Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS INDIVIDU STASE NEUROLOGI

PARAPLEGI LOWER MOTOR NEURON

Oleh:

Nur Prasetyo Nugroho

Susanti

Rahmanita Fildzah Nur Amalina

Dokter pembimbing: dr. Dhimas Hantoko, Sp.S

Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan

Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang

2013
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN.. 3

BAB II LAPORAN KASUS. 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 14

BAB IV PEMBAHASAN.. 35

BAB V KESIMPULAN 37

DAFTAR PUSTAKA 39
BAB I

PENDAHULUAN

Kondisi neurologis yang ditandai dengan kelemahan atau kelumpuhan parsial

ditungkai bawah biasanya disebut dengan paraparesis. Ada beberapa penyebab kondisi ini .

Hal ini biasanya tidak dapat disembuhkan, meskipun dapat dikelola, dan pasien dapat

menerima bantuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan untuk membantu mereka

mempertahankan otot di kaki mereka. Episode akut paraparesis dapat disebabkan oleh

penyakit pada medulla spinalis dan sulit dibedakan dari kelainan yang mempengaruhi LMN

ataupun hemisfer serebral.

Upper motor neuron (UMN) dan Lower motor neuron (LMN) merupakan susunan

neuromuscular. Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang

menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf

kranial di batang otak atau kornu anterior. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik

kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan

piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar

fungsinya untuk gerakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal

funsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan Lower motor

neuron (LMN) yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak,

pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Ny. F

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 40 Tahun

Alamat : Sumbersuci RT 1 RW 15 Ujung Pangka Gresik

Suku Bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Status : Menikah

Nomor RM : 21.38.94

Tanggal Pemeriksaan : 8 November 2013

2.2 Anamnesis

Keluhan utama: Lemah kedua tungkai

RPS: Pasien dirujuk dari pusekesmas dengan keluhan lemah kedua kaki sejak 3 hari yang

lalu. Awalnya pasien merasa kesemutan dari paha menjalar ke ujung kaki.Tiba-tiba saat

pasien berdiri dan berjalan kakinya tersa lemas dan pasien terjatuh. Setelah itu semakin lama

kedua kakinya sulit digerakkan dan pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. Trauma -,

Diare-. Demam -, Nyeri kepala -, Muntah, - BAB dan BAK dbN

RPD: Hipertensi disangkal, DM disangkal, Alergi obat cerftriaxon

RPK: -

RPsos: -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : tampak lemah

Kesadaran : komposmentis

GCS : 456

Tekanan darah : 128/72 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Frekuensi nafas : 20x/menit

Temperatur : 36,7 0c

Kepala dan leher : anemi (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-)

Thorax : simetris (+), retraksi (-)

Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, Rhonki -/-

Jantung : S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : flat, supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
timpani, bising usus dalam batas normal

Ekstremitas : hangat,kering, merah, edem (-)

Afek : cemas

Proses berfikir : normal

Kecerdasan : normal

Penyerapan : normal

Kemauan : normal

Psikomotor : menurun

2.4 Status Neurologis

1. Kepala

Posisi : di tengah

Penonjolan : (-)

Bentuk dan ukuran : normocephali

Auskultasi : bruit (-)


2. Urat Syaraf Kepala

Nervus I (olfakorius) : penghidu normal

Nervus II (optikus)

Visus naturalis: 5/60

Lapang pandang: Tidak dilakukan

Funduskopi: Tidak dilakukan

Nervus III, IV, VI

Celah kelopak mata

Ptosis: -/-

Exsoftalmus: -/-

Pergerakan bola mata: dbN

Pupil

ukuran: 3mm/3mm

bentuk: bulat/bulat

Reflek cahaya langsung: +/+

Reflek cahaya tidak langsung: +/+

Nistagmus: -/-

Nervus IV (Tokhlearis)

Posisi bola mata: medial/medial

Pergerakan bola mata: dbN

Nervus VI (Abdusens)

Pergerakan bola mata: dbN

Nervus V (Trigeminus)

Motorik

Inspeksi: simetris

Palpasi: normal/normal

Mengunyah: Tidak dilakukan


Menggigit: Tidak dilakukan

Sensibilitas

N. V 1:dbN

N. V 2: dbN

N. V 3: dbN

Refleks kornea: positif

Refleks dagu/ maseter: positif

Nervus VII (fasialis)

Motorik

M. Frontalis:dbN

M. Oblik okuli: dbN

M. Oblik oris: dbN

Sensorik

Pengecapan 2/3 depan lidah: Tidak dilakukan

Nervus VIII (vestibulocochlearis)

Detik arloji: dbN

Suara berbisik: dbN

Tes weber: tidak dilakukan

Tes rinne: tidak dilakukan

Nervus IX (glossofaringeus)

Reflek muntah : (+)

Pengecapan 1/3 belakang: Tidak dilakukan

Nervus X (Vagus)

Posisi arkus faring: dbN

Reflek telan: +

Nervus XI (aksesorius)

Mengangkat bahu: dbN


Memalingkan wajah: dbN

Nervus XII (Hipoglossus)

