Anda di halaman 1dari 11

1

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BROTOWALI (Tinospora crispa)


DENGAN PERMETHRIN SEBAGAI TERAPI SKABIES
DI PONDOK PESANTREN AL IKHSAN KEDUNG BANTENG
BANYUMAS

Naskah Publikasi

Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar


Sarjana Kedokteran pada Jurusan Kedokteran Umum
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Oleh :
Fadilla Ayuningtias
G1A008123

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2012
2

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BROTOWALI (Tinospora crispa)


DENGAN PERMETHRIN SEBAGAI TERAPI SKABIES
DI PONDOK PESANTREN AL IKHSAN KEDUNG BANTENG
BANYUMAS

Fadilla Ayuningtias*; Ismiralda Oke Putranti**; Lieza Dwianasari***


ABSTRAK

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei
varian hominis beserta produknya. Alternatif terapi skabies selain dengan menggunakan
permethrin yaitu dengan menggunakan brotowali. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbandingan brotowali (Tinospora crispa) dengan permethrin sebagai
terapi skabies di Pondok Pesantren Al-Ikhsan, Kedung Banteng, Banyumas. Penelitian
ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan pre and post test design.
Evaluasi secara objektif yaitu penilaian dokter spesialis kulit dan kelamin serta
perbandingan skor lesi skabies sebelum dan sesudah terapi (cure rate 40%). Brotowali
diaplikasikan secara topikal selama 3 hari dengan kadar 75%. Sedangkan untuk
permethrin 5% diberikan dengan single dose yaitu pada hari pertama. Perbandingan
evaluasi didapatkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara efektivitas brotowali
dengan permethrin (p=0,228). Hasil penelitian menunjukkan brotowali (Tinospora
crispa) dan permethrin sama efektif sebagai terapi skabies.

Kata kunci : brotowali, permethrin, skabies

* Mahasiswa Jurusan Kedokteran. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan


Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
** Dosen Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Jurusan Kedokteran Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
*** Dosen Bagian Parasitologi Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
3

EFFICACY COMPARISON OF BROTOWALI (Tinospora crispa)


WITH PERMETHRIN AS THERAPY OF SCABIES
IN AL IKHSAN BOARDING SCHOOL KEDUNG BANTENG BANYUMAS

Fadilla Ayuningtias*; Ismiralda Oke Putranti**; Lieza Dwianasari***


ABSTRACT

Scabies is a skin disease caused by a mite Sarcoptes scabiei hominis variants


and its products. Alternative therapies in addition to the use of permethrin scabies is by
using brotowali (Tinospora crispa). The aim of this study is to know efficacy
comparison of brotowali with permethrin as therapy of scabies in al ikhsan boarding
school kedung banteng banyumas. This study design was experimental with pre and
post test design. An objective evaluation by dermatologist is assesment and comparison
scores scabies lesions before and after therapy (cure rate 40%). Brotowali 75%
applied topically for 3 days. While permethrin 5% was given single dose on the first
day. Comparative evaluation resulted no significant differences between efficacy of
brotowali with permethrin (p=0.228). The results showed brotowali (Tinospora crispa)
as effective as permethrin in treating of scabies.

Keywords : brotowali, permethrin, scabies

* Medical Student of Medical School of Medical and Sciences Faculty, Jenderal


Soedirman University Purwokerto
** Departement of Dermatology, Medical School of Medical and Sciences Faculty,
Jenderal Soedirman University Purwokerto
*** Departemet of Parasitology, Medical School of Medical and Sciences Faculty,
Jenderal Soedirman University Purwokerto
4

PENDAHULUAN
Skabies adalah penyakit infeksi pada kulit yang disebabkan tungau Sarcoptes

scabiei varian hominis beserta produknya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia

(Depkes RI), 2007). Ditandai keluhan gatal hebat, terutama pada malam hari. Skabies

ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung seperti melalui bekas alas tidur

atau pakaian (Kenneth, 2008). Setiap tahun, terdapat 300 juta kasus skabies di seluruh

dunia. Skabies masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia, termasuk Indonesia

(Departemen Kesehatan (Depkes), 2008). Di Indonesia, prevalensi skabies 6% - 27% dari

populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta dewasa muda (remaja)

(Sungkar, 2008). Mutiarati (2009) melaporkan bahwa prevalensi skabies sekitar 12% di

salah satu pondok pesantren di Purwokerto Utara, Banyumas. Studi pendahuluan di

Pondok Pesantren Al Ikhsan Kedung Banteng, Banyumas melaporkan adanya kejadian

skabies di daerah tersebut..

Terapi skabies menurut WHO melalui Food and Drug Administration (FDA)

adalah permethrin cream 5%, benzyl benzoate lotion 25%, sulfur ointment 10%,

crotamiton cream 10%, dan lindane lotion 1% (CDC, 2010). Namun, masih memiliki

kekurangan seperti efek toksik dan harga relatif mahal (James, 2011). Selain itu efek

samping dari terapi skabies dapat mengakibatkan gangguan sistem saraf, meracuni otak,

menimbulkan efek teratogenik, alergi, diare, kejang, iritasi kulit dan idiosyncratic aplastic

anemia. Selain itu di beberapa daerah pernah dilaporkan adanya resistensi terhadap terapi

skabies (Brown, Savin dan Milner 2004; Stoppler, 2011).

Brotowali tanaman obat keluarga, masyarakat Indonesia (Santoso, 2011). Brotowali

mudah didapatkan, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif terapi skabies

(Widyaningrum, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin membuktikan

efektivitas batang brotowali (Tinospora crispa) sebagai terapi skabies di Pondok Pesantren

Al - Ikhsan, Kedung Banteng, Banyumas.


5

Tujuan penelitian adalah Mengetahui perbandingan efektivitas brotowali

(Tinospora crispa) dengan permethrin sebagai terapi skabies di Pondok Pesantren Al

Ikhsan, Kedung Banteng, Banyumas.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Al-Ihksan, Kedung Banteng,Banyumas.
pada tanggal 29 Maret 2012 sampai dengan 7 Maret 2012. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah eksperimental with pre and postest design. Subjek penelitian ini adalah
santriwan dan santriwati di Pondok Pesantren Al-Ikhsan, Kedung Banteng, Banyumas dan
memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi yaitu bermukim di Pondok Pesantren Al-Ikhsan,
terdiagnosis skabies berdasarkan diagnosis dokter spesialis kulit dan kelamin, dan bersedia
mendapatkan terapi brotowali ataupun permethrin. Kriteria eksklusi meliputi terdiagnosis
skabies namun memiliki penyakit kulit lain, memiliki infeksi kulit sekunder, dan
mendapatkan terapi skabies kurang dari 1 minggu. Subjek penelitian berjumlah 41 orang
serta dipilih dengan cara consecutive random block sampling. Variabel terikat yaitu
skabies. Variabel bebas, terdiri dari brotowali dan permethrin.
Analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis
univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran masing-masing variabel dengan
menggunakan tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan
Chi Square. Hubungan antarvariabel dikatakan bermakna (hipotesis nol diterima) jika nilai
p lebih dari 0,05. Analisis dibantu dengan SPSS versi 16.0.

