TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Adapun tahap dari penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease
(CKD) menurut National Kidney Foundation (2009) adalah:
c. Tahap III: Penurunan GFR sedang yaitu 30-59 mL/ min/1.73 m2. Tahap
ini terbagi menjadi tahap IIIA (GFR 45-59) dan tahap IIIB (GFR 30-44).
Pasien mengalami penurunan fungsi ginjal sedang
d. Tahap IV: Penurunan GFR berat yaitu 15-29 mL/ min/1.73 m2, terjadi
penurunan fungsi ginjal yang berat
e. Tahap V: Gagal ginjal dengan GFR <15 mL/ min/1.73 m2, terjadi penyakit
ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ ESRD). Pasien mengalami
penurunan fungsi ginjal yang sangat berat dan dilakukan terapi pengganti
ginjal secara permanen.
Dilihat dari segi epidemiologi, PGK dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Penyebab utama PGK di seluruh dunia ialah Diabete Melitus tipe 1 dan 2.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya PGK ialah hipertensi dengan
prevalensi 29,3%; glomerulonefritis dan penyakit ginjal polikistik dengan
jumlah kasus 1 dari 800 kelahiran (Himmelfarb & Sayegh, 2011). Umumnya
penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik difus
dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir
dengan penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti
nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir
dengan penyakit ginjal kronik (Sukandar, 2006).
Faktor resiko penyakit ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
mellitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,
dan individu dengan riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
2. Kelaianan saluran cerna: Mual dan muntah sering menjadi keluhan utama
yang dirasakan oleh pasien penyakit ginjal kronik terutama pada tahap
terminal. Sampai saat ini patogenensis dari mual dan muntah belum dapat
dipastikan dengan jelas, namun kejadian mual dan muntah dihubungkan
dengan dekompesi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3).
Amonia menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan saluran cerna ini akan segera tertangani setelah
pembatasan diet protein dan antibiotic (Sukandar, 2006).
3. Kelaianan kulit: Gatal sering mengganggu pasien, patogenesis dari gatal
sendiri belum dapat dipastikan dengan jelas dan diduga berhubungan
dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
menghilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Sukandar, 2006).
a. Terapi Konservatif
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsy dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaiknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat
(Suwitra, 2006).
b. Dialisis
1. Dialisis Peritoneal
2. Hemodialisis
a) Definisi Hemodialisis
f) Dosisi Hemodialisis
g) Komplikasi Intradialisis
2.2 Mual
2.2.1 Definisi
Mual merupakan sebuah perasaan kurang enak pada perut yang biasanya
berakhir dengan muntah. Rasa tidak enak pada perut biasanya disertai dengan
penurunan tonus otot lambung, meningkatnya aliran darah ke mukosa
intestinal, hipersalivasi, detak jantung meningkat dan perubahan ritme
pernapasan (Wood, Chapman, & Eilers, 2011). Mual adalah rangsangan pada
pusat muntah dan mual yang disebabkan oleh impuls iritatif dari traktus
gastrointestinal, impuls dari otak bawah berhubungan dengan motion sickness
atau impuls dari korteks serebri (Guyton & Hall, 2007). Mual adalah perasaan
yang tidak menyenangkan bersifat subjektif pada epigastrik yang disertai
dengan takikardi, dorongan untuk muntah, peningkatan produksi keringat,
produksi saliva meningkat, dan disertai timbulnya sensasi panas atau dingin
(Garret et al, 2003 dalam Hayati, 2009). Menurut Wilkinson (2006), mual
atau nausea adalah sensasi seperti gelombang dibelakang tenggorokan,
epigastrium, atau abdomen yang bersifat subjektif dan tidak menyenangkan
yang dapat menyebabkan dorongan atau keinginan untuk muntah. Frekuensi
mual saat hemodialisis adalah 5-15% dari keseluruhan hemodialsis
(Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Penelitian pada 227 pasien di Pakistan tahun
1997-1998 menunjukkan bahwa 2% pasien mengalami mual saat hemodialisis
berlangsung (Ahmed et al, 2002 dalam Armiyati, 2009). Jadi dapat
disimpulkan, mual adalah keadaan tidak nyaman pada epigastrik yang bersifat
subjektif.
