Lapsus Paraplegi
Lapsus Paraplegi
Oleh:
Susanti
Fakultas Kedokteran
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN.. 3
BAB IV PEMBAHASAN.. 35
BAB V KESIMPULAN 37
DAFTAR PUSTAKA 39
BAB I
PENDAHULUAN
ditungkai bawah biasanya disebut dengan paraparesis. Ada beberapa penyebab kondisi ini .
Hal ini biasanya tidak dapat disembuhkan, meskipun dapat dikelola, dan pasien dapat
menerima bantuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan untuk membantu mereka
mempertahankan otot di kaki mereka. Episode akut paraparesis dapat disebabkan oleh
penyakit pada medulla spinalis dan sulit dibedakan dari kelainan yang mempengaruhi LMN
Upper motor neuron (UMN) dan Lower motor neuron (LMN) merupakan susunan
neuromuscular. Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf
kranial di batang otak atau kornu anterior. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik
kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan
piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar
fungsinya untuk gerakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal
funsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan Lower motor
neuron (LMN) yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak,
pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Ny. F
Usia : 40 Tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Nomor RM : 21.38.94
2.2 Anamnesis
RPS: Pasien dirujuk dari pusekesmas dengan keluhan lemah kedua kaki sejak 3 hari yang
lalu. Awalnya pasien merasa kesemutan dari paha menjalar ke ujung kaki.Tiba-tiba saat
pasien berdiri dan berjalan kakinya tersa lemas dan pasien terjatuh. Setelah itu semakin lama
kedua kakinya sulit digerakkan dan pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. Trauma -,
RPK: -
RPsos: -
Kesadaran : komposmentis
GCS : 456
Nadi : 88 x/menit
Temperatur : 36,7 0c
Kepala dan leher : anemi (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-)
Abdomen : flat, supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
timpani, bising usus dalam batas normal
Afek : cemas
Kecerdasan : normal
Penyerapan : normal
Kemauan : normal
Psikomotor : menurun
1. Kepala
Posisi : di tengah
Penonjolan : (-)
Nervus II (optikus)
Ptosis: -/-
Exsoftalmus: -/-
Pupil
ukuran: 3mm/3mm
bentuk: bulat/bulat
Nistagmus: -/-
Nervus IV (Tokhlearis)
Nervus VI (Abdusens)
Nervus V (Trigeminus)
Motorik
Inspeksi: simetris
Palpasi: normal/normal
Sensibilitas
N. V 1:dbN
N. V 2: dbN
N. V 3: dbN
Motorik
M. Frontalis:dbN
Sensorik
Nervus IX (glossofaringeus)
Nervus X (Vagus)
Reflek telan: +
Nervus XI (aksesorius)
Fasikulasi: (-)
Tremor: (-)
Atrofi: (-)
Ataksia: (-)
3. Leher
4. Abdomen
5. Kolumna vertebralis
Inspeksi: dbN
Palpasi: dbN
Pergerakan: dbN
Perkusi: dbN
Kekuatan otot
Motorik 5/5
2/2
Refleks fisiologis
BPR: +2/+2
TPR: +2/+2
KPR: +1/+1
APR: +1/+1
Refleks patologis
Babinski: -/-
Gordon: -/-
Chaddock: -/-
Schaefer: -/-
Oppenhein: -/-
Sensibilitas
Eksteroseptif
Nyeri: dbN/dbN
Suhu: dbN/dbN
Propioseptif
Sikap: dbN
Fungsi kortikal
Stereognosis: dbN
Barognosia:dbM
Gangguan koordinasi
Gait: sde/sde
Afek/emosi: cemas
Memori: normal
Visuospasial: normal
Intelegensia: normal
Diffcount 0/0/86/12/2
Hct: 42,6%
Hb: 14,4
LED: 31/52
Lekosit: 12.000
Trombosit: 314.000
Natrium: 142
GDA: 94
Pemeriksaan EKG:
Hasil: 1st degree av block, sinus bradikardia 48x/m
- Foto thorax
- Lipid darah
- Renal Function Test
-LP
Farmakologis
O2 Nasal 3 lpm
Ranitidin 2x 1amp
Pasang DK
Non farmakologis
-Vital sign
-Input-output cairan
TINJAUAN PUSTAKA
terdiri atas Upper motor neuron (UMN) dan Lower motor neuron (LMN). Upper motor
neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area
motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu
anterior medulla spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN
dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari
gerakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal funsinya untuk
Melalui Lower motor neuron (LMN) yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik
yang bersal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam
tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting dalam system
neuromuscular tubuh. System ini yang memungkinkan tubuh untuk bergerak secara terencana
dan terukur.
