Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

The Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) of the national


kidney foundation (NKF) mendefinisikan penyakit ginjal kronik sebagai
kerusakan pada parenkim ginjal dengan penurunan Glomerular Filtration
Rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama atau lebih dari 3 bulan
dan dapat berakhir dengan gagal ginjal (National Kidney Foundation, 2009).
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah
gangguan ginjal yang bersifat irreversible dan progresif dimana terjadi
penurunan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga mengakibatkan sindrom uremia
(Smeltzer, Bare & Hinkle, 2008). Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan
suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal (Suwirta, 2006). Jadi, dapat
disimpulkan PGK adalah gangguan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan
irreversible dimana ginjal tidak bisa lagi menjalankan fungsinya dengan baik.

2.1.2 Tahapan PGK

Adapun tahap dari penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease
(CKD) menurut National Kidney Foundation (2009) adalah:

a. Tahap I: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90


mL/min/1.73 m2). Fungsi ginjal masih normal tapi telah terjadi
abnormalitas patologi dan komposisi dari darah dan urin
b. Tahap II: Penurunan GFR ringan yaitu 60-89 mL/min/1.73 m2 disertai
dengan kerusakan ginjal. Fungsi ginjal menurun ringan dan ditemukan
abnormalitas patologi dan komposisi dari darah dan urin

c. Tahap III: Penurunan GFR sedang yaitu 30-59 mL/ min/1.73 m2. Tahap
ini terbagi menjadi tahap IIIA (GFR 45-59) dan tahap IIIB (GFR 30-44).
Pasien mengalami penurunan fungsi ginjal sedang

d. Tahap IV: Penurunan GFR berat yaitu 15-29 mL/ min/1.73 m2, terjadi
penurunan fungsi ginjal yang berat

e. Tahap V: Gagal ginjal dengan GFR <15 mL/ min/1.73 m2, terjadi penyakit
ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ ESRD). Pasien mengalami
penurunan fungsi ginjal yang sangat berat dan dilakukan terapi pengganti
ginjal secara permanen.

2.1.3 Etiologi PGK

Dilihat dari segi epidemiologi, PGK dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Penyebab utama PGK di seluruh dunia ialah Diabete Melitus tipe 1 dan 2.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya PGK ialah hipertensi dengan
prevalensi 29,3%; glomerulonefritis dan penyakit ginjal polikistik dengan
jumlah kasus 1 dari 800 kelahiran (Himmelfarb & Sayegh, 2011). Umumnya
penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik difus
dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir
dengan penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti
nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir
dengan penyakit ginjal kronik (Sukandar, 2006).

Menurut Sudoyo (2006), penyebab PGK yang menjalani hemodialisis di


Indonesia tahun 2000 yaitu glomerulonefritis sebesar 46,39%; diabetes
mellitus tipe 1 dan 2 sebesar 18,65%; obstruksi dan infeksi sebesar 12,85%;
hipertensi sebesar 8,46% dan sebab lainnya 13,65%. Sedangkan menurut data
yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-
2008 didapatkan etiologi penyakit ginjal kronik terbanyak yaitu:
glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).

2.1.4 Faktor Resiko PGK

Faktor resiko penyakit ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
mellitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,
dan individu dengan riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

2.1.5 Manifestasi Klinis PGK

Manifestasi klinik penyakit ginjal kronik disertai sindrom azotemia sangat


kompleks, meliputi kelainan-kelainan organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, kulit dan kelinan neuropsikiatri (Sukandar, 2006).

1. Kelainan hemopoeisis: Anemia normokrom dan normositer, sering


diteukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila
ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang dari 25
ml per menit (Sukandar, 2006).

2. Kelaianan saluran cerna: Mual dan muntah sering menjadi keluhan utama
yang dirasakan oleh pasien penyakit ginjal kronik terutama pada tahap
terminal. Sampai saat ini patogenensis dari mual dan muntah belum dapat
dipastikan dengan jelas, namun kejadian mual dan muntah dihubungkan
dengan dekompesi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3).
Amonia menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan saluran cerna ini akan segera tertangani setelah
pembatasan diet protein dan antibiotic (Sukandar, 2006).
3. Kelaianan kulit: Gatal sering mengganggu pasien, patogenesis dari gatal
sendiri belum dapat dipastikan dengan jelas dan diduga berhubungan
dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
menghilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Sukandar, 2006).

4. Kelainan neuropsikiatri: Kelaianan mental ringan atau berat sering


dijumpai pada pasien dengan hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya. Pada kelaianan neurologi, kejang otot atau muscular
twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang
berat, kemudian terjun menjadi koma (Sukandar, 2006).

2.1.6 Penatalaksanaan PGK

a. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal


secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolism secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsy dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaiknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat
(Suwitra, 2006).