Deviasi lidah: (-)

Fasikulasi: (-)

Tremor: (-)

Atrofi: (-)

Ataksia: (-)

3. Leher

Tanda-tanda perangsangan selaput otak

Kaku kuduk: (-)

Kernigs sign: (-)

Kelenjar limfe: dbN

Arteri karotis: dbN

Kelenjar gondok: ada/dbN

4. Abdomen

Reflek kulit dinding perut: +/+

5. Kolumna vertebralis

Inspeksi: dbN

Palpasi: dbN

Pergerakan: dbN

Perkusi: dbN

6. Ekstremitas superior-inferior: dbN

Kekuatan otot

Motorik 5/5
2/2

Refleks fisiologis

BPR: +2/+2
TPR: +2/+2

KPR: +1/+1

APR: +1/+1

Klonus patela: -/-

Klonus ankle: -/-

Refleks patologis

Hoffman/ Trommer: -/-

Babinski: -/-

Gordon: -/-

Chaddock: -/-

Schaefer: -/-

Oppenhein: -/-

Sensibilitas

Eksteroseptif

Nyeri: dbN/dbN

Suhu: dbN/dbN

Raba: tebal di telapak kaki mata kaki

Propioseptif

Sikap: dbN

Nyeri dalam: Tidak dilakukan

Fungsi kortikal

Rasa diskriminasi: dbN

Stereognosis: dbN

Barognosia:dbM

Pergerakan abnormal spontan: (-)

Gangguan koordinasi

Tes jari hidung: dbN


Tes pronasi supinasi: dbN

Tes tumit lutut: sulit dievaluasi

Gait: sde/sde

Pemeriksaan fungsi luhur

Afek/emosi: cemas

Kemampuan bahasa: normal

Memori: normal

Visuospasial: normal

Intelegensia: normal

2.5 Pemeriksaan Laboratorium

Diffcount 0/0/86/12/2

Hct: 42,6%

Hb: 14,4

LED: 31/52

Lekosit: 12.000

Trombosit: 314.000

Clorida serum 107

Kalium serum: 3,2

Natrium: 142

GDA: 94

Pemeriksaan EKG:
Hasil: 1st degree av block, sinus bradikardia 48x/m

2.7 Problem list

Diagnosis klinis: Paraplegi LMN, Hipokalemi

Diagnosis topis: poliradix

Diagnosis Etiologis: Guillain Barre Syndrome dengan Paralisis Periodik Hipokalemi

2.8 Planning Diagnosis

- Foto thorax

- Lipid darah
- Renal Function Test

- Liver Function Test

-LP

2.9 Planning Terapi

Farmakologis

O2 Nasal 3 lpm

IVFD Asering 1500cc/24 jam

KCl 20-30 meq/L tiap 15-30 menit hingga Kalium normal

Imunoglobulin IV 0.4 gr/kg BB/hari

Kalmeco 2x1 amp

Ranitidin 2x 1amp

Pasang DK

Konsul Spesialis Syaraf

Non farmakologis

Fisioterapi dada secara teratur

Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi.

2.10 Planing Monitoring

- kadar kalium selama pengobatan dengan KCl

-keluhan subjektif pasien

-Vital sign

-Input-output cairan

2.11 Planning Edukasi

- Pasien harus dirawat di rumah sakit

- Istirahat total / tirah baring

- Melatih anggota badan yang lemah

- Memberi tahu prognosis dan komplikasi pasien


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi

Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. Sistem neuromuscular

terdiri atas Upper motor neuron (UMN) dan Lower motor neuron (LMN). Upper motor

neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area

motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu

anterior medulla spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN

dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari

traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk

gerakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal funsinya untuk

gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak.

Melalui Lower motor neuron (LMN) yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik

yang bersal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam

tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting dalam system

neuromuscular tubuh. System ini yang memungkinkan tubuh untuk bergerak secara terencana

dan terukur.

Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk

punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang

cervical, 12 tulang thoraks, 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral dan 4 tulang membentuk tulang

ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang

terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae dan bagian posterior yang terdiri dari arcus

vertebrae.
Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat

sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Dari otak medulla spinalis turun ke bawah

kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal.

Medulla spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari

dan ke ekstremitas, badan, organ-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medulla spinalis

merupakan system saraf pusat dan yang menghubungkan saraf-saraf medulla spinalis ke

tubuh adalah system saraf perifer. 4

Medulla spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramenmagnum sampai

konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla spinalis berlanjut menjadi kauda

Equina (di bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medullah spinalis terdiri atas traktus

ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu,

nyeri, dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke

anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).

Tabel 1 menyebutkan beberapa traktus ascendens dan descendens yang penting pada

medulla spinalis.
3.2 Paraplegi inferior

3.2.1 Definisi

Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang

ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah kelemahan

berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf.

Plegia pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu :

Monoplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau

ekstremitas bawah.

Paraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah.

Hemiplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu

ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.

Tetraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada keempat ekstremitas.

Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai.