2.2.2 Faktor Resiko Mual
Beberapa terapi medis dapat menjadi salah satu faktor resiko timbulnya rasa
mual seperti hemodialisis, kemoterapi dan lain-lainnya. Selain terapi medis
terdapat faktor resiko lain yang dapat mencetuskan persaan mual, diantaranya:
usia, jenis kelamin, riwayat mual-muntah, dan riwayat konsumsi alkohol.
Wanita memiliki kecenderungan lebih besar merasakan mual-muntah
dibandingkan pria, menurut beberapa ahli hal tersebut terjadi karena pengaruh
hormon (Garret et al, 2003 dalam Hayati, 2009). Berdasarkan beberapa
penelitian, dilaporkan bahwa remaja merasakan mual lebih berat
dibandingkan anak-anak (Lebaron et al, 2006 dalam Hayati, 2009). Selain itu
terdapat beberapa hal yang dapat menjadi faktor resiko timbulnya rasa mual,
ialah: nyeri epigastrik, ingatan yang kurang menyenangkan, dan beberapa
terapi medis. Umumnya perasaan mual selalu diikuti dengan peningkatan
produksi saliva. Selama mual berlangsung, terjadi penurunan peristaltik dan
tonus lambung, sebaliknya tonus duodenum dan jejunum bagian proksimal
meningkat sehingga terjadi refluks isi duodenum ke lambung.
a. Stadium pertama
b. Stadium kedua
c. Stadium ketiga
Mual merupakan salah satu komplikasi umum yang sering ditemukan pada
pasien PGK dengan hemodialisis. Frekuensi mual saat hemodialisis adalah 5-
15% dari keseluruhan hemodialsis (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Penelitian
pada 227 pasien di Pakistan tahun 1997-1998 menunjukkan bahwa 2% pasien
mengalami mual saat hemodialisis berlangsung (Ahmed et al, 2002 dalam
Armiyati, 2009). Penyebab mual sendiri merupakan penyebab multifaktorial,
salah satu faktor timbulnya rasa mual yaitu sindrom uremia, penumpukan urea
dapat menyebabkan meningkatnya produksi asam lambung (Bieber &
Himmelfarb, 2013). Selain sindrom uremia, terdapat beberapa faktor lain yang
dapat mendukung timbulnya rasa mual, seperti: ketidaknyamanan akibat nyeri
selama hemodialisis, lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis
selama hemodialisis, banyaknya ureum yang dikeluarkan atau besarnya
ultrafiltrasi (Holley, Berns & Post, 2007). Gangguang keseimbangan dialisis
(Dialisis Disequilibrium Syndrome/DSS) akibat ultrafiltrasi yang berlebihan
dan hemolisis juga dapat menyebabkan mual saat hemodialisis (Daugirdas,
Blake & Ing, 2007). Himmelfarb & Sayegh (2011), juga menjelaskan bahwa
DSS timbul selama hemodialisis berlangsung dimana terjadi proses dimana
cairan dan urea keluar dari dalam tubuh dengan begitu cepat. DSS saat
hemodialisis pada pasien dengan kondisi tertentu, seperti: pertama memulai
dialysis, usia lanjut dan anak-anak, adanya lesi saraf pusat atau kondisi yang
meningkatkan edema serebral, kadar ureum pradialisis yang tinggi serta
asidosis metabolic berat (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).