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai


dengan derajatnya, yaitu:
1. Derajat 1 (LFG 90), rencana tatalaksana yang sesuai ialah terapi
penyakit dasar, kondidi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular

2. Derajat 2 (LFG 60-89), rencana tatalaksana yang sesuai ialah


menghambat perburukan fungsi ginjal

3. Derajat 3 (LFG 30-59), rencana tatalaksana yang sesuai ialah


evaluasi dan terapi komplikasi

4. Derajat 4 (LFG 15-29), rencana tatalaksana yang sesuai ialah


persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5. Derajat 5 (LFG <15), rencana tatalaksana yang sesuai ialah dengan


terapi pengganti ginjal atau dialisis.

b. Dialisis

1. Dialisis Peritoneal

Dialisis peritoneal merupakan salah satu metode dialisis dimana cairan


dialisis dimasukkan kedalam rongga peritoneum sehingga peritoneum
menjadi membrane pendialisis (Baradero, 2008). Dialisis peritoneal
berlangsung sekitar 36 jam. Fungsi dari dialisis peritoneal sendiri yaitu
menangani gagal ginjal akut dan kronik. Keunggulan dari dialisis
peritoneal yaitu dapat dilakukan di rumah atau bisa dilakukan di
rumah sakit. Indikasi medik dari dialisis peritoneal sendiri yaitu pasien
anak-anak dan lansia (usia lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakuakn hemodialisis,
kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien gagal
ginjal tahap akhir dengan residu urin masih cukup, serta pasien
nefropati diabetic disertai komorbid dan komortal. Indikasi non-medik
dari dialisis peritoneal sendiri yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri dan di daerah yang jauh
dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

2. Hemodialisis

a) Definisi Hemodialisis

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal


dengan menggunakan selaput membaran semi permeable (dialiser),
yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan
produk sisa metabolism dan mengoreksi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit pada pasien penyakit ginjal kronik stadium
akhir (Ignatavicius, 2009). Sedangkan menurut Baradero (2008),
hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi yang kemudian
darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien. Bagi pasien dengan
penyakit ginjal kronik, hemodialisis merupakan salah satu terapi
yang mampu memperpanjang kehidupan (Smeltzer, Bare &
Cheever, 2008).

b) Angka Kejadian Hemodialisis

Berdasarkan data WHO tahun 2013, prevalensi pasien PGK yang


menjalani hemodialisis di dunia mencapai jumlah 1,4 juta orang
dengan perkembangan 8% per tahun. Di Amerika Serikat dan
Eropa pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 46%-98%.
Sedangkan di Indonesia jumlah pasien hemodialisis mencapai
2146 orang dan pada tahun 2008 sebanyak 2260 orang berdasarkan
data yang diperoleh dari Indonesian Renal Registry (IRR) tahun
2011.
c) Indikasi Hemodialisis

Indikasi hemodialisis sendiri dapat dibedakan menjadi


hemodialisis emergency dan hemodialisis kronik. Keadaan akut
tindakan dialysis dilakukan pada kegawatan ginjal dengan keadaan
klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urin <200
ml/12 jam), anuria (produksi urin <50 ml/12 jam, hiperkalemia (K
>6.5 mmol/I), asidosis berat (pH <7.1 atau bikarbonat <12 meq/I),
uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati uremikum,
neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia
berat (Na >160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan akut
(alkohol atau obat-obatan) yang bisa melewati membrane dialysis.

Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan


berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis, dialisis dimulai jika GFR <15 ml/menit, keadaan
pasien yang memiliki GFR <15 ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap perlu dilakukan jika dijumpai nilai GFR
<15 ml/menit, terdapat gejala uremia (lethargi, anoreksia, mual
dan muntah), adanya malnutrisi, hipertensi yang sulit dikontrol dan
adanya kelebihan cairan dan komplikasi metabolik yang refrakter
(Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

d) Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisis

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisi, yaitu:


difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam
darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari
darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan
konsentrasi lebih rendah (Smeltzer, Bare & Cheever, 2008). Cairan
dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan
konsentrasi ekstrasel yang ideal. Air yang berlebihan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air
dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan dimana air
bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh
pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient
tersebut dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi. Pada saat hemodialisi
berlangsung, pasien, dialiser dan dialisat memerlukan pemantauan
yang ketat untuk meminimalisir berbagai komplikasi seperti:
emboli udara, ultrafiltrasi yang tidak adekuat (gejala yang timbul
seperti kram, mual hingga muntah), perembesar darah dan
komplikasi terbentuknya fistula (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

e) Akses Pada Pembuluh Darah Pasien

Terdapat beberapa untuk memperoleh akses ke dalam sirkulasi


darah pasien seperti Fistula arteriovena, Graft arteriovena, Shunt
arteriovena eksternal, Kateterisasi vena femoralis dan Kateterisasi
vena subklavia (Baradero, 2008). Untuk pemakaian sementara,
akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat melalui kateterisasi subklavia (Smeltzer, Bare & Cheever,
2008). Kateter dwi-lumen atau multi-lumen dimasukkan ke dalam
vena subklavia. Metode tersebut hanya dapat digunakan dalam
beberapa minggu. Kateter Femoralis dapat dimasukkan ke dalam
pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan dengan
cara menghubungkan pembuluh arteri dengan vena secara side-to-
side (dihubungkan antar sisi) atau end-to-side (dihubungkan antara
ujung dan sisi pembuluh darah). Segmen-arteri fistula digunakan
untuk aliran darah arteri dan segmen-vena digunakan untuk
memasukkan kembali darah yang sudah didialisis. Dalam
menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis,
sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong
pembuluh darah arteri atau vena dari sapi, material Gore-Tex atau
tandur vena safena dari pasien sendiri. Tandur biasanya dibuat
apabila pembuluh darah pasien tidak sesuai digunakan sebagai
fistula. Tandur biasanya dipasang pada lengan bawah, lengan atas
atau paha bagian atas (Smeltzer, Bare & Cheever, 2008).

