Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau

penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk mengurangi

atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal

mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien

dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Pada analisa akhir,

ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda nyeri pascaoperasi adalah persepsi

pasien itu sendiri terhadap rasa sakit. Efektivitas dari pereda rasa nyeri pascaoperasi adalah

sangat penting untuk menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang

menjalani operasi. Hal ini awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian

ditemukan bahwa dengan adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan

fisiologis pasien pun akan menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan

membantu penyembuhan pascaoperasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih

cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome. Referat ini

bertujuan untuk membahas mengenai fisiologis dan mekanisme nyeri serta bagaimana

memanajemen nyeri pascaoperasi. Akan didiskusikan bagaimana caranya menggunakan obat-

obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi Non Steroid), obat-obat yang

bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi lokal untuk mencapai tujuan ini.

1
BAB II
ISI

A. Defenisi
Secara umum nyeri adalah suatu keadaan yang tidak nyaman, baik ringan maupun
berat. Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri adalah
pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan
actual maupun potensial, atau menggambarkan terjadinya kerusakan.1
Nyeri sering dilukiskan sebagai sesuatu yang berbahaya atau yang tidak
berbahaya misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri


1. Usia
Menurut Potter dan Perry (1993) usia adalah variable yang penting
mempenharuhi nyeri terutama paa anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan
antara kedua kelompok ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa
bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan menyikapi nyeri dan beranggapan setiap
tindakan medis mengakibatkan nyeri. Untuk itu dibutuhkan teknik komunikasi yang baik
yang membantu anak untuk mendeskripsikan nyeri yang dialaminya. Berbeda halnya
pada orang dewasa yang dapat mendeskripsikan sendiri nyaeri yang dirasakannya.
2. Jenis Kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Menurut Burn,dkk (1989) yang
dikutip dari Perry dan Potter 1993 mempelajari kebutuhan narkotik post operatif pada
wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.
3. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas dapat meningkatkan nyeri,
mungin tidak seluruhnya benar untuk semua keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu
hubungan yang konsisten antara ansietas dan juga nyeri juga tidak memperlihatkan
bahwa pelatihan pengurangan stress praoperatif menurunkan nyeri saat pasca
operatif.namun ansietas yang berhubungan dengan nyeri sejak awal, dapat meningkatkan

2
persepsi pasien terhadap nyeri. Secara umu, cara yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri dibandingkan
ansietas (Smeltzer dan Barre, 2002)
4. Keluarga dan Support Sosial
Factor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari
orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada
keluarga untuk mendapatkan dukungan, membantu dan melindungi. Ketidakhadiran
keluarga atau orang terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah.
Kehadiran orang tua merupakan hal khusus yang penting untuk anak0anak dalam
menghadapai nyeri menurut Potter dan Perry, 1993 2

C. Klasifikasi Nyeri
1. Nyeri Akut
Nyeri somatic luar
Nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa
Nyeri somatic dalam
Nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
Nyeri visceral
Nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam
2. Nyeri Kronis
Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan lain-lain.2

Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya
datang tiba-tiba, umunya berhubungan dengan cedera spesifik, jika kerusakan tidak lama
terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun seiring dengan
penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik
hingga enam bulan (Brunneth dan Sudarth, 1996)1
Berger (1992) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan
yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi perubahan denyut
jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada
telapak tangan dan ukuran pupil.

3
Sedangkan nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis bisa tanpa awitan yang ditetapkan, dan sering
sulit diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih (Brunneth dan Suddarth)1
Menurut Taylor (1993) nyeri kronis bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai
macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara pelan setelahnya, dimulai setelah
detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini
berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus menerus atau intermitten.

Berdasarkan kualitasnya, nyeri dibagi menjadi:


1. Nyeri cepat (fast pain)
Nyeri ini singkat dan tempatnya jelas sesuia rangsang yang diberikan. Misalnya neri
tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf kecil bermielin jenis A
delta dengan kecepatan konduksi 12-30 meter/detik

2. Nyeri Lambat (slow pain)


Nyeri ini sulit dilokalisir dan tak ada hubungan dengan rangsang. Misalnya rasa
terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu, linu. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf
primitive tak bermielin jenis C dengan kecepatan konduksi 0,52-2 meter/detik.

D. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat
kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p,
dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan
menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997).

4
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian
tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah
viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki
sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit
(kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-
organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada
reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.3

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)3


Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor
dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap
paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls
nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan

5
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan
tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden
dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C
melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain
itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme
penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan
lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan
tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan
ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur
saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh
nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian
plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis3
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi
atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh

6
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri3


1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri3


1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

7
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari
kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis.
Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih
atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks
dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap
nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:


1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga
akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri
dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap
nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien
mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang,
maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. 3

8
E. Nyeri Inflamasi2
Proses inflamasi adalah proses unik baik secara biokimia atau seluler yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak
hanya berusaha menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk
menyembuhkannya.
Tanda-tanda inflamasi adalah:
Rubor (kemerahan jaringan)
Kalor ( kehangatan jaringan)
Tumor (pembengkakan jaringan)
Dolor ( nyeri jaringan)
Fungsio laesa ( kehilangan fungsi jaringan)
Reseptor nyeri adalah ujung-unjung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual, muntah
melalui penigkatan sirkulasi katekolamin akibat stress.