Mual memiliki dampak yang signifikan pada pasien PGK dengan terapi
hemodialisis. Dampak yang ditimbulkan dari mual sendiri yaitu terganggunya
aktifitas pasien, kelelahan, hingga meningkatkan resiko cedera pada mukosa
gastrointestinal (Armiyati, 2009). Mual juga dapat menimbulkan dampak
negatif dari segi psikologis yaitu meningkatkan kecemasan dan depresi,
menimbulkan koping tidak efektif, meningkatkan ketidakberdayaan dan tidak
kooperatif dengan terapi. Dampak lain dari mual yang ditemukan pada pasien
PGK dengan terapi hemodialisis adalah tingginya angka malnutrisi. Penelitian
mengenai keadaan gizi pasien PGK dengan terapi hemodialisis menunjukkan
bahwa banyak ditemukan pasien memiliki status gizi yang kurang, dimana hal
tersebut disebabkan oleh rendahnya asupan makanan. Kurangnya asupan
makanan sendiri disebabkan oleh gangguan gastrointestinal yaitu mual dan
anoreksia (Susetyowati, 2002 dalam Zuyana dan Adriani, 2013).
Terdapat beberapa instrument yang dapat digunakan sebagai salah satu alat
ukur mual akibat terapi hemodialisis. instrument tersebut ialah Rhodes Index
of Nausea, Vomiting, and Retching (INVR), Morrow Assessment of Nausea
and Emesis (MANE) yang sebelumnya telah diuji validitas dan realibilitasnya
terlebih dahulu (Rhodes & Mc Daniel, 2004 dallam Apriany, 2010) serta
Nursing Outcomes Classification (NOC) Label Nausea & Vomiting Severity
(Sue, Marion, Meridean & Elizabeth, 2008) dengan menggunakan uji validitas
dan realibilitas terpakai. Instrument tersebut umumnya digunakan untuk
mengukur mual-muntah pada orang dewasa dan dapat juga digunakan pada
anak usia prasekolah, khusus untuk INVR hanya dapat digunakan untuk
mengukur intensitas muntah, namun perlu menggunakan instrument lain
untuk mengukur mual.
Saliva dieksresikan oleh kelenjar di mulut dengan jumlah kurang lebih 1,5 L
per hari. Saliva mengandung 2 tipe sekresi protein utama, salah satunya ialah
sekresi mukus yang mengandung musin bertujuan untuk pelumas dan
perlindungan permukaan. Saliva memiliki pH 6,0 7,0 yang sesuai untuk
proses pencernaan. Sekresi saliva sangat penting bagi kesehatan rongga mulut.
Peningkatan produksi saliva juga terjadi akibat respons refleks dari lambung
dan usus halus bagian atas khususnya saat menelan makanan. Pada saat mual
umumnya akan terjadi peningkatan sekresi saliva. Pada saat menelan, saliva
akan membantu menangani faktor iritan padat raktus gastrointestinal dengan
cara menetralkan zat iritan.
Permen karet tidak untuk ditelan tapi terkadang bisa tidak sengaja tertelan,
terutama pada anak-anak. Permen karet terbuat dari pemanis, perasa dan
bahan sintetis (gum resin). Tubuh manusia dapat menyerap pemanis seperti
gula dan bisa menambah kalori jika permen karet tersebut mengandung gula
yang tinggi. Tapi pencernaan manusia tidak bisa mencerna gum resin.
Biasanya dengan bantuan gerakan peristaltik dari usus (usus mendorong
bahan tersebut), maka permen karet tersebut akan keluar saat orang buang air
besar. Seluruh proses gum resin dari kerongkongan ke perut, usus dan keluar
melalui ekskresi tubuh biasanya memakan waktu 2-3 hari. Ini membuktikan
bahwa sebenarnya tidak berbahaya bila tidak sengaja menelan permen karet.
Namun bukan berarti permen karet boleh sengaja ditelan (Wahyuningsih,
2011).
Permen karet sendiri memiliki berbagai macam jenis, seperti: Gum balls,
Bubblegum, Sugarfree gum, Candy & Gum Combination, dan Functional
gum. Berdasarkan pemanis yang digunakan permen karet dapat dibedakan
menjadi non-sugar free dan sugar free. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa permen karet sugar free aman dikonsumsi oleh penderita diabetes
mellitus yang umumnya sensitive terhadap gula. Komposisi dari permen karet
terdiri dari gum base, colouring, sweeteners, antioxidant, softeners dan
flavorings. Perasa yang umum digunakan dalam permen karet sangat beraneka
ragam. Perasa yang paling sering digunakan dalam permen karet ialah rasa
mint. Pada peneltian ini permen karet yang digunakan ialah mentos breath
mints-peppermint sugarfree dengan komposisi yaitu isomalt, polydextrose,
perasa alami dan buatan, asam laktat, sucralose, acesulfame k, palm kernel oil
(trigliserida rantai menengah), gliserol, blue 1 dan pewarma (titanium
dioxide). Sedangkan nilai angka kecukupan gizi (rata-rata jumlah per porsi)
yang tercantum pada kemasan permen karet tersebut ialah kalori <5, lemak
total 0g, sodium 0mg, karbohidrat total 2g, gula 0g, xylitol 2g dan protein 0g.