HASIL
Penelitian tentang perbandingan efektivitas brotowali (Tinospora crispa) dengan
permethrin sebagai terapi skabies di Pondok Pesantren Al-Ikhsan, Kedung Banteng,
Banyumas di lakukan selama 7 hari (1 siklus) dan diperoleh responden sebanyak 41 orang.
17 orang di terapi dengan permethrin dan 24 orang diterapi dengan brotowali.
Analisis variabel dalam penelitian ini menggunakan Chi square untuk melihat
perbandingan efektivitas brotowali dan permethrin. Dari hasil tersebut menunjukkan
bahwa nilai p > 0,05 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan
signifikan antara efektivitas brotowali (Tinospora crispa) dengan permethrin (p =0,228).
6

Tabel 1. Analisis Variabel Utama

Variabel Penelitian Kelompok


Brotowali Permethrin
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 (50%) 11 (64,7%)
Perempuan 12 (50%) 6 (35,3%)
Kelompok usia
9-11 0 (0%) 4 (23,5%)
12-14 15 (62,5%) 11 (64,7%)
15-17 9 (37,5%) 2 (11,8%)
Skor Rata-rata
Sebelum Terapi 11,9 16,8
Sesudah Terapi 7 8,1
Total 24 (100%) 17 (100%)

Berdasarkan table 1. distribusi partisipan penelitian menurut jenis kelamin pada

kedua terapi tidak jauh berbeda bahkan jumlahnya sama untuk terapi brotowali yaitu

masing-masing 12 untuk laki-laki dan perempuan. Untuk permethrin laki-laki berjumlah

11 orang dan 6 orang perempuan. Distribusi partisipan menurut usia, terbatas pada usia

9-17 tahun. Usia partisipan terkecil adalah 9 tahun dan usia partisipan terbesar adalah

17 tahun. Dilihat dari skor rata-rata untuk brotowali sebelum terapi adalah 11,9 dan rata-

rata skor setelah terapi adalah 7. Untuk terapi permethrin skor rata-rata sebelum terapi

adalah 16,8 dan rata-rata skor sesudah terapi adalah 8,1. Skor sebelum dan sesudah

terapi dinilai berdasarkan borang pemeriksaan dermatologi lesi skabies yang diisi oleh

dokter spesialis kulit dan kelamin.

Tabel 2. Analisis Perbandingan Efektivitas Brotowali (Tinospora crispa) dengan


Permethrin

Terapi Evaluasi P cc
Efektif Tidak
efektif
Brotowali 13 11 0,228 0,383
Permethrin 13 4
7

Perbandingan efektifitas brotowali dengan permethrin sebagai terapi skabies

diuji dengan menggunakan uji Chi-Square. Setelah dilakukan pengujiannya, data

memenuhi syarat uji Chi-Square karena tidak terdapat sel yang expected count < 5,

sehingga digunakan uji Chi-Square untuk menganalisis tabel 2 x 2. Dan didapatkan

nilai p=0,228.

PEMBAHASAN
Angka kejadian skabies pada penelitian ini menunjukan bahwa angka

kejadiannya masih cukup tinggi yakni 20,47%. Hal ini sesuai dengan prevalensi skabies

yang terjadi di negara berkembang. Menurut sungkar (2008) melaporkan bahwa

prevalensi skabies di negara berkembang seperti di Indonesia berkisar 6%-27%.

Sedangkan menurut Mutiarati (2009) melaporkan bahwa prevalensi skabies di pondok

pesantren Al-Hidayah Purwokerto Utara Banyumas sebanyak 12%.


Perbedaan prevalensi skabies dengan penelitian Mutiarati (2009) terjadi karena

berbagai faktor salah satunya adalah kondisi lingkungan pondok pesantren. Meskipun

kedua pondok pesantren ini berada di wilayah yang sama namun keduanya memiliki

perbedaan. Pondok Pesantren Al-Hidayah sudah berlantai keramik, memiliki ventilasi

yang cukup baik pada tiap kamar yang digunakan sebagai tempat bermukim, sumber air

berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan sudah memiliki fasilitas

kesehatan seperti adanya Unit Kesehatan Pondok Pesantren (Mutiarati, 2009).

