Anda di halaman 1dari 22

catatan kecil

February 3, 2010
Ikterus Obstruktif (obstructive jaundice)

Filed under: Bedah,med papers ningrum @ 6:04 pm

PENDAHULUAN

Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara visual. Jaundice selalu
berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang
mendasari jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin.
Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan
gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih
lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah,
sementara jaundice obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk
pengobatan. (1)

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen
pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal
berkisar antara 0,5 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin
menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin
merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien. (2)

Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh
sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan
albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine
diphosphateglucuronyl transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam
glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan bilirubin
diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada
ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi
portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin. (2)

DEFENISI

Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen
bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus
menimbulkan manifestasi klinik. (3)

Jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah
pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-
oranye) pada jaringan tersebut. (4)

ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER

Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya dengan pembuluh darah
penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya terdapat variasi anatomi yang luas. Deskripsi
anatomi klasik pada traktus biliaris hanya muncul pada 58% populasi. (4)

Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral (divertikulum hepatikum) dari
bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian
sebagaimana bagian tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik ventral: bagian kranial lebih besar (pars
hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk
kandung empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara divertikulum hepatikum dan
penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan
masuk duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum. (4)

Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan ekstra-hepatik. Unit sekresi
hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier), kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal
Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik
(kanan dan kiri), duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis
merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris. (4)

Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris. Duktus biliaris komunis kira-kira
panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi:
supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatik. Duktus biliaris komunis kemudian memasuki dinding
medial duodenum, mengalir secara tangensial melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor
pada bagian kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang membentuk sfingter Oddi.
Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus
pankreatikus (75%) untuk membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater. (4)

Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular peribilier. Pembuluh aferen
pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini mengalir kedalam sistem vena porta atau
langsung kedalam sinusoid hepatikum. (4)

METABOLISME NORMAL BILIRUBIN

Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin heme setelah dibebaskan
dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau. Biliverdin berubah menjadi bilirubin yang
berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan dengan albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan
ditransportasikan ke dalam sel hati. Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin
indirek berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan tidak dikeluarkan melalui urin.
Didalam sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin dikonjugasikan dengan asam glukoronik yang larut dalam
air dan dikeluarkan ke saluran empedu. Pada reaksi diazo Van den Berg memberikan reaksi langsung sehingga
disebut bilirubin direk. (5)

Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak, kekurangmampuan
sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya refluks bilirubin direk dari saluran empedu
ke dalam darah karena adanya hambatan aliran empedu menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah.
Keadaan ini disebut hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus. (5)

KLASIFIKASI

Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice
obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur metabolisme bilirubin
melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek
hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah kondisi pre-hepatik. (1)

DIAGNOSIS

Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis, pemeriksaan fisik yang
teliti serta pemeriksaan faal hati. (5)

Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal, keluhan saluran cerna,
nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat
transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan pembedahan. (5)

Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin (Tabel 1). Penyakit yang menyebabkan
jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice medis seperti peningkatan produksi,
menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang
menyebabkan jaundice surgical melalui kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum
meningkatnya produksi bilirubin termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka
bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan
akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis
induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat disebabkan oleh beragam gangguan termasuk
koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing
primer. (2) Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan antara kerusakan pada ambilan
bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik, yang
biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus,
anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis non-invasif
membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan
dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris umum

biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan jaundice tak-nyeri
bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah keganasan/malignansi. Jika jaundice
terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung empedu menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan.
(2)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda stigmata sirosis hepatis,
seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan
limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar
menunjukkan adanya sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor
(dikenal hukum Courvoisier). (5)

Hukum Courvoisier

Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung empedu. Hal ini
biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas, ampula, duodenum, CBD), striktur
pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal. (3)

Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin direk dan indirek,
alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak
terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi
hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum
biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15
mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih
menengah pada bilirubin serum (4 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada
obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial. (2)

Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh gangguan pada sel-sell
hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu. Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari
bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek
yang jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat
diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena
itu adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-sel hati.
Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan
terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus). (2)

Pemeriksaan Penunjang
USG

Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan
pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya
batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu
empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak
ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan
saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. (2)

Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat menilai kelainan organ
yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan ginjal. Aman dan tidak invasif merupakan
keuntungan lain dari sonografi. (2)

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu empedu radiolusen.
Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hati
yang sakit. (5)

Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan ERCP (Endoscopic
Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan endoskopi melalui muara papila Vater kontras
dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah
sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya
penyempitan. Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat
dimasuki kanul. (5)

Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya dapat divisualisasikan
dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan
penyuntikan kontras melalui jarum yang ditusukkan ke arah hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras
disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT)
adalah pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan hati dapat
diperlihatkan lokasinya dengan tepat. (5)

Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan biopsi jarum untuk
pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda obstruksi saluran empedu karena
dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu. (5)

