Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

Saliva merupakan gabungan dari berbagai cairan dan komponen yang diekskresikan
ke dalam rongga mulut. Saliva merupakan cairan-cairan yang dikeluarkan oleh kelompok
kelenjar ludah. Saliva susunannya sangat menentukan bagi kesehatan mulut, karena bertalian
dengan proses biologis yang terjadi di rongga mulut.

Apabila terjadi pergeseran di dalam sifat saliva maka dapat diindikasi terjadinya
suatu proses di dalam ronggga mulut antara lain:

1. Perlindungan permukaaan mulut, baik mukosa muapun elemen-elemen geligi


2. Pengaturan kandungan air
3. Pengeluran mikroorganisme dan produk metabolismenya
4. Pencernaan makanan dan kesadaran pengecap
5. Differensiasi dan pertumbuhan sel-sel kulit, epitel dan saraf.

Saliva melindungi jaringan di dalam rongga mulut melalui mekanisme sebagai


berikut:
1. Pembersihan mekanis yang dapat mengurangi plak
2. Pelapisan elemen gigi-gigi untuk untuk mengurangi keausan akibat daya
pengunyahan
3. Pengaruh Buffer yang mempertahankan pH agar menghambat dekalsifikasi elemen gigi
4. Agregrasi bakteri untuk merintangi kolonisasi mikroorganisme (biofilm)

1
BAB II

SALIVA

2.1. Pengertian dan Fungsi Saliva

Saliva adalah suatu cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri atas
campuran sekresi dari kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva dapat
disebut juga kelenjar ludah atau kelenjar air liur. Semua kelenjar ludah mempunyai fungsi
untuk membantu mencerna makanan dengan mengeluarkan suatu sekret yang disebut saliva
(ludah atau air liur). Pembentukan kelenjar ludah dimulai pada awal kehidupan fetus (4 12
minggu) sebagai invaginasi epitel mulut yang akan berdiferensiasi ke dalam duktus dan
jaringan asinar. Saliva terdapat sebagai lapisan setebal 0,1-0,01 mm yang melapisi seluruh
jaringan rongga mulut. Pengeluaran air ludah pada orang dewasa berkisar antara 0,3-0,4
ml/menit sedangkan apabila distimulasi, banyaknya air ludah normal adalah 1-2 ml/menit.
Menurunnya pH air ludah (kapasitas dapar / asam) dan jumlah air ludah yang kurang
menunjukkan adanya resiko terjadinya karies yang tinggi. Dan meningkatnya pH air ludah
(basa) akan mengakibatkan pembentukan karang gigi.

Ludah diproduksi secara berkala dan susunannya sangat tergantung pada umur, jenis
kelamin, makanan saat itu, intensitas dan lamanya rangsangan, kondisi biologis, penyakit
tertentu dan obat-obatan. Manusia memproduksi sebanyak 1000-1500 cc air ludah dalam 24
jam, yang umumnya terdiri dari 99,5% air dan 0,5 % lagi terdiri dari garam-garam , zat
organik dan zat anorganik. Unsur-unsur organik yang menyusun saliva antara lain : protein,
lipida, glukosa, asam amino, amoniak, vitamin, asam lemak. Unsur-unsur anorganik yang
menyusun saliva antara lain : Sodium, Kalsium, Magnesium, Bikarbonat, Khloride, Rodanida
dan Thiocynate (CNS) , Fosfat, Potassium. Yang memiliki konsentrasi paling tinggi dalam
saliva adalah kalsium dan Natrium.

Saliva memiliki beberapa fungsi, yaitu :

1. Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan
menelan makanan.
2. Membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair
sehingga mudah ditelan dan dirasakan.
3. Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman.
4. Mempunyai aktivitas antibacterial dan sistem buffer.

2
5. Membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase ludah)
dan lipase ludah.
6. Berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor
pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva.
7. Jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang keseimbangan air dalam
tubuh.
8. Membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah).

Kurang lebih 80% bau mulut timbul dari dalam rongga mulut. Air ludah atau saliva
memegang peranan dalam masalah bau mulut, gigi berlubang dan penyakit rongga
mulut/penyakit tubuh secara keseluruhan karena air ludah melindungi gigi dan selaput lunak
di rongga mulut dengan sistem buffer sehingga makanan yang terlalu asam misalnya bisa
dinetralkan kembali keasamannya dan juga segala macam bakteri baik yang aerob (hidup
dengan adanya udara) maupun bakteri anaerob (hidup tanpa udara) dijaga keseimbangannya.

Di dalam air ludah juga terdapat antigen dan antibodi yang berfungsi melawan kuman
dan virus yang masuk ke dalam tubuh sehingga kita sehingga tubuh tidak akan mudah
terserang penyakit. Seandainya dalam keadaan normal tersebut seseorang memakai obat
kumur ataupun antiseptik yang berlebihan, maka justru keseimbangan bakteri akan
terganggu, bakteri-bakteri yang penting bisa menjadi mati, justru bakteri-bakteri yang
merusak malah menjadi berlipat ganda sehingga timbul lah masalah dalam rongga mulut.

Adanya bakteri akan dapat membuat sisa makanan di gigi/selaput rongga mulut
terfermentasi (seperti halnya ragi), sehingga timbul racun bersifat asam yang akan membuat
email menjadi rapuh (mengalami demineralisasi/mineral gigi rontok) mula-mula secara mikro
dan dengan berjalannya waktu gigi akan berlubang secara kasat mata. Masalah lain, bakteri
terutama bakteri anaerob (hidup tanpa udara) akan mengeluarkan gas yang mudah menguap
antara lain seperti gas H2S (Hidrogen Sulfid), Metil Merkaptan dan sebagainya. Gas ini
menimbulkan bau mulut.

Pada orang-orang yang mengalami diabetes/kencing manis, perokok, makan obat-


obatan tertentu, orang lanjut usia, maupun orang yang menjalani terapi radiasi (pada
penderita kanker) punya kecenderungan air ludahnya berkurang (disebut dengan istilah
xerostomia=kekeringan rongga mulut). Hal ini bisa diatasi dengan terapi obat-obatan yang
merangsang keluarnya air ludah (dengan obat-obatan yang diresepkan dari dokter gigi).
Kecuali bagi perokok, barangkali lebih bijaksana apabila frekuensi rokoknya yang dikurangi,

3
juga orang yang sedang meminum obat-obatan tertentu yang dapat menimbulkan kekeringan
rongga mulut, dapat kembali seperti semula apabila obat-obatan telah dihentikan
pemakaiannya. Khususnya pada penderita diabetes/kencing manis, ada bau mulut khas yakni
bau aseton. Kemudian dalam hal kualitas, hindari makan-makanan yang terlalu banyak
mengandung zat-zat kimia, seperti makanan yang banyak mengandung zat pengawet, zat
pewarna tambahan, zat penambah rasa, atau makanan yang terlalu manis/lengket/asam,
maupun minuman-minuman berkarbonasi secara terus menerus. Sebab dengan keasaman
yang terus menerus, air ludah tidak dapat menyangga kadar keasamannya (fungsi buffer tadi)
supaya pH-nya naik kembal. Jadi keasaman yang terus menerus itu yang membuat gigi
berlubang (mengalami demineralisasi email).

Bila ingin minum air bersoda, atau permen lebih baik dimakan dalam satu waktu
tertentu berdekatan dengan makan pagi/makan siang/makan malam dan diakhiri dengan
minum air putih/sikat gigi, daripada memakan atau meminumnya sedikit demi sedikit dalam
jangka waktu yang lama. Menyikat gigi umumnya dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi
setelah makan pagi dan malam sebelum tidur. Dengan jumlah yang 2 kali dan juga kesalahan
manusiawi misalnya tidak bisa setiap saat bisa membersihkan gigi dengan tepat dan teliti ke
seluruh bagian, maka kita harus melepaskan waktu perawatan sisanya kepada air ludah yang
cukup jumlahnya dan baik kualitasnya.

Dengan cara makan makanan yang alamiah tidak banyak mengandung zat kimia, yakni
zat perasa, pewarna dan pengawet, makan makanan berserat seperti sayur dan buah-buahan
supaya saat menggigit air ludah dapat terrangsang untuk keluar (pada makanan yang
semuanya lunak/tidak berserat, gigi tidak perlu menggigit kuat, akibatnya air ludah juga tidak
banyak keluar), menghindari minuman berkarbonasi (secara berlebihan) dan juga pola
makannya diatur dengan memakan camilan/minuman manis berdekatan dengan waktu makan
makanan utama, setelah itu gigi dibersihkan, apabila tidak dapat menggosok gigi, berkumur-
kumur atau minum air putih lebih sering.

4
2.2. Komposisi Saliva

Tabel 1. Komposisi Saliva (Van Nieuw Amorangen, Ludah dan kelenjar Ludah ARTI
BAGI KESEHATAN GIGI,1991)

Parotis Submandibularis

tanpa tanpa
mM/l stimulasi stimulasi stimulasi stimulasi plasma

anorganik

Ca 1,5 1 1,8 1,0-2,0 2,5

HCO 1 20 18 2,0-30 27

HPO/

H PO 15 6 4,5 2,0-5,0 2

CNS 5,5 3,2 0,4-1,3

mg/100ml

protein 250 150 7000

lipid 2,8 2

ureum 2,5 7 25

pH 5,9 6,6-7,2 6,8-7,2 6,2-7,6 7,4

2.2.1. Komponen anorganik


Komponen anorganik terutama elektrolit dalam bentuk ion, seperti Na+,K+,Ca+.Mg
2+,Cl-, SO42-, H+, HCO3 dan fosfat. Komponen anorganik yang memiliki konsentrasi
tertinggi adalah Na+ dan K+. karena perubahan dalam muara pembuangan, Na + menjadi
lebih rendah di dalam saliva daripada dalam serum dan K+ jauh lebih tinggi (liat tabel 2.1).
Cl adalah penting untuk aktifitas enzimatik - amilase. kabayakan fosfat dijumpai sebagai
fosfat anorganik, P i (90%0) Ca sebagian di dalam serum dan 50% nya terikat pada

5
protein. Ukuran kalsium dan fosfat di dalam saliva penting untuk remineralisasi email dan
berperan dalam pembentukan kalkulus dan plak bakteri. kadar flourida di saliva sedikit
dipengaruhi oleh konsentrasi flourida dalam minuman dan makanan. Rodanida atau
thiocinanate (CNS) merupakan agen bakteria dalam sistem laktoperoksida. Bikarbonat
adalah ion buffer terpenting di dalam saliva. Dalam saliva yang distimulasi, ion ini
menghasilkan 85% dari kapasitas bufer dan 14% sistem fosfat, HPO/ H PO.

2.2.2. Komponen organik


Bahan organik penyusun saliva secara keseluruhan ialah urea, asam uric, glokosa
bebas, asam amino bebas, laktat dan asam lemak. adapun makromolekul yang ditemukan di
saliva : protein, amilase, peroksidase, thiocyanate, lisozyme, lipid, IgA, IgM, dan IgG.

Komponen organik utamanya adalah protein dan musin. Selain itu ditemukan juga
lipida, glukosa, asam amino, ureum amoniak, dan vitamin. Komponen organik ini dapat
ditemukan dari pertukaran zat bakteri dan makanan. Protein yang secara kuantitatif penting
adalah -amilase, protein kaya prolin, musin, dan imunoglobulin. -amilase, mengubah
tepung kanji dan glikogen menjadi k tertentu di antaranya arbohidrat yang lebih kecil.
lisosom mampu membunuh bakteri. Komponen organik utama dari saliva adalah protein dan
mukoprotein yaitu protein dengan sifat lubrikasi.
1. Mucin
Jika fungsi utama saliva adalah lubrikasi, kandungan organic yang paling penting
mucin atau mukoprotein. Biasanya merupakan glycoprotein yang mengandung lebih dari
40% karbohidrat, bertindak sebagai lubrikan pada permukaan epitel seluruh traktus
digestive. Mereka memiliki protein core dengan oligosakarida pada rantainya,
dilekatkan oleh O-glycosidic linkage.
Dua prinsip mucin dari kelenjar saliva submandibular adalah terisolasi dan memiliki
karakteristik. Mereka dikenal dengan MG1 dan MG2. MG2 lebih kecil, memiliki ukuran
molekul 200-250 kDa sedangkan MG1 lebih besar memiliki ukuran diatas 1000kDa.
Protein core MG2 adalah rantai peptide tunggal dengan threonin, proline, serine dan
alanin sebagai asam amino mayor. Rantai peptide ini account sekitar 30% molekul dan
karbohidrat dengan beberapa 170 rantai pendek oligosakarida melekat seperti bristle of
bottlebrush.
Mucin yang besar memiliki protein core yang dengan komposisi dasar yang sama
dengan MG2, tapi account ini hanya unutk 15% dari berat total. Rantai oligisakarida

6
lebih besar dari MG2, bervariasi antara 4 dan 16 residu gula. Dalam mukoprotein residu
karbohidrat termasuk fucose dan N-acetiglukosamin serta N-asetilgalaktosamin dalam
jumlah besar. Molekul panjang MG1 berkontribusi dalam sifat lubrikasi dari saliva.
2. Protein kaya Prolin (proline-rich).
Parotis dan submandibular mengandung glikoprotein yang kaya akan prolin, juga
memiliki karbohidrat sekitar 40% pada molekulnya. Glikoprotein yang kaya prolin ini
memiliki rantai peptide tunggal dengan enam unit oligosakarida yang melekat. Perannya
dalam lubrikasi kecil.
3. Immunoglobulin.
Imunoglobulin pada saliva berupa Ig A,Ig M,Ig G, Albumin, dan beberapa alfa dan
beta globulin. Sekresi S-Ig A dihasilkan dari sintesis sel plasma kelenjar dan epitel
mukosa mulut. S-IgA terbanyak di hasilkan kelenjar parotis, 85 % saliva mayor dan
30%-35% saliva minor. Fungsi immunoglobulin adalah penetralisir virus, antibodi
terhadap antigen bakteri dan makanan,dan pertahanan rongga mulut dan saluran cerna.
4. Enzim saliva
Amilase: enzim pencernaan karbohidrat
Lisozim: enzim antibakterial,produksi di tentukan kelenjar submandbular
Asam fosfatase: buffer saliva dan anti pelarutan saliva.
Lipase: sekresi kelenjar lingual untuk pencernaan lemak
Peroksida: antibakterial
Kalikerein: mengubah serum beta globulin menjadi bradikmin yang gunanya untuk
vasodilatasi untuk meningkatkan sekresi kelenjar.
5. Mukus glikoprotein.
Mukus glikoprotein berfungsi untuk lapisan permukaan/lubrikasi jaringan rongga
mulut dan sebagai perangkap bakteri.
6. Hormon.
Hormon pada saliva terdapat 2 substansi yaitu Parotin yang berguna untuk proses
kalsifikasi dan pemeliharaan kadar kasium serum serta hormon faktor pertumbuhan
saraf:tumbuh dan pembentukan saraf simpatik.
7. Karbohidrat .
Karbohidrat pada saliva sebagai ikatan dalam protein saliva dimana konsentrasi sama
dengan darah.
8. Lipid .
Lipid pada saliva sebagai pelindung dan antibacterial.

7
9. Nitrogen.
Nitrogen pada saliva merupakan hasil degradasi dari protein,
mikroba,darah,metabolisme KH,dan beberapa vitamin larut air.
10. Laktoferin.
Laktoferin diiproduksi oleh sel epitel kelenjar dan leukosit PMN yang mempunyai
efek bakterisid.

Komponen organik yang lain :

a. Substansi-substansi golongan darah


Sekitar 805 dari komunitas barat mensekresikan substansi-substansi golongan darah
dari golongan darah AOB ke dalam saliva mereka. Antigen golongan darah lainnnya,
dengan pengecualian lewis A dan lewis B, tidak disekresikan, walaupun Lewis A juga
disekresikan oleh subjek sebaliknya status non-sekretor. Saliva kelenjar parotid tidak
mengandung substansi-substansi golongan darah. Antigen golongan darah sebagian besar
karbohidrat dengan sejumlah kecil protein, termasuk substansi H yang dihasilkan oleh
orang dengan golongan darah O sebaik substansi A dan B. Sifat saliva ini kadang-kadang
penting untuk forensik.
b. Gula
Sejumlah kecil gula ditemukan pada saliva, konsentrasi glukosa mengikuti plasma
glukosa tapi kadang-kadang seratus kali lebih kecil.
c. Lipid
Lipid yang terkandung dalam saliva sangat rendah tapi itu termasuk hormon steroid.
Hal ini sangat penting untuk dua alasan : ada fakta bahwa estrogen dan testosteron
mempengaruhi populasi bakteri oral, dan faktanya bentuk ikatan non-protein steroid dapat
memberikan jalan masuk saliva yang berarti bahwa steroid yang terdapat dalam saliva
dapat diuji untuk memperoleh ukuran dari konsentrasi steroid bebas dalam plasma. Hal ini
berarti bahwa kumpulan non-invasif dari seluruh saliva dapat digunakan untuk mengontrol
level hormon plasma.
d. Asam amino, ammonia, urea, sialin.
Diantara komponen-komponen lainnya dari saliva adalah asam amino, sebuah
tetrapeptida yang dinamakan sialin dengan komposisi GGKR (gly-gly-lys-arg), urea, asam
urea, amonia, dan kreatinin. Urea siap dipecah dengan lempengan urea untuk
menghasilkan amonia, sialin juga diubah ke dalam amonia dalam plak, dan amonia ada
dengan sendirinya. pH dental plak tampak dimunculkan amonia dari tiga sumbr ini , ini

8
menyediakan produksi sebuah kombinasi asam plak dan perbaikan lebih plak alkalin
selama periode berpuasa.

