah penduduk yang seyogyanya dilakukan untuk menjaga
kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. kelestarian sumber daya air tersebut ?
Secara ekologis, pulau-pulau kecil terpisah dari Rumusan Masalah
pulau induknya (mainland island), memiliki batas Analisis ketersediaan air untuk mengetahui potensi
fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau sumber air, bagi pulau yang memiliki daerah
induk, sehingga bersifat insular. Pulau kecil tangkapan air kecil, seperti kasus Pulau Miangas
mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan dengan luas hanya sekitar 3,15 km2 perlu dikaji
keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi, secara baik, sehingga dapat dibuat rencana
tidak mampu mempengaruhi hidroklimat. Dari segi pengembangan kebutuhan air baku, air tawar yang
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau- tepat untuk keperluan pulau kecil tersebut.
pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan
Perencanaan kebutuhan air baku yang bijaksana
pulau induknya. Dari segi luas wilayah, pulau kecil
sangat tergantung ketersediaan data-data hidrologi
memiliki daerah tangkapan air (catchment area)
dan data meteorologi. Data hidrologi dan
relatif kecil, sehingga sebagian besar aliran air
meteorologi/klimatologi akan dijadikan dasar
permukaan dan sedimen masuk ke laut. Padahal air
untuk menganalisis ketersediaan air dan potensi
merupakan kebutuhan dasar manusia untuk
air, serta perencanaan suplai air baku untuk air
mendukung pengembangan sosial, ekonomi dan
minum, pertanian dan sebagainya.
budaya masyarakatnya.
Permasalahannya, seberapa besar potensi,
Pulau-pulau terkecil terluar ada 92 pulau, dimana
ketersediaan dan rencana pengembangan air baku
67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan
di Pulau Miangas. Tulisan ini difokuskan pada
10 negara tetangga, antara lain yang terletak paling
pembahasan hasil-hasil kajian mengenai neraca
utara, yaitu Pulau Miangas di Kabupaten Talaud
ketersediaan air di Pulau Miangas. Data dan
Propinsi Sulawesi Utara berbatasan dengan
informasi diambil dari survei investigasi dan
Filipina. Posisi Pulau Miangas sangat strategis bagi
desain air baku pulau-pulau kecil (Pulau Miangas,
keutuhan wilayah Republik Indonesia bagian utara.
Pulau Karatung, Pulau Marampit dan lain-lain) dari
Karena posisinya tersebut maka Pulau Miangas
Ditjen Sumber Daya Air tahun 2005.
ditetapkan sebagai wilayah khusus yang dikenal
dengan checkpoint border crossing area.
METODOLOGI
Dalam Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005 Identifikasi Masalah
telah ditetapkan 5 (lima) bidang kegiatan Permukiman di kawasan Pulau Miangas, sangat
pengelolaan pulau-pulau kecil, yaitu : rentan rawan air akibat luas daerah tangkapan air
1. Sumber daya alam dan lingkungan hidup hujan yang kecil dan sumber air baku terbatas.
2. Infrastruktur dan perhubungan Identifikasi terhadap potensi air berguna untuk
3. Pembinaan wilayah merencanakan jumlah dan keperluan air baku bagi
4. Pertahanan dan keamanan masyarakat, yang mampu terlayani dengan potensi
5. Ekonomi, sosial dan budaya yang ada.
Pembangunan pulau-pulau kecil, selain Data dan studi hidrologi digunakan untuk
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan menganalisis seberapa besar potensi sumber air
penduduknya dan pemerataan kemajuan di dan dapat digunakan untuk keperluan air baku
seluruh wilayah nasional, juga untuk menjaga bagi masyarakat setempat.
eksistensi, keutuhan wilayah dan pengamanan
kekayaan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Ada bermacam metode yang dapat dipakai dalam
Pembangunan pulau kecil sebagaimana yang menganalisis potensi air (debit andalan). Pada
diamanatkan dalam peraturan presiden di atas, tulisan ini menggunakan metode yang
antara lain membutuhkan dukungan ketersediaan dikembangkan oleh DR. F.J. Mock sebagai acuan
daya air yang cukup, khususnya ketersedian air dasar dalam perhitungan keseimbangan air yang
baku. ada. Curah hujan rata-rata bulanan daerah
tangkapan air dihitung dari data pengukuran curah
Kasus penelitian atau kajian ditetapkan di Pulau hujan stasiun hujan Naha dan Beo. Analisis
Miangas, karena luas Pulau Miangas hanya sekitar evapotranspirasi menggunakan rumus Penman.