F. Mekanisme Nyeri2
Nyeri timbul setelah menjalani proses transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
1. Transduksi
Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membrane reseptor yang
kemudian menjadi impuls saraf
2. Transmisi
Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di medulla
spinalis disebut sebagai neuron afferent primer
Jaringan saraf yang naik dari medulla spinalis ke batang otak dan
thalamus disebut neuron penerima kedua
Neuron yang menghubungkan dari thalamus ke korteks serebri disebut
neuron penerima ketiga
3. Modulasi
Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer, medulla spinalis atau
supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau member fasilitasi

9
4. Persepsi
Nyeri sangat dipengaruhi oleh factor subjektif, walaupun mekanismenya belum
jelas.

F. Nyeri Post-Operasi 1
Toxonomi Comitte of The International Assocation mendefinisikan nyeri post
operasi sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata atau
menggambarkan terminologi suatu kerusakan (Alexander, 1987).
Nyeri post operasi akan meningkatkan stres post operasi dan memiliki
pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. kontrol nyeri sangat penting sesudah
pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah
dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian
analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien post operasi dapat
dibebaskan (Weist et all, 1983; Torrance & Serginson, 1997).
Menurut Potter dan Perry (1993); Torrance dan Sergison (1997) secara
umum respon pasien terhadap nyeri terbagi atas: (1) respon perilaku, dan
(2) respon yang dimanifestasikan oleh otot dan kelenjar otonom.
Respon perilaku terdiri dari (1) secara vokal: merintih, menangis, menjerit, bicara
terengah-engah dan menggerutu, (2) ekspresi wajah: meringis, merapatkan gigi,
mengerutkan dahi, menutup rapat atau membuka lebar mata atau mulut,
menggigit bibir dan rahang tertutup rapat, (3) geraakan tubuh: kegelisahan,
immobilisasi, ketegangan otot, peningkatan pergerakan tangan dan jari,
melindungi bagian tubuh, (4) interaksi sosial: menghindari percakapan,
hanya berfokus pada untuk aktivitas penurunan nyeri, menghindari kontak
sosial, berkurangnya perhatian.
Respon yang dimanifestasikan oleh otot polos dan kelenjar-kelenjar
(Philips & Cousin, 1986, dikutip dari Torrance & Serginson, 1997), terdiri atas (1)
nausea, (2) muntah, (3) stasis lambung, (4) penurunan motilitas usus, (5)
peningkatan sekresi usus, (6) gangguan aktivitas ginjal.

10
G. Zat-Zat Penghasil Nyeri2
Pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dapat
menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi nyeri tersebut diantaranya bradikinin,
histamine, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrin prostaglandin, substansi P
dan 5 hidroksi triptamin. Nyeri ini dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari-hari.

ZAT SUMBER MENIMBULKAN EFEK PADA AFEREN


NYERI PRIMER
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosit ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamine Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak Sensitasi
Lekotrin Asam arakidonat dan sel rusak Sensitasi
Substansi P Aferen primer Sensitasi

Table 1. zat yang timbul akibat nyeri

H. Respon Sistemik Terhadap Nyeri2


Nyeri akut berhubungan dengan respon neuro-endokrin sesuai derajat nyerinya.
Nyeri akan menyebabkan peningkatan hormone katabolic (katekolamin, kortisol,
glucagon, rennin, aldosteron, angiotensin, hormone antidiuretik) dan penurunan hormone
anabolic (insulin, testosterone)
Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi (kebutuhan O2
dan produksi CO2 meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran air kemih
meningkat (ileus, retensi urin)

11
I. Intensitas Nyeri3
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan
nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda
oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri
itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Pengetahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program penghilangan nyeri
pasca bedah. Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai macam cara, misalnya tingkah
laku pasien, skala verbal dasar (VRS, Verbal Rating Scale), skala analog visual (VAS,
Visual Analog Scale).
Secara sederhana nyeri pasca bedah pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan
pada yang bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai:
Tidak nyeri (none)
Nyeri ringan (mild pain)
Nyeri sedang (moderate pain)
Nyere berat (severe)
Sangat nyeri (very severe, intolerable)

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) skala intensitas nyeri dapat di uraikan
sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritif

12
2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

13
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas
nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang
ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan
klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak
yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai
nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta
klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai
nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan
nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca
dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat
bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi
perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala
menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau
peningkatan (Potter, 2005).3

