Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PASCA BEDAH
Tujuan: Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyimpulkan peran dari CT dan MRI dalam
diagnosis dan follow-up dari pasien dengan koartasio aorta.
Kesimpulan: Koartasio aorta merupakan penyakit jantung kongenital dengan jumlah 6-8%
dari defek jantung kongenital. Meskipun memberikan gambaran anatomi yang sederhana, hal
ini merupakan sutau masalah medis yang kompleks dengan beberapa abnormalitas anatomi
dan fisiologi yang berkaitan. CT dan MRI dapat memberikan informasi yang sangat akurat
dari anatomi koartasio dan abnormalitas jantung terkait yang lainnya.
Koartasio aorta merupakan penyakit jantung kongenital yang umum, dan tercatat 6-8% dari
seluruh kasus kelainan jantung serta merupakan abnormalitas kelima terbanyak dari
kelompok pasien ini. bayi laki-laki cenderung lebih sering terkena, dan insidensnya
cenderung lebih tinggi pada bayi-bayi yang lahir mati. Patologi mndasar dari koartasio aorta,
nampaknya sederhana. Dari pandangan patologi secara garis besar, koartasio aorta memiliki
karakteristik primer adanya lesi obstuktif diskret seperti lemari pada aorta di dekat duktus
arteriosus ataupun ligament. Istilah coartatus sendiri dalam bahasa latin berarti berkontraksi
atau dikencangkan dan mewakili abnormalitas patologi yang mendasar dengan baik. Suatu
penonjolan yang timbul dari koartasio terdiri dari campuran otot halus, jaringan fibrosa, dan
jaringan elastin. Namun demikian, definisi ini merupakan penyederhanaan dan hanya
mewakili bagian kecil dari koartasio aorta.
Kebanyakan kasus dengan koartasio aorta tersebar; namun, terdapat komponen genetik yang
jelas, dengan penyakit jantung kongenital dideteksi paling tidak 4% dari anak-anak dari
wanita dengan koartasio aorta. Katup aorta bicuspid merupakan kelainan terkait yang sering
ditemukan dan dilaporkan hingga 75% dari pasien dengan koartasio aorta. (Fig 1). Defek
septum ventrikel, defek septum atrium tipe sinus venosis, sindrom hipoplasia jantung kiri,
malformasi katup mitral, trunkus arteriosus, lengkung aorta kanan, stenosis arteri pulmoner
supravalvuler, dan dilatasi arteri subklavia kiri merupakan anomali terkait lain dari koartasio
aorta. Koartasio aorta preduktal umumnya tampak pada bayi dan terjadi di proksimal dekat
dari duktus arteriosus. Tipe paling sering dari koartasio pada sindrom Turner adalah koartasio
aorta preduktal. Koartasio pasca duktuks umumnya muncul pada periode setelah neonatus,
terjadi pada distal dari masuknya duktus arteriosus. Orang dewasa dengan koartasio paska
duktus umumnya tetap asimptomatis dan didagnosa dengan pemeriksaan fisis yang
menunjukkan hipertensi arteri sistemik pada lengan dengan denyut arteri femoralis yang
menghilang.
Patofisiologi dari Koartasio Aorta
Patofisiologi yang mendasari pembentukan koartasio aorta masih belum diketahui
sepenuhnya. Perpindahan pola migrasi abnormal dari berkembangnya arkus aorta, aliran
darah abnormal, dan distribusi berlebihan dari jaringan arteri seperti duktus di sekitar isthmus
aorta merupakan bagian dari penjelasan embrionik yang diajukan; namun, pandangan
mekanistik tunggal tersebut tidak dapat mewakili keseluruhan proses, dengan
mempertimbangkan luasnya penyebaran dari koartasio aorta dengan abnormalitas dari
pembuluh darah jantung dan intrakranial, seperti aneurisma serebral.