2.3. Anatomi dan Histologi Kelenjar Saliva

Letak kelenjar saliva di dalam rongga mulut (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Ligamen Mandibulostylohioid . 1: Proseus Styloid; 2: Ligamen Stylomandibular


; 3: Ligamen Mandibulostylohyoid ; 4: Otot Masseter; 5: Ramus Posterior 6: Otot
ateral pterygoid ; 7: Otot Medial pterygoid; 8: Otot uperior pharyngeal constrictor;
9:Otot Stylopharyngeus ; 10: Otot Middle pharyngeal constrictor ; 11: Otot Inferior
pharyngeal constrictor ;12: Kelenjar Submandibular ; 13: Vena dan arteri Facial
Published with permission, Martin Dunitz, London, Langdon JD, Berkowitz BKB,
Moxham BJ, editors, Surgical natomy of the Infratemporal Fossa. .( Carlson R.
Eric, Ord A. Robert : Textbook And Color Atlas Of Salivary Gland Pathology
Diagnosis And Management, John Wiley & Sons, Inc., Publication, 2008 )

Gambar 2. Nervus facialis dan hubungan vena retromandibular dengan kelenjar parotis . 1:
Nervus Facialis di foramen stylomastoid; 2:Cabang saraf Temporofacial nervus
facialis;3: cabang Cervicofacial branch nervus facial;4: Cabang Temporal
nervus facial ; 5: Cabang Zygomatic saraf facialis; 6:Cabang Buccal saraf
facialis ; 7: cabang Mandibular saraf facialis; 8: Cabang Cervical saraf facialis;
9: Ikatan Otot digastric ; 10: Vena Retromandibular dan arteri carotid eksterna.
Published with permission,Martin Dunitz, London, Langdon JD,Berkowitz BKB,
Moxham BJ, editors,Surgical Anatomy of the InfratemporalFossa. .( Carlson R.
Eric, Ord A. Robert : Textbook And Color Atlas Of Salivary Gland Pathology
Diagnosis And Management, John Wiley & Sons, Inc., Publication, 2008 ).

9
Kelenjar saliva sebagai suatu organ terdiri dari:

1. Parenkim
Parenkim merupakan bagian kelenjar yang terdiri dari asinus-asinus dan duktus-duktus
bercabang.Asinus merupakan bagian-bagian sekretoris yang mengeluarkan sekret. Sekret
ini akan dialirkan melalui suatu duktus untuk menyalurkan sekret kemana mestinya.
2. Stroma / jaringan ikat interstisial
Stroma atau jaringan ikat interstisial merupakan jaringan antara asinus dan duktus
tersebut. Jaringan ikat ini membungkus organ (kapsel) dan masuk kedalam organ dan
membagi organ tersebut menjadi lobus dan lobulus. Pada jaringan ikat tersebut ditemukan
duktus kelenjar, pembuluh darah,s erat saraf dan lemak.

Kelenjar saliva mayor terdiri dari beberapa jenis sel:

1. Unit sekretori

Unit sekretori terdiri dari sel-sel asinar , duktus interkalaris , duktus striata , dan
main excretory ducts. Sebagai tambahan kepada sel-sel ini yang bertanggung jawab besar
untuk sekresi dan modifikasi dari saliva, sel-sel plasma juga berkontribusi pada sekresi
saliva, setidaknya pada kelenjar minor.

2. Unit non sekretori

Terdiri dari myoepitel sel dan sel saraf

Gambar 3. Struktur kelenjar saliva (Burkets: Oral medicine,Publication, 2013)

10
Gambar 4. Arsitektur duktus Kelenjar saliva dan bagian ujung pada bentuk sel parenkim.
(From Hand AR. In Bhaskar SN, editor: Orbans oral histology and
embryology, ed 11, St Louis, 1991, Mosby, Antonio Nanci Ten cates Oral
Histology Development, Structure and Function, 8 th Edition,2008).

Gambar 5. Kelenjar saliva yang terdiri lobus-lobus.( Antonio Nanci Ten cates Oral
Histology Development, Structure and Function, 8 th Edition,2008)

2.3.1. Sel-sel asinar

Merupakan unit sekretori sel. Sel asinar mengandung olyco protein, protein dan
elektrolit. Menurut sekretnya , asinus dapat dibedakan menjadi asinus serus, mukus, dan
tercampur.

11
a. Asinus serus

Asinus serus memiliki sekret encer. Asinus serus terdapat pada kelenjar parotis. Asinus
serus dengan pengecatan HE bewarna ungu kemerahan dengan lumen yang sempit. Pada
asinus serus batas sel sukar dilihat dan antara sel terdapat kanalikuli sekretoris
interseluler. Sel-sel asinus serus inti selnya bulat kearah basal. Penampakan sel
tergantung fase sekresi selnya, dimana pada fase istirahat, bagian apikalnya banyak
terdapat butir sekresi (zimogen) sehingga inti sel terdesak ke basal. Dan setelah sekresi
sel, maka sel menjadi mengecil. Pada asinus serus terdapat sel myoepitel diantara sel
kelenjar dan membran basal yang dapat berkontraksi untuk membantu mengeluarkan
sekret asinus .

Gambar 6. Sel Serous. Kanalikuli interseluler terlihat memanjang (kanan) dan menyilang
(kiri) (Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development, Structure and
Function, 8 th Edition,2008)
b. Asinus mukus

Asinus mukus sekretnya kental. Asinus mukus terdapat pada kelenjar saliva minor
/ tambahan / kecil-kecil. Asinus mukus dengan pengecatan HE berwarna jernih kebiruan
dengan lumennya besar. Batas sel lebih jelas terlihat, tidak terdapat kanalikuli
interseluler sehingga sekretnya langsung dituangkan oleh sel sekretoris kedalam lumen
asinus. Inti sel pipih kearah basal. Pada fase istirahat, sitoplasmanya mengandung butir
mucigen yang sering rusak saat preparat fifiksasi/dicat sehingga sel menjadi lebih terang.
Asinus mukus terdapat sel myoepitel. Organela sel asinus mukus berbeda dengan sel
serus, dimana terdapat lebih sedikit mitokondria, RE, dan banyak apparatus golgi
sehingga terdapat lebih banyak komponen karbohidrat pada sekretnya.

12
Gambar 7. Sel Mukus (Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development, Structure
and Function, 8 th Edition,2008)

Gambar 8. Kelenjar saliva minor mukus (Hystology Antonio Nanci Ten cates Oral
Histology Development, Structure and Function, 8 th Edition,2008)
c. Asinus campuran

Asinus campuran adalah kelenjar-kelenjar yang mempunyai asinus tercampur, yaitu


kelenjar-kelenjar yang mempunyai baik asinus serus maupun asinus-asinus mukus
sebagai parenkimnya. Campuran tersebut dapat berupa asinus-asinus murni mukus
dengan asinus-asinus murni serus atau dapat pula satu asinus mempunyai bagian mukus
dan serus bersama-sama.

Kelenjar submandibularis (submaksilaris) memiliki sel serus lebih banyak dari pada sel
mukusnya. Kelenjar sublingualis memiliki sel mukus lebih banyak daripada sel
serusnya. Pada asinus tercampur sel-sel mukus sering didapatkan dekat duktus
sedangkan sel-sel serus pada bagian yang jauh dari duktus. Kadang-kadang sel mukus
berasal dari melendirnya sel-sel asinus karena terganggunay pengeluaran sekretnya.
Gangguan tersebut sering terjadi pada duktus Boll. Bila dalam satu asinus sel-sel mukus
lebih banyak lagi, maka sel-sel albumin (serus) tadi akan terdesak kearah apikal (puncak)

13
asinus, sehingga sel-sel serus tadi merupakan suatu lengkungan yang pada penampang
sering terlihat sebagai bulan sabit, yangs ering disebut lanula Gianuzzi (Demilines of
Haidenhain, Crescent of Gianuzzi, serous demilunes of Gianuzzi). Bagian ini masih
mempunyai kanalikuli sekretoris interseluler yang bermuara ke lumen asinus.

2.3.2. Duktus

Saluran kelenjar ludah terdiri dari beberapa bagian yang panjangnya berbeda-beda
menurut jenis kelenjar. Jika dipandang dari segi lobulasi, ada yang letaknya intralobularis dan
ada yang interlobularis.

Gambar 9. Sistem duktus kelenjar saliva. Duktus utama eksretori terbuka ke dalam rongga
mulut Duktus ekssekretoti berada di jaringan interlobular. Duktus stria
merupakan komponen utama duktus intralobularis. Duktus interkalaris
vervariasi dan berhubungan dengan bagian ujung duktus stria. Kanalikuli
interseluler adalah lumen luar dan berujung antara sel sekretori dan lumen
sekresi (Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development, Structure and
Function, 8 th Edition,2008).

1. Duktus intralobularis

a. Duktus interkalaris (Duktus Boll)

Duktus interkalaris (Duktus Boll) merupakan yang menghubungkan asinus dengan


saluran berikutnya (duktus Pfluger). Bersifat non sekretorius. Duktus ini terdiri dari epitel
selapis pipih atau selapis kubis. duktus interkalaris memiliki fungsi yaitu

a. Mengatur sekresi saliva asinar


14
b. Memodifikasi komponen elektrolit

c. Mengangkut komponen makromolekuler

Gambar 10. Sel Duktus interkalaris (Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development,
Structure and Function, 8 th Edition,2008)

b. Duktus Sekretorius (Pfluger)/ Duktus Striata

Duktus sekretorius (Pfluger) adalah duktus yang lebih besar dan bersifat sekretorious,
sehingga disebut juga duktus salivatorius, terutama menghasilkan Ca dan air. Epitel
Duktus sekretorius terdiri dari epitel selapis kubis sampai silindris dimana bagian
basalnya menunjukkan garis-garis sehingga juga disebut striated duct (duktus bergaris-
garis). Duktus sekretorius berfungsi sebagai transport elektrolit dengan menyerap sodium
dari sekresi utama diangkut keluar melalui pembuluh darah kapiler dan memodifikasi
kompisisi elektrolit saliva

Gambar 11. Sel Duktus striata (Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development,
Structure and Function, 8 th Edition,2008)

15
2. Duktus Interlobularis

Duktus pfluger tadi dilanjutkan oleh saluran yang lebih besar keluar dari lobulus
kelenjar tadi, masuk ke dalam jaringan ikat interlobular. Saluran ini merupakan duktus
pengeluaran atau eksretorius yang mengalirkan saliva ke dalam rongga mulut. Terdiri dari
epitel selapis silindris atau berlapis semu dan dekat muara duktus, epitel ini berubah
menjadi epitel berlapis pipih dan berlanjut ke epitel rongga mulut.

Penamaan duktus berdasarkan atas pakar yang menemukannya :

1. Kelenjar parotis : Stensen

2. Kelenjar Submandibular (submaksilaris) : Whartoni

3. Kelenjar Sublingualis : Bartholini

Fungsi duktus adalah untuk resorpsi Na dan sekresi K. Sel myoepitel terdapat
dalam asinar dan fungsinya untuk mengatur pergerakan saliva dari asinar ke sistem duktus
dengan cara kontraksi asinar. Sel-sel myoepitel mengelilingi asinus dan sel-sel duktus.

Gambar 12.Sel myoepitel pada sekresi (atas) dan nampak permukaannya (bawah) (Antonio
Nanci Ten cates Oral Histology Development, Structure and Function, 8 th
Edition,2008)

16
Gambar 13. Gambaran elektron mikro sel myoepitel. (From Nagato T, Yoshida H, Yoshida
A, et al: Cell Tissue Res 209:1, 1980.) (Antonio Nanci Ten cates Oral
Histology Development, Structure and Function, 8 th Edition,2008)

Gambar 14. Cabang duktus interkalaris dengan miroskop cahaya ( panah di atas) dan inkatan
beberapa serus dan bagian kelenjar submandibular.Sel duktus kuboid dan
sitoplasmanya lebih terang.Di kelilingi sel serus dan bagiansel yang diwarnai
dengan hematoxylin. (Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development,
Structure and Function, 8 th Edition,2008)

17
Gambar 15. Diagram komponen histology kelenjar saliva .Published with
permission,Elsevier Churchill Livingstone, Oxford, Standring S, Editor in
Chief, Grays Anatomy, 39th edition.( Carlson R. Eric, Ord A. Robert :
Textbook And Color Atlas Of Salivary Gland Pathology Diagnosis
And Management, John Wiley & Sons, Inc., Publication, 2008 )

2.4. Jenis Kelenjar Saliva Dan Muaranya

Gambar 16. Anatomi Kelenjar Saliva

18
Gambar 17. Anatomi kelenjar saliva mayor. A. Kelenjar Parotis B kelenjar Submandibular
dan sub lingual. Sepasang Kelenjar saliva mayor dengan duktus yang panjang
yang mengalirkan saliva ke rongga. (Modified from Hollinshead WH:
Anatomy for surgeons,vol 1, The head and neck, New York, 1958, Hoeber.)
(Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development, Structure and
Function, 8 th Edition,2008)

Kelenjar ludah terdiri dari kelnjar ludah mayor, kelnjar ludah minor dan kelenjar ludah
tambhan.

2.4.1. Kelenjar Ludah Mayor

Kelenjar-kelenjar ludah besar terletak agak jauh dari rongga mulut dan sekretnya
disalurkan melalui duktusnya kedalam rongga mulut.

Kelenjar saliva mayor terdiri dari :

1. Kelenjar Parotis.
Kelenjar Protis terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula.
2. Kelenjar Submandibularis (submaksilaris).
19
Kelenjar submandibularis terletak dibagian bawah korpus mandibula.
3. Kelenjar Sublingualis.
Kelenjar sublingualis terletak dibawah lidah.

Kelenjar ludah besar sangat memegang peranan penting dalam proses mengolah
makanan.

Gambar 18. Letak kelenjar saliva mayor (Burket: Oral medicine, Publication, 2013).

2.4.1.1. Kelenjar Parotis


Kelenjar parotis merupakan kelenjar ludah terbesar yang terletak antara prossesus
mastoideus dan ramus mandibula dengan berat rata-rata 22 gram. Duktus kelenjar ini
bermuara pada vestibulus oris pada lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapan molar 2
atas. Kelenjar parotis dibungkus oleh jaringan ikat padat. Kelenjar parotis mengandung
sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam, aldolase, dan kolinesterase.
Jaringan ikat masuk kedalam parenkim dan membagi organ menjadi beberapa lobus dan
lobulus. Secara morfologis kelenjar parotis merupakan kelenjar tubuloasinus (tubulo-
alveolar) bercbang-cabang (compound tubulo alveolar gland). Asinus-asinus murni serus
kebanyakan mempunyai bentuk agak memanjang dan kadang-kadang memperlihatkan
percabangan-percabangan. Di antara sel-sel asinus membran basal terdapat sel-sel basket.
Saluran keluar utama ( duktus interlobaris) disebut duktus stenon (stenson) terdiri dari epitel
berlapis semu. Kearah dalam organ duktus ini bercabang-cabang menjadi duktus
interlobularis dengan sel-sel epitel berlapis silindris.
Duktus interlobularis tadi kemudian bercabang-cabang menjadi duktus
intralobularis. Kebanyakan duktus intralobularis merupakan duktus Pfluger yang mempunyai
epitel selapis silindris yang bersifat acidophil dan menunjukkan garis-garis basal. Duktus Boll
pada umumnya panjang-panjang dan menunjukkan percabangan.

20
Duktus Pfluger agak pendek dan sel-selnya pipih serta memanjang. Pada jaringan
ikat interlobaris dan interlobularis terlihat banyak lemak yang berhubungan dengan
kumpulan lemak bichat (Fat depat of bichat). Juga pada jaringan tersebut terlihat cabang-
cabang dari Nervus Facialis dan pembuluh darah.