2.2.2 Klasifikasi

Paraplegi terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN). Paraplegi spastik

adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi
spastik disebabkan oleh spondylitis TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary

spastic paraplegia), autoimmune diseases, syrinx (spinal chord disorder) tumor medulla

spinalis, mutiple sclerosis

Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki

penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan

sadar yang sebagian atau seluruhnya hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi pada

neuron motorik yang lebih rendah, gangguan metabolic dan Guillain Barre sydrome.

2.2.3 Patofisiologi Paraplegi

Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras kortikospinalis

lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak

dibawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (tranversal) medulla spinalis pada

tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh

yang berada dibawah C5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari

miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta segenap

muskulatur kedua tungkai. Kelumpuhan macam ini laha yang disebut paraplegi.

Akibat terputusnya lintasan somatosensorik dan lintasan autonom neurovegetatif

asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita tidak dapat merasakan

apapun, tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi

neurovegetatif.

Lesi Tranversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau tingkat

lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang terjadi

pada daerah servikal, yaitu pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN, dan dibawah tingkat

lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN pada tingkat lesi melibatkan kelompok

otot yang merupakan sebagian kecil dari muskulatur toraks dan abdomen, namun
kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari muskulus

tersebut yang kurang begitu menonjol.

Tingkat lesi transversal di medullah spinalis mudah terungkap oleh batas deficit

sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai

secara lengkap.

Paraplegi dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari medulla

spinalis dapat rusak secara sekaligus, infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septic,

luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis atau perluasan dari proses

meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada

medullah spinalis namun juga digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan

disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor,

baik tumor ekstramedular maupun intramedular, maupun trauma yang menyebabkan cedera

dari medulla spinalis.

3.2.4 Gejala Klinis

Tanda-tanda klinik dibawah ini ditemukan pada lesi Lower motor neuron, yaitu :

1. Paralisis flasid pada otot-otot yang dipersarafi

Paralisis flasid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat manapun, dapat

di kornu anterior, salah satu atau beberapa radiks anterior, pleksus saraf atau saraf perifer.

Kerusakan unit motorik memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunteer

maupun reflex. Otot-otot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat penurunan tonus

otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya reflex (arefleksia) karena lengkung reflex regang

monosinaptik terputus.atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara

perlahan-lahan digantikan oleh jaringan ikat: setelah beberapa bulan atau tahun terjadinya

atrofi yang progresif, penggantian ini akan selesai. Dengan demikian sel-sel kornu anterior
mempengaruhi trofi pada serabut otot, yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi dan

struktur yang normal.

Sindrom paralisis flasid terdiri dari ;

Penurunan kekuatan kasar

Hipotonia atau atonia otot

Hiporefleksia atau arefleksia

Atrofi otot

Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterior, radiks anterior,

pleksus saraf, atau saraf perifer dengan bantuan elektromiografi elektroneurografi

(pemeriksaan hantaran saraf). Jika paralisis pada satu atau beberapa ekstremitas disertai oleh

deficit somatosensorik dan otonom, lesi diduga berada di distal radiks saraf dan dengan

demikian terletak di pleksus saraf atau di saraf tepi. Paralisis flasid jarang terjadi akibat lesi

kortikal, pada kasus tersebut reflex tetap ada atau meningkat dan tonus otot normal atau

meningkat.

2. Atrofi otot-otot yang dipersarafi

3. Hilangnya reflex otot-otot yang dipersarafi

4. Fasikulasi otot, kedutan yang hanya terlihat bila terjadi dekstruksi lambat pada

Lower motor neuron

5. Kontraktur otot, merupakan pemendekan otot yang lumpuh, kontraktur lebih sering

terjadi pada otot antagonis yang kerjanya tidak lagi dilawan oleh otot-otot yang

lumpuh.

6. Reaksi degenerasi, normalnya otot-otot yang dipersarafi memberikan respon

terhadap stimulasi menggunakan arus faradic (terputus-putus) dan kontraksi terus

terjadi selama arus tetap berjalan. Arus galvanic atau arus langsung menimbulkan

kontraksi hanya bila arus dinyalakan atau dimatikan. Bila Lower motor neuron
terputus, otot tidak lagi bereaksi terhadap stimulasi listrik terputus-putus 7 hari setelah

saraf terputus walaupun masih bereaksi terhadap arus langsung. Setelah 10 hari, reaksi

terhadap arus langsung juga hilang. Perubahan respon otot terhadap stimulasi listrik

ini dikenal sebagai reaksi degenerasi.

3.3 Guillain-Barre Sindrom

Definisi

Guillain-Barre syndrome (GBS, neuropati demielinasi inflamasi akut) ditandai dengan

onset akut disfungsi saraf perifer dan kranial. Virus pernapasan atau infeksi gastrointestinal,

imunisasi, atau operasi sering mendahului gejala neurologis oleh 5 hari sampai 3 minggu.