f) Dosisi Hemodialisis

Dosis hemodialisis pada umumnyadiberikan sebanyak 2 kali


seminggu dengan durasi 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu
dengan durasi 4 jam setiap hemodialisis (Suwitra, 2006).
Lamanya hemodialisis berhubungan erat dengan efisiensi dan
adekuasi hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga
dipengaruhi oleh tingkat uremia akibat progresivitas perburukan
fungsi ginjalnya dan faktor-faktor kormobiditasnya, serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat
(Swartzendruber et al, 2008). Semakin lama proses hemodialisis,
maka semakin lama darah berada diluar tubuh, sehingga makinn
banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan konsentrasi sering
timbulnya efek samping (Roesli, 2008).

g) Komplikasi Intradialisis

Berbagai komplikasi intradialisis dapat dialami oleh pasien saat


menjalani hemodialisis. komplikasi intradialisis merupakan
kondisi abnormal yang terjadi pada saat pasien menjalani
hemodialisis. Komplikasi umum yang terjadi saat pasien
menjalani hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual, muntah,
sakit kepala, nyeri dada dan punggung, gatal, dan demam
(Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Komplikasi intradialisis lainnya
yang mungkin muncul saat hemodialisis ialah hipertensi
intradialisis dan DSS yang merupakan kumpulan gejala disfungsi
serebral terdiri dari sakit kepala, pusing, mual, muntah, kejang,
disorientasi sampai koma (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

2.2 Mual

2.2.1 Definisi

Mual merupakan sebuah perasaan kurang enak pada perut yang biasanya
berakhir dengan muntah. Rasa tidak enak pada perut biasanya disertai dengan
penurunan tonus otot lambung, meningkatnya aliran darah ke mukosa
intestinal, hipersalivasi, detak jantung meningkat dan perubahan ritme
pernapasan (Wood, Chapman, & Eilers, 2011). Mual adalah rangsangan pada
pusat muntah dan mual yang disebabkan oleh impuls iritatif dari traktus
gastrointestinal, impuls dari otak bawah berhubungan dengan motion sickness
atau impuls dari korteks serebri (Guyton & Hall, 2007). Mual adalah perasaan
yang tidak menyenangkan bersifat subjektif pada epigastrik yang disertai
dengan takikardi, dorongan untuk muntah, peningkatan produksi keringat,
produksi saliva meningkat, dan disertai timbulnya sensasi panas atau dingin
(Garret et al, 2003 dalam Hayati, 2009). Menurut Wilkinson (2006), mual
atau nausea adalah sensasi seperti gelombang dibelakang tenggorokan,
epigastrium, atau abdomen yang bersifat subjektif dan tidak menyenangkan
yang dapat menyebabkan dorongan atau keinginan untuk muntah. Frekuensi
mual saat hemodialisis adalah 5-15% dari keseluruhan hemodialsis
(Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Penelitian pada 227 pasien di Pakistan tahun
1997-1998 menunjukkan bahwa 2% pasien mengalami mual saat hemodialisis
berlangsung (Ahmed et al, 2002 dalam Armiyati, 2009). Jadi dapat
disimpulkan, mual adalah keadaan tidak nyaman pada epigastrik yang bersifat
subjektif.
2.2.2 Faktor Resiko Mual

Beberapa terapi medis dapat menjadi salah satu faktor resiko timbulnya rasa
mual seperti hemodialisis, kemoterapi dan lain-lainnya. Selain terapi medis
terdapat faktor resiko lain yang dapat mencetuskan persaan mual, diantaranya:
usia, jenis kelamin, riwayat mual-muntah, dan riwayat konsumsi alkohol.
Wanita memiliki kecenderungan lebih besar merasakan mual-muntah
dibandingkan pria, menurut beberapa ahli hal tersebut terjadi karena pengaruh
hormon (Garret et al, 2003 dalam Hayati, 2009). Berdasarkan beberapa
penelitian, dilaporkan bahwa remaja merasakan mual lebih berat
dibandingkan anak-anak (Lebaron et al, 2006 dalam Hayati, 2009). Selain itu
terdapat beberapa hal yang dapat menjadi faktor resiko timbulnya rasa mual,
ialah: nyeri epigastrik, ingatan yang kurang menyenangkan, dan beberapa
terapi medis. Umumnya perasaan mual selalu diikuti dengan peningkatan
produksi saliva. Selama mual berlangsung, terjadi penurunan peristaltik dan
tonus lambung, sebaliknya tonus duodenum dan jejunum bagian proksimal
meningkat sehingga terjadi refluks isi duodenum ke lambung.