Gambar 19. Kelenjar Parotis dan strukturnya (Carlson R. Eric, Ord A. Robert : Textbook
And Color Atlas Of Salivary Gland Pathology Diagnosis And Management,
John Wiley & Sons, Inc., Publication, 2008 )

Gambar 20. Kelenjar Parotis 1: Cartilaginous external acoustic meatus; 2: Parotid gland; 3:
Sternocleidomastoid muscle; 4: Tip of the mastoid process; 5: Styloid process;
6: Posterior belly of digastric muscle. Published with permission, Martin
Dunitz, London, Langdon JD, Berkowitz BKB, Moxham (Carlson R. Eric, Ord
A. Robert : Textbook And Color Atlas Of Salivary Gland Pathology Diagnosis
And Management, John Wiley & Sons, Inc., Publication, 2008).

Gambar 21. Muara kelenjar Parotis Stensens duct di mukosa bukal (Burket: Oral medicine,
Publication, 2013)

21
2.4.1.2. Kelenjar submandibularis (submaksilaris)

Kelenjar submandibularis (submaksilaris) dengan berat rata-rata 6,5 gram terletak


disebelah dalam korpus mandibula dan mempunyai duktus ekskretoris (Duktus Wharton)
yang bermuara pada dasar rongga mulut pada frenulum lidah , dibelakang gigi seri bawah.
Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar yang memproduksi air liur terbanyak.

Kelenjar submandibularis diliputi kapsel yang terdiri dari jaringan ikat padat yang
juga masuk ke dalam organ dan membagi organ tersebut menjadi beberapa lobulus. kelenjar
submandibularis secara morfologis kelenjar ini merupakan kelenjar tubuloalveolar atau
tubuloacinus bercabang-cabang (compound tubulo alveolar gland). Percabangan duktusnya
sama dengan glandula parotis demikian pula sel-selnya. Bentuk sinus kelenjar
submandibularis kebanyakan memanjang dan antara sel-sel asinus membran basal terdapat
sel-sel basket.

Duktus Boll kelenjar submandibularis pendek, sempit sehingga sukar dicari dalam
preparat bila dibandingkan glandula parotis. Selnya pipih dan memanjang. Duktus Pfluger
kelenjar submandibularis lebih panjang daripada duktus pfluger kelenjar parotis dan
menunjukkan banyak percabangan sehingga dalam preparat lebih mudah dicari.

Gambar 22. Kelenjar Submandibularis (Carlson R. Eric, Ord A. Robert : Textbook And
Color Atlas Of Salivary Gland Pathology Diagnosis And Management, John
Wiley & Sons, Inc., Publication, 2008 )

22
Gambar 23. Duktus Kelenjar submandibularis Whartons duct pada dasar mulut (Burket:
Oral medicine, Publication,2013)

2.4.1.3. Kelenjar sublingualis

Kelenjar sublingualis dengan rata-rata 2 gram merupakan kelenjar terkecil terdiri dari
kelenjar-kelenjar ludah besar. Kelenjar sublingualis terletak pada dasar rongga mulut,
dibawah mukosa dan mempunyai saluran keluar (duktus ekskretorius) yang disebut Duktus
Rivinus Kelenjar sublingualis bermuara pada dasar rongga mulut dibelakang muara duktus
Wharton pada frenulum lidah. Kelenjar sublingualis tidak memiliki kapsel yang jelas tetapi
memiliki septa-septa jaringan ikat yang jelas atau tebal.

Kelenjar sublingualis secara morfologis kelenjar ini merupakan kelenjar


tubuloalvioler bercabang-cabang (compound tubuloalveolar gland). Kelenjar sublingualis
merupakan kelenjar tercampur dimana bagian besar asinusnya adalah mukus murni dengan
duktus ekskretoris sama dengan glandula parotis dan Duktus Pfluger sangat pendek. Duktus
Boll kelenjar sublingualis sangat pendek dan bentuknya sudah tidak khas sehingga dalam
preparat sukar ditemukan.Kelnjar sublingualis pada jaringan ikat interlobularisnya tidak
terdapat lemak sebagai glandula parotis

Gambar 24. Kelenjar saliva sublingualis

23
2.4.2. Kelenjar Ludah Minor

Kelenjar ludah paling banyak merupakan kelenjar kecil-kecil yang terletak di dalam
mukosa atau submukosa (hanya menyumbangkan 5% dari pengeluaran ludah dalam 24 jam)
yang diberi nama lokasinya atau nama pakar yang menemukannya. Jumlah seluruhnya
diperkirakan 450-750. Semua kelenjar ludah mengeluarkan sekretnya kedalam rongga mulut.

Gambar 25. Mikroskop cahaya kelenjar saliva minor dengan pewarnaan hematoxylin dan
eosin. A. Kelenjar mukus (Muc) di lateral palatum durum, B. tulang, Ep:
epitelium,LP: lamina proppria B . Llingual serus (Ebner,s) kelenjar (VE) dan
keelnjar mukus (Muc) berada di antara jaringan otot di dalam bagian posterior
lidah, BV: pembuluh darah (Antonio Nanci Ten cates Oral Histology
Development, Structure and Function, 8 th Edition,2008)

Adapun kelenjar-kelenjar ludah tambahan antar lain:

1. Kelenjar labial (glandula labialis)


Kelenjar labialis terdapat pada bibir atas dan bibir bawah dengan sinus-asinus
seromukus

Gambar 26. Kelenjar labialis (Jaypee, 2010)


2. Kelenjar bukal (glandula bukalis)
Kelenjar bukalis terdapat pada mukosa pipi, dengan asinus-asinus seromukus
3. Kelenjar Bladin-Nuhn ( Glandula lingualis anterior)
Kelenjar Bladin Nuhn (kelenjar lingualis anterior) terletak pada bagian bawah ujung
lidah di sebelah menyebelah garis, median, dengan asinus-asinus seromukus
4. Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland = albuminous gland)

24
Kelenjar Von Ebner terletak pada pangkal lidah, antara otot lidah di bawah papila
valata, dengan asinus-asinus murni serus
5. Kelenjar Weber
Kelnjar Weber terletak pada pangkal lidah dengan asinus-asinus mukus.
Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior.
6. Kelenjar-kelenjar pada palatum dengan asinus mukus .

Gambar 27. Kelenjar palatinus ( Jaypee, 2010)

2.5. Saraf Kelenjar Ludah

Gambar 28. Percabangan saraf fasialis. I: Type I, 13%; II: Type II, 20%; III: Type III, 28%;
IV: Type IV, 24%; V: Type V, 9%; VI: Type VI, 6%; 1: percabangan temporal;
2: percabangan Zygomatic ; 3: Percabangan Buccal; 4: Percabangan Mandibular;
5: Percabangan Cervical. Published with permission, Martin Dunitz, London,
Langdon JD, Berkowitz BKB, Moxham BJ, editors,Surgical Anatomy of the
Infratemporal Fossa. (Carlson R. Eric, Ord A. Robert : Textbook And Color Atlas
Of Salivary Gland Pathology Diagnosis And Management, John Wiley &
Sons, Inc., Publication, 2008)

Kelenjar ludah disarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis (N VII). Saraf parasimpatis
akan merangsang keluarnya saliva sedangkan Saraf simpatis akan merangsang reseptor
dan .

25
Kelenjar ludah mendapatkan supply saraf parasimpatis dari nukleus ludah inferior,
kelenjar submandibula dan sublingualis mendapat supply saraf dari nukleus ludah superior.
Supply saraf simpatis untuk kelenjar parotis, submandibularis, sublingualis berasal dari
ganglion 2simpatis servikal superior, dengan pleksus saraf yang berjalan ke kelenjar ludah di
sepanjang arteri. Kelenjar ludah minor mungkin juga mempunyai supply saraf simpatis dan
parasimpatis.

2.6. Sekresi Kelenjar Ludah

Saliva atau ludah merupakan campuran dari beberapa sekresi kelenjar ludah. Sekresi
normal saliva sehari berkisar antara 800 1500 ml. Pada umumnya saliva merupakan cairan
viskus, tidak berwarna yang mengandung air, mukoprotein, immunoglobulis, karbohidrat
komponen-komponen organis seperti, Ca, P, Na, Mg, Cl, Fe, dan J. Kecuali itu saliva
mengandung pula enzim amilase yaitu ptialin Selanjutnya saliva juga mengandung sel-sel
desquamasi yang lazim disebut korpuskulus salivatorius. Komposisi saliva tadi sangat
tergantung pada keaktivan kelenjar-kelenajar ludah. Sekresi kelenjar ludah dapat terjadi oleh
beberapa faktor, yaitu : reflek saraf, rangsangan mekanis, rangsangan kimaiwi. Bahan
makanan dan zat kimia dapat memberi rangsangan langsung pada mukosa mulut. Bahan
makanan juga dapat merangsang serat saraf eferens yang berasal dari bagian thorakal. Sekresi
air ludah dapat pula timbul secara reflektoris hanya dengan jalan mencium bau makanan,
melihat makanan, atau dengan memikirkan dan membayangkan makanan saja.

Saliva mengandung 2 tipe sekresi protein yang utama yaitu sekresi serus yang
merupakan enzim untuk mencernakan serat (ptyalin) dan sekresi mukus yang berfungsi untuk
pelumasan dan perlindungan permukaan.

Pada umumnya kelenjar ludah kaya dengan pembuluh darah. Pembuluh darah besar
berjalan bersama-sama dengan duktusnya pada jaringan ikat interlobularis dan memberi
cabang-cabang mengikuti cabang-cabang duktusnya kedalam lobuli, dimana pada akhirnya ia
membentuk anyaman-anyaman kapiler mengitari asinus dan akhirnya kembali membentuk
vena yang berjalan bersama-sama dengan pembuluh darah arterinya.

Faktor yang mempengaruhi sekresi saliva :

1. Irama siang malam


2. Sifat dan besar stimulus
3. Tipe kelenjar

26
4. Diet
5. Umur, jenis kelamin dan fisiologi seseorang
6. Kadar hormon
7. Elektrolit
8. Kapasitas buffer
9. Obat-obatan
10.Gerak badan

2.7. Mekanisme Sekresi Saliva


Pengaturan sekresi saliva oleh saraf.

Gambar 29. Mekanisme Persarafan kelenjar Parotis

Glandula salivarius memiliki simpatetik dan parasimpatetik sekremotor innervation.


Otic ganglion adalah ganglion parasimpatetik yang berlokasi di bawah foramen ovale dan
medial nervus mandibula. Nervus lesser petrosal superficial, cabang dari Nervus
glossopharingeal, membawa serat preganglionik parasimpatetik dari inferior nucleus
salivatory pada batang otak ke sinaps di otic ganglion. Serat postganglionic mencapai
glandula parotid melalui auriculotempolar cabang dari Nervus mandibular.

Simpatetik innervation dari glandula parotid pada segmen thorac pertama dan kedua
(T1 dan T2) dan sinaps pada simpatetik cervical ganglion superior, dari dimana serat
postganglionik mencapai otic ganglion melalui plexus pada arteri meningeal bagian tengah.
Serat simpatetik melewati otic ganglion tanpa sinaps dan disertai serat parasimpatetik di
glandula.

Ganglion submandibular adalah ganglion parasimpatetik kecil yang berada pada dasar
mulut dan berhubungan dengan Nervus lingual. Serat preganglionik dari superior nucleus

27
salivatory pada batang otak mencapai ganglion melalui cabang chorda tympani pada Nervus
facial yang bergabung dengan Nervus lingual. Serat postganglionik dari ganglion ini adalah
sekretomotor pada glandula submandibula dan sublingual.

Nervus simpatetik pada glandula submandibula dan sublingual awalnya mengikuti rute
yang sama untuk mensuplay glandula parotid. Serat postganglionik mencapai glandula
submandibula melalui plexus pada arteri facial dan lingual dan melalui ganglion tanpa sinaps
untuk mensuplai glandula submandibula dan sublingual.

Glandula salivarius minor pada palatum disuplay oleh serat parasimpatetik yang ada di
superior salivatory nucleus. Serat preganglionic menjalankan parasimpatetik ganglion
sphenopalatine, berlokasi pada fossa pterygopalatine dan terhubung ke nervus maxillary,
melalui cabang petrosal superficial yang lebih besar pada Nervus facial dan berakhir pada
cabang lesser petrosal superficial. Serat postganglionik dari ganglion sphenopalatine
mencapai glandula pada palatum melalui Nervus maxillary cabang palatum.

Serat simpatetik melalui glandula pada palatum dari segmen thorac pertama dan kedua
(TI dan T2). Sinaps serat preganglionik pada ganglion cervical superficial, dari dimana serat
postganglionik mencapai parasimpatetik ganglion sphenopalatine melalui plexus arteri
maxillaty. Serat tersebut melalui ganglion ini tanpa sinaps untuk mencapai palatum
bersamaan dengan serat parasimpatetik.

Nuclei inferior dan superior salivatory terdapat di medula oblongata. Awalnya


berhubungan dengan nucleus batang otak dari nervus facial, akhirnya ujungnya bersatu
dengan nervus glossopharingeal.

Sistem persarafan parasimpatetik adalah untuk sekresi dan vasodilatasi, ketika saraf
simpatetik bervasokonstriksi, walaupun stimulasi selanjutnya dipromosikan juga oleh sekresi
pada beberapa kasus. Aktivitas sekresi dari sel-sel kelenjar diatasi oleh agen kolinergik
(sistem para simpatetik) dan andregenik (sistem simpatetik). nervus sekretomotor berakhir
pada persatuan dengan sel-sel bagian duktus kelenjar saliva yang memodifikasi komposisi
saliva, sel-sel myoepithelial, otot halus arteriol, dan sel-sel terminal sekretori.

Hal-hal berikut ini dapat terjadi dengan memperhatikan persarafan sekresi dari kelenjar
saliva:

1. Sel-sel sekretori disuplai oleh nervus parasimpatetik dan simpatetik.

28
2. Impuls yang dikonduksikan melalui sistem parasimpatetik lebih umum daripada impuls
sepanjang nervus simpatetik.
3. Efek dari stimulasi oleh nervus dari kedua sistem tidak berupa antagonis.
4. Impuls yang umum penting untuk mengatur metabolisme normal sel-sel sekretori.
5. Stimulasi parasimpatetik dan simpatetik menyebabkan kontraksi sel myoepithelial untuk
menghasilkan aliran saliva.
6. Kapiler darah menerima stimuli dari kedua sistem, tetapi stimuli parasimpatetik
menghasilkan vasodilatasi, ketika vasokonstriksi dihasilkan oleh stimulasi simpatetik
membentuk bagian sistem kontrol vaskular dan tidak terlalu berpengaruh pada aktivitas
refleks sekresi dari sistem simpatetik.
7. Stimulasi parasimpatetik bertanggungjawab untuk sekresi saliva dengan volume yang
besar oleh sel sekretori. Stimulasi simpatetik mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
komposisi saliva, dan menghasilkan konsentrasi substansi oranik yang lebih besar karena
meningkatnya eksositosis pada sell dengan seiringnya pengurangan pergerakan air.
8. Tidak ada hambatan langsung pada kelenjar saliva oleh nervus. Sindrom mulut yang
kering dimana adanya tekanan nervus untuk waktu yang lama diketahui terjadi oleh
adanya hambatan dari simpatetik, berdasarkan adanya hambatan langsung pada pengaruh
pusat tertinggi di batang otak nukleus salivatori.

Gambar 30. Perbaikan lebih plak alkalin selama periode berpuasa.

Saliva disekresi sekitar 0,5 sampai 1,5 liter per hari. Tingkat perangsangan saliva
tergantung pada kecepatan aliran saliva yang bervariasi antara 0,1 sampai 4 ml/menit. Pada
kecepatan 0,5 ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar parotis (saliva encer) dan
kelenjar submandibularis (saliva kaya akan musin), sisanya disekresi oleh kelenjar sublingual

29
dan kelenjar-kelenjar di lapisan mukosa mulut. Sekresi saliva yang bersifat spontan dan
kontinu, tanpa adanya rangsangan yang jelas, disebabkan oleh stimulasi konstan tingkat
rendah ujung-ujung saraf parasimpatis yang berakhir di kelenjar saliva berfungsi untuk
menjaga mulut dan tenggorokan tetap basah setiap waktu.

Sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui reflek saliva terstimulasi dan refleks saliva
tidak terstimulasi. Refleks saliva terstimulasi terjadi sewaktu kemoreseptor atau reseptor
tekanan di dalam rongga mulut berespon terhadap adanya makanan. Reseptor-reseptor
tersebut memulai impuls di serat saraf aferen yang membawa informasi ke pusat saliva di
medula batang otak. Pusat saliva kemudian mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik
ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva. Gerakan mengunyah merangsang
sekresi saliva walaupun tidak terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap reseptor
tekanan yang terdapat di mulut. Pada refleks saliva tidak terstimulasi, pengeluaran saliva
terjadi tanpa rangsangan oral. Hanya berpikir, melihat, membaui, atau mendengar suatu
makanan yang lezat dapat memicu pengeluaran saliva melalui refleks ini.

Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf otonom yang
mensarafi kelenjar saliva. Stimulasi simpatis dan parasimpatis meningkatkan sekresi saliva
tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis
berperan dominan dalam sekresi saliva, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah
besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit
dengan konsistensi kental dan kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan
sekresi saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa lebih kering daripada biasanya saat sistem
simpatis dominan, misalnya pada keadaan stres.

Pengeluaran saliva terjadi karena transmisi kolinergik melalui reseptor muskarinik yaitu
tipe M1 dan M3. reseptor M1 dan M3 menstmulasi posfolipase C melalui protein G sehingga
terjadi peningkatan kadar Ca++ intrasel yang berakibat sekresi kelenjar. Respon kelenjar liur
melalui perangsanan saraf otonom adrenergik reseptor dan . Reseptor responnya
berupa sekresi K+, dan peningkatan air , sedangkan reseptor responnya berupa peningkatan
sekresi amilase. Pada perangsangan transmisi kolinergik reseptor saja yang akan
memberikan responnya berupa sekresi K+ dan peningkatan air.

30
2.8 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman suatu mlarutan dinyatakan dengan pH (potensial hidrogen). Derajat


keasaman larutan netral adalah tujuh. Suatu larutan disebut asam pada pH kurang dari tujuh
dan basa pada pH lebih dari tujuh. Teori asam basa menurut bronsted, asam merupakan zat
yang memberikan proton (donor proton) dan basa adalah suatu zat yang mengambil proton
(akseptor proton). Derajat keasaman (pH) saliva yang tidak dirangsang umumnya bervariasi
dari 6,4 hingga 6,9 (Amerongen dkk., 1991), sedangkan pH kritis mulut berkisar 5,5 yang
pada keadaan ini dapat terjadi demineralisasi gigi (Pedersen 2009; Collin,2009).

2.8.1 Keasaman Saliva Pada Saat Istirahat

pH saliva pada keadaan istirahat atau tidak dirangsang biasanya bersifat asam,
dengan nilai bervariasi antara 6,4 hingga 6,9. Konsentrasi bikarbonat pada saliva istirahat
adalah rendah sehingga sumbangan bikarbonat kepada kapasitas buffer paling tinggi adalah
50%. Sedangkan pada saliva yang dirangsang dapat menyumbang 85%. Penurunan pH saliva
istirahat paling jelas terlihat pada saliva glandula parotis. Disini pH dapat turun sampai 5,8
dalam keadaan istirahat. Sebaiknya, pH saliva mukus dalam keadaan istirahat tetap kurang
lebih netral. Karena dalam keadaan istirahat bantuan relatif glandula parotis sangat turun, dan
pada malam hari bahkan sama sekali tidak ada, maka pada keadaan istirahat pH ludah total
terutama ditentukan oleh pH saliva mukus, misalnya oleh musin dan peptida.

Pada keadaan patologis pH saliva istirahat dapat cepat berubah. Pada pasien
hemodialisis misalnya pH rata-rata saliva istirahat adalah 7,8 dan bukan sampai 8,5. Ini
disebabkan oleh kenaikan cepat amoniak dan ureum di dalam ludah, yang tidak dapat
dibuang dari serum oleh ginjal yang berfungsi tidak bagus.

2.8.2 Keasaman Saliva Saat Terstimulasi.

pH saliva parotis naik cepat setelah stimulasi ringan dan berjalan dari pH 6,0 sampai
7,4 pada kecepatan sekresi 1 ml/menit, pHnya berjalan seimbang dengan konsentrasi
bikarbonat. pH saliva mukus tidak begitu tergantung dari kecepatan sekresi. pH saliva mukus
pada kecepatan sekresi rendah adalah kira-kira 7,0 dan naik sampai 7,5 -8,0 pada kecepatan
sekresi 0,1 ml/menit .

31
pH saliva glandula parotis langsung ditentukan oleh kecepatan sekresi dan tidak oleh
sifat rangsangan baik mengunyah paraffin, maupun rangsangan pengecap, seperti asam sitrat
dan mentol, menginduksi pada kecepatan sekresi yang sama, saliva glandula parotis dengan
pH yang dipersamakan.

Kecepatan sekresi saliva langsung mempengaruhi derajat asam dan dengan demikian
mempengaruhi demineralisasi gigi. Pada penderita fibrosis sistik kecepatan sekresi saliva
total pada keadaan istirahat turun, sedangkan mengunyah akan menjadikan kecepatan sekresi
sama tinggi. pH saliva istirahat pada fibrosis sistik rata-rata turun dan bahwa mengunyah
pada permen karet tanpa gula akan mempunyai efek baik terhadap kenaikan pH saliva.

Keadaan tertekan pada pasien-pasien dapat mengakibatkan penurunan kecepatan


sekresi dan dengan pHnya. Sebaliknya kenaikan kecepatan sekresi dan dengan demikian
juga pHnya. Sebaliknya kenaikan kecepatan sekresi dan dengan pHnya pada penderita
skizofrenia kronis, kemungkinan sebagai akibat stimulasi mekanik.

pH saliva akan meningkat pada saat kelenjar saliva terstimulasi yang diakibatkan
adanya peningkatan kecepatan sekresi saliva. Sebaliknya pH saliva akan menurun pada saat
terjadi gangguan pada kelenjar saliva yang menyebabkan penurunan kecepatan sekresi saliva.

2.8.3 Proses Fisiologis yang Dipengaruhi oleh pH

a. Aktivitas enzimatik

Enzim mempunyai aktivitas normal antara pH 5-9, kecuali pepsinmempunyai pH


optimum antara 1-2. Bentuk kurva aktivitas enzim yang dipengaruhi pH ditentukan oleh
faktor-faktor berikut :

- Denaturasi enzim (protein) pada pH yang terlalu tinggi atau rendah


- Perubahan stuktur ruang karena perubahan muatan suatu enzim atau substrat.

Enzim merupakan suatu protein yang muatan asam amino dan stuktur ruangnya
ditentukan oleh pH. Interaksi substrat enzim mengatur kecepatan reaksi enzimatik.

32
Gambar 31. Kurva aktivitas enzim yang dipengaruhi pH enzim pencernaan (Van Nieuw
Amorangen, Ludah dan kelenjar Ludah ARTI BAGI KESEHATAN
GIGI,1991).
a.Amylase dalam ludah dan getah pankreas (optimum pH 6-8)
b.Pepsin didalam getah lambung (optimum pH 2-3)
c.Tripsin didalam getah pankreas (optimum pH 7-9)

b. Proses demineralisasi dan remineralisasi jaringan keras

Penurunan pH dalam rongga mulut mempercepat dan meningkatkan demineralisasi


elemen gigi. Kenaikan pH meningkatkan pembentukan kolonisasi bakteri dan kalkulus

c. Ikatan zat asam dan asam arang pada hemoglobin didalam eritrosit

Pada serum dan plasma sel, pH dijaga tetap konstan untuk mempertahankan keutuhan
sel. Pada cairan sekresi eksokrin seperti urea dan saliva, pH berbeda-beda tergantung dari
kecepatan sekresi. Pada saluran pencernaan terdapat perbedaan pH diantara berbagai
cairan pencernaan makanan, cairan mulut netral, getah lambung asam dan getah pankreas
alkalis. Derajat asam dalam cairan tubuh diatur sangat cermat. Perubahan sangat kecil
dalam derajat asam plasma mempengaruhi sistem pernafasan. Sistem buffer yang terlibat
mempertahankan derajat asam di dalam serum dan saliva.

2.9 Kapasitas Buffer

Larutan buffer adalah larutan yang mempertahankan pH konstannya pada saat sedikit
asam atau sedikit basa dilarutkan pada larutan buffer tersebut. Dalam kata lain, buffer adalah
kemampuan menjaga perubahan pH. Saliva memiliki kemampuan atau kapasitas buffer ini,
terdapat 3 kapasitas buffer pada saliva, yaitu: buffer protein, buffer fosfat dan buffer asam
bikarbonat.

a. Buffer protein

33
Buffer protein dianggap tidak terlalu berpengaruh dikarenakan kurangnya grup-grup
ion baik asam ataupun basa yang dapat mempengaruhi ion H+/ OH- yang menentukan
keasaman dan kebasaan saliva.

b. Buffer fosfat
Buffer fosfat utamanya terdapat pada saliva yang dihasilkan pada saat kelenjar saliva
tidak terstimulasi.Buffer fosfat memiliki ion asam fosfat (H2PO4) yang memiliki
derajat keasaman 6,8 7,2 yang mirip dengan derajat keasaman saliva, sehingga
mampu menjaga saliva tetap berada dalam pH normalnya.

c. Buffer asam bikarbonat


Buffer asam bikarbonat terdapat pada saliva yang dihasilkan oleh kelenjar saliva yang
terstimulasi, merupakan buffer utama pada saliva. Buffer asam bikarbonat menetralisir
asam yang dihasilkan oleh bakteri pada saat mengolah gula dari makanan atau asam
yang berasal dari lambung.Konsentrasi buffer asam bikarbonat dalam saliva
dipengaruhi oleh kecepatan sekresi saliva.

Buffer fosfat dan buffer asam bikarbonat berbanding terbalik konsentrasinya pada
saliva. Pada saliva yang dihasilkan dari kelenjar saliva yang tidak terstimulasi,
kandungan buffer fosfat umumnya tinggi dan kandungan buffer asam bikarbonat
rendah.Sebaliknya pada saliva yang dihasilkan dari kelenjar saliva yang terstimulasi,
konsentrasi buffer asam bikarbonat tinggi sedangkan buffer fosfat umumnya rendah.
Hal ini sejalan dengan fungsi saliva dalam menjaga homeostasis rongga mulut.

2.9.1 Faktor yang Mempengaruhi pH dan Kapasitas Buffer

pH saliva tergantung perbandingan antara asam dan konjugasi basa yang bersangkutan.
Kenaikan kecepatan sekresi dan konsentrasi bikarbonat menyebabkan pH dan kapasitas
buffer menjadi tinggi. Beberapa faktor yang mempengaruhi derajat asam (pH) dan kapasitas
buffer saliva adalah :

- Irama siang dan malam


Pengaruh irama siang dan malam berhubungan dengan pH dan kapasitas buffer :

a. Sekresi meningkat segera setelah bangun tidur (dalam keadaan istirahat) kemudian
cepat turun

34
b. Sekresi meningkat seperempat jam setelah makan (adanya stimulasi mekanik) tetapi
biasanya dalam waktu 30-60 menit turun lagi
c. Kapasitas naik sampai malam, tetapi setelah itu turun

- Diet

Diet karbohidrat menurunkan kapasitas buffer dan menaikkan metabolisme produksi


asam oleh bakteri-bakteri mulut. Diet sayuran mempunyai efek menaikkan kapasitas
buffer. Diet protein mempunyai efek menaikkan kapasitas buffer dan sebagai sumber
makanan bakteri membangkitkan pengeluaran zat-zat basa seperti amoniak.

- Perangsangan kecepatan sekresi


Peningkatan kecepatan sekresi saliva menyebabkan peningkatan pH dan konsentrasi
bikarbonat. Kecepatan sekresi saliva meningkat kira-kira 1 ml/menit menyebabkan
konsentrasi bikarbonat meningkat kira-kira 1 ml/menit menyebabkan konsentrasi
bikarbonat meningkat kira-kira 30 mM-60 mM . pH juga meningkat dari pH 7,5
menjadi 7,8. Hal ini menunjukan sistem bikarbonat efektif dalam menetralisasi asam
yang terjadi pada pertukaran zat bakteri.

2.10 Metode Pengumpulan Saliva

Pengumpulan saliva berarti menampung saliva yang mengalir keluar dari mulut, jumlah
saliva tidak seluruhnya karena sebagian tetap ada dalam permukaan mulut. Sekresi saliva
bervariasi dipengaruhi waktu, suhu, musim status hidrasi, intake medikasi dan kondisi
kesehatan, serta mood.

Whole saliva mengandung tidak hanya sekret saliva saja tetapi juga cairan, debris dan
sel-sel dari dalam rongga mulut. Kelebihan utama pengumpulan saliva sebagai materi
spesimen adalah mudah dan noninvasif. Metode ini tidak membuat pasien menjadi stress
seperti jika pengambilan sampel darah dan tanpa issue privasi, misalnya pada proses
pengumpulan urine.

Metode pengumpulan saliva antara lain dengan teknik draining, suction, spitting,
absorbent. Stimuli yang digunakan adalah lilin parafin atau permen karet dapat juga berupa
alat lepasan yang dibuat khusus individual. Alat lepasan yang dibuat khusus untuk
menstimulasi saliva, dibuat custom masing-masing untuk rahang atas dan rahang bawah
umumnya berbahan akrilik.

35
1. Spitting
Pasien duduk dengan mata terbuka dengan kepala sedikit lebih maju. Setiap 5 menit
saliva ditampung dalam wadah dan diinstruksikan untuk meminimalkan gerakan, saliva
dibiarkan mengalir dan terkumpul di dasar mulut kemudian pasien mengalirkan ke
wadah yang disiapkan dan dibiarkan mengalir selama 1 menit.
2. Absorbent
Saliva dikumpulkan dengan cara diserap menggunakan cotton roll, atau kasa yang
ditempatkan pada orifisium kelenjar saliva dan dikeluarkan jika telah basah. Metode ini
sesuai dengan pasien yang mengalami xerostomia. Pasien diinstruksikan tidak makan
dan minum selama dua jam sebelum pengumpulan.
Pengumpulan saliva pada waktu istirahat atau sesudah stimulasi dengan mengunyah
malam (wax). Aliran glandula parotis dapat diperiksa menggunakan cangkir carlsson
critenden.

a b
a
Gambar 32. a. Carlson crittenden cup b. Carlson crittenden cup ditempatkan diatas papilla
parotis (Michael Lewis: A colour handbook of oral medicine, Publication,2004).

Pengumpulan saliva pada kelenjar submandibula dan sublingual dapat menggunakan


custom made ditempatkan di saluran Wharton di dasar mulut.

2.11 Pemeriksaan Kelenjar saliva

2.11.1 Sialokemestri

Sialokemistri digunakan untuk membedakan fungsi normal-abnormal kelenjar saliva.


Informasi adanya kelainan ataupun disfungsi kelenjar akan mempengaruhi lingkungan oral
termasuk homeostatik, sirkulasi, innervasi dan hormonal. Fungsi lain saliva dapat dianalisis
untuk kandungan berbagai hormon (kortisol, progesteron, estriol, testosteron dan lainnya.)
dan obat-obatan (diazepam, kaffein, lithium, theophyllin, tolbutamide, methotrexate,
antibiotik, antikonvulsan, dan lain-lain.). Dari komposisi saliva juga dapat digunakan untuk

36
menginvestigasi penyakit sistemik misalnya Sjorgen's syndrome, alcoholic cirrhosis, cystic
fibrosis, sarcoidosis, diabetes mellitus dan kelainan adrenal cortex.

Gambar 33 . Kegunaan analisis saliva (Malathi : 2014)

2.11.2 Imaging

1. Sialografi

Sialografi adalah istilah yang digunakan untuk tehnik radiografi pemeriksaan


kelenjar ludah. Tehnik yang digunakan adalah melakukan radiografi pada kelenjar ludah
yang telah dimasukkan bahan kontras terlarut melalui duktus kelenjar. Gambaran
radiofgrafi dari tehnik sialografi ini disebut sialograf. Indikasi untuk pemeriksaan
sialografi ini adalah;

1.Mendeteksi sialolith atau kalkulus di kelenjar ludah


2.Menegakkan diagnosis dari proses inflamasi yang terjadi pada kelenjar ludah
3.Menentukan lokasi dan ukuran tumor.

Namun ada beberapa hal yang menjadi kontra indikasi untuk pemeriksaan
sialografi. Hal atau kondisi tersebut, antara lain:

Infeksi kelenjar ludah yang sedang dalam keadaan akut


Adanya reaksi alergi terhadap bahan yang digunakan
Terdapat kelainan tiroid

37
2. Plain film

Plain film dipertimbangkan untuk mendiagnosis kelainan yang dicurigai sialolithiasis.


Kalkuli pada duktus parotis dapat dideteksi dengan proyeksi lateral intraoral film
diletakkan pada sulkus bukal. Kelebihan utama teknik ini adalah intervensi minimal,
namun tidak diindikasikan pada keaadaan infeksi.

Gambar 34. a. Sialolith dengan submandibular kiri b. Surgical exploration sialolith di


submandibular kiri (Burket: Oral medicine, Publication, 2013).

Gambar 35. Gambar (A, B): Plain Radiografi daerah submandibular di anterior posterior (A)
dan lateral oblique (B) yang menunjukkan pembengkakan jaringan lunak terkait
dengan kalkulus kecil (panah) yang terlihat pada gambaran miring lateral
diambil dengan lidah tertekan (Rajul rastogi,2012).