Gejala dan tanda-tanda termasuk kelemahan simetris cepat progresif, hilangnya refleks

tendon, diplegia wajah, paresis oropharyngeal dan pernapasan, dan sensasi gangguan di

tangan dan kaki. Memperburuk kondisi selama beberapa hari sampai 3 minggu, diikuti oleh

periode stabilitas dan kemudian perbaikan secara bertahap untuk fungsi normal atau

mendekati normal. Plasmapheresis awal atau infus intravena gamma globulin manusia (IVIG)

mempercepat pemulihan dan mengurangi kejadian cacat jangka panjang neurologis.

Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya

dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan

mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

Infeksi

Vaksinasi

Pembedahan

Penyakit sistematik:

o keganasan

o systemic lupus erythematosus


o tiroiditis

o penyakit Addison

o Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus

SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu

sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi

gastrointestinal

Patogenesa

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.

Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini

adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan

mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated

immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada

pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler

dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering

adalah infeksi virus.

Peran imunitas seluler dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang

peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum

tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam

jaringan limfoid danperedaran.

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan

pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)

antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen

tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut

akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena

aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel

endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel

limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat

merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf

tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa

edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan

iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke

sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.

Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada

hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi

sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan

ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang

menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus

membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

Klasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang

lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna

C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik

dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid

meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis

motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis

simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan

adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi wallerian like

tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita

selama lebih kurang 1 tahun.

3. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma

ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan

dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak

terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan


4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala

neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan

kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

5. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari

sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi

postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan

lakrimasi dan abnormalitas dari pupil

Gejala klinis dan kriteria diagnosa

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya

suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi

dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor

dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of

Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

Terjadinya kelemahan yang progresif

Hiporefleksi

Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a. Ciri-ciri klinis:

Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4

minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan

90% dalam 4 minggu.

Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan

Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak

lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,

kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak

lain

Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat

memanjang sampai beberapa bulan.

Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan

gejala vasomotor.

Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan

pada LP serial

Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

Varian:

o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan

hantar kurang 60% dari normal

Diagnosa Banding

Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan criteria diagnostik dari

NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain,

seperti:
Mielitis akuta

Poliomyelitis anterior akuta

Porphyria intermitten akuta

Polineuropati post difteri

Terapi

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat

simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan

waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga

pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit

dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

Fisioterapi

Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.

Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah

penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan

meningkatkan kekuatan otot.

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak

mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang

baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih

sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti

200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan

saat awal onset gejala (minggu pertama).


Pengobatan imunosupresan:

1. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg

BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari

sampai sembuh.

2. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

6 merkaptopurin (6-MP)

azathioprine

cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit

kepala.

Prognosa

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil

penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa

gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lain:

pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

progresifitas penyakit lambat dan pendek

pada penderita berusia 30-60 tahun


3.4. Paralisis Periodik Hipokalemik Familial

Definisi

Hipokalemia dapat timbul akibat kurangnya asupan kalium melalui makanan,

kehilangan kalium melalui gangguan saluran cerna atau kulit, atau akibat redistribusi kalium

ekstraselular ke dalam cairan intraselular. Paralisis periodik hipokalemik (PPH) merupakan

salah satu spektrum klinis akibat hipokalemia yang disebabkan oleh redistribusi kalium

secara akut ke dalam cairan intraselular. Paralisis periodik hipokalemik dapat terjadi secara

familial atau didapat. PPH didapat bisa ditemui pada keadaan tirotoksikosis, disebut

thyrotoxic periodic paralysis, sedangkan bentuk PPH familial disebut familial hypokalemic

periodic paralysis. Familial hypokalemic periodic paralysis (paralisis periodik hipokalemik

familial, PPHF) merupakan kelainan yang diturunkan secara autosomal dominan, ditandai

dengan kelemahan otot atau paralisis flaksid akibat hipokalemia karena proses perpindahan

kalium ke ruang intraselular otot rangka.

Kelainan ini dapat mengenai semua ras,dengan awitan tersering pada usia 10 tahun

(periode peripubertas).Risiko PPHF lebih tinggi pada orang Asia dengan rasio lakilaki:

perempuan ialah 2:1. Insidens PPHF di Eropa pada tahun 1994 mencapai 1 tiap 100.000

orang. Sebanyak 50% laki-laki dan perempuan pembawa gen tidak memiliki gejala atau

hanya gejala ringan. Hipokalemia dan paralisis sering dijumpai di instalasi gawat darurat

anak. Penyebab yang mendasarinya perlu dipahami, apakah karena proses redistribusi kalium

ke ruang intaselular atau akibat berlebihnya ekskresi kalium melalui urin. Kegagalan

menentukan penyebab dapat menyebabkan kesalahan tata laksana.

Etiologi dan Patofi siologi

Paralisis periodik hipokalemik familial (PPHF) terjadi karena adanya redistribusi

kalium ekstraselular ke dalam cairan intraselular secara akut tanpa defi sit kalium tubuh total.

Kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka dalam menjaga potensial istirahat
(resting potential) akibat adanya mutasi gen CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3,2,6,8 yakni

gen yang mengontrol gerbang kanal ion (voltagegated ion channel) natrium, kalsium, dan

kalium pada membran sel otot.