3,15 km2. Sehingga daerah tangkapan air
(catchment area) relatif sangat kecil. Dengan
keberadaan luas pulau yang kecil tersebut maka
140
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
141
Kajian Ketersediaan Air (Sarbidi)
Pada umumnya Pulau Miangas berupa dataran digunakan. Perhitungan yang dilakukan dengan
rendah, kecuali pada ujung sebelah Timur Laut metode DR. F.J. Mock didasarkan pada simulasi
terdapat dataran tinggi dan bukit dengan berbagai formula.
ketinggian antara 30 m sampai dengan 200 m dari
Dalam perhitungan ketersediaan air kawasan,
permukaan laut. Kawasan bukit ditutup tanaman
Direktorat Irigasi Departemen Pekerjaan Umum
alang-alang, pohon atau kayu campuran dan semak
menetapkan bahwa :
belukar. Di tengah pulau terdapat rawa berupa
Data curah hujan yang digunakan adalah curah
cekungan dengan kedalaman mencapai 50 100
hujan harian atau bulanan rata-rata
cm ditumbuhi oleh tanaman Galuga yang
merupakan salah satu konsumsi bagi masyarakat. Harga faktor resesi K diambil = 60%
Harga infiltrasi rate Ii = 0.40 dari curah hujan
Bagian Utara-Timur terdapat bukit menyusuri Storm run off R1 diambil 5% dari curah hujan
pantai kurang lebih 2 kilometer, dimana dibagian untuk soil moisture yang defisit dan R untuk soil
Utara mulai landai. moisture maksimum
Bagian Selatan-Barat terdapat bangunan dermaga Soil moisture maksimum diambil = 200 mm.
yang saat ini berfungsi sebagai tambatan kapal- Standar Kebutuhan Dasar Air Bersih Pedesaan
kapal yang bersandar. Pada bagian ini terdapat Pulau kecil terutama Pulau Miangas merupakan
permukiman penduduk yang menjorok masuk ke daerah pedesaan. Oleh karena itu, layanan
tengah pulau. kebutuhan air bersih sesuai standar pedesaan,
Bagian Barat-Utara merupakan batas Pulau yakni diutamakan untuk memenuhi kebutuhan
Miangas yang mengarah ke batas wilayah terluar dasar manusia (human basic need), yaitu 60
Republik Indonesia bagian Utara. Bagian Utara liter/orang/hari. Standar air bersih untuk
merupakan daerah yang perlu diamankan karena kebutuhan dasar pada Tabel 1.
telah terjadi pergeseran garis pantai. Tabel 1 Standar Kebutuhan Dasar Air Bersih Daerah
Pedesaan
Penggunaan lahan di Pulau Miangas, terdiri atas
No. Uraian Satuan Kriteria
permukiman penduduk (berlokasi di sisi pantai
1. Sambungan Rumah (SR) L/org/hr 90
sebelah Barat Daya), perkebunan kelapa
(dominan), kebun campuran, hutan belukar, rawa- 2. Hidran Umum (HU) L/org/hr 30
rawa dan wilayah pantai, dengan hamparan pasir 3. Lingkup Pelayanan % 60 100
putih di seluruh pantai. 4. Perbandingan HU : SR - 20:80 50:50
Pada bagian tengah pulau terdapat rawa-rawa 5. Kebutuhan Non- % 5
yang banyak ditumbuhi tanaman jenis talas Domestik
(galuga) dan sagu, yang merupakan makanan asli 6. Kehilangan air akibat % 15
penduduk setempat. kebocoran
7. Faktor puncak untuk - 1,5 x Qr
Penggunaan lahan secara lebih terperinci (Tata hari maksimum
Ruang Kabupaten Talaud, 2005) diperkirakan 8. Pelayanan SR org/unit 10
sebagai berikut : 9. Pelayanan HU org/unit 100
a. Wilayah pantai sekitar 25,6 Ha (8%);
10. Jam operasi Jam/hr 12
b. Wilayah permukiman sekitar 19,2 Ha (6%);
c. Wilayah kebun kelapa dan kebun campuran 11. Aliran maksimum SR L/hr 900
sekitar 217 Ha (68%); 12. Aliran maksimum HU L/hr 3000
d. Wilayah rawa-rawa sekitar 44,8 Ha (14%); 13. Periode perencanaan Tahun 10
e. Wilayah hutan belukar sekitar 12,8 Ha (4%). Sumber : Pedoman Teknis Air Bersih Ibu Kota Kecamatan (IKK)
Tahun 2005 berpenduduk 645 jiwa dan rumah 132 Pedesaan, Tahun 1990.