3. Computed Tomography (CT)

Generasi terbaru dari CT adalah multiple-row detector CT (MDCT) menyediakan


gambaran jaringan lunak maupun jaringan keras dengan baik. Kecepatan resolusi dan kontras
gambar jaringan dapat diatur sehingga menjadikan CT sebagai pilihan yang sangat baik untuk
pemeriksaan leher dan kepala.

Tersedianya settingan data volumetrik yang sama seperti keadaan sebenarnya baik
potongan coronal, sagittal, maupun oblique sehingga dapat menampakkan keadaan 3
dimensi. Penampang coronal untuk menilai keadaan kelenjar submandibula dan dasar mulut.

38
CT juga lebih baik dibanding MRI untuk melihat detail tulang dan kalsifikasi, serta lebih
cepat penggunaannya. Kekurangan CT adalah adanya eksposur radiasi ionisasi dan adanya
penggunaan kontras i.v.

a b c

Gambar 36. Gambar computed tomography a. CT scan menunjukan massa kanker jaringan
lunak pada angulus mandibula kanan b. CBCT scan menunjukan foramen
mental kanan pada mandibula c. Cone beam CT scan menunjukan canalis
mandibularis dekat dengan tepi inferior mandibula (Michael lewis: A colour
handbook of oral medicine, 2004)

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic resonance imaging merupakan teknologi yang sangat menjanjikan dalam


penilaian kelainan pada kelenjar saliva. Dengan pemeriksaan ini akan tampak perbedaan
antara struktur duktus dan parenkim. Tingkat keparahan ataupun penyebaran penyakit
kelenjar dapat dinilai dengan lebih baik dibandingkan menggunakan CT. Resolusi dan
detail menjadikan MRI menjadi suatu tes penunjang yang sangat baik untuk pemeriksaan
kepala dan leher.

Gambar 37. Magnetic resonance yang menunjukan masa maligna pada sinus etmoidallis kiri
menembus orbita kiri (Michael lewis: A colour handbook of oral medicine,2004).

5. Ultrasonografi (USG)

Dalam mendiagnosis kelainan pada kelenjar saliva terkadang diperlukan


pemeriksaan ultrasonografi dengan resolusi tinggi. Pemeriksaan dengan ultrasonografi

39
bermanfaat dalam mengidentifikasi massa dan membedakan konsistensi massa tersebut,
apakah padat atau kistik. Ultrasonografi yang digunakan pada pemeriksaan kelenjar saliva
adalah ultrasonografi dengan transduser beresolusi tinggi, yaitu 7,5-10,0 MHz. Pada kasus
abses atau massa kistik kelenjar saliva terkadang dilakukan aspirasi jarum halus. Pada
kasus ini, ultrasonografi dapat dimanfaatkan untuk menjadi panduan dalam aspirasi.
Pemeriksaan ultrasonografi juga penting dilakukan untuk melihat adanya kelokan atau
cabang-cabang duktus, yang bisa menimbulkan komplikasi pada proses obstruksi.

Kekurangan pada pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah, alat ini tidak dapat
memvisualisasi kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan kelainan obstruksi
kelenjar saliva menggunakan ultrasonografi sering sulit untuk menentukan ukuran batu
secara tiga dimensi begitu juga dengan struktur stenosisnya. Selain itu, pemeriksaan
dengan alat ini tidak dapat memberikan informasi yang cukup jelas mengenai diameter
bagian distal obstruksi sehingga sulit memastikan apakah duktusnya cukup lebar dan lurus
sehingga memungkinkan masuknya instrumen pada endoskopi terapeutik.

Gambar 38. Ultrasound glandula saliva, sialolit di glandula submandibula (Burket : Oral
medicine, Publication,2013).

Demikian pula pada observasi penyebab dilatasi duktus dan penggambaran kalkuli.
Nodus limfe normal dan limfedenopati juga dapat dibedakan dengan teknik USG. Deteksi
dini tahapan penyakit juga dapat diketahui dengan bantuan USG namun tidak optimal untuk
follow up post-terapi radiasi maupun pembedahan. USG juga cukup baik untuk memandu
daerah FNAB dan biopsi.

40
Tabel 2. Imaging saliva gland (Burket: Oral medicine,Publication, 2013)

2.11.3 Biopsi (FNAB)

Biopsi dengan teknik fine-needle aspiration (FNA) dimana sampel diaspirasi dari
jaringan kelenjar saliva diletakkan dengan teknik sapuan (smears) pada kaca slide dan
diperiksa dibawah mikroskop untuk menentukan karakteristik secara histologis lesi dan
difrensiasinya.Teknik ini sangat sederhana dan hanya membutuhkan waktu yang singkat.
Biopsi juga dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan suatu penyakit agar
pendekatan terapi bisa lebih adekuat, juga untuk menentukan jenis tumor kelenjar saliva
sehingga dapat dipertimbangkan penanganan selanjutnya, selain itu untuk memastikan
diagnosis penyakit misalnya Sjogren syndrome.

Secara singkat langkah untuk melakukan suatu FNAB adalah sebagai berikut :

Kulit di permukaan kelenjar saliva didesinfeksi dengan alkohol


Anastesi lokal dapat diinjeksi terlebih dahulu
Jarum alat biopsi dimasukkan hingga mencapai kelenjar saliva
Jaringan diangkat melalui alat biopsi dan diletakkan pada kaca slide
Sampel segera dikirim dan diperiksa di laboratorium.

41
2.11.4 Core needle biopsy

Core needle biopsy (CNB) adalah menggunakan jarum yang lebih besar dari FNAB
untuk membuang jaringan silinder, dalam evaluasi preoperatif lesi kelenjar ludah. Teknik
ini memiliki keuntungan memiliki tingkat komplikasi yang rendah. Keuntungan dari CNB
yaitu mampu mempertahankan bentuk histologis, dan dapat mengevaluasi Invasi tumor
extracapsular. Pewarnaan imunohistokimia lebih dapat diandalkan dengan spesimen biopsi
inti. Kelemahan pada CNB mencakup kebutuhan anestesi lokal dan kemungkinan
peningkatan rasa sakit dan morbiditas.

2.11.5 Ultrasound guided core needle aspiration

Aspirasi jarum inti yang dipandu ultrasound ditunjukkan untuk biopsi massa kelenjar
ludah yang menonjol pada kelenjar saliva utama atau untuk evaluasi patologi yang
melibatkan submandibular. Teknik ini aman dan akurat dengan tingkat nondiagnostik
rendah, dapat digunakan untuk menyelidiki limfadenopati serviks.

Analisis bagian frozen dapat berfungsi untuk menentukan sifat tumor dan untuk
menilai margin keterlibatan tumor. Dalam kasus operasi kelenjar parotid, bagian frozen
meningkatkan kemungkinan menyelamatkan saraf wajah.

42
BAB III

Sialorrhea

3.1 Definisi

Sialorrhea atau ptyalism merupakan kondisi dimana aliran saliva berlebihan yang
seringkali menjadi keluhan bagi pasien. Sialorrhea terjadi dengan kondisi peningkatan sekresi
saliva dan mengganggu perjalanan saliva dari kerongkongan ke dalam perut. Akibatnya,
esofagus terus dialiri oleh aliran saliva saat masuk ke dalam perut. Kondisi esofagus yang
mendorong sialorrhea dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu saliva yang
distimulasi secara mekanis karena obstruksi esofagus dan saliva yang distimulasi secara
kimia karena adanya inflamasi esofagus.

Sialorrhea mengacu pada drooling saliva sebagai akibat keterbatasan kemampuan


seseorang untuk mengendalikan sekresi saliva oral. Drooling anterior didefinisikan sebagai
tumpahan saliva dari mulut yang dapat terlihat secara jelas. Drooling posterior terjadi saat
tumpahan saliva terjadi melalui oropharynx dan masuk ke hipopharynx.

Masalah medis: (Tabel 3)

Pooling posterior bisa memiliki konsekuensi serius seperti aspirasi kronis yang
mengakibatkan infeksi rekuren dan penyakit paru progresif.
Adanya saliva yang mengalir pada dagu menyebabkan seringnya menyeka saliva
tersebut, yang dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan kulit.

Masalah psikososial:

Anterior drooling saliva dapat menyebabkan seringnya penggantian pakaian, dapat


merusak buku, komputer dan peralatan lainnya, dan dapat keluar dari mulut saat
berbicara.
Dampak sosial seperti rasa malu dan mungkin menyebabkan rasa terisolasi dan
rendah diri.

43
Tabel 3. Efek Drooling saliva yang tidak dilakukan perawatan (Ganesh Bavikette et al, 2012)

3.2 Etiologi

Hipersekresi saliva / sialorrhea dan drooling dapat disebabkan oleh pengobatan,


penyakit sistemik, gangguan psychiatric, patologi oral, dan zat beracun. Pada individu yang
sehat obat dapat meningkatkan sekresi saliva tetapi umumnya tidak mengakibatkan drooling,
produksi saliva yang dihasilkan dapat dengan mudah ditangani. Di sisi lain, drooling
umumnya disertai dengan keterbatasan untuk menanganani saliva dan bukan karena
hipersalivasi. Etiologi drooling umumnya bersifat multifaktorial, umumnya disebabkan
berbagai kondisi yang menyebabkan produksi saliva yang berlebih karena penyebab lokal
atau sistemik (tabel 4).

Tabel 4. Etiologi hipersalivasi (Ganesh Bavekatte, 2012)

Sialorrhea umumnya disebabkan oleh disfungsi neuromuskular, hipersekresi,


disfungsi sensorik, atau disfungsi anatomi (motorik), penyebab paling umum adalah disfungsi
neuromuskular. Pada anak-anak, keterbelakangan mental dan cerebral palsy umumnya
terlibat; sedangkan pada orang dewasa penyakit parkinson merupakan etiologi yang paling

44
umum. Penyebab yang kurang umum adalah pseudobulbar palsy, bulbar palsy, dan stroke
(Tabel 5 dan 6). Hipersekresi umumnya disebabkan oleh peradangan, seperti tumbuh gigi,
karies gigi, dan infeksi rongga mulut. Penyebab lain dari hipersekresi termasuk efek samping
dari obat-obatan (seperti obat penenang/tranquilizers, antikonvulsan), gastroesofagus refluks,
paparan toksin (seperti uap merkuri), dan rabies.

Tabel 5. Etiologi sialorrhea (Jaume Miranda-Rius1 et al, 2004)

45
Tabel 6. Etiologi sialorrhea (NEIL G. HOCKSTEIN et al, 2004)

3.2.1 Efek Obat-obatan terhadap hipersalivasi

Sekresi saliva dapat meningkat oleh obat-obatan yang memiliki aksi kolinergik baik
secara langsung berefek pada reseptor parasimpabilimimetik atau berefek pada inhibitor
cholinesterase (Tabel 7). Hipersalivasi dapat menjadi masalah bagi pasien, sialorrhea yang
berat dapat mengganggu tidur, beberapa pasien mungkin mengalami sensasi tersedak, bahkan
timbulnya aspirasi karena banyaknya sekresi saliva pada malam hari. Sebagai tambahan,
sialorrhea dapat mempengaruhi stigmatisasi sosial yang menyebabkan ketidakpatuhan pada
pasien.

Tabel 7. Obat-obatan yang menginduksi hipersalivasi (Vidhi Vinayak, 2013).

46
3.2.1.1 Direct muscarinic agonists

Direct muscarinic agonists merupakan obat parasympathomimetic, karena itu dapat


meningkatkan aksi kolinergik dan menginduksi sialorrhea (Tabel 8). Pilocarpine digunakan
untuk mengobati glaukoma, dapat menyebabkan hipersekresi saliva. Agonis muskarinik,
arecoline, merupakan alkaloid dengan sifat parasympathomimetic. Bethanechol merupakan
obat kolinergik yang secara selektif merangsang sistem saraf parasimpatis di seluruh reseptor
muskarinik. Terkadang diberikan secara oral atau subkutan untuk mengobati retensi urin
akibat anestesi umum, diabetes neuropati, atau untuk mengobati gastrointestinal atoni.
Cevimeline juga merupakan agonis parasimpikomimetik dan muskarinik dengan efek khusus
pada reseptor M3.

Tabel 8. Beberapa obat yang dikaitkan dengan sialorrhea atau drooling (Jaume Miranda-
Rius1 et al, 2004)

47
3.2.1.2 Indirect muscarinic stimulants

Indirect muscarinic stimulants merupakan inhibitor utama enzim asetilkolinesterase,


obat ini meningkatkan acetylcholine untuk merangsang reseptor muscarinic dan nikotinik
yang meningkatkan aliran saliva. Donepezil, galantamine, dan rivastigmine merupakan
inhibitor asetilkolinesterase utama, yang digunakan dalam pengobatan penyakit Alzheimer.
Inhibitor asetilkolinesterase lain adalah edrophonium, Neostigmin, dan physostigmine,
terutama digunakan dalam diagnosis dan pengobatan myasthenia gravis.

3.2.1.3 Obat antidopaminergik

Obat antidopaminergik berpotensi menyebabkan drooling jika secara klinis


menimbulkan bradikinesia karena menurunkan tingkat penelanan. Hal ini umumnya terlihat
secara klinis dimana pasien tampaknya memiliki efek samping ekstrapiramidal. Obat
antipsikotik dapat menyebabkan sialorrhea karena:

1. Menginduksi gejala parkinson.


2. Blokade reseptor 2-adrenergik atau penurunan noradrenalin
3. Agonis langsung dari reseptor M3 dan M4 muscarinic

Obat antipsikotik tipikal (generasi pertama) seperti haloperidol dan fluphenazine,


lebih kuat dalam menginduksi gejala ekstrapiramidal dibandingkan dengan antipsikotik
atipikal (generasi kedua), misalnya clozapine, risperidone, dan olanzapine. Mekanisme lain
yang mengganggu penelanan adalah sedasi yang berlebihan, yang merupakan efek samping
antipsikotik. Clozapine adalah prototip antipsikotik atipikal. obat ini dapat menyebabkan
sialorrhea karena efek agonisnya pada reseptor kelenjar muskarinik M3 dan M4 yang
menyebabkan peningkatan sekresi saliva melalui sistem saraf parasimpatis, dan juga karena
efek antagonisme pada reseptor 2-adrenergik melalui sistem saraf simpatik.

Clozapine merupakan antipsikotik atipikal, trisiklik, turunan dibenzodiazepin, dengan


kemanjuran klinis superior dan pengaruh motorik minimal. Indikasi utama clozapine adalah
pengobatan skizofrenia pada pasien yang tidak responsif terhadap neuroleptik lainnya.
Sekitar 17% pasien yang memakai clozapine menghentikan pengobatan karena efek
sampingnya. Sialorrhea merupakan efek samping umum kedua setelah sedasi. Telah
disebutkan bahwa stimulasi reseptor muskarinik M3 dan M4 pada kelenjar saliva dapat
menyebabkan produksi saliva. Efek clozapine terhadap reseptor M3 dan M4 dapat memediasi
hipersalivation. Clozapine mempunyai efek agonis pada reseptor M4; Sedangkan afinitasnya

48
untuk reseptor M3 lebih rendah. Karena itu, kemungkinan efeknya terhadap rangsangan
reseptor M4 akan melebihi dari blokade reseptor M3, sehingga menimbulkan hipersalivation.

Clozapine juga mempunyai aksi bloking terhadap reseptor 2. Pada sebuah penelitian
penulis menyebutkan bahwa clozapine mengganggu deglutisi normal dengan cara memblokir
reseptor target yang erletak di faring atau dengan mengganggu kontrol vagal peristaltik
esophagus. Quetiapine adalah obat antipsikotik yang mempunyai kombinasi antagonisme
pada dopamin dan serotonin tipe 1 dan 2. Quetipaine menginduksi hipersalivasi dengan
mekanisme memblokade adrenergik 2. Melalui blokade stimulasi simpatik, sedangkan
stimulasi parasimpatis dibiarkan sehingga menyebabkan laju aliran saliva tinggi.

Hipersalivasi adalah efek samping pengobatan clozapine yang umumnya


mempengaruhi sekitar 31% pasien, biasanya berkembang pada tahap awal pengobatan, dan
lebih menonjol pada malam hari. Hipersalivasi yang diinduksi Clozapine bisa sangat
menyulitkan saat tidur, menyebabkan gangguan tidur dan masalah pernafasan sekunder
akibat aspirasi saliva. Hipersalivasi yang disebabkan Clozapine juga dapat menyebabkan
pembengkakan kelenjar ludah yang menyakitkan dan menstigmatisasi secara sosial. Oleh
karena itu, hal itu dapat menyebabkan kepatuhan yang buruk sejak awal dalam perawatan,
meskipun terjadi peningkatan dramatis pada kondisi kejiwaan pasien.