2.2.3 Klasifikasi Mual

Mual merupakan gejala dan tanda yang sering menyertai gangguan


gastrointestinal, demikian juga dengan penyakit lainnya. Mual dapat dianggap
sebagai suatu fenomena yang terjadi dalam tiga stadium yaitu mual, retching
(sebelum muntah) dan muntah.

a. Stadium pertama

Mual dapat dijelaskan sebagai perasaan yang sangat tidak enak di


belakang tenggorokan dan epigastriumm sering menyebabkan muntah.
Terdapat berbagai aktivitas saluran cerna yang berkaitan dengan mual
seperti meninngkatnya saliva, menurunnya tonus lambung dan peristaltik.
peningkatan tonus duodenum dan jejunum menyebabkan terjadinya
refluks isi duodenum dan jejunum (Price & Wilson, 2006).

b. Stadium kedua

Retching merupakan suatu usaha involunter untuk muntah, sering kali


menyertai mual dan terjadi sebelum muntah, terdiri atas gerakan
pernapasan spasmodic melawan glottis dan gerakan inspirasi dinding dada
dan diafragma. Kontraksi otot abdomen saat ekspirasi mengendalikan
gerakan inspirasi. Pilorus dan antrum distal berkontraksi saat fundus
relaksasi (Price & Wilson, 2006).

c. Stadium ketiga

Muntah merupakan suatu reflex yang menyebabakan dorongan isis


lambung atau usus atau keduanya ke mulut. Pusat muntah menerima
masukan dari korteks serebral, organ vestibular, daerah pemicu
kemoreseptor dan serabut aferen termasuk dari sistem gastrointestinal.
Muntah terjadi akibat perangsangan pada pusat muntah yang terletak di
daerah postrema medulla oblongata di dasar ventrikel ke empat. Muntah
juga dapat dirangsang melalui jalur saraf aferen oleh rangsangan nervus
vagus dan simpatis atau oleh rangsangan emetic yang menimbulkan
muntah dengan aktivitas Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ). Jalur eferen
menerima sinyal yang menyebabkan terjadinya gerakan ekspulsif otot
abdomen, gastrointestinal dan pernapasan yang terkoordinasi dengan
epifenomena emetik yang menyertai. Pusat muntah secara anatomis
berada di dekat pusat salvias dan pernapasan sehingga pada waktu muntah
sering terjadi hipersalivasi dan gerakan pernapasan (Price & Wilson,
2006).
2.2.4 Penatalaksanaan Mual

Penanganan mual pada pasien secara non-farmakologi yaitu dengan


menghindari konsumsi makanan dan minuman yang dapat merangsang
lambung seperti makanan pedas, asam, dan berlemak. Selain itu juga
dianjurkan untuk makan dalam porsi kecil tetapi sering. Beberapa
penatalaksanaan farmakologi yang digunakan untuk penanganan mual
menurut Medidata (2015) yaitu:

a. Obat golongan fenotiazin (klorpromazin, triflupromazin, tionidazin,


perfenazin, dan lain-lain). Obat ini bekerja pada system saraf pusat dan
otonom. Obat ini memiliki fungsi antiemetic dan memiliki efek samping
disfungsi otonom.
b. Metoklopramid, obat ini bekerja pada system saraf pusat maupun perifer.
Obat ini bekerja merangsang motilitas lambung dan usus halus sehingga
dapat mencegah stasis dan dilatasi lambung yang menyebabkan refleks
muntah. Efek samping dari obat ini yaitu efek sedasi, diare dan reaksi
ekstrapiramidal.
c. Domperidon, obat ini memiliki efek lebih baik dibandingkan
metoklopramid. Obat ini memiliki khasiat antiemetic dengan efek
samping rendah. Cara kerja domperidon sendiri yaitu gastrokinetik (obat
yang merangsang aktivitas lambung dan akan membantu pengosongan isi
lambung, meningkatkan koordinasi antroduodenal dan merangsang
produksi prolaktin).

2.2.5 Mual pada Pasien Hemodialisis

Mual merupakan salah satu komplikasi umum yang sering ditemukan pada
pasien PGK dengan hemodialisis. Frekuensi mual saat hemodialisis adalah 5-
15% dari keseluruhan hemodialsis (Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Penelitian
pada 227 pasien di Pakistan tahun 1997-1998 menunjukkan bahwa 2% pasien
mengalami mual saat hemodialisis berlangsung (Ahmed et al, 2002 dalam
Armiyati, 2009). Penyebab mual sendiri merupakan penyebab multifaktorial,
salah satu faktor timbulnya rasa mual yaitu sindrom uremia, penumpukan urea
dapat menyebabkan meningkatnya produksi asam lambung (Bieber &
Himmelfarb, 2013). Selain sindrom uremia, terdapat beberapa faktor lain yang
dapat mendukung timbulnya rasa mual, seperti: ketidaknyamanan akibat nyeri
selama hemodialisis, lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis
selama hemodialisis, banyaknya ureum yang dikeluarkan atau besarnya
ultrafiltrasi (Holley, Berns & Post, 2007). Gangguang keseimbangan dialisis
(Dialisis Disequilibrium Syndrome/DSS) akibat ultrafiltrasi yang berlebihan
dan hemolisis juga dapat menyebabkan mual saat hemodialisis (Daugirdas,
Blake & Ing, 2007). Himmelfarb & Sayegh (2011), juga menjelaskan bahwa
DSS timbul selama hemodialisis berlangsung dimana terjadi proses dimana
cairan dan urea keluar dari dalam tubuh dengan begitu cepat. DSS saat
hemodialisis pada pasien dengan kondisi tertentu, seperti: pertama memulai
dialysis, usia lanjut dan anak-anak, adanya lesi saraf pusat atau kondisi yang
meningkatkan edema serebral, kadar ureum pradialisis yang tinggi serta
asidosis metabolic berat (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