buah. Pulau Miangas merupakan pulau kecil terluar L = Liter; org = orang; hr = hari;
di wilayah Utara Indonesia. Jarak Miangas dengan Qr = debit rata-rata.
kota kabupaten 185 mil, dengan kota kecamatan Proyeksi Penduduk
Nanusa 75 mil dan dengan Tibanban Filipina hanya Kebutuhan air pada suatu kawasan pedesaan atau
50 mil. perkotaan didasarkan pada besarnya jumlah
Formula Analisis Ketersediaan Air penduduk, termasuk proyeksinya beberapa tahun
Dalam menganalisis debit andalan (potensi air) mendatang, dikalikan dengan tingkat kebutuhan
dapat menggunakan metode debit rata-rata air per kapita.
minimum, metode flow characteristic, basic year Proyeksi jumlah penduduk Pulau Miangas dihitung
dan basic month dan simulasi DR. F.J. Mock. Metode dengan formula statistik yang biasa digunakan
DR. F.J. Mock lebih praktis, sehingga banyak untuk memprediksi populasi.
142
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
2. 1992 90.00 288.00 Agst 26.60 63.40 1012.46 77.8 174.20 4.10
3. 1993 150.00 146.00 Sept 26.80 66.50 1012.68 76.8 181.40 4.30
4. 1994 172.00 191.00 Okt 27.10 49.70 1012.35 76.5 194.20 4.40
5. 1995 144.00 123.00 Nov 27.10 52.00 1011.50 77.8 182.30 4.10
6. 1996 250.00 102.00 Des 26.70 33.00 1011.88 81.2 181.30 3.90
7. 1997 128.00 128.00 Min 26.20 33.00 1011.12 76.5 150.60 3.60
8. 1998 95.00 172.00 Rata2 26.74 50.93 1011.83 80.18 172.51 4.03
9. 1999 164.00 102.00 Maks 27.10 66.50 1012.68 84.00 194.20 4.40
10. 2000 113.00 130.00 Sumber : Data BMG Stasiun Naha, 2004
143
Kajian Ketersediaan Air (Sarbidi)
Series1
Debit rata-rata
Series2 Debit
andalan 80%
Gambar 3 Debit Andalan 80% dan Debit Rata-Rata Ketersediaan Air Kawasan Pulau Miangas (Hasil Analisis)
144
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 139-146
145
Kajian Ketersediaan Air (Sarbidi)
4. Kapasitas air tawar untuk air baku yang Management. Volume 1/1984 volume
tersedia terus menurun berhadapan dengan 24/2010. ISSN 0920 4741 (print) 1573
kebutuhan air yang terus meningkat hingga 1650 (online). Publish: Springer Netherlands.
tahun 2030. http://www.google.co.id.
5. Potensi air tawar yang ada saat ini, hanya http://www.springer link.com
mampu untuk memenuhi kebutuhan air baku Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005 tentang
untuk air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. 28
yang lain, seperti pariwisata, industri, hankam, Desember 2005.
dan lain-lain harus dilakukan pengolahan air Retraubun, Alex S.W. dan Atmini, Sri. eds 2004.
laut. Profil Pulau-pulau Kecil Terluar di Indonesia
(12 Pulau yang Membutuhkan Perhatian
Saran
Khusus). Direktorat Pemberdayaan Pulau-
Untuk menjaga kelestarian air tawar yang ada saat
Pulau Kecil, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau
ini disarankan hal-hal sebagai berikut :
Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.