Menurut Adrian Cree (2001), clozapine memiliki efek farmakologi yang kompleks,
memiliki aktivitas antagonis pada reseptor Dopamin D1, D2, D3 dan D4, reseptor 1 dan 2
adrenergik, reseptor 5-HT2 serotonin, H1 histamin dan M1, M2, M3 dan M5, dengan
aktivitas agonis pada reseptor muskarinik M4. Stimulasi parasimpatik menyebabkan laju
aliran saliva tinggi dan stimulasi simpatik menyebabkan kadar protein tinggi. Efek agonis
clozapine pada reseptor M4 muskarinik telah diajukan untuk menjelaskan sebagian
mekanisme hipersalivasi. Mekanisme lain yang diusulkan adalah aktivitas antagonis
clozapine pada adrenoseptor 2. Sementara blokade muskarinik menyebabkan sekresi ludah
yang berkurang, antagonis 2 dapat meningkatkan saliva.

3.2.1.4 Obat sedatif, Adrenergic antagonists (peripheral), Obata-obatan yang


mengiritasi esofagus, Racun dan toxin, preparat Herbal
Dalam beberapa kasus, benzodiazepin dapat menyebabkan drooling, yang
mengindikasikan adanya perubahan pada proses penelanan yang mendasarinya karena sedasi

49
yang berlebihan, terutama pada dosis yang tinggi. Drooling juga bisa diakibatkan inflamasi
mukosa esophagus yang disebabkan oleh tetrasiklin, Doksisiklin, sediaan zat besi, kuinidin,
potassium, dan obat antiinflamasi non steroid yang mungkin mengganggu penelanan baik
secara fungsional maupun karena rasa sakit yang ditimbulkan.

Drooling juga dapat disebabkan beberapa racun seperti insektisida organofosfat dan
beberapa agen saraf yang secara ireversibel menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga
menimbulkan tanda dan gejala overstimulasi reseptor muscarinic dan nikotinik. Toxin pro-
kolinergik dari jamur seperti muscarin (Amanita muscaria) dapat menimbulkan sialorrhea
pada intoksikasi akut. Keracunan merkuri, thallium, mangan, dan arsenik juga dapat
menyebabkan drooling, dan hal ini juga tanda klinis beberapa obat seperti phencyclidine
(PCP). Sejumlah preparat herbal, seperti jaborandi yang mengandung pilocarpine, dan
suplemen yohimbin (alkaloid) merupakan antagonis 2 adrenergik perifer, dapat merangsang
sekresi saliva. Selain itu, betel nut mengandung arecoline yang merupakan Agonis
muscarinic langsung dapat menyebabkan "betel nut drooling", sementara asam sitrat dan lada
merah juga dapat menstimulasi aliran saliva.

3.2.2 Penyakit Neurological

Drooling seringkali merupakan konsekuensi dari beberapa gangguan neurologis pusat,


seperti pada pasien yang terkena Cerebral palsy atau keterbelakangan mental. Namun,
terdapat beberapa bagian perifer seperti cranial nerve palsies ketujuh atau kesembilan dimana
drooling juga dapat hadir. Selanjutnya, Lespargot dkk menunjukkan bahwa drooling terkait
dengan satu atau lebih dari tiga kelainan:

Penutupan bibir tidak lengkap saat menelan.


Low suction pressure.
Prolonged delay antara fase isap dan fase propulsi intra-oral, berlawanan dengan
faring atau esofagus, pada tahap penelanan.

Pada anak-anak dan remaja dengan cerebral palsy (CP), sialorrhea umumnya terjadi
karena kontrol oromotor yang terbatas sebagai akibat dari inkoordinasi otot dan keterbatasan
persepsi sensorik dibandingkan dengan eksesif saliva. Sialore terjadi pada sekitar 40% anak-
anak / remaja dengan CP dan dapat memiliki dampak kesehatan dan psikososial yang
signifikan.

50
Reid dkk menganalisis faktor predisposisi sialorhrea pada anak dengan CP meliputi
jenis non-spastik, pola topografi quadriplegic, tidak adanya kontrol cervikal, kesulitan dalam
koordinasi / fungsi motorik kasar, epilepsi, disabilitas intelektual, kesulitan berbicara, open
bite anterior, dan disfagia. Saat ini, sudah diterima secara luas bahwa sialorrhea pada anak-
anak dengan CP tidak disebabkan oleh hypersalivation, tapi karena disfungsi motorik oral,
disfagia, dan / atau gangguan.sensitivitas intraoral

Refleks penelanan saliva dimediasi oleh sistem neuromuskular orofasial, dan


melibatkan serangkaian reflek dan gerakan terkoordinasi otot mandibula, bibir, lidah,
pharynx, laring, dan esofagus. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi positif antara
sialorrhea pada anak dengan CP dan faktor-faktor berikut: kesulitan dalam pembentukan
bolus makanan, inefficient labial sealing, suction disorder, peningkatan residu makanan,
kesulitan mengontrol bibir, lidah, mandibula, pengurangan sensitivitas intraoral, pengurangan
frekuensi spontanitas penenlanan, fase disfagia pada esofagus, dan maloklusi dental.

Dua domain yang mungkin mempengaruhi patofisiologi drooling pada PD telah


diusulkan: satu yaitu kelainan produksi saliva dan yang lainnya insufisiensi klirens saliva.
Kelebihan produksi saliva bisa menyebabkan drooling. Namun, banyak penelitian
menunjukkan drooling pada pasien PD menghasilkan saliva lebih sedikit dibandingkan
dengan kontrol normal. Mekanisme tepat yang menyebabkan penurunan produksi saliva
belum dipahami. Penjelasan yang mungkin adalah defisiensi dopamin Studi sebelumnya baik
pada model hewan vertebrata maupun invertebrata menunjukkan bahwa dopamin
memodulasi sekresi saliva. Studi eksperimental pada tikus menunjukkan bahwa aktivasi
reseptor dopamin pusat dan perifer memproduksi sekresi saliva.

Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa hipomimia berat, pembukaan mulut
yang tidak terkendali dan postur tubuh bungkuk dengan posisi kepala menunduk, dapat
menyebabkan drooling pada pasien PD dengan kehilangan kemampuannya menjaga air liur
di dalam rongga mulut. Sebaliknya, tidak ada bukti nyata bahwa obat dyskinesia dapat
menimbulkan drooling. Domain yang mungkin berkontribusi terhadap patofisiologi drooling
pada pasien PD dirangkum dalam Gambar 39.

51
Gambar 39. Patofisiologi drooling pada pasien PD (Prachaya Srivanitchapoom et al, 2014).

3.2.3 Hubungan antara sialorrhea dan gastroesophageal refluks disease (GERD)

Saliva berperan penting dalam melindungi mukosa esofagus terhadap lesi yang
disebabkan oleh GERD. Pada anak-anak dengan sialorrhea, hilangnya saliva secara konstan
dapat mengganggu perpindahan refluks asam lambung ke kerongkongan, yang bisa
menyebabkan dismotilitas esofagus dan esofagitis. Heine et al, dalam sebuah penelitian tahun
1996, menunjukkan bahwa kira-kira sepertiga dari 24 anak dengan sialorrhea memiliki
GERD dalam pemantauan pH 24 jam atau esofagoskopi.

Didalam studi ini, pengobatan dengan cisapride dan ranitidine untuk GERD tidak
mengurangi tingkat keparahan dan frekuensi sialorrhea, sekresi saliva yang dirangsang oleh
GERD hanya memiliki signifikansi klinis pada pasien dengan esofagitis. Iritasi kimiawi yang
disebabkan oleh GERD dapat menyebabkan peningkatan produksi saliva melalui sistem saraf
parasimpatis dan refleks vasovagal, bertujuan untuk melindungi oropharyngeal dan mukosa
esophagus. Pada anak-anak dengan disfungsi motor oral, peningkatan produksi saliva bisa
terakumulasi di faring dan / atau kerongkongan, meningkatkan risiko aspirasi. Masih menjadi
perdebatan apakah GERD sendiri dapat menyebabkan sialorrhea dan apakah pengobatan
GERD dapat mengurangi intensitasnya pada anak-anak dengan CP.

52
Gambar 40. Hubungan aspek klinis anak-anak dengan CP, GERD,CPD (Bruno et al, 2016).

3.3 Penilaian Hipersalivasi

Penilaian keparahan drooling dan dampaknya pada kualitas hidup pasien dapat
membantu menentukkan prognosis dan terapi yang tepat. Terdapat beberapa metode
penilaian sialorrhea baik subjektif dan objektif yang bervariasi.

Diskusi dari berbagai disiplin ilmu direkomendasikan untuk assesment sialorrhea.


Penilaian medis : Penekanan pada pengobatan, riwayat aspirasi, status respiratori dan
pemeriksaan jalan napas bawah, penilaian neurologis (kontrol kraniofasial, postur,
dampak obat-obatan, epilepsi, usia perkembangan yang setara), penyakit
gastroesophageal reflux (GERD), alergi, pemeriksaan orofasial (gigi, kebersihan
mulut, jalan nafas bagian atas), hidrasi.
Evaluasi sosial : Motivasi intrinsik dan keterampilan manajemen diri anak, dampak
sialorea dan pentingnya kontrol saliva terhadap keluarga.
Penilaian motorik / Oromotor : Kontrol kepala, posisi, penutupan mulut, oklusi, lip
seal, evaluasi sensorimotor, swallow on demand, kemampuan menghilangkan saliva
sendiri.

53
Drooling dapat dinilai secara kuantitatif dengan alat untuk menilai tingkat keparahan
dan frekuensinya serta dampaknya ternak dan keluarga [Drooling Quotient, Teacher
Drooling Skala, Skala Drooling Severity and Frequency, Visual Skala Analog (VAS),
Drooling Impact Scale (DIS), frekuensi penggantian pakaian]. Dapat membantu
dalam mengukur respons terhadap intervensi.
Diferensiasi antara drooling anterior dan posterior penting. Mereka mungkin muncul
secara independen atau mungkin bersamaan. Seringkali, informasi klinis seperti
episode berulang, pneumonia, penggunaan antibiotik berulang untuk alasan
respiratori, adanya peradangan penyakit paru-paru kronis, dan kebutuhan signifikan
penggunaan suction digunakan sebagai indikator dari drooling posterior. Pemeriksaan
tambahan antara lain salivagram dan evaluasi fiberoptic endoskopi.

3.3.1 Penilaian klinis

Penegakan beberapa faktor seperti kemungkinan penyebab, keparahan, komplikasi


dan perbaikan, usia dan status mental pasien, masalah yang bersifat kronis, hubungan dengan
kndisi neurologikal, faktor yang berpengaruh, estimasi kuantitas saliva dan dampaknya
terhadap kehidupan pasien.

Berbagai aspek klinis yang terlibat dalam status kesehatan anak dengan CP dapat
mempengaruhi kejadian dan keparahan sialorrhea dan, sebaliknya, tingkat keparahannya bisa
dipengaruhi oleh sialorrhea. Karena itu, saat mengevaluasi sialorrhea, beberapa faktor
seharusnya secara aktif dinilai melalui pengambilan riwayat dan melalui pengamatan dari
anak tersebut (Tabel 9).

Tabel 9. Faktor klinis yang perlu dinilai (Bruno et al, 2016).

54
Pengamatan fisik pasien meliputi pemeriksaan status emosional, status hidrasi, postur
kepala, sedangkan pemeriksaan kavitas oral meliputi ada atau tidaknya sakit pada bibir atau
dagu, masalah pada gigi geligi, kontrol lidah, kemampuan menelan, obstruksi jalan nafas,
penurunan sensitivitas intraoral, penilaian status kesehatan gigi, gusi, mukosa oral, tonsil,
penutupan anatomis kavitas oral, ukuran dan pergerakan lidah, stabilitas rahang. Penilaian
tingkat keparahan dan frekuensi drooling dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Tabel 10).

Tabel 10. Sistem penilaian frekuensi dan keparahan drooling (Ganesh Bavikette et al, 2012)

3.3.2 Metode pengukuran sialorrhea

Sulit untuk mengukur sialorrhea, anak-anak dengan CP harus tidak menyadari bahwa
dirinya sedang diamati dan harus dinilai dalam situasi sehari-hari. Meski begitu, perlu
mengkuantifikasi frekuensi dan tingkat keparahan sialorrhea sebagai dampak terhadap
kualitas hidup. Tingkat keparahan dan dampak sialorrhea bisa dievaluasi melalui metode
objektif atau subjektif.

Metode obyektif meliputi pengukuran aliran saliva dan pengamatan langsung


terhadap kehilangan saliva; beberapa teknik dijelaskan pada tabel. Pengembangan metode
pengukuran langsung (obyektif) untuk sialorrhea anterior masih menjadi tantangan baik di

55
bidang penelitian maupun dalam praktek klinis. Skala subyektif berguna dan merupakan
metode yang tepat untuk mengukur perubahan pada sialorrhea, karena dampaknya pada
keluarga dan pasien itu sendiri.

Skala subyektif seperti Drooling Rating Scale, the Drooling Frequency and Severity
Scale, visual analog scales, and the Drooling Impact Scale diisi oleh pasien atau keluarga,
yang mengekspresikan kualitatif dan kesan kuantitatif tentang tingkat keparahan dan dampak
sialorrhea.

Tabel 11. Metode objektif untuk menilai sialorrhea (Bruno et al, 2016).

3.4 Terapi

Tujuan utama pengobatan sialorrhea adalah mengurangi dampak sosial-afektif dan


kesehatan yang ditimbulkan oleh anterior sialorrhea; penurunan dampak kesehatan yang
disebabkan oleh posterior sialorrhea, peningkatkan kualitas hidup pasien.

Terdapat sejumlah strategi pengobatan tersedia walaupun tidak ada konsensus yang
jelas mengenai mana yang aman dan efektif. Sasaran pengobatan:

1. peningkatan kontrol oromotor sekresi.


2. peningkatan kemampuan mengelola sekresi.
3. pengurangan produksi saliva atau membuat rute baru aliran saliva.

56
Tabel 12. Keuntungan dan kerugian modalitas terapeutik (Bruno et al, 2016).

Bila memungkinkan, pendekatan tim multidisiplin dianjurkan, pengobatan konservatif


sampai perawatan yang lebih invasif hingga terjadi peningkatan kontrol saliva. Kontrol
sialorrhea yang lengkap seringkali tidak memungkinkan. Selain itu, intervensi bedah
mungkin tidak bersifat kuratif.

Pasien dengan persisten drooling saliva dapat disertai dermatitis perioral, cheilitis dan
kadang-kadang mungkin mengalami infeksi jamur. Pada kasus yang parah dari hipersekresi
saliva atau sialorea, keletihan otot juga mungkin timbul akibat penelanan yang kontinyu
karena saliva yang berlebih. Sialorrhea dapat secara fungsional mempengaruhi fonasi dan
persepsi gustatif. Dampak patologis juga harus dipertimbangkan karena disertai hilangnya
cairan, elektrolit, dan protein.

Ada sejumlah alternatif terapeutik, yang pada dasarnya berbeda menurut tingkat
invasif dan ada atau tidaknya medikasi. Strategi yang paling sering digunakan yaitu teknik re-
edukasi fisioterapi dan neuromuskular, terapi farmakologis (obat antikolinergik), terapi
komplementer dan alternatif, terapi invasif minimal, radioterapi, dan therapeutical surgery
(Lihat algoritma Gambar ).

57
Gambar 41. Algoritma managemen sialorrhea (Jaume Miranda-Rius et al, 2015).

3.4.1 Terapi Non-Farmakologis

3.4.1.1 Physiotherapy and neuromuscular re-education techniques

Terapi motorik oral. Ditujukan untuk meningkatkan keterampilan oral seperti


menghisap, penutupan bibir, mobilitas mandibula dan lidah. Terapis bicara memainkan
peran penting dalam evaluasi keterampilan motorik oral yang ada.
Strategi oromotor dan orosensori - Latihan aktif dan pasif serta aplikasi sensorik yang
banyak digunakan oleh dokter, meski belum ada kesepakatan dasar teoritis dan efektivitas
terhadap intervensi ini. Pendekatan ini dapat memakan waktu, namun tidak ada efek
samping yang dilaporkan.
Modifikasi perilaku melalui biofeedback. Teknik biofeedback mengkondisikan pasien
untuk menelan saat mendengar rangsangan melalui pendengaran. Teknik seperti ini belum
diimplementasikan secara praktek klinis.
Strategi perilaku - Beberapa jenis prosedur perilaku terbukti efektif (low level evidence).
Seleksi dan kesuksesan tergantung pada kemampuan pasien untuk mematuhi dan
membutuhkan usaha kontinyu. Tidak ada efek samping yang dilaporkan.