Mual terjadi karena sel enterocromaffin pada mukosa gastrointestinal


melepaskan serotonin sebagai respon terhadap adanya substansi yang ada
dalam oral atau parenteral. Rasa tidak nyaman akibat perubahan
homeostasis dan timbulnya rasa nyeri saat hemodialisis juga akan merangsang
mual. stimulasi kimia akibat pelepasan serotonin dan rasa tidak nyaman
akan merangsang Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) sebagai pusat muntah
(Corwin, 2008). Selanjutnya pusat muntah mengaktifkan impuls somatik dan
visceral yang kemudian mempengaruhi organ target yaitu otot abdomen,
esophagus dan diafragma.

Mual memiliki dampak yang signifikan pada pasien PGK dengan terapi
hemodialisis. Dampak yang ditimbulkan dari mual sendiri yaitu terganggunya
aktifitas pasien, kelelahan, hingga meningkatkan resiko cedera pada mukosa
gastrointestinal (Armiyati, 2009). Mual juga dapat menimbulkan dampak
negatif dari segi psikologis yaitu meningkatkan kecemasan dan depresi,
menimbulkan koping tidak efektif, meningkatkan ketidakberdayaan dan tidak
kooperatif dengan terapi. Dampak lain dari mual yang ditemukan pada pasien
PGK dengan terapi hemodialisis adalah tingginya angka malnutrisi. Penelitian
mengenai keadaan gizi pasien PGK dengan terapi hemodialisis menunjukkan
bahwa banyak ditemukan pasien memiliki status gizi yang kurang, dimana hal
tersebut disebabkan oleh rendahnya asupan makanan. Kurangnya asupan
makanan sendiri disebabkan oleh gangguan gastrointestinal yaitu mual dan
anoreksia (Susetyowati, 2002 dalam Zuyana dan Adriani, 2013).

Tindakan pencegahan mual dan muntah saat hemodialisis dapat dilakukan


perawat dengan menghitung UFR secara tepat, menggunakan dialisat
bikarbonat, mengatur suhu dialisat secara tepat. Jika mual sudah terjadi
penanganan yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan berbagai tindakan
pencegahan komplikasi yang lebih berat dengan cara: memberikan infus
NaCl 0,9% bolus dan menurunkan UFR , Qb, TMP dan memberikan
antiemetik (Daugirdas, Blake & Ing, 2007).

2.2.6 Cara Pengukuran Mual

Terdapat beberapa instrument yang dapat digunakan sebagai salah satu alat
ukur mual akibat terapi hemodialisis. instrument tersebut ialah Rhodes Index
of Nausea, Vomiting, and Retching (INVR), Morrow Assessment of Nausea
and Emesis (MANE) yang sebelumnya telah diuji validitas dan realibilitasnya
terlebih dahulu (Rhodes & Mc Daniel, 2004 dallam Apriany, 2010) serta
Nursing Outcomes Classification (NOC) Label Nausea & Vomiting Severity
(Sue, Marion, Meridean & Elizabeth, 2008) dengan menggunakan uji validitas
dan realibilitas terpakai. Instrument tersebut umumnya digunakan untuk
mengukur mual-muntah pada orang dewasa dan dapat juga digunakan pada
anak usia prasekolah, khusus untuk INVR hanya dapat digunakan untuk
mengukur intensitas muntah, namun perlu menggunakan instrument lain
untuk mengukur mual.

2.3 Mengunyah Permen Karet Peppermint

Proses pencernaan manusia dimulai dengan mengunyah atau mastikasi.


Rangsaangan daerah retikularis spesifik pada pusat pengecapan dibatang otak
akan menimbulkan reflek mengunyah yang ritmis (Guyton & Hall, 2007).
Pada saat mengunyah makanan akan dipecah menjadi ukuran yang lebih kecil
sehingga dapat ditelan dan dicampur dengan enzim-enzim pencernaan.
Selama proses mengunyah, akan terjadi peningkatan produksi saliva.

Saliva dieksresikan oleh kelenjar di mulut dengan jumlah kurang lebih 1,5 L
per hari. Saliva mengandung 2 tipe sekresi protein utama, salah satunya ialah
sekresi mukus yang mengandung musin bertujuan untuk pelumas dan
perlindungan permukaan. Saliva memiliki pH 6,0 7,0 yang sesuai untuk
proses pencernaan. Sekresi saliva sangat penting bagi kesehatan rongga mulut.
Peningkatan produksi saliva juga terjadi akibat respons refleks dari lambung
dan usus halus bagian atas khususnya saat menelan makanan. Pada saat mual
umumnya akan terjadi peningkatan sekresi saliva. Pada saat menelan, saliva
akan membantu menangani faktor iritan padat raktus gastrointestinal dengan
cara menetralkan zat iritan.