Secara morfologi, suatu struktur seperti lemari yang mempersempit lumen aorta pada area
juxtaduktal merupakan abnormalitas yang paling umum terjadi. Manifestasi klinis umumnya
tergantung dari lokasi dan derajat penyempitan lumen, perluasan dan sirkulasi kolateral, serta
defek jantung lainnya. Pembuluh kolateral yang terlibat dari koartasio aorta termasuk arteri
mammaria interna, arteri interkostalis, dan trunkus thorakoservikal dan thorakoakromila
dengan arteri skapularis descenden yang pada akhirnya mengalir hingga arteri iliaka eksterna
dan interkostalis. Penonjolan koartasio dapat berlokasi pada proksimal (preduktal),
berlawanan (juxtaduktal), atau segera di distal (pasca duktal) dari insersi aorta dari duktus.
Tampilan Klinis
Dalam kasus yang baik, koartasio menyebabkan defek perfusi ringan hingga sedang setelah
penutupan lengkap duktus. Aliran kolateral mulai berkembang secara bertahap, sehingga
menyerupai manifestasi klinis dari penurunan perfusi. Pasien umumnya memberikan
gambaran klinis pada usia dewasa dengan hipertensi, pendarahan intrakranial sekunder akibat
aneurisma intrakranial, hipertrofi ventrikel kiri, dan diikuti dengan gagal jantung kongenital
(Fig 2.). Dalam bentuk yang berat dari koartasio aorta, bayi segera memberikan gejala pada
periode neonatal dan gambaran klinis dapat lebih jelas terlihat.
Pada neonatus dengan tidak ada atau sangat tidak adekuatnya sirkulasi kolateral, hipertensi
pulmoner merupakan abnormalitas dominan dari gambaran klinis, yang menyebabkan duktus
tetap terbuka. Ketika duktus terbukam hipertensi sistemik umumnya jarang dalam kondisi
yang berat dan denyut femoral tidaklah abnormal. Namun, ketika duktus menutup setelah 2
minggu pertama kehidupan, sirkulasi sangatlah terganggu, dan bayi akan memberikan gejala
hipoperfusi berat dari tubuh bagian bawah, disfungsi ginjal, dan asidosis. Ventrikel kiri mulai
gagal bekerja karena beban afterload yang besar seiring dengan peningkatan tekanan sistemik.
Gambaran klinis dapat bervariasi bergantung dari adanya defek jantung kongenital terkait.
Hipertensi premature merupakan komplikasi klinis yang paling penting dan, terutama pada
pasien dewasa, gagal jantung hipertensif dapat memperparah gambaran klinisnya. Perbedaan
abnormal dari denyut arteri ekstremitas atas dan bawah merupakan temuan penting dari
pasien koartasio aorta. Sehingga, denyut femoral perlu dipalpasi dan pengukuran tekanan
darah perlu dilakukan terpisah untuk setiap tungkai. Juga, murmur sistolik, diastolik, ataupun
kontinyu dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik.
Meski temuan klasik pada pemeriksaan klinis dan radiografi dada, pencitraan nonvasif
hampir selalu dibutuhkan untuk diagnosis definitif dan juga follow-up dari pasien ini.
Penanganan
Perbaikan dengan pembedahan merupakan penanganan utama dari koartasio aorta, Reseksi
dari segmen yang mengalami koartasi diikuti dengan anastomosis end-to-end atau end-to-side
adalah teknik pembedahan yang umumnya dilakukan. (Fig 3). Kemajuan dalam teknologi
pembedahan dan meningkatnya pengalaman dengan kelompok pasien ini telah meningkatkan
harapan hidup dengan menurunkan mortalitas. Sayangnya, meskipun dengan semua
perkembangan, usia rata-rata setelah perbaikan dengan pembedahan tetap berkisar 35-50
tahun, dengan morbiditas yang signifikan dari pembentukan aneurisma (Fig 4 dan 5),
hipertensi, percepatan penyakit arteri koroner, dan stroke. Re-stenosis dapat dideteksi hingga
30% dari pasien dalam follow-up klinis, dan hipertensi pada saat istirahat ataupun
berolahraga dapat menyebabkan gagal jantung dalam jangka panjang (fig. 6).