Kadar kalium plasma adalah hasil keseimbangan antara asupan kalium dari luar,

ekskresi kalium, dan distribusi kalium di ruang intra dan ekstraselular. Sekitar 98% kalium

total tubuh berada di ruang intraselular, terutama di sel otot rangka. Secara fi siologis, kadar

kalium intrasel dipertahankan dalam rentang nilai 120-140 mEq/L melalui kerja enzim Na+-

K+-ATPase. Kanal ion di membrane sel otot berfungsi sebagai pori tempat keluar-masuknya

ion dari/ke sel otot. Dalam keadaan depolarisasi, gerbang kanal ion akan menutup dan

bersifat impermeabel terhadap ion Na+ dan K+, sedangkan dalam keadaan repolarisasi

(istirahat), gerbang kanal ion akan membuka, memungkinkan keluar-masuknya ion natrium

dan kalium serta menjaganya dalam keadaan seimbang. Mutasi gen yang mengontrol kanal

ion ini akan menyebabkan influks K+ berlebihan ke dalam sel otot rangka dan turunnya

influks kalsium ke dalam sel otot rangka sehingga sel otot tidak dapat tereksitasi secara

elektrik, menimbulkan kelemahansampai paralisis. Mekanisme peningkatan influks kalium ke

dalam sel pada mutasi gen ini belum jelas dipahami. Sampai saat ini, 30 mutasi telah

teridentifi kasi pada gen yang mengontrol kanal ion. Tes DNA dapat mendeteksi beberapa

mutasi; laboratorium komersial hanya dapat mengidentifikasi 2 atau 3 mutasi tersering pada

PPHF sehingga tes DNA negatif tidak dapat menyingkirkan diagnosis.

Manifestasi Klinis

Durasi dan frekuensi serangan paralisis pada PPHF sangat bervariasi, mulai dari

beberapa kali setahun sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan durasi serangan mulai

dari beberapa jam sampai beberapa hari. Kelemahan atau paralisis otot pada PPHF biasanya

timbul pada kadar kalium plasma <2,5 mEq/L. Manifestasi PPHF antara lain berupa

kelemahan atau paralisis episodic yang intermiten pada tungkai, kemudian menjalar ke
lengan. Serangan muncul setelah tidur/istirahat dan jarang timbul saat, tetapi dapat dicetuskan

oleh, latihan fisik. Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot secara berangsur

membaik pascakoreksi kalium. Otot yang sering terkena adalah otot bahu dan pinggul; dapat

juga mengenai otot lengan, kaki, dan mata. Otot diafragma dan otot jantung jarang terkena;

pernah juga dilaporkan kasus yang mengenai otot menelan dan otot pernapasan. Kelainan

elektrokardiografi (EKG) yang dapat timbul pada PPHF berupa pendataran gelombang T,

supresi segmen ST, munculnya gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fi brilasi

ventrikel, takikardia supraventrikular, dan blok jantung.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium plasma

yang rendah (<3,0 mEq/L) dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium. Riwayat

PPHF dalam keluarga dapat menyokong diagnosis, tetapi ketiadaan riwayat keluarga juga

tidak menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EKG,

elektromiografi (EMG), dan biopsi otot. Biopsi otot menunjukkan hasil normal saat di luar

serangan, tetapi saat serangan, dapat ditemukan miopati vakuolar, yaitu vakuola retikulum

endoplasma otot berdilatasi dengan sitoplasma sel otot penuh terisi glikogen, dan ukuran

serat otot bervariasi.

Pemeriksaan kadar kalium urin saat serangan sangat penting untuk membedakan

PPHF dengan paralisis hipokalemik karena sebab lain, yaitu hilangnya kalium melalui urin.

Ekskresi kalium yang rendah dan tidak ada kelainan asam basa merupakan pertanda PPHF.

Sebaliknya, pasien dengan ekskresi kalium meningkat disertai kelainan asam basa darah

mengarah ke diagnosis non-PPHF. Pemeriksaan transtubular potassium concentration

gradient (TPCG) atau transtubular K+ concentration ([K+]) gradient (TTKG) digunakan

untuk membedakan penyebab PPH, apakah akibat kehilangan kalium melalui urin atau

karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular (chanellopathy).Pemeriksaan TTKG


dilakukan saat terjadi serangan. Dalam kondisi normal, ginjal akan merespons hipokalemia

dengan cara menurunkan ekskresi kalium untuk menjaga homeostasis. Jika dalam keadaan

kalium plasma rendah, tetapi dijumpai ekskresi kalium urin yang tinggi (lebih dari 20

mmol/L), PPH terjadi akibat proses di ginjal. TTKG dihitung dengan rumus:

Jika TTKG >3, PPH diakibatkan oleh kehilangan kalium melalui ginjal. Namun, jika

TTKG <2, PPH terjadi karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular. Ekskresi

kalium urin yang rendah dan asam basa normal mengarah ke PPHF, TPP (thyrotoxic periodic

paralysis), SPP (sporadic periodic paralysis), atau intoksikasi barium. Pada peningkatan

ekskresi kalium urin yang disertai kelainan asam basa, perlu dilihat jenis kelainan asam basa

yang terjadi. Jika asidosis metabolik, perlu diukur ekskresi NH4 + di urin. Asidosis metabolik

dengan peningkatan ekskresi NH4+ dapat dijumpai pada penggunaan toluen dan diare berat,

sedangkan asidosis metabolic dengan ekskresi NH4+ rendah dijumpai pada renal tubular

acidosis (RTA). Jika kelainan asam basa yang terjadi adalah alkalosis metabolik, dilakukan

pengukuran tekanan darah. Jika tekanan darah normal, kelainan yang mendasari adalah

sindrom Bartter, sindrom Gitelman, efek diuretik, dan vomitus. Jika tekanan darah tinggi,

dipikirkan hipokalemia karena kelebihan mineralokortikoid.

PENCETUS

Serangan PPH dapat ditimbulkan oleh asupan tinggi karbohidrat, insulin, stres

emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan otot, beta-

bloker, tranquilizer, analgesik, antihistamin, antiasma puff aerosol, dan obat anestesi lokal.

Diet tinggi karbohidrat dijumpai pada makanan atau minuman manis, seperti permen, kue,

soft drinks, dan jus buah. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh
tubuh, menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa

darah ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya

kadar kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau

panas.

TATA LAKSANA

Terapi PPHF biasanya simtomatik, bertujuanmenghilangkan gejala kelemahan otot

yang disebabkan hipokalemia. Terapi PPHF mencakup pemberian kalium oral, modifikasi

diet dan gaya hidup untuk menghindaripencetus, serta farmakoterapi. Di beberapa literatur,

disarankan pemberian kalium oral dengan dosis 20-30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai

kadar kalium mencapai normal.

Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi kalium

harus diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi trans-

selular kalium berhenti. Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi

perubahan EKG, harus diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus

kontinu, dengan pemantauan ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau dalam terapi

digoksin juga harus diberi terapi kalium IV dengan dosis lebih besar (1 mEq/kg berat badan)

karena memiliki risiko aritmia lebih tinggi. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam

pemberian kalium ialah kadar kalium plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi

pasien.Suplementasi kalium dibatasi jika fungsi ginja terganggu. Pemberian oral lebih aman

karena risiko hiperkalemia lebih kecil.

Pemberian asetazolamid, inhibitor anhidrase karbonat, dengan dosis 125-250 mg 2-3

kali sehari pada anak terbukti cukup efektif mengatasi serangan, mengurangi frekuensi

serangan, dan mengurangi derajat keparahan. Mekanisme kerja asetazolamid sampai saat ini

masih belum jelas, tetapi penelitian terakhir mengungkap bahwa obat ini bekerja dengan

menstimulasi langsung calcium activated K channels sehingga kelemahan otot berkurang.


Spironolakton, dengan dosis 100-200 mg/hari terbukti efektif. Sebuah penelitian acak

terkontrol pada tahun 2000 menunjukkan bahwa diklorfenamid dosis 50-200 mg/hari terbukti

efektif menurunkan serangan dibandingkan plasebo. Triamteren bermanfaat karena dapat

meningkatkan ekskresi natrium dan menahan kalium di tubulus ginjal. Di beberapa negara,

eff ervescent kalium sitrat adalah sediaan yang paling efektif dan ditoleransi dengan baik oleh

saluran cerna. Belum ada penelitian pada pasien anak yang membandingkan efektivitas

asetazolamid, spironolakton, diklorfenamid, dan triamteren, serta belum ada kesepakatan

yang jelas di antara para ahli mengenai kapan dianjurkan menggunakan asetazolamid,

spironolakton, atau obat lain. Sebagian besar penelitian masih terbatas pada pasien dewasa.

Tata laksana utama PPHF pada anak lebih ditekankan ada edukasi dan suplementasi kalium

per oral mengingat efek samping farmakoterapi. Penelitian yang berkembang saat ini lebih

berfokus pada penelitian biomolekuler untuk mencari dasar kelainan chanellopathy di tingkat

gen, tidak banyak berpusat pada aspek tata laksana. Terapi gen sebagai terapi definitive untuk

PPHF saat ini belum ada.

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Paralisis periodik hipokalemik familial biasanya berespons baik terhadap terapi.

Terapi dapat mencegah kelemahan otot lebih lanjut. Serangan terus-menerus dapat

menyebabkan kelemahan otot permanen, tetapi jarang dijumpai pada pasien anak.

Komplikasi akut meliputi aritmia jantung, kesulitan bernapas,bicara, dan menelan, serta

kelemahan otot progresif. Komplikasi hipokalemia kronis berupa kerusakan ginjal, batu

ginjal, nefritis interstisial, dan kista ginjal.