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk
punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang
cervical, 12 tulang thoraks, 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral dan 4 tulang membentuk tulang
ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang
terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae dan bagian posterior yang terdiri dari arcus
vertebrae.
Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat
sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Dari otak medulla spinalis turun ke bawah
kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal.
Medulla spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari
dan ke ekstremitas, badan, organ-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medulla spinalis
merupakan system saraf pusat dan yang menghubungkan saraf-saraf medulla spinalis ke
konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla spinalis berlanjut menjadi kauda
Equina (di bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medullah spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu,
nyeri, dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke
Tabel 1 menyebutkan beberapa traktus ascendens dan descendens yang penting pada
medulla spinalis.
3.2 Paraplegi inferior
3.2.1 Definisi
Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang
ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah kelemahan
Monoplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau
ekstremitas bawah.
Hemiplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu
ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
2.2.2 Klasifikasi
Paraplegi terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN). Paraplegi spastik
adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi
spastik disebabkan oleh spondylitis TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary
spastic paraplegia), autoimmune diseases, syrinx (spinal chord disorder) tumor medulla
Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki
penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan
sadar yang sebagian atau seluruhnya hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi pada
neuron motorik yang lebih rendah, gangguan metabolic dan Guillain Barre sydrome.
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras kortikospinalis
lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak
dibawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (tranversal) medulla spinalis pada
tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh
yang berada dibawah C5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari
miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta segenap
muskulatur kedua tungkai. Kelumpuhan macam ini laha yang disebut paraplegi.
asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita tidak dapat merasakan
apapun, tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi
neurovegetatif.
Lesi Tranversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau tingkat
lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang terjadi
pada daerah servikal, yaitu pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN, dan dibawah tingkat
lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN pada tingkat lesi melibatkan kelompok
otot yang merupakan sebagian kecil dari muskulatur toraks dan abdomen, namun
kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari muskulus
Tingkat lesi transversal di medullah spinalis mudah terungkap oleh batas deficit
sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai
secara lengkap.
Paraplegi dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari medulla
spinalis dapat rusak secara sekaligus, infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septic,
luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis atau perluasan dari proses
meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada
medullah spinalis namun juga digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan
disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor,
baik tumor ekstramedular maupun intramedular, maupun trauma yang menyebabkan cedera
Tanda-tanda klinik dibawah ini ditemukan pada lesi Lower motor neuron, yaitu :
Paralisis flasid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat manapun, dapat
di kornu anterior, salah satu atau beberapa radiks anterior, pleksus saraf atau saraf perifer.
Kerusakan unit motorik memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunteer
maupun reflex. Otot-otot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat penurunan tonus
otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya reflex (arefleksia) karena lengkung reflex regang
monosinaptik terputus.atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara
perlahan-lahan digantikan oleh jaringan ikat: setelah beberapa bulan atau tahun terjadinya
atrofi yang progresif, penggantian ini akan selesai. Dengan demikian sel-sel kornu anterior
mempengaruhi trofi pada serabut otot, yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi dan
Atrofi otot
Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterior, radiks anterior,
(pemeriksaan hantaran saraf). Jika paralisis pada satu atau beberapa ekstremitas disertai oleh
deficit somatosensorik dan otonom, lesi diduga berada di distal radiks saraf dan dengan
demikian terletak di pleksus saraf atau di saraf tepi. Paralisis flasid jarang terjadi akibat lesi
kortikal, pada kasus tersebut reflex tetap ada atau meningkat dan tonus otot normal atau
meningkat.