Penanganan dari koartasio aorta berulang dapat menjadi sebuah tantangan, terutama jika
segmen yang mengalami rekurensi panjang ataupun dalam kasus dimana terjadi hipoplasia
arkus aorta terkait (Fig. 7). Pedoman The American College of Cardiology dan American
Heart Association untuk pasien dewasa dengan penyakit jantung kongenital
merekomendasikan intervensi dari pasien yang memiliki gradient koartasio puncak-ke-
puncak 20mmHg atau lebih rendah. Pilihan pembedahan untuk aorta yang mengalami
rekoartasi termasuk reseksi dengan graft interposisi, aortoplasti temple, dan bypass
ekstraanatomik. (Fig. 8)
Terapi endovaskuler telah mendapatkan pengakuan, dengan peningkatan peralatan dan teknik.
Tujuan dari pendekatan ini adalah menurunkan gradient diantara sisi yang mengalami
koartasi dengan model minimal invasive dengan risiko minimal dari komplikasi terkait
prosedur. Baik stent yang tertutupi dan yang tidak tertutup dapat digunakan untuk
penanganan. Stent yang tidak tertutupi umumnya digunakan untuk pasien tanpa
pseudoaneurisma terkait. (fig. 9). Komplikasi yang mungkin yang dapat dijumpai pada
intervensi endovaskuler adalah rupture aorta, diseksi, pembentukan pseudoaneurisma, dan
endoleak. (Fig. 10). Stent yang tertutup dapat menolong dalam terapi dari komplikasi pasca
bedah dan pascaendovaskuler. (Fig. 11). Meskipun awal yang terlambat dalam penanganan
dari koartasio aorta, pendekatan endovaskuler telah memperlihatkan dampak positif yang
nyata terhadap tekanan darah, penurunan yang nyata dari massa miokardium ventrikel kiri,
dan peningkatan dari indeks fungsi ventrikel kiri.
Koartasio Midaortik
Koartasio midaortik merupakan kondisi yang tidak umum dengan ciri penyempitan segmental
dari aorta descendens distal atau aorta abdominal. Abnormalitas ini seringkali disertai
dengan stenosis ostial dari cabang aorta (Fig. 12). Koartasio midaortik dapat berupa
kongenital ataupun dapatan sekunder dari penyakit lainnya, seperti sindrom Williams,
Arteritis sel raksasa, neurofibromatosis, dan dysplasia fibromuskuler. Terapinya daapt berupa
medis, endovaskuler maupun pembedahan tergantung dari faktor dari pasien.
Modalitas Pencitraan
Radiografi Dada
Temuan radiografi dada dapat normal pada pasien dengan koartasio aorta. Ada dan beratnya
koartasio aorta pada temuan radiologi umumnya sangat bergantung derajat stenosis. Pada
anak-anak dan dewasa muda, temuan gambaran klasik adalah konveksitas condong ke kiri
dari aorta descendens dengan pembesaran arteri subklavia kiri terkait. Dilatasi pre- dan pasca
stenosis dari aortadescendens menimbulkan tanda berupa bentuk 3 (Fig. 13). Penonjolan
proksimal mewakili dilatasi aorta dan dasar dari arteri subklavia kiri, dan penonjolan distal
konsisten terhadap dilatasi pasca stenosis. Penonjolan rusuk merupakan temuan radiografi
lainnya, umumnya melibatkan rusuk posterior keempat hingga ke delapan, dan dapat dilihat
pada pasien yang lebih tua. Temuan pencitraan ini sebagai akibat dari peningkatan aliran
kolateral melalui arteri interkostal.