PENCEGAHAN

Edukasi pasien sangat penting karena berhubungan dengan gaya hidup, pola makan,

dan aktivitas fi sik. Mengingat PPHF merupakan penyakit yang diturunkan, diperlukan pula
konseling genetik untuk pasangan yang ingin memiliki anak. Sampai saat ini, belum ada alat

diagnostik untuk deteksi prenatal


BAB IV

PEMBAHASAN

Ny. F 40 tahun datang ke Rumah Sakit Muhammadiyah Malang Lamongan pada

tanggal 8 November 2013 dengan keluhan lemah kedua tungkai. Pasien dirujuk dari

pusekesmas dengan keluhan lemah kedua kaki sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa

kesemutan dari paha menjalar ke ujung kaki.Tiba-tiba saat pasien berdiri dan berjalan

kakinya tersa lemas dan pasien terjatuh. Setelah itu semakin lama kedua kakinya sulit

digerakkan dan pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada

riwayat trauma, diare,muntah,demam, dan nyeri kepala BAB dan BAK nya dalam batas

normal. Pada anamnesis pasien menyangkal mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes

mellitus namun pasien mengatakan alergi obat Ceftriakson. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan kesan umum baik dengan GCS 456. Tekanan darah 128/72, nadi 88 x/menit, suhu

36,7 C, RR 20 x/menit dan status generalis dalam batas normal. Pada status psikologis afek

dan emosinya nampak cemas akan penyakitnya, komponen lainnya dalam batas normal. Pada

pemeriksaan neurologis GCS 456. Pada pemeriksaan nervus cranialis dalam batas normal.

Pemeriksaan meningeal sign negative. Pada pemeriksaan kekuatan otot terdapat kelemahan

pada kedua ekstrimitas bawah. Reflek fisiologis sama antara ekstrimitas dextra dan sinistra

tetapi pada ekstrimitas inferior refleksnya menurun. Pemeriksaan reflex patologisnya

negative. Pada pemeriksaan sensorik pasien mengatakan terdapat hipesthesia di telapak kaki

hingga mata kaki. Pemeriksaan fungsi luhur dan keseimbangan dalam batas normal. Pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan hipokalemia (3,2mmol/L). Dan pada pemeriksaan

EMG didapatkan demyelinisasi syndrome-Poliradikuloneuropathy.

Dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan paraplegi pasien ini adalah tipe

LMN dikarenakan kemungkinan topisnya ada di poliradix kemungkinan diagnosis


etiologisnya adalah GBS dengan Paralisis Periodik Hipokalemi . Diagnosis GBS didasarkan

pada criteria GBS menurut Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)

dimana pada pasien ini didapatkan kelumpuhan yang progresif, hiporefleks, simetris dan

gangguan sensibilitas ringan. Walaupun GBS sering dikaitkan pada infeksi sebelum adanya

gejala hal ini tidak bisa menjadi acuan karena ini dari GBS adalah adanya gangguan system

imun autoantibody pada saraf perifer dimana menyerang myelin. Kemudian dengan adanya

Paralisis Periodik Hipokalemi memperburuk keadaan kelemahan otot yang disebabkan oleh

GBS. Paralisis Periodik Hipokalemi ini bisa disebabkan karena asupan tinggi karbohidrat,

insulin, stres emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan

otot, beta-bloker, tranquilizer,analgesik, antihistamin, antiasma puff aerosol, dan obat

anestesi local. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh,

menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah

ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar

kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.

Terapi yang diberikan farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologisnya dengan

memberikan ranitidine untuk mengurangi stress ulcer selama pasien MRS. Mecobalamin

untuk membantu regenerasi dan mengurangi gejala neuropati perifer. Imunoglobulin IV

untuk terapi definitive GBS dan KCl sebagai terapi definitive Paralisis Periodik Hipokalemi.

Terapi non farmakologisnya dengan fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak dan

mengurangi retraksi otot-otot pernapasan serta latihan gerak otot pasif agar tidak terjadi

koktraktur dan deformitas.


BAB V

KESIMPULAN

Ny. F 40 tahun datang ke Rumah Sakit Muhammadiyah Malang Lamongan pada

tanggal 8 November 2013 dengan keluhan lemah kedua tungkai. Pasien dirujuk dari

pusekesmas dengan keluhan lemah kedua kaki sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa

kesemutan dari paha menjalar ke ujung kaki.Tiba-tiba saat pasien berdiri dan berjalan

kakinya tersa lemas dan pasien terjatuh. Setelah itu semakin lama kedua kakinya sulit

digerakkan dan pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada

riwayat trauma, diare,muntah,demam, dan nyeri kepala BAB dan BAK nya dalam batas

normal. Pada anamnesis pasien menyangkal mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes

mellitus namun pasien mengatakan alergi obat Ceftriakson. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan kesan umum baik dengan GCS 456. Tekanan darah 128/72, nadi 88 x/menit, suhu

36,7 C, RR 20 x/menit dan status generalis dalam batas normal. Pada status psikologis afek

dan emosinya nampak cemas akan penyakitnya, komponen lainnya dalam batas normal. Pada

pemeriksaan neurologis GCS 456. Pada pemeriksaan nervus cranialis dalam batas normal.