Selama mengunyah, sekresi saliva akan mengalami peningkatan dan


memberikan stimulasi yang kuat pada saliva. Komposisi saliva dan
konstentrasi bikarbonat, fosfat dan kalsium meningkat ketika stimulasi
mengunyah. Mengunyah permen karet bebas gula merupakan salah satu cara
aplikatif untuk menstimulasi saliva karena dapat meningkatkan sekresi saliva
sehingga dapat membersihkan sisa-sisa gula dan asam pada gigi dan rongga
mulut. Mengunyah permen karet tersebut dilakukan tidak kurang dari 10
menit (Holgerson, 2007).
Permen karet (chewing gum) merupakan prooduk makanan ringan yang pada
dasarnya terbuat dari lateks alami atau karet sintesis yang dikenal dengan
nama poliisobutilen. Permen karet tersedia dalam berbagai rasa, misalnya
mint, wintergreen, cinnamon dan buah-buahan (Ayuningtyas, 2010). Permen
karet telah ada sejak jaman neolitik. Pada jaman tersebut bahan utama
pembuatan permen karet ialah kulit pohon birch tar. Permen karet dengan
berbagai rasa pertama kali diciptakan oleh John Colgan sekitar tahun 1860-an.
Pada tahun 1948, seorang yang berasal dari New England bernama John. B
Curtis untuk pertama kali mengembangkan dan menjual permen karet secara
komersial yang disebut dengan State of Maine Pure Spruce Gum.

Menurut Martha (2012), manfaat permen karet (chewing gum) diantaranya


penurunan berat badan, namun manfaat yang paling penting dalam penelitian
ini adalah pada sistem pencernaan. Menurut Corwin (2008), persarafan
otonom dari saluran gastrointestinal berada di bawah kontrol tanpa
pengetahuan kita. Sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian, pertama yaitu
saraf parasimpatis, yaitu saraf vagus yang bertindak terutama menstimulasi
motilitas gastrointestinal, asetylcholine merupakan neurotransmiter yang
paling penting dalam menstimuli aktivitas otot polos dan sitem hormonal.
Yang kedua yaitu sitem saraf simpatis, yang bertindak untuk menurunkan
aktivitas gastrointestinal adalah neurotransmiter norepineprin yang paling
berperan dalam sistem ini. Aktivitas motorik utama saluran gastrointestinal
dikendalikan oleh sistem saraf enterik nervous system (ENS). ENS menerima
pesan aferen langsung dari usus dan dapat secara tepat melakukan respon
terhadap atau tanpa mengikutkan sistem saraf otonom. ENS sering disebut
otak kecil dari usus.

Permen karet tidak untuk ditelan tapi terkadang bisa tidak sengaja tertelan,
terutama pada anak-anak. Permen karet terbuat dari pemanis, perasa dan
bahan sintetis (gum resin). Tubuh manusia dapat menyerap pemanis seperti
gula dan bisa menambah kalori jika permen karet tersebut mengandung gula
yang tinggi. Tapi pencernaan manusia tidak bisa mencerna gum resin.
Biasanya dengan bantuan gerakan peristaltik dari usus (usus mendorong
bahan tersebut), maka permen karet tersebut akan keluar saat orang buang air
besar. Seluruh proses gum resin dari kerongkongan ke perut, usus dan keluar
melalui ekskresi tubuh biasanya memakan waktu 2-3 hari. Ini membuktikan
bahwa sebenarnya tidak berbahaya bila tidak sengaja menelan permen karet.
Namun bukan berarti permen karet boleh sengaja ditelan (Wahyuningsih,
2011).

Permen karet sendiri memiliki berbagai macam jenis, seperti: Gum balls,
Bubblegum, Sugarfree gum, Candy & Gum Combination, dan Functional
gum. Berdasarkan pemanis yang digunakan permen karet dapat dibedakan
menjadi non-sugar free dan sugar free. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa permen karet sugar free aman dikonsumsi oleh penderita diabetes
mellitus yang umumnya sensitive terhadap gula. Komposisi dari permen karet
terdiri dari gum base, colouring, sweeteners, antioxidant, softeners dan
flavorings. Perasa yang umum digunakan dalam permen karet sangat beraneka
ragam. Perasa yang paling sering digunakan dalam permen karet ialah rasa
mint. Pada peneltian ini permen karet yang digunakan ialah mentos breath
mints-peppermint sugarfree dengan komposisi yaitu isomalt, polydextrose,
perasa alami dan buatan, asam laktat, sucralose, acesulfame k, palm kernel oil
(trigliserida rantai menengah), gliserol, blue 1 dan pewarma (titanium
dioxide). Sedangkan nilai angka kecukupan gizi (rata-rata jumlah per porsi)
yang tercantum pada kemasan permen karet tersebut ialah kalori <5, lemak
total 0g, sodium 0mg, karbohidrat total 2g, gula 0g, xylitol 2g dan protein 0g.