1. Melakukan dan menjaga kelestarian kawasan Cetakan I.
hutan, kebun dan tanaman lain dengan baik, Tim Survei. Eds 2006. Laporan Survei: Kajian
agar menjadi kawasan konservasi air. Pembangunan Prasarana dan Sarana PU
2. Melakukan pengolahan air laut untuk Perkim Kawasan Pulau-pulau Kecil. Pulau
memenuhi kebutuhan air baku non domestik, Miangas Kecamatan Nanusa, Kabupaten
terutama untuk keperluan kapasitas dalam Kepulauan Talaud Propinsi Sulawesi Utara.
jumlah yang besar. Satker Puslitbang Permukiman. Bandung:
3. Melibatkan masyarakat dalam mengelola April 2006.
sumber daya air melalui kearifan lokal dalam Undang-Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang
mengelola hutan dan/ atau penebangan hutan. Sumber Daya Air.
Vasiliades, Lampros., Loukas, Athanasios, and
DAFTAR PUSTAKA Liberis. eds 2010. A Water Balance Derived
Ditjen. Sumber Daya Air. eds 2005. Draft final Drougth Index for Pinios River Basisn. Journal
report: SID Air Baku Pulau-Pulau Kecil di of Water Resources Management. Volume
Perbatasan dengan Philipina (Pulau Miangas, 1/1984 volume 24/2010. ISSN 0920 4741
Karatung, Marampit, Kakorotan, (print) 1573 1650 (online). Publish:
Mangumpang, Garat, Intata dan Pulau Mala. Springer Netherlands.
Satker Sementara Irigasi Sangihe Talaud dan http://www.google.co.id.
Pulau Kecil Sulawesi Utara. http://www.springer link.com
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Wangsadipura, Muljana. Eds 2003. Applied
Tahun 2000 Jo Keputusan Menteri Kelautan Hydrology. Catatan Kuliah SI-664 Hidrologi
dan Perikanan No. 67 Tahun 2002 tentang Terapan. Bandung: Program Magister
Pulau-pulau kecil. Profesional ITB.
Linsley, Ray K., Kohler, Max A, and Paulhus, Joseph Zhang, Weihua., Wei, Chaofu, and Zhou. eds 2010.
L. H, eds. 1996. Hidrologi untuk Insinyur, edisi- Optimal Allocation of Rainfall in the Sichuan
3. Penerjemah Yandi Hermawan.Jakarta: Basin Southwest China. Journal of Water
Penerbit Erlangga. Resources Management. Volume 1/1984
Mohammed, M Mohamed, and Al Mualla, Aysha A. volume 24/2010. ISSN 0920 4741 (print)
eds 2010. Water Demand Forecasting in Umm 1573 1650 (online). Publish: Springer
Al-Quwain (UAE) using the IWR MAIN Specify Netherlands. http://www.google.co.id.
Forecasting Model. Journal of Water Resources http://www.springer link.com.
146
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
Abstrak
UDC
624.159.14
Sud Sudrajat, Iwan
p Perkembangan tipologi rumah vernakular dan responnya terhadap bahaya gempa, studi kasus : Desa
Duku Ulu, Bengkulu/ Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan. --Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3
November 2010.--Hal. 107 115.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2010.
48 hlm. : ilus.;25 cm
Abstrak : hlm. 107
ISSN : 1907-4352
I. EARTHQUAKE 1.HOUSING 2. Judul
Desa Duku Ulu, Bengkulu merupakan salah satu desa tua di Kabupaten Rejang Lebong yang sudah sering
mengalami kejadian gempa yang menyebabkan banyak bangunan yang rusak. Uniknya terdapat beberapa
bangunan vernakular khas daerah tersebut yang masih bertahan. Terdapat 5 tipologi bangunan vernakular di desa
ini yang merupakan hasil perkembangan bangunan yang ada. Perubahan bentuk yang terjadi menunjukkan
perkembangan bangunan rumah vernakular ke arah pengurangan terhadap respon gempa, yang dapat dilihat dari
bentuk bangunan, sistem struktur bangunan, material yang digunakan, dan sistem konstruksi (sambungan).