Sedangkan Pondok Pesantren Al-Ikhsan dilihat dari segi bangunan belum menggunakan

keramik, masih menggunakan tegel. Ventilasi pada tiap kamar untuk bermukim belum

begitu baik, sumber air yang digunakan masih berasal dari sumur dan belum memiliki

fasilitas kesehatan.
Penelitian ini secara statistik menunjukan tidak adanya perbedaan efektivitas

antara brotowali dengan permethrin sebagai terapi skabies yang signifikan nilai p =

0,228. Secara statistik di lakukan uji Chi-Square untuk membandingkan efektivitas


8

brotowali dan permethrin sebagai terapi skabies, dan di dapatkan nilai p = 0,228 yang

lebih tinggi dari nilai yaitu 0,05 sehingga hipotesis nol diterima yakni Brotowali

(Tinospora crispa) memiliki efektivitas yang sama dengan Permethrin sebagai terapi

skabies di Pondok Pesantren Al Ikhsan, Kedung Banteng, Banyumas.


Hal ini dikatakan bahwa 100 gram batang brotowali yang di berikan dalam 3

hari pemakaian memiliki kemampuan antiparasit yang hampir sama dengan permethrin

5% yang di berikan dalam 1 kali pemakaian. Dengan efektivitas masing-masing sebesar

54,17% untuk brotowali dan 76,47% untuk permethrin. Efektivitas brotowali 54,17%

berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Salazar dkk (1986) yang

melaporkan bahwa efektifitas brotowali sebagai terapi skabies sebanyak 30,76%.

Meskipun memiliki persamaan didalam penelitian yaitu dengan menggunakan 100 gram

batang brotowali yang merupakan dosis efektif brotowali sebagai terapi skabies pada

manusia, namun di dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan, yakni :


a. Pada penelitian Salazar dkk (1986) evaluasi terapi yang digunakan untuk melihat

efektivitas yakni efektif apabila sembuh sempurna (tidak ada lesi skabies) dan

tidak efektif apabila sembuh sebagian (masih terdapat beberapa lesi). Sedangkan

pada penelitian ini, efektivitas terapi dinilai secara objektif, yakni berdasarkan

penilaian dokter spesialis kulit dan kelamin yang dinyatakan ada perbaikan

kondisi klinis dan diperkuat dengan cure rate 40%. Sedangkan tidak efektif

apabila terdapat salah satu atau keduanya tidak menunjukan adanya perbaikan

kondisi klinis.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Salazar dkk (1986) menggunakan minyak

tumbuhan (minyak kelapa) sebagai campuran lotion brotowali. Adapun salah satu

sifat minyak adalah tidak larut dalam air sehingga ketika di campurkan dengan

ekstrak batang brotowali yang berbahan dasar air campurannya tidak bercampur

secara homogen. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan vaselin album

sebagai campuran lotion brotowali. Sifat dari vaselin album meskipun memiliki
9

kandungan minyak tetapi bentuk fisiknya yang bersifat solid mampu bercampur

dengan ekstrak batang brotowali pada suhu < 400C (Hamid, 2011). Sehingga

mampu membantu penyerapan brotowali pada saat di aplikasikan pada kulit

secara optimal.
c. Kadar batang brotowali yang digunakan pada penelitian Salazar dkk (1986)

adalah 66,7% dan 33,33% minyak tumbuhan. Sedangkan pada penelitian ini kadar

brotowali yang digunakan adalah 75% dan 25% vaselin album.


d. Cara pemakaian pada penelitian yang dilakukan oleh Salazar dkk (1986) tidak

dijelaskan secara jelas mengenai aturan pemakaian hanya dijelaskan pemakaian

lotion sebelum tidur dan pagi hari partisipan mandi untuk menghilangkan lotion.