JAUNDICE OBSTRUKTIF

Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan terjadinya kolestasis yang
disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum sumbatan melebar. Aktifitas enzim alkalifosfatase
akan meningkat dan ini merupakan tanda adanya kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian
pembentukan abses menyertai demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit ikterus
obstruktif. (5)

Patofisiologi jaundice obstruktif

Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk pencernaan dan penyerapan lipid di
usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer
ekskresi beragam komponen endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon.
(4)

Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen empedu (yang paling
penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada
sirkulasi sistemik. Feses biasanya menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus.
Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin
larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan,
seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. (4)

Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin terkonjugasi mencapai urin
dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam empedu berhubungan dengan, namun tidak
menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi
lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil); level
trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh. (4)

Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi mitokondria dan gangguan
pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu hidrofobik mengindikasikan penyebab utama
hepatotoksisitas dengan perubahan sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan
metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi
oksigen jenis radikal bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif. (4)

Etiologi jaundice obstruktif

Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya tumor atau
penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan cacing askaris sering dijumpai sebagai penyebab
sumbatan di dalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar
tumor ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar menimbulkan
gangguan aliran empedu. (5)

Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista koledokus, abses amuba
pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter papila vater. (5)

Ringkasnya etiologi disebabkan oleh: koledokolitiasis, kolangiokarsinoma, karsinoma ampulla, karsinoma


pankreas, striktur bilier. (4)

Gambaran klinis jaundice obstruktif

Jaundice, urin pekat, feses pucat dan pruritus general merupakan ciri jaundice obstruktif. Riwayat demam, kolik
bilier, dan jaundice intermiten mungkin diduga kolangitis/koledokolitiasis. Hilangnya berat badan, massa
abdomen, nyeri yang menjalar ke punggung, jaundice yang semakin dalam, mungkin ditimbulkan karsinoma
pankreas. Jaundice yang dalam (dengan rona kehijauan) yang intensitasnya berfluktuasi mungkin disebabkan
karsinoma peri-ampula. Kandung empedu yang teraba membesar pada pasien jaundice juga diduga sebuah
malignansi ekstrahepatik (hukum Couvoissier). (4)

Pemeriksaan pada jaundice obstruktif

1. Hematologi (4)

Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin terkonjugasi. Serum gamma glutamyl
transpeptidase (GGT) juga meningkat pada kolestasis.

Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan
pasien dengan obstruksi maligna ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase
meningkat 10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10 kali nilai normal dan menurun
dengan cepat begitu penyebab obstruksi dihilangkan.

Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan kanker obstruksi lainnya, bilirubin
serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali fosfatase meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap
normal.
Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada karsinoma pankreas,
kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun penanda tersebut tidak spesifik dan mungkin saja
meningkat pada penyakit jinak percabangan hepatobilier lainnya.

1. Pencitraan (4)

Tujuan dibuat pencitraan adalah: (1) memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah
jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik), (2) untuk menentukan level obstruksi, (3) untuk
mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi, (4) memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan
diagnosa yang mendasarinya (misal, informasi staging pada kasus malignansi)

USG : memperlihatkan ukuran duktus biliaris, mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan
memberikan informasi lain sehubuungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung empedu, perubahan
parenkimal hepatik).

USG : identifikasi obstruksi duktus dengan akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan duktus
biliaris yang berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga dapat
memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur yang mengelilinginya.

CT : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu, pankreas, ginjal dan retroperitoneum;
membandingkan antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik dengan akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan
untuk menilai malignansi bilier.

ERCP dan PTC : menyediakan visualisasi langsung level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan bisa
menyebabkan komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis dan perdarahan.

EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging malignansi gastrointestinal, evaluasi
tumor submukosa dan berkembang menjadi modalitas penting dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS
juga berguna untuk mendeteksi dan staging tumor ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi
striktur duktus biliaris benigna atau maligna. EUS juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi
padat.

Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik visualisasi terbaru, non-invasif


pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk
dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak
seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.

Penatalaksanaan jaundice obstruktif

Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan untuk menghilangkan penyebab
sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan pembedahan misalnya
pengangkatan batu atau reseksi tumor. Upaya untuk menghilangkan sumbatan dapat dengan tindakan endoskopi
baik melalui papila Vater atau dengan laparoskopi. (5)

Bila tindakan pembedahan tidak mungkin dilakukan untuk menghilangkan penyebab sumbatan, dilakukan
tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang terhambat dapat dialirkan. Drainase dapat dilakukan keluar
tubuh misalnya dengan pemasangan pipa nasobilier, pipa T pada duktus koledokus atau kolesistotomi. Drainase
interna dapat dilakukan dengan membuat pintasan biliodigestif. Drainase interna ini dapat berupa kolesisto-
jejunostomi, koledoko-duodenostomi, koledoko-jejunostomi atau hepatiko-jejunostomi. (5)

Anda mungkin juga menyukai