Kejadian gempa menyebabkan semakin buruknya respon bangunan terhadap resiko gempa. Tidak heran ketika
gempa tahun 1979, 1997, dan 2000 banyak bangunan rumah vernakular tersebut yang rusak berat. Hilangnya
kemampuan penduduk disebabkan oleh 3 faktor, yaitu : 1) semakin berkurangnya ahli (tukang) yang membangun
bangunan, 2) susahnya mencari material kayu, 3) budaya instan yang ingin cepat membangun rumah
Kata kunci : bangunan perkantoran, konservasi energi, IKE, OTTV, RTTV, kesan termal, Gedung Sekjen PU
UDC
691.41
Las Lasino
p Penelitian pemanfaatan lumpur Sidoarjo untuk bata merah dan genteng/ Lasino, Moch. Edi Nur, Dany
Cahyadi. --Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Hal. 132 138.--Bandung : Pusat Penelitian
147
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
Kata kunci : lumpur Sidoarjo, fly ash, bahan bangunan keramik, bata merah, genteng keramik
UDC
628.1
Sar Sarbidi
k Kajian ketersediaan air tawar untuk air baku di pulau kecil, studi kasus : Pulau Miangas/ Sarbidi.--Jurnal
Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010,--Hal. 139 146. Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, 2010.
48 hlm. : ilus.;25 cm
Abstrak : hlm. 139
ISSN : 1907-4352
I. WATER SUPPLY 1. FRESHWATER 2. Judul
Pulau Miangas adalah pulau kecil yag mempunyai luas 3,15 km. Berdasarkan kajian bahwa Pulau Miangas
mempunyai kemampuan kecil untuk menyimpan cadangan air tawar. Debit andalan 80% setengah bulanan
maksimum 4,31 m/dt, minimum 0,06 m/dt dan debit rata-rata maksimum 0,529 m/dt, minimum 0,076 m/dt.
Ketersediaan cadangan air tawar terus menurun menghadapi kebutuhan air bersih yang terus meningkat. Untuk
menjaga kelestarian cadangan air harus menjaga kelestarian kawasan hutan, mengolah air laut untuk kebutuhan
air baku non domestik dan melibatkan masyarakat mengelola sumber daya air.
Kata kunci : klimatologi, curah hujan, evapotranspirasi, potensi air, air baku, konservasi
148
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
Abstract
UDC
624.159.14
Sud Sudrajat, Iwan
v Vernacular houses typology and its respond to the earthquake, case study : Desa Duku Ulu, Bengkulu/
Iwan Sudrajat, Sugeng Triyadi, Andi Harapan.--Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page.
107 115. Bandung : Research Center for Human Settlements, 2010.
48 pages : ilus.;25 cm
Abstract : page 107
ISSN : 1907-4352
I. EARTHQUAKE 1. HOUSING 2. Title
Desa Duku Ulu, one of the oldest kampong in Rejang Lebong Region, is the earthquake area. Some of earthquakes
made several damages especially for buildings. Interestingly, many of vernacular houses are survived and got only
light damages while there are many modern building got great damages. There are five typologies of vernacular
houses in this kampong. The changes of houses typology show the degradation responses to earthquake. It can be
seen in building form, structural system, material, and construction system (joint). The trial and error process of
learning from earthquake is not happened. No wonder, when earthquakes come in 1979, 1997, and 2000 many
vernacular houses got heavy damages. It is because of three factors : 1) lack of craftsmen, 2)lack of wood, 3) instant
culture in constructing houses.
Keywords : office building, energy conservation, IKE, OTTV, RTTV, thermal perception, General Secretary of
Ministry of Public Works Building
UDC
691.41
Las Lasino
r Research utilization mud of Sidoarjo for red bricks and tiles/ Lasino, Moch. Edi Nur, Dany Cahyadi.--
Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page. 132 - 138.--Bandung : Research Center for Human
Settlements, 2010.
149
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 147-150
48 pages : ilus.;25 cm
Abstract : page 132
ISSN : 1907-4352
I. MUD 1. MATERIAL 2. Title
In an effort of utilizing mud of Sidoarjo, tried to be developed as building materials such as red brick and ceramic
roof tile through combustion process. The research result has obtained that minimum combustion temperature for
making red brick reached at 800C and for ceramic roof tile at 1000C with 3 hours of burning time, which
produced at red brick and roof tile with good performance, hard and stabile.
Keywords : mud of Sidoarjo, fly ash, ceramic base material, red brick, roof tile
UDC
628.1
Sar Sarbidi
r Research on fresh water availability as raw water in small island, case study Miangas Island/ Sarbidi.--
Jurnal Permukiman.--Vol. 5.--No. 3 November 2010.--Page. 139 - 146. Bandung : Research Center for
Human Settlements, 2010.