Sedangkan pada penelitian ini cara pemakaian sangat diperhatikan secara jelas

dan rinci. Partisipan pada penelitian ini diberikan edukasi mengenai pemakaian

lotion brotowali selama 9 jam dari pukul 20.00-05.00 WIB dan apabila terkena air

maka salep diwajibkan untuk di oleskan kembali.


e. Pada penelitian yang dilakukan oleh Salazar dkk (1986) pemakaian lotion

brotowali hanya pada kulit yang terdapat lesi skabiesnya saja sedangkan pada

kulit yang tidak ada lesinya lotion brotowali tidak di oleskan. Pada penelitian ini,

pemakaian lotion brotowali pada seluruh tubuh meskipun tidak terdapat lesi

kecuali wajah dan leher. Dengan pemakaian 1 pot (30 gram) untuk setiap

pemakaian. Pemakaian lotion selama 3 hari, dan digunakan setiap malam dengan

pengawasan secara ketat.


f. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan Salazar dkk (1986) jangka waktu yang

digunakan untuk evaluasi terapi adalah hari ke 33-40 dihitung dari hari pertama

terapi. Meskipun pemberian terapi dilakukan selama 2 siklus, namun

memungkinkan terjadinya reinfeksi dari lingkungan yang tidak dijaga dengan

baik. Sedangkan pada penelitian ini, evaluasi dilakukan serempak pada hari ke 7

dari hari pertama terapi, sehingga kemungkinan untuk reinfeksi dapat dihindari.
10

g. Pada penelitian yang dilakukan Salazar dkk (1986) tidak dilakukan penyuluhan

pengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan pada penelitian ini,

dilakukan penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat. Partisipan dihimbau untuk

mengganti seprai, handuk, selimut dan alas tidur secara periodik. Dan juga

dihimbau agar tidak menggunakan barang (handuk, selimut, pakaian, alas tidur)

secara bersama-sama. Sehingga diharapkan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi munculnya skabies dapat dihindari, sehingga membantu

keberhasilan terapi.

KESIMPULAN
Tidak terdapat perbedaan signifikan antara efektivitas brotowali (Tinospora

crispa) dengan permethrin sebagai terapi skabies di Pondok Pesantren Al-Ikhsan,

Kedung Banteng, Banyumas.

SARAN
Disarankan bagi para peneliti untuk menggunakan penelitian ini sebagai dasar

penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan efektivitas brotowali (Tinospora

crispa) sebagai terapi skabies.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, R G., Savin, J., Milner, J. 2004. Lecture Notes On Dermatology. Jakarta :
Erlangga.

Centers For Disease Control And Prevention (CDC). 2010. Scabies. Dilihat 22
November 2011. < http://www.cdc.gov/parasites/scabies/treatment.html>.
.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan. 2008. Profil Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan


Tahun 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
11

Hamid, Ahmad. 2011. Senyawa Hidrokarbon. Dilihat 15 Maret 2011.


<http://senyawahidrokarbon.vaselinalbum_sifat.co.id.>.

James, D. 2011. Scabies cause, symptom and treatment. Dilihat 26 Desember


2011.<http://www.emedicinehealth.com/scabies/page12.Multimedia>.

Kenneth, James. 2008. Parasites Infection. Dilihat 21 Oktober 2011.


<http://emedicine.medscape.com/article/996492-overview>.

Mutiarati, Desi. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Skabies di


Pondok Pesantren Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto Utara Tahun 2010.
Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto.

Salazar, Nelia P., dkk. 1986. Tinospora rumphii Boerl.(Makabuhay) in the Treatment of
Scabies. Dilihat 22 Oktober 2011.
<http://www.psmid.org.ph/vol16/vol16num1topic6.pdf>.

Santoso, H Budi. 2011. Kitab Ramuan Tradisional Halaman 282 Cetakan kesatu.
Yogyakarta : Pohon Cahaya.

Stoppler, M Conrad. 2011. Scabies Rash Pictures, Home Treatment, Signs, Symptoms,
Prevention and cause. Dilihat 23 November 2011.
<http://www.emedicinehealth.com/scabies/article>.

Widyaningrum, Herlina. 2011. Kitab Tanaman Obat Nusantara Cetakan kesatu.


Yogyakarta : MedPress Anggota IKAPI. Halaman 8.

Anda mungkin juga menyukai