Echocardiography
Echocardiography merupakan modalitas pencitraan utama untuk evaluasi jantung. Salah satu
keunggulan utama dari echocardiography adalah kemampuan untuk menghitung gradient di
sepanjang segmen koartasio. Sebagai tambahan, adanya penyakit jantung kongenital lainnya
dan juga kelainan katup serta fungsi jantung juga dapat dievaluasi secara efektif dengan
pendekatan noninvasif. Namun demikian, kekurangan utama dari modalitas ini adalah
kurangnya lingkup pencitraan pada beberapa pasien dan jarak yang panjang antara probe dan
regio isthmus. Perluasan dan beratnya sirkulasi kolateral juga sulit untuk dievaluasi dengan
menggunakan echocardiography.
CT
Penantian akan MDCT telah merevolusi peran dari CT sebagai pemeriksaan nonivasif dari
sistem pembuluh darah tubuh dan juga sistem saraf, serta peran dalam diagnosis dan follow-
up yang semakin meluas. MDCT memiliki resolusi tertinggi diantara modalitas pencitraan
nonivasif lain yang digunakan untuk evaluasi sistem kardiovaskuler dan aorta. Dengan
gambar reformat isotropic yang dibuat dalam banyak bidang yang berbeda, MDCT dapat
memberikan detail anatomi yang sangat baik dari aorta dan segmen koartasio dan juga
temuan abnormalitas jantung dan aorta (Fig.14) Dengan implementasi dari gerbang ECG,
jantung dapat dievaluasi pada detail yang baik dengan bolus kontras yang sama untuk temuan
tambahan dari kemungkinan defek kongenital (Fig. 15). Bergantung pada protokol yang
terpilih, informasi yang dapat dipercaya tentang fungsi biventrikuler juga dapat diperoleh
dengan MDCT, meskipun informasi demikian cenderung diperoleh dengan echocardiography
ataupun MRI untuk menurunkan radiasi dari dosis CT.
Dengan kecepatan pencitraan yang tinggi, memungkinkan perkembangan dari rangkaian
detektor luas dan pemindai dua sumber MDCT, pasien pediatrik dapat secara efektif dipindai
tanpa atau dengan sedasi minimal. Vaskularisasi kolateral juga dapat dianalisis dengan
mendetail, dimana dapat memberikan petunjuk tidak langsung terhadap beratnya stenosis.
Dimensi dari asal aorta dan juga aorta ascendens juga perlu dimasukkan dalam laporan untuk
pencitraan follow up lanjutan. Kernel algoritma rekonstuksi CT halus dengan pengaturan
jendela yang ideal adalah yang paling sering digunakan untuk rekonstruksi. Cakupan
bergantung pada permintaan klinis; namun, secara umum area antara arkus aorta dan
diafragma dimasukkan. Perencanaan yang cermat dari cakupan dan parameter pemindaian
lainnya penting dilakukan untuk meminimalisir beban radiasi, terutama pada kelompok usia
pediatri. Laju aliran antara 3 dan 5 mL/detik umumnya digunakan, lebih cenderung dari
tangan kanan untuk meminimalisir artifak dari peningkatan kontras yang padat pada vena
inominata.
Kekurangan utama dari CT, terutama dalam pasien pediatri, adalah dosis radiasi kumulatif
akibat pemeriksaan berulang dalam periode intervensi setelah pembedahan maupun terapi
endovaskuler. Namun, dengan penantian dari pemindai baru, dosis radiasi dapat diturunkan
hingga 90% dalam penelitian rutin tanpa kehilangan akurasi diagnostik. Dengan pengenalan
akan mode high-pitch prospective helical scanningdengan pemindai MDCT generasi kedua
sumber ganda, dosis radiasi dapat diturunkan hingga kadar submilisievert pada CT angiografi
(CTA) dari arteri koroner. Dengan mode ini, aorta thorakal dan jantung, jika dibutuhkan,
dapat dievaluasi pada dosis radiasi yang lebih rendah. Kecepatan dari pemindaian denan
mode ini juga meminimalkan artifak terkait gerakan, terutama pada kelompok usia pediatrik.