48 pages : ilus.;25 cm
Abstract : page 139
ISSN : 1907-4352
I. WATER SUPPLY 1. FRESHWATER 2. Title
Miangas Island is a small island which has area 3.15 km. Based on research concluded that Miangas Island has low
capacity in fresh water storing. 80% reliability rate of a half month was maximum 4.31 m/sec, minimum 0.06
m/sec and the average rate was maximum 0.529 m/sec, minimum 0.076 m/sec. Raw water potential decline to
face the water demand lifts continuously. To save the potential water resources is suggested to preserve the forest
area, treats the sea water is to services the non domestic water demand and involves the local community in
managing the water resources.
150
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 151
Indeks Subjek
A L
Air Baku = 139, 140, Lempung = 133
Air Tawar = 139, 145,146 Lumpur Sidoarjo (LUSI) = 132, 137, 138
Ancient tradition = 108,
O
B Overall Thermal Transfer Value (OTTV) = 124, 125, 126,
Bata Merah = 132, 133, 135, 136 128, 131
Bengkulu = 107, 108
P
C Perumahan kumuh = 116, 117, 121
Catchment area = 140 Private housing = 119
Curah hujan = 139, 145 Public housing = 119
Community design = 118, Pulau Miangas = 139, 140, 143, 144
Plastisitas = 133, 134
D
Desa Duku Ulu = 107, 109, 110, 115 R
Daerah tangkapan air = 140 Rigid = 109, 110, 115
Descriptive Statistic = 118, 119 Roof Thermal Transfer Value (RTTV) = 124, 125, 126,
131
E
Evapotranspirasi = 139, 140, 143, 144, 145 S
Selubung bangunan = 124,
Sertifikat Laik Fungsi (SLF) = 124
F Slum settlement = 119
Fly Ash = 132, 133, 137, 138 Squatter settlement = 119
G T
Gedung Sekjen-PU = 124, 127, 131 Termal = 124, 131
Gempa = 107, 108, 109, 110
Genteng keramik = 132, 133, 135, 136 U
Green Strength = 133 Urban renewal = 117, 122,
I V
Intensitas Konsumsi Energi (IKE) = 124, 125, 126 Vernacular = 107, 108,109, 110, 115
K
Knock down = 109, 110, 113
K-mean Cluster = 118, 120
151
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 152-153
Indeks Pengarang
Aan Sugiarto. Sifat Fisis dan Mekanis Panel Semen Pelepah Kelapa Sawit. Volume 5 No.1 April 2010. Hal. 7-12.
Andriati Amir Husin. Penelitian Pengaruh Larutan Garam Sulfat terhadap Kualitas Beton Ringan. Volume 5 No. 2
Agustus 2010. Hal. 78 84.
Andi Harahap. Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa, Studi Kasus : Desa
Duku Ulu, Bengkulu. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 107 115.
Aris Prihandono. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan
Fenomena Kebijakan Penyediaan RTH di Daerah. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 13-23.
Bunawas. Studi Penurunan Konsentrasi Gas Radon Dalam Ruangan Menggunakan Beton Ringan. Volume 5 No. 1 April
2010. Hal. 1-6.
Dani Cahyadi. Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng. Volume 5 No. 3 November
2010. Hal. 132 138.
Fitrijani Anggraini. Penerapan Infrastruktur Persampahan di Pulau-pulau Kecil Studi Kasus : Di Pulau Harapan,
Kepulauan Seribu. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 36 43
Heni Suhaeni. Tipologi Kawasan Perumahan dengan Kepadatan Penduduk Tinggi dan Penanganannya. Jurnal
Permukiman. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 116 123.
Iskandar Muda Purwaamijaya. Analisis Sosial-Ekonomi Penghuni Perumahan Setiabudhi Regency, Graha Puspa, Triniti.
Volume 5 No. 2 Agustus 2010. Hal. 67 77.
Iwan Sudrajat. Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa Studi Kasus : Desa
Duku Ulu, Bengkulu. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 107 115.
Lia Yulia Iriani. Pengaruh Izin Mendirikan Bangunan terhadap Penataan Permukiman di Kampung Muara. Volume 5 No.