Perasa mint dalam permen karet berasal dari minyak atsiri peppermint.
Peppermint merupakan salah satu minyak atrisi yang dihasilkan oleh tanaman
Mentha piperita (Mamun, 2006). Tanaman dari genus mentha merupakan
salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang memiliki berbagai khasiat.
Minyak atsiri yang dihasilkan dari ekstraksi tanaman genus mentha ini biasa
disebut dengan minyak permen. Ada 3 jenis genus mentha yang biasa
digunakan sebagai penghasil minyak permen yaitu tanaman Mentha arvensis
yang menghasilkan minyak cornmint, tanaman Mentha piperita yang
menghasilkan minyak peppermint dan Mentha spicata yang menghasilkan
minyak spearmint (Mamun, 2006). Peppermint memiliki kandungan yaitu
mentol, menton, isomenton, piperiton dan metal asetat. Kandungan tertinggi
yaitu mentol. Mentol merupakan senyawa organic dari jenis monoterpen yang
dapat disintesis secraa alami dari peppermint. Mentol merupakan senyawa
yang berperan penting sebagai antispasmodik. Mentol yang terkandung dalam
peppermint merupakan senyawa volatile yang memiliki aroma dan rasa yang
khas, sehingga sering dimanfaatkan sebagai bahan campuran untuk makanan,
minuman dan produk lain seperti sabun, sampo dan pasta gigi (Nogourani,
Janghorbani, Isfahan, & Beheshti, 2012). Peppermint memiliki banyak fungsi,
mulai dari bumbu makanan, antiemetika, antiseptik, antipruritic,
antispasmodic, karminatif, analgesic, gejala flu, sakit kepala, hingga masalah
saluran pernapasan (NCAM, 2012). Tetapi beberapa peneliti mengatakan
bahwa peppermint memiliki beberapa efek samping seperti: mulas, iritasi
perineal, dan juga merupakan kontraindikasi bagi pasien dengan obstruksi
saluran empedu, dan radang kandung empedu.

2.4 Pengaruh Mengunyah Permen Karet Peppermint Terhadap Mual

Berdasakan artikel dari The Wrigleys Science Institute yang berjudul


Benefits of Chewing (2002), diungkapkan bahwa salah satu manfaat lain dari
mengunyah permen karet selain untuk menyegarkan mulut yaitu meringankan
refluks asam lambung. Refluks asam lambung merupakan salah satu jenis
gangguan pencernaan dimana akan menyebabkan rasa seperti terbakar di dada
atau tenggorokan. Refluks asam lambung umumnya terjadi setelah makan,
tetapi pada beberapa kasus refluks asam lambung juga dapat timbul saat
makan dengan cepat. Dengan mengunyah permen karet satu jam setelah
makan dapat membantu meringankan peningkatan asam lambung karena pada
saat mengunyah permen karet akan terjadi peningkatan jumlah produksi saliva
sehingga saliva yang telah terproduksi tersebut dapat melapisi lambung
nantinya sehingga dapat membatu menetralisir asam lambung.

Artikel review dari International Research Journal Of Pharmacy (2011) yang


membahas mengenai tumbuhan peppermint. Dalam artikel dibahas mengenai
kegunaan secara terapeutik dari peppermint, mulai dari astringensia,
antiseptic, antipruritik, antiemetic, karminativa hingga analgesik. Ekstrak dari
tumbuhan Mentha piperita L. berfungsi sebagai antioxidant, antikarsinogenik,
antialergi, antispasmodic, dan lain-lain. Sedangkan teh peppermint dapat
digunakan sebagai obat batuk, bronchitis dan radang tenggorokan. Secara
tradiosional, peppermint sendiri memiliki banyak manfaat dalam mengatasi
masalah pencernaan seperti, diare, mual dan muntah, anoreksia, kolik pada
bayi, dan flatulence. Secara farmakologi, peppermint akan berfungsi sebagai
antiemetik dengan bekerja pada reseptor 5HT (3) pada saluran ion kompleks
yang berikatan dengan serotonin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nogourani, Janghorbani, Isfahan,


dan Beheshti (2012), dikatakan bahwa permen karet dengan perasa
peppermint sangat bermanfaat dalam peningkatan pH dari saliva. Pada
penelitian ini peneliti memberikan permen karet sugar free dengan 5 rasa yang
berbeda pada mahasiswa kedokteran gigi yang bersedia menjadi volunteer
untuk diukur aliran sekresi dan pH saliva. Beberapa rasa seperti strawberry
dan apel menunjukkan bahwa mempengaruhi aliran sekresi saliva, sementara
rasa mint dan kayumanis menunjukkan bahwa mampu meningkatkan pH
saliva.

Hasil review jurnal yang dilakukan oleh Balakrihnan (2015), dikatakan bahwa
dalam simplisia Mentha piperita L. (peppermint) terkandung senyawa
minyak atsiri yang mengandung menthol, menthone, metal asetat,
menthofuran dan 1,8-cineol. Berdasarkan monografi dalam artikel ini,
peppermint oil bermanfaat secara internal dan eksternal. Secara internal
peppermint bermanfaat sebagai antispasmodic, mengobati sindrom iritasi
usus, radang selaput lender pada saluran pernapasan dan peradangan pada
mukosa mulut. Sedangkan secara eksternal peppermint bermanfaat sebagai
myalgia, neuralgia, karminatif, antibakteri, dan sekretolitik.