4. Fasikulasi otot, kedutan yang hanya terlihat bila terjadi dekstruksi lambat pada
5. Kontraktur otot, merupakan pemendekan otot yang lumpuh, kontraktur lebih sering
terjadi pada otot antagonis yang kerjanya tidak lagi dilawan oleh otot-otot yang
lumpuh.
terjadi selama arus tetap berjalan. Arus galvanic atau arus langsung menimbulkan
kontraksi hanya bila arus dinyalakan atau dimatikan. Bila Lower motor neuron
terputus, otot tidak lagi bereaksi terhadap stimulasi listrik terputus-putus 7 hari setelah
saraf terputus walaupun masih bereaksi terhadap arus langsung. Setelah 10 hari, reaksi
terhadap arus langsung juga hilang. Perubahan respon otot terhadap stimulasi listrik
Definisi
onset akut disfungsi saraf perifer dan kranial. Virus pernapasan atau infeksi gastrointestinal,
imunisasi, atau operasi sering mendahului gejala neurologis oleh 5 hari sampai 3 minggu.
Gejala dan tanda-tanda termasuk kelemahan simetris cepat progresif, hilangnya refleks
tendon, diplegia wajah, paresis oropharyngeal dan pernapasan, dan sensasi gangguan di
tangan dan kaki. Memperburuk kondisi selama beberapa hari sampai 3 minggu, diikuti oleh
periode stabilitas dan kemudian perbaikan secara bertahap untuk fungsi normal atau
mendekati normal. Plasmapheresis awal atau infus intravena gamma globulin manusia (IVIG)
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik:
o keganasan
o penyakit Addison
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal
Patogenesa
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
Peran imunitas seluler dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum
tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan
pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut
akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena
aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel
limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
Patologi
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa
edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan
iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke
sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.
Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada
hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi
sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan
ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
Klasifikasi
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna
C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB. Sindroma
ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan
dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi
dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Hiporefleksi
a. Ciri-ciri klinis:
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan
Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak
lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak
lain
gejala vasomotor.
pada LP serial
Varian:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan
Diagnosa Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan criteria diagnostik dari
NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain,
seperti:
Mielitis akuta
Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
Kortikosteroid
Plasmaparesis
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang
baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti
200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan
1. Imunoglobulin IV
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
6 merkaptopurin (6-MP)
azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil
penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa
Definisi
kehilangan kalium melalui gangguan saluran cerna atau kulit, atau akibat redistribusi kalium
salah satu spektrum klinis akibat hipokalemia yang disebabkan oleh redistribusi kalium
secara akut ke dalam cairan intraselular. Paralisis periodik hipokalemik dapat terjadi secara
familial atau didapat. PPH didapat bisa ditemui pada keadaan tirotoksikosis, disebut
thyrotoxic periodic paralysis, sedangkan bentuk PPH familial disebut familial hypokalemic
familial, PPHF) merupakan kelainan yang diturunkan secara autosomal dominan, ditandai
dengan kelemahan otot atau paralisis flaksid akibat hipokalemia karena proses perpindahan
Kelainan ini dapat mengenai semua ras,dengan awitan tersering pada usia 10 tahun
(periode peripubertas).Risiko PPHF lebih tinggi pada orang Asia dengan rasio lakilaki:
perempuan ialah 2:1. Insidens PPHF di Eropa pada tahun 1994 mencapai 1 tiap 100.000
orang. Sebanyak 50% laki-laki dan perempuan pembawa gen tidak memiliki gejala atau
hanya gejala ringan. Hipokalemia dan paralisis sering dijumpai di instalasi gawat darurat
anak. Penyebab yang mendasarinya perlu dipahami, apakah karena proses redistribusi kalium
ke ruang intaselular atau akibat berlebihnya ekskresi kalium melalui urin. Kegagalan
kalium ekstraselular ke dalam cairan intraselular secara akut tanpa defi sit kalium tubuh total.
Kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka dalam menjaga potensial istirahat
(resting potential) akibat adanya mutasi gen CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3,2,6,8 yakni
gen yang mengontrol gerbang kanal ion (voltagegated ion channel) natrium, kalsium, dan
Kadar kalium plasma adalah hasil keseimbangan antara asupan kalium dari luar,
ekskresi kalium, dan distribusi kalium di ruang intra dan ekstraselular. Sekitar 98% kalium
total tubuh berada di ruang intraselular, terutama di sel otot rangka. Secara fi siologis, kadar
kalium intrasel dipertahankan dalam rentang nilai 120-140 mEq/L melalui kerja enzim Na+-
K+-ATPase. Kanal ion di membrane sel otot berfungsi sebagai pori tempat keluar-masuknya
ion dari/ke sel otot. Dalam keadaan depolarisasi, gerbang kanal ion akan menutup dan
bersifat impermeabel terhadap ion Na+ dan K+, sedangkan dalam keadaan repolarisasi
(istirahat), gerbang kanal ion akan membuka, memungkinkan keluar-masuknya ion natrium
dan kalium serta menjaganya dalam keadaan seimbang. Mutasi gen yang mengontrol kanal
ion ini akan menyebabkan influks K+ berlebihan ke dalam sel otot rangka dan turunnya
influks kalsium ke dalam sel otot rangka sehingga sel otot tidak dapat tereksitasi secara
dalam sel pada mutasi gen ini belum jelas dipahami. Sampai saat ini, 30 mutasi telah
teridentifi kasi pada gen yang mengontrol kanal ion. Tes DNA dapat mendeteksi beberapa
mutasi; laboratorium komersial hanya dapat mengidentifikasi 2 atau 3 mutasi tersering pada
Manifestasi Klinis
Durasi dan frekuensi serangan paralisis pada PPHF sangat bervariasi, mulai dari
beberapa kali setahun sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan durasi serangan mulai
dari beberapa jam sampai beberapa hari. Kelemahan atau paralisis otot pada PPHF biasanya
timbul pada kadar kalium plasma <2,5 mEq/L. Manifestasi PPHF antara lain berupa
kelemahan atau paralisis episodic yang intermiten pada tungkai, kemudian menjalar ke
lengan. Serangan muncul setelah tidur/istirahat dan jarang timbul saat, tetapi dapat dicetuskan
oleh, latihan fisik. Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot secara berangsur
membaik pascakoreksi kalium. Otot yang sering terkena adalah otot bahu dan pinggul; dapat
juga mengenai otot lengan, kaki, dan mata. Otot diafragma dan otot jantung jarang terkena;
pernah juga dilaporkan kasus yang mengenai otot menelan dan otot pernapasan. Kelainan
elektrokardiografi (EKG) yang dapat timbul pada PPHF berupa pendataran gelombang T,
supresi segmen ST, munculnya gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fi brilasi
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium plasma
yang rendah (<3,0 mEq/L) dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium. Riwayat
PPHF dalam keluarga dapat menyokong diagnosis, tetapi ketiadaan riwayat keluarga juga
tidak menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EKG,
elektromiografi (EMG), dan biopsi otot. Biopsi otot menunjukkan hasil normal saat di luar
serangan, tetapi saat serangan, dapat ditemukan miopati vakuolar, yaitu vakuola retikulum
endoplasma otot berdilatasi dengan sitoplasma sel otot penuh terisi glikogen, dan ukuran
Pemeriksaan kadar kalium urin saat serangan sangat penting untuk membedakan
PPHF dengan paralisis hipokalemik karena sebab lain, yaitu hilangnya kalium melalui urin.
Ekskresi kalium yang rendah dan tidak ada kelainan asam basa merupakan pertanda PPHF.