Perasa mint dalam permen karet berasal dari minyak atsiri peppermint.
Peppermint merupakan salah satu minyak atrisi yang dihasilkan oleh tanaman
Mentha piperita (Mamun, 2006). Tanaman dari genus mentha merupakan
salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang memiliki berbagai khasiat.
Minyak atsiri yang dihasilkan dari ekstraksi tanaman genus mentha ini biasa
disebut dengan minyak permen. Ada 3 jenis genus mentha yang biasa
digunakan sebagai penghasil minyak permen yaitu tanaman Mentha arvensis
yang menghasilkan minyak cornmint, tanaman Mentha piperita yang
menghasilkan minyak peppermint dan Mentha spicata yang menghasilkan
minyak spearmint (Mamun, 2006). Peppermint memiliki kandungan yaitu
mentol, menton, isomenton, piperiton dan metal asetat. Kandungan tertinggi
yaitu mentol. Mentol merupakan senyawa organic dari jenis monoterpen yang
dapat disintesis secraa alami dari peppermint. Mentol merupakan senyawa
yang berperan penting sebagai antispasmodik. Mentol yang terkandung dalam
peppermint merupakan senyawa volatile yang memiliki aroma dan rasa yang
khas, sehingga sering dimanfaatkan sebagai bahan campuran untuk makanan,
minuman dan produk lain seperti sabun, sampo dan pasta gigi (Nogourani,
Janghorbani, Isfahan, & Beheshti, 2012). Peppermint memiliki banyak fungsi,
mulai dari bumbu makanan, antiemetika, antiseptik, antipruritic,
antispasmodic, karminatif, analgesic, gejala flu, sakit kepala, hingga masalah
saluran pernapasan (NCAM, 2012). Tetapi beberapa peneliti mengatakan
bahwa peppermint memiliki beberapa efek samping seperti: mulas, iritasi
perineal, dan juga merupakan kontraindikasi bagi pasien dengan obstruksi
saluran empedu, dan radang kandung empedu.
Hasil review jurnal yang dilakukan oleh Balakrihnan (2015), dikatakan bahwa
dalam simplisia Mentha piperita L. (peppermint) terkandung senyawa
minyak atsiri yang mengandung menthol, menthone, metal asetat,
menthofuran dan 1,8-cineol. Berdasarkan monografi dalam artikel ini,
peppermint oil bermanfaat secara internal dan eksternal. Secara internal
peppermint bermanfaat sebagai antispasmodic, mengobati sindrom iritasi
usus, radang selaput lender pada saluran pernapasan dan peradangan pada
mukosa mulut. Sedangkan secara eksternal peppermint bermanfaat sebagai
myalgia, neuralgia, karminatif, antibakteri, dan sekretolitik.
Dalam artikel herbal yang berjudul Peppermint : more than just another
pretty flavor dikatakan bahwa minyak peppermint sangat bermanfaat untuk
menekan gejala pada gangguan pencernaan. Selain itu dalam artikel juga
dikatakan bahwa, minyak peppermint dapat berfungsi sebagai anti mual. Pada
salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 1997 menunjukkan bahwa
peppermint dapat meredakan rasa mual pada pasien ginekologi. Minyak
peppermint memiliki banyak manfaat dalam lingkup kesehatan. Minyak
peppermint banyak digunakan sebagai minyak esensial dalam berbagai
macam produk seperti kosmetik, produk gusi dan gigi, permen karet, permen
dan minuman.