14
BAB III
MANAJEMEN NYERI PASCAOPERASI

The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk


meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini dapat
juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis untuk
mengatasi nyeri.3

Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah
Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan
yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka
diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah seperti kodein dan dextropropoxyphene
disertai dengan obat obat lain untuk meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila
regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah
obat-obatan golongan Opioid Kuat, misalnya Morfin. 3

Belakangan, World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)


Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri
dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik
yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan
kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga
kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk
memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai
dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer
dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan
menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.3

Anestesi Lokal

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif
terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan
nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang dapat digunakan dalam
prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan nyeri

15
pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga melebihi durasi pembedahan. Ada
beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi
untuk memberikan pain relief yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko
minimal termasuk infiltrasi anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik
blok perifer atau sentral. Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal
saja dapat mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak
faktor penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil terbaik.
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine dapat
memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat
diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf
perifer akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh
pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan
anestesi untuk pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini
dapat sangat berguna jika suatu blok simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai
darah pascaoperasi atau apabila blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural
merupakan kontraindikasi. Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk
operasi di tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah
selesai operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung
vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang berpengalaman
dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan pasca-operasi pasien. Kateter
epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau daerah lumbal tetapi blokade
epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan.3

Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat


efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti
hipotensi, blok sensorik dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal
dengan opioid yang diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.

16
Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia adalah
aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan
sampai sedang.
Obat Analgesik Non-Narkotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal
dengan istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik),
yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung
mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem
susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat
Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek
ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis
Analgetik Narkotik). Efek samping obat-obat analgesik perifer: kerusakan lambung,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit.4

Macam-macam obat Analgesik Non-Narkotik:


a. Ibupropen
Ibupropen merupakan devirat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat
ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama dengan aspirin.
Ibu hamil dan menyusui tidak di anjurkan meminim obat ini. 4
Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif,
murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan
OAINS lainnya3
b. Paracetamol/acetaminophen
Merupakan devirat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai
analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik,
parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan
nefropati analgesik.

17
Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong.
Dalam sediaannya sering dikombinasikan dengan codein yang berfungsi meningkatkan
efektinitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya.4
c. Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat
pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi
lain terhadap mukosa lambung.4
d. Aspirin
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat
ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam
salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis
terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung
oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat.
Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.
Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain
relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya.
Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reyes Syndrome dan harus
dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun.
Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per
oral per hari. 3
e. Ketorolac
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan
obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan
anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat
dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap
reseptor opiat. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik
pasien. Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri
akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh

18
lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah
operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi
Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai
obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian
yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat
biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.5

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan
antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh
enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan. 3

Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya
memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna
bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi
tulang. Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang
panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama.
Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping
penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS
mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu
perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa
lambung dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek samping.
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat ulkus
peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan
darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap
riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.3

Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti
supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai
supositoria dan diserap dengan baik.3

19
Opioid (analgetik narkotik)

Jika penggunaan analgesik non opioid hasilnya tidak efektif atau buruk
toleransinya, maka digunakan analgesik opioid lemah misalnya : kodein. Ini merupakan
langkah kedua dalam 'tangga analgesik' dari WHO. WHO mengusulkan tangga tiga
tingkat. Pada tingkat pertama : nyeri diobati dengan obat non opioid dengan atau tanpa
ajuvan. Pada tingkat kedua : nyeri yang menetap atau bahkan meningkat diobati dengan
opioid lemah dengan atau tanpa non opioid dengan atau tanpa ajuvan. Pada tingkat ke
tiga : nyeri yang masih tetap atau semakin meningkat diobati dengan opioid kuat dengan
atau tanpa non opioid, dengan atau tanpa ajuvan.6
Efek analgesik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja
opioid pada reseptor .3 Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan
analgesia terutama pada tingkat spinal. Ketiga jenis reseptor utama itu banyak didapatkan
baik pada saraf yang mentranmisi nyeri di medula spinalis maupun pada aferen primer
yang merelai nyeri. Agonis opioid melalui reseptor , dan pada ujung prasinaps
aferen primer nosiseptif mengurangi penglepasan transmiter, dan selanjutnya
menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis. Dengan
demikian opioid memilki efek analgesik yang kuat melalui pengaruh pada medula
spinalis. Selain itu, agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor
di otak. 7
Pemberian agonis opioid ke medula spinalis akan menimbulkan analgesia
setempat, sedangkan efek samping sistemik karena pengaruh supraspinal minimal.
Penglepasan opioid endogen ikut berperan dalam menimbulkan analgesia oleh pemberian
opioid. Meskipun agonis opioid terutama bekerja pada reseptor , akan tetapi selanjutnya
hal ini menyebabkan terjadinya penglepasan opioid endogen yang bekerja pada reseptor
dan . Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh
hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan
pendengaran; bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu setelah pemberian morfin
dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu;
pasien sering mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderiata lagi. Berbeda
dengan salisilat, morfin dapat mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang
berasal dari integumen, otot dan sendi.7

20
Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti
morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi bila
diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat
dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui
maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet. Dosis
berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat
analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan
parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar
dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan
maksimum 300mg setiap hari.

Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna
dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi
sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan: Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2
tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi
- Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai
maksimum 4 dosis dapat digunakan.3

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan
Opioid kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman
yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan. Pemberian awal akan
mencapai konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan
tingkat terapeutik obat di dalam darah. Pemberian melalui rute oral mungkin tidak
tersedia segera setelah pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi
kecil atau besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia
pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti
morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat
mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan. Secara umum,
analgesia yang efektif dapat diberikan melalui suntikan. Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada variasi yang besar dalam darah dan tingkat
penyerapan opioid setelah injeksi intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan

21
hepatik atau penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi
apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu penyerapan obat dan
dengan demikian, mengurangi suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi semua ini akan
mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan hipotiroidisme
keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang menyebabkan peningkatan
kepekaan terhadap obat-obatan.

Nama obat Efek analgesik Cara pemberian dan Indikasi


Durasi kerja
Morfin Mengurangi persepsi nyeri di otak Diberikan secara per Diindikasikan untuk
(meningkatkan ambang nyeri), oral, injeksi im, iv, sc, nyeri berat yang tak
mengurangi respon psikologis dan per rektal, bisa dikurangi dengan
terhadap nyeri (menimbulkan durasinya rata-rata 4-6 analgesik non-opioid
euforia), dan menyebabkan jam. atau obat analgesik
mengantuk/tidur (efek sedatif) walau opioid lain yang lebih
ada nyeri. lemah efeknya.
Metadon Mempunyai efek analgesik mirip Diberikan secara per Diindikasikan untuk
morfin, tetapi tidak begitu oral, injeksi IM, dan analgesik pada nyeri
menimbulkan efek sedatif. SC hebat, dan juga
Dieliminasi dari tubuh lebih lambat digunakan untuk
dari morfin (waktu paruhnya 25 jam) mengobati
dan gejala withdrawal-nya tak keterganungan heroin.
sehebat morfin, tetapi terjadi dalam
jangka waktu lebih lama.
Meperidin Menimbulkan efek analgesik, efek Efek analgesiknya Diindikasikan untuk
(petidin) euforia, efek sedatif, efek depresi muncul lebih cepat obat praoperatif pada
nafas dan efek samping lain seperti daripada morfin, tetapi waktu anestesi dan
morfin, kecuali konstipasi. durasi kerjanya lebih untuk analgesik pada
singkat, hanya 2-4 persalinan.
jam.
Fentanil Merupakan opioid sintetik, dengan Diberikan secara
efek analgesik 80x lebih kuat dari injeksi IV, dengan
morfin, tetapi depresi nafas lebih waktu paruh hanya 4
jarang terjadi. jam dan dapat
digunakan sebagai
obat praoperatif saat
anestesi.

Metode menggunakan obat opioid:

Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang
paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk mengobati

22
nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan
pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah dapat mencegah
penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di samping
itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi
rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.
Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat.
Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati
metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini
adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6
jam). Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada
metabolisme jika diberikan melalui mulut.
Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang
disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui
supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat
dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok
untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat
adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk
penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia.
Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara
berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek
analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk
mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara reguler
setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular opioid dapat
sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat
ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan
pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.
Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk
memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-
operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan
fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila
dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih

23
cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan
intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan
berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien
dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

Patient Controlled Analgesia (PCA)


Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa kebutuhan
individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem di mana pasien
dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir
penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol
dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini..
Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan,
menurut keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif
konstan dan efek samping yang disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan
dihilangkan. Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka
pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci
sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA. Secara teori,
obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang, dan memiliki
margin keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya
tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah
dibuat parameter-parameter lainnya perlu ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka
waktu minimum antara dosis (kuncihabis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.
Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh. Dosis ideal
morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang diperlukan dalam setiap kasus
untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai. Tujuan jangka waktu minimum antar
dosis adalah untuk mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis
harus cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka
waktu ini berkisar antara 5 dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam
prakteknya, adalah lebih logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan
sangat bervariasi dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar
untuk mencapai nyeri yang memadai. Pasien yang menggunakan PCA biasanya
mentitrasi analgesia mereka ke titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa

24
bebas nyeri. Alasan untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan
kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf rumah sakit
dan harapan setelah operasi.3

25
BAB IV

KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan atau

gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang

dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut

International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional

yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun

potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri pascaoperasi

haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang baik tidak

hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari

perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan

seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai

hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda,

maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif

dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa

mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.

26

Anda mungkin juga menyukai