2 Agustus 2010. Hal. 85 91.
Lasino. Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng. Volume 5 No.3 November 2010. Hal.
132 138.
Moch Edi Nur. Penelitian Pemanfaatan Lumpur Sidoarjo untuk Bata Merah dan Genteng. Volume 5 No. 3 November
2010. Hal. 132 138.
Nana Pudja Sukmana. Perilaku n-Panel System dalam Menahan Beban Lateral Siklik Statik. Volume 5 No. 1 April 2010.
Hal. 24 35.
Nurhasanah Sutjahjo. Standar Pelayanan Minimal untuk Biaya Satuan Program Bidang Air Minum. Volume 5 No. 2
Agustus 2010. Hal. 92 101.
Nurul Aini S. Sifat Fisis dan Mekanis Panel Semen Pelepah Kelapa Sawit. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 7 12.
Sri Darwati. Kajian Penerapan Penilaian Indeks Resiko Tempat Penimbunan Sampah di Indonesia. Volume 5 No. 1 April
2010. Hal. 44 51.
Sarbidi. Pengendalian Kerusakan Lingkungan Permukiman Kawasan Pantai Pulau Miangas dengan Pencegahan Erosi
dan Abrasi. Volume 5 No. 2 Agustus 2010. Hal. 58 66.
Sarbidi. Kajian Ketersediaan Air Tawar untuk Air Baku di Pulau Kecil, Studi Kasus : Pulau Miangas Volume 5 No. 3
November 2010. Hal. 139 146.
Siti Aisyah Nurjannah. Perilaku n-Panel System dalam Menahan Beban Lateral Siklik Statik. Volume 5 No. 1 April 2010.
Hal. 24 35.
Sugeng Triyadi. Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya terhadap Bahaya Gempa Studi Kasus : Desa
Duku Ulu, Bengkulu. Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 107 115.
152
Jurnal Permukiman, Vol. 5 No. 3 November 2010: 152-153
Syarbaini. Studi Penurunan Konsentrasi Gas Radon Dalam Ruangan Menggunakan Beton Ringan. Volume 5 No. 1 April
2010. Hal.1-6.
Tuti Kustiasih. Penerapan Infrastruktur Persampahan di Pulau-pulau Kecil Studi Kasus : Di Pulau Harapan, Kepulauan
Seribu. Volume 5 No. 1 April 2010. Hal. 36 43.
Wahyu Sujatmiko. Studi Peluang Penghematan Pemakaian Energi pada Gedung Sekretariat Jenderal Pekerjaan Umum.
Volume 5 No. 3 November 2010. Hal. 124 131.
153
Pedoman Penulisan Naskah
1. Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam
dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman
2. Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah
naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka
3. Naskah akan dinilai oleh Dewan Penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas,
kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan Penelaah berwenang mengembalikan naskah
untuk direvisi atau menolaknya
4. Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi dahulu
dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas pandangan
dan pendapatnya di dalam naskah
5. Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali
ke redaksi beserta filenya dengan program (software) Microsoft Office Word paling lambat satu minggu setelah
tanggal persetujuan
6. Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah akan
menjadi hak milik instansi penerbit
7. Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan,
kecuali ada permintaan lain dari penulis
8. Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi
9. Secara teknis persyaratan naskah adalah :
Sistematika penulisan :
Bagian awal: Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea yang berisi tujuan
penelitian, metodologi, hasil pembahasan dan simpulan antara 150-200 kata dalam dua bahasa (Indonesia-
Inggris) disertai minimal 5 kata kunci
Bagian utama: Pendahuluan, Kajian Pustaka, Hipotesis (jika ada), Metodologi, Hasil dan Analisis,
Pembahasan, Kesimpulan dan Saran
Bagian akhir: Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada)
Teknik penulisan:
a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak
kolom pertama dan kedua 1 cm.
b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan spasi
(+ ENTER).
Penggunaan huruf:
Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold
Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi
Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold
Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi
Penomoran halaman menggunakan angka arab
c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun terakhir,
kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru.
d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut:
Buku (monograf)
Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle Books.
Artikel Jurnal
Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species. Bioscience
24:715-22.
Situs Web
Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review 46, No. 1: 59-81.
http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005).