Untuk pemindai MDCT sumber tunggal, dosis radiasi dapat diturunkan dengan menggunakan
teknik ECG-gated prospective step-and-shoot triggered bersama dengan kilovoltase yang
lebih rendah. Karena kebanyakan pasien dengan koartasio aorta adalah dewasa muda dan
anak-anak, suatu tube dengan voltase 80-100 kV sudah cukup untuk memperoleh gambar
dengan kualitas diagnostik. Meskipun potongan submilimeter dapat direkonstruksi dari data
MDCT, potongan yang sangat tipis umumnya tidak dibutuhkan untuk evaluasi aorta dan
ketebalan potongan 1.5-3.0 mm dengan 30-50% tumpang tindih umumnya sudah cukup
untuk interpretasi gambar. Gambaran isotropic yang dibentuk dari data mentah dalam
potongan yang berbeda dengan algoritma rekonstruksi yang berbeda dapat memberikan
peningkatan nilai bagi ahli bedah yang bertugas merencanakan teknik operasi dan
pendekatannya. Semua informasi anatomi, patensi dari anastomosis dan juga graft jika ada,
dan komplikasi potensial pasca bedah dapat dengan mudah divisualisasikan.
Pertimbangan lain penggunaan angiografi MDCT dalam koartasio aorta adalah waktu optimal
untuk pemindaian setelah injeksi kontras. Secara umum, baik dipicu bolus ataupun teknik
waktu tes bolus perlu digunakan untuk penundaan pemindaian optimal dalam pemindai
MDCT modern. Perolehan gambar CT dengan ECG gating, meskipun bukan sesuatu yang
diwajibkan, dapat meningkatkan kualitas pencitraan CTA aorta secara signifikan, terutama
jika evaluasi bersama dengan akar aorta, katup aorta bicuspid, ataupun arteri koroner juga
dibutuhkan. Jika pencitraan anatomik maupun fungsional dari jantung juga direncanakan,
angiografi MDCT ECG-gated adalah sesuatu yang diwajibkan.
Suatu kekurangan potensial yang penting dari penggunaan CT adalah alergi terhadap kontras
dan penyakit ginjal kronis. Namun demikian, evaluasi yang cermat dari derajat beratnya
disfungsi ginjal dan hidrasi adekuat sebelum pemindaian pasien dapat menurunkan risiko
nefropati.
MRI dan Angiografi MR
MRI jantung dan Angiografi MR (MRA) telah mendapatkan pengakuan yang luas dalam dua
dekade terakhir untuk evaluasi noninvasif dari jantung dan pembuluh darah. Dengan MRI
jantung ECG gated, beberapa gambar samar dari jantung dapat diperoleh untuk evaluasi
fungsional bersama dengan gambar anatomi resolusi tinggi untuk karakteristik jaringan dan
anatomi. MRA dengan darah putih yang tidak mengalami rangkaian peningkatan gradient
echo dapat membantu pada pasien dengan alergi kontras dan juga penyakit ginjal kronik.
Gambar T1-weighted ECG gated black blood double inversion recovery adalah sangat
membantu untuk detail anatomi dari segmen koartasio dan struktur anatomi di sekitarnya.
MRI merupakan teknik yang baik untuk menilai aorta yang menyediakan detail anatomi yang
sempurna. Gambar MRA dapat diperoleh dengan atau tanpa injeksi IV bahan kontras dengan
dasar gadolinium. Waktu terbang MRA dapat dilakukan tanpa pemberian kontras IV pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. MRA dengan peningkatan kontras merupakan teknik
yang lebih dianjurkan untuk evaluasi anatomi pada pasien tanpa adanya masalah ginjal yang
diketahui. Koartasio aorta pada pasien dengan insufisiensi renal ringan hingga sedang juga
dapat dievaluasi dengan aman menggunakan MRA dengan peningkatan kontras.