Pemeriksaan meningeal sign negative. Pada pemeriksaan kekuatan otot terdapat kelemahan

pada kedua ekstrimitas bawah. Reflek fisiologis sama antara ekstrimitas dextra dan sinistra

tetapi pada ekstrimitas inferior refleksnya menurun. Pemeriksaan reflex patologisnya

negative. Pada pemeriksaan sensorik pasien mengatakan terdapat hipesthesia di telapak kaki

hingga mata kaki. Pemeriksaan fungsi luhur dan keseimbangan dalam batas normal. Pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan hipokalemia (3,2mmol/L). Dan pada pemeriksaan

EMG didapatkan demyelinisasi syndrome-Poliradikuloneuropathy.

Dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan paraplegi pasien ini adalah tipe
LMN dikarenakan kemungkinan topisnya ada di poliradix kemungkinan diagnosis

etiologisnya adalah GBS dengan Paralisis Periodik Hipokalemi . Diagnosis GBS didasarkan

pada criteria GBS menurut Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)

dimana pada pasien ini didapatkan kelumpuhan yang progresif, hiporefleks, simetris dan

gangguan sensibilitas ringan. Walaupun GBS sering dikaitkan pada infeksi sebelum adanya

gejala hal ini tidak bisa menjadi acuan karena ini dari GBS adalah adanya gangguan system

imun autoantibody pada saraf perifer dimana menyerang myelin. Kemudian dengan adanya

Paralisis Periodik Hipokalemi memperburuk keadaan kelemahan otot yang disebabkan oleh

GBS. Paralisis Periodik Hipokalemi ini bisa disebabkan karena asupan tinggi karbohidrat,

insulin, stres emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan

otot, beta-bloker, tranquilizer,analgesik, antihistamin, antiasma puff aerosol, dan obat

anestesi local. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh,

menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah

ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar

kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.

Terapi yang diberikan farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologisnya dengan

memberikan ranitidine untuk mengurangi stress ulcer selama pasien MRS. Mecobalamin

untuk membantu regenerasi dan mengurangi gejala neuropati perifer. Imunoglobulin IV

untuk terapi definitive GBS dan KCl sebagai terapi definitive Paralisis Periodik Hipokalemi.

Terapi non farmakologisnya dengan fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak dan

mengurangi retraksi otot-otot pernapasan serta latihan gerak otot pasif agar tidak terjadi

koktraktur dan deformitas.


DAFTAR PUSTAKA

Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology. Edisi 8. New York:
McGraw-Hill. p 50-52; 1049-1092

American Cancer Society. 2009. Brain and Spinal Cord Tumor in Adults.
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/ webcontent/003088-pdf. Diakses 4
Desember 2012.

Aminorf, J.M., Greenberg, A.D., and Simon, P.R., 2005. Clinical Neurology. Edisi 7.
USA:Lange Medical Books/McGraw-Hill.p 155-157

Andrea K, Thomas M. Disorders of water, sodium, and potassium homeostasis. In: Nichols
DG, editor. Rogers textbook of pediatric intensive care. 4th ed. Baltimore: Lippincott
Williams &Wilkins; 2008. p. 243-58

Cannon SC. An expanding view for the molecular basis of familial periodic paralysis.
Neuromuscul Disord. 2002;12(6):533-43.

Diana Kohnle. 2011. Paraplegia. Keck Medical Center of University Of Sourthern


California. Diakses dari
http://www.keckmedicalcenterofusc.org/condition/document/230663 diakses 5
Desember 2012

Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.

Hypokalemia periodic paralysis [Internet]. 2011 [cited 2011 Apr 18]. Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000312.htm.

Hypokalemia periodic paralysis [Internet]. 2011 [cited 2011 Apr 20]. Available from:
http://www.hkpp.org.

Japardi, Iskandar. 2002. Radikulopati Thorakalis. Diakses dari


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1994/1/bedah
iskandar%20japardi43.pdf. Diakses 4 Desember 2012.

Lin SH, Chiu JS, Hsu CW, Chau AT. A simple and rapid approach to hypokalemic paralysis.
Am J Emerg Med. 2003;21:487-91.

Mardjono M, dkk, Neurologi Klinis Dasar.1988. Jakarta : Dian Rakyat.

Mumenthaler, M. and Mattle, H. 2006.Fundamental of Neurology. NewYork: Thieme. p 146-


147.6.

Palmer BF, Dubose TD. Disorders of potassium metabolism. In: Schrier RW, editor. Renal
and electrolyte disorders. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p.
137-64.

R. Putz, R. Pabst. 2006.Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Edisi 21.Jilid 2. Jakarta: EGC.

Sarnat BH. Neuromuscular disorder. In: Berhman RE, Kliegman RM, Jensen HB, editors.
Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 2531-40.

Sherwood L. 2007. Human physiology from cells to system. Edisi ke-6. Canada: Thomson
Brooks/ Cole;.p. 77-211.
Stemberg D, Maisonobe T, Jurkat RK, Nicole S, Launay E, Chauveau D, et al. Hypokalaemic
periodic paralysis type 2 caused by mutations at codon 672 in the muscle sodium
channel gene SCN4A. Brain. 2011;124:1091-9.

Tambunan T. Tubulopati. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku
ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. p. 470-89.

Anda mungkin juga menyukai