58
Terapi regulasi Oro-facial. Peralatan fungsional digunakan dengan tingkat keberhasilan
yang tinggi. Pada kasus dimana gangguan tersebut tidak sepenuhnya hilang atau
setidaknya berkurang, terapi ini bisa digunakan dengan terapi yang lain.
Oral appliances. Kepatuhan dapat menjadi tantangan dan pernafasan hidung harus
memungkinkan anak memakai alat. Anak-anak dengan gangguan kejang mungkin berisiko
terhadap luka oral.

3.4.1.2 Pengobatan komplementer dan alternatif

Tongue acupuncture techniques. Akupunktur dapat merangsang jaringan syaraf


yang kompleks pada lidah sehingga meningkatkan sekresi saliva dan mekanisme penelanan.
Wong dkk mengamati bahwa pengobatan ini tidak menimbulkan komplikasi, ditoleransi
dengan baik oleh anak-anak, dan benar-benar memperbaiki drooling. Namun teknik ini
sangat bergantung pada keterampilan dan pengalaman praktisi. Akupunktur dapat menjadi
terapi alternatif atau pelengkap bagi anak-anak dengan drooling yang tidak bisa diobati. Studi
longitudinal disertai evaluasi lanjut dan kuantitatif jangka panjang dibutuhkan untuk menilai
validitas teknik ini.

3.4.1.3 Radioterapi

Pemberian radiasi pengion untuk pengobatan sialorrhea, dengan tujuan menurun


sekresi saliva, telah dipelajari oleh Borg et al. Mereka memperingatkan bahwa radioterapi
pada anak-anak harus dihindari karena risikonya dalam merangsang malignansi, pertumbuhan
tertunda, xerostomia, mucositis, kerusakan gigi, dan osteoradionekrosis. Terapi ini mungkin
efektif untuk kelainan spesifik seperti sklerosis lateral amyotrophic, dan Parkinson.

3.4.1.4 Photocoagulation dari duktus saliva.


Konsep laser photocoagulation didasarkan pada kerusakan parsial kelenjar dan oklusi
saluran. Chang et al menggunakan laser Nd: YAG (1064nm) untuk photocoagulation intra-
duktal kedua kelenjar parotid. Dalam penelitiannya terhadap 48 pasien dengan cerebral palsy,
dilaporkan adanya perbaikan signifikan drooling yang berkenaan dengan tingkat keparahan
dan frekuensi. Pasca operasi mereka amati timbulnya pembengkakan pada wajah yang
bersifat sementara pada semua pasien. Komplikasi tehnik adalah timbulnya infeksi, formasi
kistik, dan Hematomas dengan frekuensi yang rendah. Photocoagulation dari duktus kelenjar
submandibular dicadangkan untuk pasien yang mengalami kekambuhan atau untuk mereka
yang memiliki hasil yang tidak memuaskan dari teknik yang telah disebutkan sebelumnya

59
3.4.1.5 Metode pembedahan

Pilihan bedah dalam pengobatan sialorrhea termasuk pembedahan pada kelenjar ludah
dan duktus, dan operasi untuk denervasi kelenjar. Pembedahan untuk denervasi kelenjar
saliva dilakukan melalui telinga tengah, dimana pleksus timpani dan chorda tympani berjalan
sebelum memasuki kelenjar saliva utama. Prosedurnya relatif sederhana dan cepat, dan tidak
memerlukan anestesi umum. Operasi ini memiliki beberapa efek samping, dan pasien
biasanya mengeluh hilangnya rasa. Fungsi saliva kembali dalam enam sampai 18 bulan,
ketika serabut saraf terbentuk kembali.

Pengobatan sialorea yang paling pasti adalah pembedahan pada kelenjar saliva utama
atau untuk meligasi atau membuat rute duktus saliva baru. Prosedur ini biasanya melibatkan
kombinasi ligasi saluran parotid atau membuat rute baru dengan eksisi kelenjar
submandibular atau rute baru duktus. Eksisi kelenjar sublingual disarankan jika duktus
submandibular dialihkan untuk mencegah pembentukan kista retensi saliva.

Pembedahan terhadap pasien sialorrhea merupakan terapi pilihan terakhir dan


direkomendasikan:

Dalam kasus moderat dan persisten dimana terapi konservatif belum berhasil
dilakukan.
Pada kasus yang parah dimana terdapat kegagalan atau hasil yang terbatas dari terapi
konservatif.
Dalam kasus moderat di mana ada perkembangan retardasi kognitif, atau terapi
konservatif tidak berhasil dilakukan karena kurangnya kerja sama pasien.

Pembedahan umumnya diperuntukkan bagi pasien dengan drooling anterior yang


terus-menerus atau gejala terus berlanjut meskipun pengobatan konservatif atau farmakologis
telah dilakukan, dan pasien dengan drooling posterior dengan aspirasi kronis dan / atau
infeksi pernapasan rekuren. Prosedur operasi mungkin termasuk ligasi duktus atau mengubah
rute duktus, eksisi kelenjar sublingual atau submandibular, dan berbagai kombinasi prosedur
ini. Efek samping pembedahan umumnya minimal meliputi xerostomia dan timbulnya infeksi
terhadap luka.

Neurektomi. Pembedahan dari saraf parasimpatis dapat mengurangi aliran saliva.


Saraf plexus timpani dan cord timpani dapat dipotong, unilateral atau bilateral, baik sendiri
atau kombinasi dengan prosedur lain seperti exeresis kelenjar submandibular. Neurektomi
60
timpani cord akan mengurangi tingkat sekresi dari kelenjar sublingual dan submaxillary,
namun, hasil prosedur terbukti tidak signifikan. Kehilangan pendengaran bisa menjadi
komplikasi yang mungkin terjadi selain penurunan kapasitas gustatif pada dua pertiga
anterior lidah. Oleh karena itu, tidak direkomendasikan pada pasien dengan masalah
pendengaran. Hasil jangka panjang dari neurektomi yang terisolasi masih menjadi
kontroversial.

Prosedur pembedahan pada duktus dan kelenjar saliva. Tujuan dari ligatur duktus
adalah untuk mendapatkan atropi kelenjar. Ada beberapa prosedur yang berbeda meliputi
ligatur bilateral duktus kelenjar parotid yang dikombinasikan dengan kelenjar exeresis
submandibular. Tehnik ini terbukti menjadi teknik yang paling sederhana dengan hasil yang
baik (85-86% tingkat keberhasilan) seperti yang ditunjukkan pada total 96 pasien yang
diamati pada tiga studi. Prosedur lain adalah mereposisi saluran kelenjar parotid pada fossa
tonsilar atau pilar tonsil posterior, untuk menginisiasi refleks penelanan bersamaan dengan
Sialoadenektomi bilateral kelenjar submandibular. Reposisi duktus submandibular baik
dilakukan sendiri atau gabungan merupakan prosedur yang umum dengan tingkat
keberhasilan 75% -89%. Keuntungannya meliputi karakteristik fisiologis dan fakta bahwa
teknik ini memberikan sedikit komplikasi.

Tabel 13. Keuntungan dan kerugian terapi bedah pada sialorrhea ( Neil et al, 2004)

61
Gambar 42. Terapi Sialorrhea (Ganesh Bavikatte et al, 2012)

62
Gambar 43. Diagram Perawatan sialorrhea pada pasien cerebral palsy (AACPDM Care
Pathways, 2016).

63
Gambar 44. Diagram perawatan sialorrhea (AACPDM Care Pathways, 2016).

3.4.2 Terapi farmakologi

Antagonis reseptor muskarinik yang menghambat sekresi ludah, seperti Atropin,


Scopolamine (hyoscine), Benzhexol dan Benztropin dan Glycopyrronium Bromida
digunakan untuk mengobati drooling. Meskipun efektif, obat-obatan ini terkadang dikaitkan
dengan efek samping yang merugikan seperti peningkatan kekentalan sekresi saliva yang
berlebihan, retensi urin, konstipasi, sakit kepala, penglihatan kabur dan gangguan perilaku.
Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan masalah jantung, glaukoma, hipertrofi
prostat, ileus paralitik, dan obstruksi pilorus.

64
Sasaran utama intervensi farmakologis hipersalivasi yang diinduksi clozapine adalah
reseptor muskarinik dan adrenergik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reseptor yang
berbeda terletak pada kelenjar saliva, termasuk reseptor dan adrenergik dan muskarinik
yang dapat mempengaruhi aliran saliva. Lokasi aksi potensial untuk intervensi terapeutik
mungkin pada perubahan adrenergik perifer untuk mengesampingkan efek muskarinik sentral
dari clozapine.

Literatur menggambarkan beberapa bentuk manajemen terapeutik, kelebihan dan


kekurangan utama modalitas pengobatan dirangkum dalam tabel 14.

Tabel 14. Pengobatan Farmakologis (Bruno et al, 2016).

3.4.2.1 Agen antimuscarinic

1. Amitriptyline.
Amitriptyline adalah antidepresan trisiklik yang merupakan antagonis reseptor muskarinik
baik secara sentral maupun perifer. Efeknya dalam mengobati hipersalivasi yang diinduksi

65
clozapine berasal dari publikasi British Journal of Psychiatry. Empat pasien dengan
hipersalivasi yang diinduksi clozapine diberi Amitriptyline 87-100 mg untuk jangka waktu
tertentu dan menghasilkan perbaikan hipersalivasi atau penghentian total.
2. Pirenzepin
Pirenzepin adalah antagonis reseptor muskarinik yang menunjukkan afinitas pengikatan
tertinggi untuk reseptor M1 dan aplikasi utamanya adalah untuk pengobatan tukak
lambung jinak. Obat ini menunjukkan sedikit atau tidak ada afinitas terhadap reseptor ,
dan memiliki penetrasi sistem saraf pusat yang buruk (CNS). Efek samping yang lebih
umum termasuk mulut kering dan penglihatan kabur. Bukti untuk keampuhan klinisnya
berasal dari publikasi Lancet yang melaporkan 120 pasien dengan hipersalivasi karena
diinduksi clozapine, diobati dengan pirenzepin 25-100 mg. Mereka melaporkan bahwa
pirenzepin berhasil dalam pengobatan hipersalivasui. Efek samping yang dilaporkan hanya
diare ringan.
3. Benzheksol (triheksifenidil).
Benzhexol adalah antagonis kompetitif acetylcholine non-selektif pada reseptor
muskarinik dan memiliki penetrasi yang baik pada SSP. Obat ini paling sering digunakan
dalam terapi adjunctive penyakit Parkinson. Efek samping yang umum termasuk mulut
kering, penglihatan kabur dan menimbulkan rasa bingung pada pasien. Bukti efektifitas
obat ini sebagai pengobatan untuk hipersalivasi yang diinduksi clozapine berasal dari satu
penelitian, dimana empat belas pasien dengan skizofrenia kronis, yang menunjukkan
hipersalivasi nokturnal selama pengobatan clozapine, diberikan dietinzoloksin 5-15 mg
pada malam hari selama 15 hari. Respon diukur dengan menggunakan skala penilaian
subyektif dan ditemukan peningkatan 44% pada pasien tersebut.
4. Benzatropin.
Benzatropin adalah antagonis kompetitif acetylcholine non-selektif pada reseptor
muskarinik, seperti benzhexol, aplikasi utamanya adalah sebagai tambahan dalam
pengobatan penyakit Parkinson. Obat ini dapat ditoleransi dengan baik, meskipun efek
samping seperti penglihatan kabur, mulut kering dan kebingungan mungkin terjadi. Bukti
terhadap efektifitas dalam pengobatan hipersalivasi clozapine juga berasal dari penelitian
tunggal, dimana lima belas pasien dengan skizofrenia kronis, dan hipersalivasi yang
diinduksi clozapine, diobati dengan benzatropin 1 mg dua kali sehari selama 12 minggu
dan dengan menggunakan laporan subjektif, ditemukan penurunan yang memuaskan
terhadap hipersalivasi pada 66% pasien.
5. Atropin.

66
Atropin adalah antagonis kompetitif acetylcholine non-selektif pada reseptor muskarinik.
Efek samping yang umum adalah mulut kering dan penglihatan kabur. Antonello (1999)
menggambarkan tiga pasien yang diobati dengan atropin untuk hipersalivasi yang
diinduksi clozapine. Pasien diberi satu tetes larutan atropin 1% secara sublingual pada
waktu tidur, pasien melaporkan penyembuhan yang cepat terhadap hipersalivation.
Atropin bila diberikan secara sublingual memiliki efek untuk mengurangi drooling.
Pelepasan sublingual memiliki banyak keuntungan berhubungan dengan administrasi via
parenteral. Atropin tidak mahal, tidak memerlukan keahlian khusus dalam
administrasinya, dan memiliki efek reversibel. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan kognitif, demensia, dan halusinasi
6. Hyoscine hydrobromide.
Hyoscine adalah antagonis kompetitif asetilkolin pada ujung saraf parasimpatik
postganglionik. Penggunaan utamanya adalah dalam pengobatan motion sickness dan
sebagai premedikasi. Tidak ada publikasi yang mendukung efektifitasnya dalam
pengobatan hipersalivasi clozapine.
7. Ipratropium bromida.
Obat ini adalah antagonis muskarinik non selektif, yang paling umum digunakan sebagai
bronkodilator dalam pengobatan penyakit asma dan penyakit saluran pernafasan kronis.
Sebuah studi tunggal menggunakan ipratropium bromida intranasal pada 10 pasien dengan
hipersalivasi yang diinduksi clozapine yang gagal berespon terhadap benzatropin atau
klonidin. Dengan menggunakan rute intranasal diharapkan dapat meminimalkan absorbsi
sistemik antikolinergik dan efek sampingnya. Ini merupakan percobaan non-komparatif
tanpa kelompok kontrol. Dengan menggunakan skala penilaian hipersalivation lima poin
mereka menemukan pada awalnya bahwa delapan pasien melaporkan adanya peningkatan
awal dengan efek samping minimal. Namun, setelah 6 bulan dua pasien keluar dari
penelitian dan dua melaporkan tidak ada perbaikan berkelanjutan. Enam pasien lainnya
melaporkan peningkatan yang signifikan secara statistik.
8. Scopolamine
Scopolamine diaplikasikan melalui Patch transdermal (Scopoderm) untuk terapi nausea
terkait motion sickness. Efek yang paling tidak diinginkan adalah mulut kering.
Scopolamine telah dievaluasi pada pasien drooling yang diberi obat Clozapine, menderita
lesi serebral, serebral palsi, atau reseksi orofaringeal. Absorbsi skopolamin via
nebulization lebih baik, dan dosis 800 g diberikan dua / tiga kali sehari telah dilaporkan
efektif dan tanpa menimbulkan efek samping.

67
3.4.2.2 Agen Agonis adrenoseptor

1. Clonidine
Clonidine adalah agonis parsial pada adrenoseptor adrenoseptor baik di dalam SSP
maupun pada perifer. Obat ini lebih spesifik untuk reseptor 2 daripada 1. Penggunaan
utamanya sebagai agen hipotensi. Meskipun jarang dengan dosis kurang dari 1 mg
sehari, terdapat withdrawal syndrome terkait dengan penghentian pengobatan klonidin
dengan efek hipertensi yang cepat. Efek samping yang lebih umum adalah sedasi, mulut
kering, bradikardia dan dermatitis kontak. Patch Clonidine 0,1 mg sekali seminggu
diberikan pada empat pasien dengan hipersalivasi yang diinduksi clozapine. Penulis
melaporkan perbaikan berkelanjutan pada dua pasien, perbaikan yang terbatas dan
singkat pada pasien lain dan tidak ada perbaikan pada pasien keempat.
2. Lofexidine.
Lofexidine adalah agonis 2 yang hanya dilisensikan di Inggris untuk pengobatan jangka
pendek dari opiate withdrawal symptoms. Sebuah kasus tunggal dilaporkan dimana
pasien dengan hipersalivasi yang diinduksi clozapine diberi lofeksidin 0,2 mg dua kali
sehari selama periode waktu tertentu. Pasien menunjukkan peningkatan yang signifikan
terhadap hipersalivasi. Namun, lofeksidin tidak bisa digunakan dalam jangka panjang
tanpa adanya risiko terkena depresi atau eksaserbasi psikosis.

3.4.2.3 Agen Antagonis adrenoseptor

1. Terazosin
Terazosin adalah antagonis reseptor 1. Aplikasi utamanya adalah dalam pengobatan
hipertensi ringan sampai sedang. Efek samping utama yang terkait dengan terazosin
adalah hipotensi pada dosis awal. Ada satu studi yang mengukur efektifitas terazosin, yang
merupakan percobaan non-acak yang membandingkan terazosin dan benzatropin dan
keduanya digabungkan. Ada 15 pasien pada masing-masing kelompok. Kelompok
terazosin hanya menerima 2 mg pada malam hari selama 12 minggu. Ditemukan bahwa
pada 12 minggu 93% pasien melaporkan penghentian hipersalivasi. Sebaliknya, kelompok
benzatropin hanya melaporkan penghentian 66%. Pada kelompok gabungan dimana
subjek menerima 2 mg terazosin dan benzatropin 1 mg dua kali sehari, ada penghentian
hipersalivasi 100%.