Sebagai tambahan dari pencitraan anatomi, informasi fungsional dapat juga diperoleh dengan
pencitraan Phase-contrast. Phase contrast dan Sekuensial Steady-state free precession (SSFP)
dapat membantu evaluasi objektif dan subjektif dari adanya gradien tekanan di sepanjang
segmen stenosis, dimana merupakan suatu parameter penting untuk perencanaan intervensi
pembedahan maupun endovaskuler. Aliran volume pada aorta thorakal diukur dibawah dan di
atas dari tingkat koartasio juga dapat membantu untuk mengetahui derajat dan beratnya aliran
kolateral dalam tindakan noninvasif.
Kombinasi dari data morfologi dan fungsional yang diperoleh dengan MRI memiliki
sensitivitas (95%) dan spesifitas (82%) untuk evaluasi dari koartasio aorta. MRA dari aorta,
dengan informasi fungsional, dapat dipercaya dan dapat diselesaikan dalam 10-20 menit.
MRI kontras Time-resolved velocity-encoded 3D phase(4D flow MRI) merupakan teknik
pencitraan terbaru yang merupakan metode noninvasif untuk pengukuran gradient tekanan
dan dapat digunakan untuk diagnosis dan prediksi terapi dari koartasio aorta.Goubergrits et al
melaporkan tekanan puncak sistolik turun pada koartasio aorta yang diukur dengan
kateterisasi berkorelasi secara signifikan untuk kedua pengukuran pre terapi dan pasca terapi
pada 4D flow MRI. Katup aorta bicuspid, yang umumnya menyertai koartasio aorta, lebih
rentan untuk mengalami stenosis progresif dan regurgitasi dibandingkan katup normal.
Evaluasi dari koartasio aorta dengan MRA memungkinkan penilaian dari kemampuan
hemodinamik katup aorta bikuspid.
Kecenderungan rekoartasio telah dilaporkan sebesar 0-15% selama 5 tahun setelah koreksi.
MRA telah mendapatkan pengakuan luas dalam evaluasi pasien setelah perbaikan dari
koartasio aorta. Delineasi dari anatomi setelah pembedahan; karakterisasi anatomi dari
obstruksi rekuren ataupun residual, hubungan antara obstruksi terhadap arkus pembuluh
lainnya; signifikansi dari pembuluh kolateral; dan efek dari obstruksi atau hipertensi sistemik
resultan pada miokardium, termasuk massa miokardial ventrikel kiri dan fungsi sistolik, dan
beratnya fisiologi dari obstruksi dengan evaluasi sifat alami dari aliran pada obstruksi dan
pada aorta descenden dapat dinilai dengan MRA. Karena pasien dengan koartasio aorta pre
dan pasca terapi perlu dievaluasi dengan metode pencitraan berulang, MRA mungkin menjadi
pilihan terbaik untuk pemeriksaan pencitraan yang berulang. Sekuensial SSFP berimbang
terbaru telah memiliki kapabilitas untuk penilaian akurat dari penyempitan aorta, yang dapat
mengeliminasi keubutuhan peningkatan kontras pada MRA. Namun, MRA dengan kontras
gadolinium direkomendasikan untuk pencitraan dari koartasio aorta, paling tidak untuk
penilaian awal dan terutama pada pembuluh kolateral yang kecil. Kecepatan maksimal dan
perkiraan gradient dapat ditentukan secara akurat dengan penelitian fase kontras yang akan
diatur tegak lurus untuk mendapatkan aliran dephasing di distal dari stenosis.