Sebaliknya, pasien dengan ekskresi kalium meningkat disertai kelainan asam basa darah
untuk membedakan penyebab PPH, apakah akibat kehilangan kalium melalui urin atau
dengan cara menurunkan ekskresi kalium untuk menjaga homeostasis. Jika dalam keadaan
kalium plasma rendah, tetapi dijumpai ekskresi kalium urin yang tinggi (lebih dari 20
mmol/L), PPH terjadi akibat proses di ginjal. TTKG dihitung dengan rumus:
Jika TTKG >3, PPH diakibatkan oleh kehilangan kalium melalui ginjal. Namun, jika
TTKG <2, PPH terjadi karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular. Ekskresi
kalium urin yang rendah dan asam basa normal mengarah ke PPHF, TPP (thyrotoxic periodic
paralysis), SPP (sporadic periodic paralysis), atau intoksikasi barium. Pada peningkatan
ekskresi kalium urin yang disertai kelainan asam basa, perlu dilihat jenis kelainan asam basa
yang terjadi. Jika asidosis metabolik, perlu diukur ekskresi NH4 + di urin. Asidosis metabolik
dengan peningkatan ekskresi NH4+ dapat dijumpai pada penggunaan toluen dan diare berat,
sedangkan asidosis metabolic dengan ekskresi NH4+ rendah dijumpai pada renal tubular
acidosis (RTA). Jika kelainan asam basa yang terjadi adalah alkalosis metabolik, dilakukan
pengukuran tekanan darah. Jika tekanan darah normal, kelainan yang mendasari adalah
sindrom Bartter, sindrom Gitelman, efek diuretik, dan vomitus. Jika tekanan darah tinggi,
PENCETUS
Serangan PPH dapat ditimbulkan oleh asupan tinggi karbohidrat, insulin, stres
emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan otot, beta-
bloker, tranquilizer, analgesik, antihistamin, antiasma puff aerosol, dan obat anestesi lokal.
Diet tinggi karbohidrat dijumpai pada makanan atau minuman manis, seperti permen, kue,
soft drinks, dan jus buah. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh
tubuh, menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa
darah ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya
kadar kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau
panas.
TATA LAKSANA
yang disebabkan hipokalemia. Terapi PPHF mencakup pemberian kalium oral, modifikasi
diet dan gaya hidup untuk menghindaripencetus, serta farmakoterapi. Di beberapa literatur,
disarankan pemberian kalium oral dengan dosis 20-30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai
Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi kalium
harus diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi trans-
selular kalium berhenti. Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi
perubahan EKG, harus diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus
kontinu, dengan pemantauan ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau dalam terapi
digoksin juga harus diberi terapi kalium IV dengan dosis lebih besar (1 mEq/kg berat badan)
karena memiliki risiko aritmia lebih tinggi. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
pemberian kalium ialah kadar kalium plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi
pasien.Suplementasi kalium dibatasi jika fungsi ginja terganggu. Pemberian oral lebih aman
kali sehari pada anak terbukti cukup efektif mengatasi serangan, mengurangi frekuensi
serangan, dan mengurangi derajat keparahan. Mekanisme kerja asetazolamid sampai saat ini
masih belum jelas, tetapi penelitian terakhir mengungkap bahwa obat ini bekerja dengan
terkontrol pada tahun 2000 menunjukkan bahwa diklorfenamid dosis 50-200 mg/hari terbukti
meningkatkan ekskresi natrium dan menahan kalium di tubulus ginjal. Di beberapa negara,
eff ervescent kalium sitrat adalah sediaan yang paling efektif dan ditoleransi dengan baik oleh
saluran cerna. Belum ada penelitian pada pasien anak yang membandingkan efektivitas
yang jelas di antara para ahli mengenai kapan dianjurkan menggunakan asetazolamid,
spironolakton, atau obat lain. Sebagian besar penelitian masih terbatas pada pasien dewasa.
Tata laksana utama PPHF pada anak lebih ditekankan ada edukasi dan suplementasi kalium
per oral mengingat efek samping farmakoterapi. Penelitian yang berkembang saat ini lebih
berfokus pada penelitian biomolekuler untuk mencari dasar kelainan chanellopathy di tingkat
gen, tidak banyak berpusat pada aspek tata laksana. Terapi gen sebagai terapi definitive untuk
Terapi dapat mencegah kelemahan otot lebih lanjut. Serangan terus-menerus dapat
menyebabkan kelemahan otot permanen, tetapi jarang dijumpai pada pasien anak.