68
3.4.2.4 Metode minimal invasif
Injeksi toksin botulinum (BoNT). Xerostomia merupakan salah satu tanda awal dari
botulisme. Suntikan toksin botulinum serotipe A menyebabkan penghambatan transmisi
neuromuskular dengan membloking pelepasan neurotransmiter asetilkolin. Studi melaporkan
bahwa pasien yang diobati dengan injeksi toksin botulinum mengalami perbaikan, baik
setelah dilakukan suntikan pada kelenjar parotis maupun kombinasi pada submandibular.
Percobaan yang dilakukan oleh Lipp et al menyimpulkan bahwa dosis yang lebih besar
semakin mengurangi saliva, bagaimanapun dosis optimum belum ditetapkan. Botulinum
toksin serotipe B menyajikan sifat farmakologis yang berbeda, bagaimanapun,
administrasinya telah terbukti berhasil dalam penurunan drooling saliva pada pasien
Parkinson.
Injeksi Intraglandular toksin Botulinum yang dsuntikan ke kelenjar submandibular
atau parotis dilakukan bila respon terhadap pengobatan anti-kolinergik tidak adekuat. Injeksi
bisa efektif tapi perlu diulang secara teratur, dengan interval 6 bulan, dan responsifitas
mungkin berkurang seiring berjalannya waktu. Toksin Botulinum paling sering disuntikkan
menggunakan bantuan panduan ultrasound. Efek samping meliputi iritasi pada tempat
suntikan, nyeri, hematoma, dry mouth, sekresi mengental, atau masalah dengan pengunyahan
dan penelanan karena difusi ke otot-otot sekitarnya sehingga meningkatkan risiko aspirasi.
Efek toksin Botulinum terhadap saliva pertama kali dicatat pada pasien Parkinson
Disease. BoNT, memiliki potensi neurotoksin yang menghambat pelepasan asetilkolin dan
sejumlah neurotransmitter lainnya pada vesikula sinaptik. Saat ini, ada tiga jenis toksin A
yaitu OnabotulinumtoxinA (A / Ona), AbobotulinumtoxinA (A / Abo), IncobotulinumtoxinA
(A / Inco), dan satu jenis toksin B yaitu RimabotulinumtoxinB (B / Rima) yang disetujui
untuk digunakan.
Suntikan BoNT diberikan pada kelenjar parotis dan submandibular, karena kelenjar
tersebut merupakan kelenjar yang terbesar dan merupakan kontributor produksi saliva. Saraf
wajah yang penting untuk ekspresi wajah, sangat dekat dengan kelenjar parotis, sehingga
penyuntikan harus dilakukan secara hari-hati untuk menghindari syaraf ini (Gambar 45, 46,
47), anestesi lokal dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit suntikan.

69
Gambar 45. Lokasi penyuntikan kelenjar parotis. Penelitian Lagalla dkk menyuntikkan ke
dalam kelenjar parotis (x hitam). Banyak dari penelitan menggunakan pendekatan
yang sama, hanya menyuntikkan 2 tempat pada kelenjar parotis. Terdapat sembilan
tempat berbeda dan telah memodifikasi figur untuk menggambarkan hal ini dengan
izin dari Springer. (Amanda Amrita Lakraj et al 2013)

Gambar 46. Lokasi saraf wajah yang berhubungan dengan kelenjar parotis. Penting untuk
dicatat lokasi anatomis saraf wajah yang berkaitan dengan kelenjar parotis agar
terhindar dari cedera saraf fungsional. (Amanda Amrita Lakraj et al 2013).

Gambar 47. Landmark injeksi Kelenjar Parotis dan Submandibula (Prachaya


Srivanitchapoom et al, 2014).

70
Keterbatasan teknik ini adalah variabilitas dari teknik injeksi. Sebuah makalah review
baru-baru ini menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi difusi dan penyebaran BoNT
meliputi dosis, konsentrasi dan volume injeksi, jumlah suntikan, tempat injeksi, laju injeksi,
ukuran jarum, dan jarak ujung jarum dari persimpangan neuromuskular. Dosis optimal dan
konsentrasi pengenceran (1: 1, 2: 1, 4: 1) masih perlu diteliti lebih lanjut.
Dalam efek durasi, satu studi menyarankan durasi hingga enam bulan, sedangkan
yang lainnya melaporkan tiga bulan. Untuk lokasi injeksi, penelitian dipusatkan pada
penyuntikan ke kelenjar ludah (parotis dan submandibular). Hanya satu studi yang membahas
injeksi langsung ke kelenjar sublingual di bawah lidah dengan BoNT-B yang menyebabkan
terjadinya disfagia pada dua dari empat pasien tanpa perbaikan sialorea.

3.4.3 Strategi lainnya

Penurunan dosis clozapine dan penggunaan permen tanpa gula atau permen karet
untuk meningkatkan reaksi penelanan juga telah digunakan dalam praktek untuk membantu
mengurangi hipersalivasi. Penghindaran titrasi cepat saat memulai clozapine dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya hipersalivation. Meskipun strategi ini mungkin
bermanfaat bagi intervensi farmakologis, namun strategi ini mungkin belum terbukti
memadai.

Semua strategi yang telah dipaparkan mungkin sesuai untuk drooling anterior, strategi
oromotor dan orosensori, strategi perilaku, dan peralatan oromotor tidak disarankan untuk
drooling posterior. Relokasi duktus merupakan kontraindikasi untuk drooling posterior.

71
BAB IV

KESIMPULAN

Saliva dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva mayor (parotid, submandibular, dan
sublingual) serta sejumlah kelenjar saliva minor, dan cairan dari eksudat ginggiva.Sekresi
normal saliva sehari berkisar 800 1500 ml. Saliva pada manusia terdiri atas sekresi kelenjar
parotis (25%), submandibularis (70%), dan sublingualis (5%).

Sialorrhea atau ptyalism merupakan kondisi dimana aliran saliva berlebihan yang
seringkali menjadi keluhan bagi pasien. Sialore terjadi dengan kondisi peningkatan sekresi
saliva dan mengganggu perjalanan saliva dari kerongkongan ke dalam perut. Akibatnya,
esofagus terus dialiri oleh aliran saliva saat masuk ke dalam perut

Perubahan kuantitatif sekresi saliva sering terjadi dalam praktik klinis. Prevalensi dan
efek negatifnya berdampak pada kualitas hidup pasien. Saat ini, ada banyak obat-obatan yang
memiliki efek yang tidak diinginkan termasuk diantaranya berefek pada kelainan saliva.
Farmakologi sebagian besar zat yang digunakan untuk pengobatan gangguan saliva ini telah
diketahui. Meski demikian, dalam beberapa kasus, tergantung pada kelenjar parenkim yang
terkena, tidak menimbulkan peningkatan fungsi saliva yang signifikan.

Tujuan utama pengobatan sialorrhea adalah mengurangi dampak sosial-afektif dan


kesehatan yang ditimbulkan oleh anterior sialorrhea; penurunan dampak kesehatan yang
disebabkan oleh posterior sialorrhea, peningkatkan kualitas hidup pasien.

Terdapat sejumlah strategi pengobatan tersedia walaupun tidak ada konsensus yang
jelas mengenai mana yang aman dan efektif. Sasaran pengobatan:

peningkatan kontrol oromotor sekresi.


peningkatan kemampuan mengelola sekresi.
pengurangan produksi saliva atau membuat rute baru aliran saliva.

72
DAFTAR PUSTAKA

1. Adrian Cree, Shameem Mir, Thomas Fahy. A review of the treatment options for
clozapine-induced hypersalivation. Psychiatric bulletin 25; 114-116. 2001.
2. Antonio Nanci Ten cates Oral Histology Development, Structure and Function, 8 th
Edition,2008)
3. Amanda Amrita Lakraj, Narges Moghimi and Bahman Jabbari. Sialorrhea: Anatomy,
Pathophysiology and Treatment with Emphasis on the Role of Botulinum Toxins. toxins
ISSN 2072-6651. www.mdpi.com/journal/toxins. 2013
4. American academy for cerebral palsy and developmental medicine. AACPDM Care
Pathways. September 2016.
5. Arey Leslie Brainerd, Ph.D.,LL.D., Human Histology a textbook in outline from W.B.
Saunders Company, Third edition Philadelphia. London, Toronto 1968. Regina dan Nahak
M Maria, Dasar-Dasar Imlu Pencabutan Gigi. Akademi Kesehatan Gigi Denpasar.
6. Bailoor ND, Nagesh KS: Fundamentals of Oral Medicine and Radiology, Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd New Delhi, 2005
7. Bruno Leonardo Scofano Diasa,, Alexandre Ribeiro Fernandesb e Heber de Souza Maia
Filho. Sialorrhea in children with cerebral palsy. Journal de pediatria. 2016.
8. Carlson R. Eric, Ord A. Robert : Textbook And Color Atlas Of Salivary Gland Pathology
Diagnosis And Management, John Wiley & Sons, Inc., Publication, 2008
9. DeLong, Leslie. : General and oral pathology for the dental hygienist. 2nd ed, 2013
Wolters Health, 2013.
10. Dunlapand C, Barker B : A Guide to common Oral Lesions, Department Of Oral And
Maxillofacial Pathology Umkc School Of Dentistry 2010 (Page 38)
11. Delong,L., Burkhart N.W., : General And Oral Pathology. Philadelphia:Wolter Kluwert
Bussines. 2008
12. Eugene N. Myers Robert L. Ferris : Salivary Gland Disorders. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg 2007
13. FA Mustafa, A Khan, J Burke , M Cox, S Sherif. Sublingual atropine for the treatment of
severe and hyoscine-resistant clozapine-induced sialorrhea. Afr J Psychiatry. 2013.
14. Ganesh Bavikatte, Poh Lin Sit, Ali Hassoon. Management of drooling saliva. British
kournal of medicine practitioners. Volume 5, number 1 a 507. March 2012.
15. Ghom AG, Lodam : Textbook of Oral Medicine, third edition, Jaypee, 2014

73
16. Ghom A.Govindrao : Textbook of Oral Medicine, Jaypee, 2010
17. Greenberg SM,Glick M, Ship,AJ : Burkets Oral Medicine, Hamilton, 2008
18. Gitta Madani, Timothy Beale, Inflammatory Conditions of the Salivary Glands, Semin
Ultrasound CT MRI : 27:440-451 2006 Elsevier Inc
19. Giuseppe Colella , Rosangela Cannavale , Antonio Vicidomini, Angelo Itro : Salivary
gland biopsy : a comprehensive review of techniques and related complications,
Journal of Rheumatology 2010;49:21172121.
20. Haskell R and Gayford J.J , Penyakit Mulut. Jakarta:1991
21. H Ben-Aryeh, T Jungerman, R Szargel, E Klein, D Laufer. Salivary flow rate and
composition Schizoprenia Patients on clozapine : Subjective reports and laboratory data.
Biological Psychiatry. 1996.
22. Hassan A.Mutaz : Salivary gland structure and function, Faculty of Dentistry, Najran
University, 2007
23. Jaume Miranda-Rius, Llus Brunet-Llobet, Eduard Lahor-Soler, Mag Farr. Salivary
Secretory Disorders, Inducing Drugs, and Clinical Management. International Journal of
Medical Sciences 12(10): 811-824. 2015.
24. Kahn, AM, Hall MJ: Guide to Soft Tissue Oral Disease, Willey Backwell, 2014.
25. Lamont, Richard J., et. al., 2010, Oral Microbiology at a Glance, Blackwell Publishing,
United Kingdom
26. Lewis.AM, Jordan : A Color handbook Oral Medicine, Manson, 2012
27. NEIL G. HOCKSTEIN, DANIEL S. SAMADI, M.D., KRISTIN GENDRON, M.D.,
STEVEN D. HANDLER, M.D. Sialorrhea: A Management Challenge. American
Academy of Family Physicians. VOLUME 69, NUMBER 11. JUNE 1, 2004.
28. Kristin Scott MD, Robert Shannon MD FAAHPM, Alva Roche-Green MD. FAST
FACTS AND CONCEPTS #299 MANAGEMENT OF SIALORRHEA IN ALS. 2015.
29. Myers, Eugene N., et. al., 2007, Salivary Gland Disorders, Springer Berlin Heidelberg,
New York
30. Malathi Narasimhan, Sabesan Mythili, Hannah R. Vasanthi : Salivary Diagnostics: A
Brief Review, Volume 2014, Article ID 158786,8
pageshttp://dx.doi.org/10.1155/2014/158786 Hindawi Publishing Corporation ISRN
Dentistry.
31. Mota-Ramrez A, Silvestre FJ, Sim JM.: Oral biopsy in dental practice. Med Oral Patol
Oral Cir Bucal. 2007 Nov 1;12(7):E504-10.

74
32. Michael R. Bakheet, M.D. SIALORRHEA: AN OFTEN UNRECOGNIZED SIGN OF
ESOPHAGEAL DISEASE. Volume 15 number 1. Juni 2003.
33. Ongole, Praveen : Textbook of Oral Medicine, Oral Diagnosis and Oral Radiology,
second edition, Elsivier, 2013
34. Prachaya Srivanitchapoom, Sanjay Pandey, Mark Hallett. Drooling in Parkinson's
disease: A review. Parkinsonism and Related Disorders 20,1109-1118. 2014.
35. Richard J Mier MD, Steven J Bachrach MD, Ryan C Lakin, Tara Barker BS, Judith
Childs PhD, Maria Moran MS. Treatment of sialorrhea with glycopyrolate. Arch Pediatr
Adolesc Med 154:1214-1218. 2000.
36. Roth Gerald I and Camles Robert, Oral Biology.The C. V. Mosby Company. Chapter
8:196-213 , 1981.
37. Robert P.L, Craigg S.Miller, Jill S.Nield : Atlas berwarna Lesi Mulut yang Sering
Terjadi, edisi 4, EGC, 2014
38. Scully C, Almeida P.de Oslei, Bagan Jose,Dios PD, Taylor AM : Oral Medicine and
Pathology at a Glance, edition first published, Blackwell Publishing Ltd, 2010
39. Silvia Chiappin , Giorgia Antonelli, Rosalba Gatti, Elio F. De Palo : Saliva specimen: A
new laboratory tool for diagnostic and basic investigation Clinica Chimica Acta 383
(2007) 3040 www.elsevier.com/locate/clinchim
40. Shantala Arunkumar, Arunkumar. J S, Krishna N Burde, Shakunthala G K Developments
in diagnostic applications of saliva in oral and systemic diseases- A comprehensive
review : Journal of Scientific and Innovative Research 2014; 3(3): 372-387, Available
online at: www.jsirjournal.
41. Space Sarah J. LaPorte, Jaspal K. Juttla, Ravi K. Lingam : Imaging the Floor of the
Mouth and the Sublingual. 2011 Radiographics.rsna.org
42. Sunil R Panat, Nupur Agarwal, Mallika Kishore, Abhijeet Alok Sialochemistry An
Emerging Oral Diagnostic Tool, Journal of Dental Sciences & Oral Rehabilitation Oct
- Dec 2013.
43. Scully, C. : Oral And Maxillofacial Medicine. 2nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone.
2008
44. Tucker A.S., I. Miletich : Salivary glands, development, adaptations, and disease ,
Karger- London, 2010 page 4-6, 9-12
45. Tina Pfaffe, Justin Cooper-White,Peter Beyerlein, Karam Kostner, Chamindie
Punyadeera : Diagnostic Potential of Saliva: Current State and Future Applications.
Clinical Chemistry 57:5 675687 2011.

75
46. Van Nieuw Amorangen,A 1991. Ludah dan kelenjar Ludah ARTI BAGI KESEHATAN
GIGI.Gadjah Mada university Pess : Yogyakarta-Indonesia
47. Vidhi Vinayak, Rajeshwari G. Annigeri1, Hashikesh A. Patel2, Sachin Mittal. Adverse
affects of drugs on saliva and salivary glands. Journal of Orofacial Sciences 15 Vol. 5
Issue 1. January 2013.
48. Wong T.David : Salivary diagnostics, first published Wiley-Blackwell, 2008
49. Zhang Yong, Sun Jie, Chung C.Lin, Elliot Abemayor, Marilene B Wang, Wong David
TW : The Emerging Landscape of Salivary Diagnostics OHDM - Vol. 13 - No. 2 - June,
2014
50.
http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/digestion/pregastric/salivary.html

http://www.fpnotebook.com/ENT59.htm

http://en.wikipedia.org/wiki/Saliva#Role_in_emesis

76

Anda mungkin juga menyukai