Meskipun MRI menawarkan modalitas bebas radiasi pengion untuk pencitraan pasien dengan
koartasio aorta, namun masih memberikan beberapa masalah spesifik, contohnya untuk
pasien dengan klaustrofobia. MRI membutuhkan kerjasama pasien karena dibutuhkan waktu
untuk menahan nafas yang cukup lama, dan juga memberikan masalah pada anak berusia
muda. Anestesi umum mungkin perlu dilakukan pada beberapa pasien dibawah usia 7 tahun.
Pada anak yang lebih tua dan pasien dengan klaustrofobia yang tak terkontrol, penggunaan
sedasi dengan berbagai derajat umumnya dapat membantu menyelesaikan kecemasan pasien.
Pembinaan adekuat dari pasien untuk waktu menahan nafas yang cukup lama dan peringatan
sebelumnya akan adanya suara yang berisik dari pemindai MR, meski dengan penggunaan
penutup telinga, merupakan poin penting untuk diingat sebelum pemindaian yang
sesungguhnya dilakukan. Karena peralatan anesthesia yang sesuai untuk MRI diperlukan
untuk pemindaian MRI dengan bantuan anesthesia, hal ini dapat menjadi mustahil dilakukan
pada beberapa pusat, dan CTA perlu dipertimbangkan untuk pasien tersebut.
Diagnosis banding dari koartasio aorta termasuk pseudokoartasio akibat dari atherosclerosis.
Pseudokoartasio tampak sebagai lipatan periduktal ataupun penonjolan. Adanya plak
kalsifikasi dari dinding dengan aorta yang mengalami elongasi yang dapat dilihat dengan
mudah menggunakan CT memberikan kesan adanya suatu pseudokoartasio aorta. Tidak
adanya gradien tekanann dan pembuluh kolateral juga dapat memberikan kesan suatu
pseudokoartasio. Arkus aorta yang terputus-putus dapat menyerupai koartasio pada
echocardiografi. Perbedaan antara koartasio aorta dan arkus aorta yang terputus dapat dengan
mudah diketahui dengan CTA atau MRA dengan kemampuan multiplanar.
Kesimpulan
Koartasio aorta merupakan suatu penyakit jantung kongenital yang paling sering, dan
diagnosis dini serta tatalaksana merupakan kunci akan hasil yang baik. Echocardiografi
jantung umumnya merupakan pemeriksaan pencitraan pertama karena kemudahan
penggunaannya dan tidak adanya radiasi pengion. Namun, tidak semua segmen dari aorta
dapat dievaluasi optimal dengan modalitas ini, dan CT atau MRI hampir selalu digunakan
untuk perencanaan pembedahan dan follow up.
Dengan pengenalan akan modalitas pencitraan noninvasive modern, penggunaan diagnostic
dari angiografi kateter konvensional telah hampir sepenuhnya menghilang. CT dan MRI
dapat menyediakan detail anatomi yang sempurna dan juga data fungsional langsung maupun
tidak langsung. Dengan penggunaan modalitas potong silang ini, tim medis dan bedah dapat
diberikan informasi yang akurat untuk perencanaan operasi dan follow up dengan pendekatan
yang noninvasif. Terkhusus dengan informasi fungsional yang disediakan dengan pencitraan
fase kontras, Gradien tekanan di sepanjang bagian koartasio, yang merupakan suatu indikator
penting dalam suatu proses penentuan pilihan dapat diprediksi dengan akurat. Keunggulan
lainnya dari modalitas pencitraan noninvasif adalah evaluasi simultan dari jantung untuk
kelainan jantung terkait.
Dengan teknik pemindaian modern dan pemindai CT terbaru, beban radiasi secara umum
telah berkurang signifikan; namun, perlu diperhatikan kebutuhan akan follow up seumur
hidup dari pasien berusia muda, radiologis sebaiknya tetap berhati-hati dengan penggunaan
modalitas dengan radiasi pengion. Sehingga, MRI dapat diberikan pilihan yang lebih baik
untuk pasien ini. Keahlian lokal dan ketersediaan modalitas merupakan parameter fungional
yang perlu dicatat sebelum keputusan akhir.