Anda di halaman 1dari 3

Menggugat tak Melulu Aksi

Artis : Silampukau
Rilis : 19 April 2015
Album : Dosa, Kota dan Kenangan
Genre : Folk
Label : Mosoiki Records

Silampukau, duo asal Kota Pahlawan ini mungkin awalnya banyak yang mempertanyakan.
Kreatif serta berani, mereka menamai grupnya dengan bahasa melayu kuno yang berarti burung
kepodang. Harusnya penikmat musik di Indonesia, terutama penikmat indie, sudah tak asing oleh
duo yang digawangi Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening itu. Terbukti dengan banyaknya
resensi album di berbagai laman daring yang mudah dijumpai di mesin pencari semacam Google
dan majalah-majalah yang beredar luas.
Keberanian mereka ditandai dengan peluncuran album berjudul Dosa, Kota dan Kenangan
(2015). Dari judul albumnya saja sudah terbenak dalam pikiran kita bahwa Silampukau ingin
membangunkan pendengar dengan ingatan masa lalu (kenangan). Seakan manusia kekinian telah
meluluhlantahkan tanggung jawab dari pendahulunya, yakni menjaga. Dosa, Kota dan Kenangan
terdiri dari tiga variabel yang masing-masing mewakili gambaran kota Surabaya dalam dua titian
waktu.

Dosa
Setelah mendengarkan beberapa lirik lagunya, pendengar secara diajak untuk bernostalgia
melalui serpihan kisah-kisah dari kota Surabaya. Salah satunya akan ditemui dalam lagu berjudul
Si Pelanggan, yang mengangkat cerita tentang lokalisasi yang pada suatu masa pernah menjadi
lokasi prostitusi terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Lokalisasi Dolly yang jadi tempat
berbagi cerita, cinta (plus seks tentu saja), dan rahasia para pria Surabaya, didendangkan dengan
jenaka. Sayang, beberapa pihak menganggap Dolly sebagai aib kota dan penyakit yang wajib
diberantas, ditabukan dan digusur. Namun Dolly dalam kenangan pria Surabaya bak penyelamat
mereka yang memuja dosa tertua. Dolly/ meski beritamu kini sedang tak pasti/ yakinlah, pelacur
dan mucikari/ kan hidup abadi.
Lagu lain, Doa 1, menarasikan dosa dan ketakutan pribadi dalam industri musik. Ada hal-
hal yang membuat musisi inkonsisten dan berujung pada materi semata. Duh Gusti/ kini kumulai
lelah jadi musisi/ jiwaku remuk terteror televisi/ aku cemas, Gusti, suatu nanti/ aku berubah
murahan seperti Ahmad... Dalam lagu paling pendek di album mereka, Aku Duduk Menanti, Eki
bergumam: aku masih di sini/ ku duduk menanti/ hanya menanti/ tak bergegas mencari/ hanya
bersedih dalam sunyi. Ada dua kemungkinan makna dalam lagu tersebut. Pertama, keputusasaan.
Kedua, penyesalan yang mendalam. Dua hal itu bakal sia-sia, malah berujung dosa, jika tak ada
tindakan apa-apa. Aduh, tampaknya kita benar-benar sudah khilaf.

Kota
Magrib mengambang/ lirih dan terabaikan/ Tuhan kalah di riuh jalan/ orkes jahanam/
mesin dan umpatan/ malam jatuh di Surabaya, begitulah lirik lagu Malam Jatuh di Surabaya.
Bahkan adzan Maghrib yang katanya sakral pun mulai kehilangan wibawanya. Tergantikan oleh
kebisingan dengan intensitas 60-70 dB mengiringi hari, hingga malam jatuh di Surabaya.
Kemudian di Lagu Rantau (Sambat Omah) lagi-lagi Silampukau memaparkan kegelisahan
perantau yang tiba di Surabaya. Iming-iming hidup layak, sejahtera, gaji tinggi tak sebanding
kondisi Surabaya saat ini. Lewat lagu ini, dikisahkan dengan jujur bahwa banyak yang merasa
tidak betah dan ingin segera pulang ke asalnya. Kota menghisapku habis/ tubuh makin tipis/
dompetku kembang kempis. Berikutnya, Bola Raya, adalah nyanyian rindu arek Suroboyo pada
ruang bermain yang mulanya berupa lapangan bola, kini disulap jadi bangunan berlantai sekian.
Kota seakan tak punya telinga untuk mendengar jerit warga seperti kami rindu lapangan hijau
atau kami hanya main bola.

Kenangan
Balada Harian memaparkan perubahan sosial di Surabaya. Liriknya yang berbunyi, kota
tumbuh/ kian asing, kian tak peduli/ dan kita tersisih di dunia yang ngeri/ dan tak terpahami ini.
Tak hanya kota yang kian dirasa asing, warganya sendiri pun yang kian mengasing. Wong Jawa
ilang Jawane. Kegelisahan yang sama dirasakan dalam Puan Kelana, tentang lelaki yang enggan
ditinggal pergi kekasihnya ke Paris. Mari, Puan Kelana/ jangan tinggalkan hamba/ toh, hujan
sama saja menakjubkannya/ di Paris atau di tiap sudut Surabaya.
Bianglala berdalih melalui salah satu wahana taman rekreasi masa lalu, seakan wajah asli
Surabaya riang, ramai, tegas, bahagia. Bahkan dulu, di setiap sudut kota dengan cahaya remang-
remang, berdiri kokoh si bianglala. Tampaknya kita benar-benar lupa, bahagia tak melulu soal
nominal. Aih, ya Tuan/ di sanalah hiburan murah/ di Surabaya. Kenangan begitu nyata, dan
semoga tak hanya menumpang lewat saja.
Silampukau menyampaikan nasihat-nasihat menarik. Hidup jangan melulu lurus, sesekali
kita butuh minuman keras (miras). Sebenarnya keberadaan miras telah mendarah daging, seakan
jadi tradisi dalam masyarakat bawah. Seperti Dolly, nasib penjual miras semakin terombang-
ambing. Inilah yang digelisahkan lewat lagu Sang Juaragan. Simak saja: hidup ini tambah keras/
semenjak naiknya harga miras/ anggur, vodka, arak beras/ lebih hemat campur potas.
Dengan eksisnya duo folk tersebut, Surabaya perlahan menjadi kota kreatif, yang semakin
dicerdaskan oleh kehadiran mereka. Penggambaran kota secara metaforik, rasanya unik dan patut
ditafsir lebih dalam secara kreatif. Mungkin tak sepenuhnya tepat mengelompokkan lagu mereka
ke dalam tiga variabel yang berbeda, sebab satu lagu ke lainnya memiliki keterkaitan yang sama-
sama mewakili Dosa, Kota dan Kenangan. Begitulah Silampukau! []
Hanindya Septian Ardhie

Anda mungkin juga menyukai