Dalam artikel herbal yang berjudul Peppermint : more than just another
pretty flavor dikatakan bahwa minyak peppermint sangat bermanfaat untuk
menekan gejala pada gangguan pencernaan. Selain itu dalam artikel juga
dikatakan bahwa, minyak peppermint dapat berfungsi sebagai anti mual. Pada
salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 1997 menunjukkan bahwa
peppermint dapat meredakan rasa mual pada pasien ginekologi. Minyak
peppermint memiliki banyak manfaat dalam lingkup kesehatan. Minyak
peppermint banyak digunakan sebagai minyak esensial dalam berbagai
macam produk seperti kosmetik, produk gusi dan gigi, permen karet, permen
dan minuman.

Penelitian yang berjudul Pengaruh Mengunyah Permen Karet Terhadap


Tingkat Kecemasan Menghadapi Ujian yang dilakukan oleh Subagio,
Wardani dan Jusup (2015) menunjukkan bahwa terdapat penurunan tingkat
kecemasan sebelum dan sesudah mengunyah permen karet pada kelompok
perlakuan dengan nilai p=0.034. Pada kelompok kontrol terdapat peningkatan
tingkat kecemasan secara bermakna (p=0.002). Uji beda tidak berpasangan
antar kelompok setelah 1 bulan antara kelompok kontrol dan perlakuan
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p=0.003). Penelitian ini
menggunakan rancangan quasi eksperimental pre-post test control group
design. Terdapat dua kelompok pada penelitian ini yaitu kelompok perlakuan
dan kontrol, dimana kelompok perlakuan akan mengunyah permen karet
dalam rentang waktu 1 bulan. Kuesioner akan dibagikan di awal dan di akhir
penelitian baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan. Mengunyah
permen karet akan dilakukan sebanyak 2 kali setiap hari pada pagi dan sore
hari dalam rentang waktu sebulan.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2011) pada anak kelas V SD


sebanyak 24 anak yaitu untuk menilai efektifitas mengunyah permen karet
berxylitol untuk mengurangi indeks plak gigi. Pada penelitian ini peneliti
menggunakan instrument yaitu kaca mulut, larutan disclosing solution, dan
table observasi indeks plak gigi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terdapat
perbedaan rata-rata indeks plak gigi sebelum dan sesudah mengunyah permen
karet berxylitol pada kedua kelompok dengan nilai p = 0,000 dan p = 0,001
(p<0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengunyah permen
karet berxylitol berpengaruh terhadap penurunan indeks plak gigi.

Karuniawati, Sukawan dan Maryati (2014) melakukan penelitian selama 1


bulan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Sanjiwani Gianyar pada 30 pasien
dengan Diabetes Melitus. Penelitian ini bertujuan untuk menilai adakah
pengaruh pemberian latihan mengunyah permen karet terhadap jumlah sekresi
saliva pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Pada penelitian sampel
dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kelompok control dengan jumlah
masing-masing 15 orang. Kelompok perlakuan diberikan latihan mengunyah
permen karet selama 14 hari. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
peningkatan rata-rata 0,1133mL/menit pada kelompok perlakuan, sedangkan
0,05 mL/menit pada kelompok kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemberian latihan mengunyah permen karet mempengaruhi jumlah sekresi
saliva pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.

Hidayati, Kaidah dan Sukmana (2014) melakukan penelitian selama 2


minggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek mengunyah permen
karet yang mengandung xylitol terhadap peningkatan pH saliva sebelum dan
sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol. Penelitian ini
merupakan penelitian pre-eksperimental dengan one group pretest-posttest
design, menggunakan teknik purposive sampling. Perlakuan yang diberikan
adalah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dua sisi maksimal
5 menit atau sampai rasanya hilang dengan cara pemberian 3x2 butir (3x 2x
1242mg) per hari setelah makan pagi (jam 08.00), makan siang (jam 13.00)
dan makan malam (jam 19.00) selama dua minggu. Hasil dari penelitian
menunjukkan rata-rata pH saliva sebelum perlakuan mengunyah permen karet
yang mengandung xylitol adalah 6.9086 dan sesudah mengunyah permen
karet yang mengandung xylitol selama 2 minggu adalah 7.6571, sehingga
dapat disimpulkan bahwa mengunyah permen karet yang mengandung xylitol
dapat meningkatkan pH saliva.

Nenobais (2012) melakukan penelitian selama 13 hari di unit hemodialisa


RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang pada 30 pasien GGK dengan terapi
hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh mengunyah
permen karet gula alkohol (xylitol) terhadap sekresi saliva pada pasien GGK
yang menjalani hemodialisa regular di RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes
Kupang. Pada penelitian sampel dibagi menjadi kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol dengan jumlah masing-masing 15 orang. Kelompok
perlakuan diberikan latihan mengunyah permen karet selama 5 menit. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan perbedaan rerata yang bermakna antara
sekresi saliva pada kelompok eksperimen dan kontrol p=0.0001 (p< 0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh antara mengunyah permen
karet gula alkohol (xylitol) terhadap sekresi saliva pada pasien GGK dengan
terapi hemodialisa.

Anda mungkin juga menyukai