Komplikasi akut meliputi aritmia jantung, kesulitan bernapas,bicara, dan menelan, serta
kelemahan otot progresif. Komplikasi hipokalemia kronis berupa kerusakan ginjal, batu
PENCEGAHAN
Edukasi pasien sangat penting karena berhubungan dengan gaya hidup, pola makan,
dan aktivitas fi sik. Mengingat PPHF merupakan penyakit yang diturunkan, diperlukan pula
konseling genetik untuk pasangan yang ingin memiliki anak. Sampai saat ini, belum ada alat
PEMBAHASAN
tanggal 8 November 2013 dengan keluhan lemah kedua tungkai. Pasien dirujuk dari
pusekesmas dengan keluhan lemah kedua kaki sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa
kesemutan dari paha menjalar ke ujung kaki.Tiba-tiba saat pasien berdiri dan berjalan
kakinya tersa lemas dan pasien terjatuh. Setelah itu semakin lama kedua kakinya sulit
digerakkan dan pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada
riwayat trauma, diare,muntah,demam, dan nyeri kepala BAB dan BAK nya dalam batas
normal. Pada anamnesis pasien menyangkal mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes
mellitus namun pasien mengatakan alergi obat Ceftriakson. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesan umum baik dengan GCS 456. Tekanan darah 128/72, nadi 88 x/menit, suhu
36,7 C, RR 20 x/menit dan status generalis dalam batas normal. Pada status psikologis afek
dan emosinya nampak cemas akan penyakitnya, komponen lainnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan neurologis GCS 456. Pada pemeriksaan nervus cranialis dalam batas normal.
Pemeriksaan meningeal sign negative. Pada pemeriksaan kekuatan otot terdapat kelemahan
pada kedua ekstrimitas bawah. Reflek fisiologis sama antara ekstrimitas dextra dan sinistra
negative. Pada pemeriksaan sensorik pasien mengatakan terdapat hipesthesia di telapak kaki
hingga mata kaki. Pemeriksaan fungsi luhur dan keseimbangan dalam batas normal. Pada
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan paraplegi pasien ini adalah tipe
pada criteria GBS menurut Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)
dimana pada pasien ini didapatkan kelumpuhan yang progresif, hiporefleks, simetris dan
gangguan sensibilitas ringan. Walaupun GBS sering dikaitkan pada infeksi sebelum adanya
gejala hal ini tidak bisa menjadi acuan karena ini dari GBS adalah adanya gangguan system
imun autoantibody pada saraf perifer dimana menyerang myelin. Kemudian dengan adanya
Paralisis Periodik Hipokalemi memperburuk keadaan kelemahan otot yang disebabkan oleh
GBS. Paralisis Periodik Hipokalemi ini bisa disebabkan karena asupan tinggi karbohidrat,
insulin, stres emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan
anestesi local. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh,
menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah
ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar
kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.
Terapi yang diberikan farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologisnya dengan
memberikan ranitidine untuk mengurangi stress ulcer selama pasien MRS. Mecobalamin
untuk terapi definitive GBS dan KCl sebagai terapi definitive Paralisis Periodik Hipokalemi.
Terapi non farmakologisnya dengan fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak dan
mengurangi retraksi otot-otot pernapasan serta latihan gerak otot pasif agar tidak terjadi
KESIMPULAN
tanggal 8 November 2013 dengan keluhan lemah kedua tungkai. Pasien dirujuk dari
pusekesmas dengan keluhan lemah kedua kaki sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa
kesemutan dari paha menjalar ke ujung kaki.Tiba-tiba saat pasien berdiri dan berjalan
kakinya tersa lemas dan pasien terjatuh. Setelah itu semakin lama kedua kakinya sulit
digerakkan dan pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada
riwayat trauma, diare,muntah,demam, dan nyeri kepala BAB dan BAK nya dalam batas
normal. Pada anamnesis pasien menyangkal mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes
mellitus namun pasien mengatakan alergi obat Ceftriakson. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesan umum baik dengan GCS 456. Tekanan darah 128/72, nadi 88 x/menit, suhu
36,7 C, RR 20 x/menit dan status generalis dalam batas normal. Pada status psikologis afek
dan emosinya nampak cemas akan penyakitnya, komponen lainnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan neurologis GCS 456. Pada pemeriksaan nervus cranialis dalam batas normal.
Pemeriksaan meningeal sign negative. Pada pemeriksaan kekuatan otot terdapat kelemahan
pada kedua ekstrimitas bawah. Reflek fisiologis sama antara ekstrimitas dextra dan sinistra
negative. Pada pemeriksaan sensorik pasien mengatakan terdapat hipesthesia di telapak kaki
hingga mata kaki. Pemeriksaan fungsi luhur dan keseimbangan dalam batas normal. Pada
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan paraplegi pasien ini adalah tipe
LMN dikarenakan kemungkinan topisnya ada di poliradix kemungkinan diagnosis
etiologisnya adalah GBS dengan Paralisis Periodik Hipokalemi . Diagnosis GBS didasarkan
pada criteria GBS menurut Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)
dimana pada pasien ini didapatkan kelumpuhan yang progresif, hiporefleks, simetris dan
gangguan sensibilitas ringan. Walaupun GBS sering dikaitkan pada infeksi sebelum adanya
gejala hal ini tidak bisa menjadi acuan karena ini dari GBS adalah adanya gangguan system
imun autoantibody pada saraf perifer dimana menyerang myelin. Kemudian dengan adanya
Paralisis Periodik Hipokalemi memperburuk keadaan kelemahan otot yang disebabkan oleh
GBS. Paralisis Periodik Hipokalemi ini bisa disebabkan karena asupan tinggi karbohidrat,
insulin, stres emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan
anestesi local. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh,
menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah
ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar
kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.
Terapi yang diberikan farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologisnya dengan
memberikan ranitidine untuk mengurangi stress ulcer selama pasien MRS. Mecobalamin
untuk terapi definitive GBS dan KCl sebagai terapi definitive Paralisis Periodik Hipokalemi.
Terapi non farmakologisnya dengan fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak dan
mengurangi retraksi otot-otot pernapasan serta latihan gerak otot pasif agar tidak terjadi
Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology. Edisi 8. New York:
McGraw-Hill. p 50-52; 1049-1092
American Cancer Society. 2009. Brain and Spinal Cord Tumor in Adults.
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/ webcontent/003088-pdf. Diakses 4
Desember 2012.
Aminorf, J.M., Greenberg, A.D., and Simon, P.R., 2005. Clinical Neurology. Edisi 7.
USA:Lange Medical Books/McGraw-Hill.p 155-157
Andrea K, Thomas M. Disorders of water, sodium, and potassium homeostasis. In: Nichols
DG, editor. Rogers textbook of pediatric intensive care. 4th ed. Baltimore: Lippincott
Williams &Wilkins; 2008. p. 243-58
Cannon SC. An expanding view for the molecular basis of familial periodic paralysis.
Neuromuscul Disord. 2002;12(6):533-43.
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.
Hypokalemia periodic paralysis [Internet]. 2011 [cited 2011 Apr 18]. Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000312.htm.
Hypokalemia periodic paralysis [Internet]. 2011 [cited 2011 Apr 20]. Available from:
http://www.hkpp.org.
Lin SH, Chiu JS, Hsu CW, Chau AT. A simple and rapid approach to hypokalemic paralysis.
Am J Emerg Med. 2003;21:487-91.
Palmer BF, Dubose TD. Disorders of potassium metabolism. In: Schrier RW, editor. Renal
and electrolyte disorders. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p.
137-64.
R. Putz, R. Pabst. 2006.Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Edisi 21.Jilid 2. Jakarta: EGC.
Sarnat BH. Neuromuscular disorder. In: Berhman RE, Kliegman RM, Jensen HB, editors.
Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 2531-40.
Sherwood L. 2007. Human physiology from cells to system. Edisi ke-6. Canada: Thomson
Brooks/ Cole;.p. 77-211.
Stemberg D, Maisonobe T, Jurkat RK, Nicole S, Launay E, Chauveau D, et al. Hypokalaemic
periodic paralysis type 2 caused by mutations at codon 672 in the muscle sodium
channel gene SCN4A. Brain. 2011;124:1091-9.
Tambunan T. Tubulopati. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku
ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. p. 470-89.