Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

Invaginasi adalah suatu proses di mana segmen intestin masuk ke

dalambagian lumen usus yang dapat menyebabkan obstruksi pada saluran cerna

(dorland, ). Invaginasi sering ditemukan pada anak dan jarang pada orang muda

dan dewasa. Kebanyakan ditemukan pada kelompok usia 2-12 bulan dan lebih

banyak pada anak laki-laki (Dungerwalla & Pintar, 2012). Insidens bervariasi dari

1-4 per 1.000 kelahiran hidup. Laki-laki berbanding perempuan (Nelson, 2000).

Survei yang dilakukan di Swiss, insidensi dari intususepsi adalah 38, 31, dan 26

kasus per 100.000 kelahiran hidup di tahun pertama, kedua, dan ketiga kehidupan,

kemudian menjadi kurang dari setengah pada kelompok usia yang lebih tua.

Invaginasi biasanya terjadi pada anak yang sehat dan memiliki status gizi yang

baik (Kitagawa & Miqdady, 2008). Penelitian melaporkan gejala klinis tersering

pada invaginasi adalah muntah (89,5%), nyeri perut dan menangis kuat (89,5%),

demam (52,5%), bloody stool (26,3%), massa abdomen (15,8%), dan

hematemesis (10,5%) (Ko, Lee, Wan, 2012). Invaginasi dapat mengakibatkan

nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk dengan komplikasi perforasi dan

peritonitis ( Sjamsuhidajat, 2002).


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Invaginasi adalah suatu proses di mana segmen intestin masuk ke dalam

bagian lumen usus yang dapat menyebabkan obstruksi pada saluran cerna

(Blanco, 2016). bagian usus yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang

menerima intutuseptum dinamakan intususipiens. Oleh karena itu, invaginasi

disebut juga intususepsi (Ignacio, 2010).

Sumber 8

2.2 Epidemiologi

Invaginasi sering ditemukan pada anak dan jarang pada orang muda dan

dewasa. Kebanyakan ditemukan pada kelompok usia 2-12 bulan dan lebih banyak

pada anak laki-laki (Dungerwalla & Pintar, 2012). Insidens bervariasi dari 1-4 per

1.000 kelahiran hidup. Laki-laki berbanding perempuan (Nelson, 2000). Survei

yang dilakukan di Swiss, insidensi dari intususepsi adalah 38, 31, dan 26 kasus
per 100.000 kelahiran hidup di tahun pertama, kedua, dan ketiga kehidupan,

kemudian menjadi kurang dari setengah pada kelompok usia yang lebih tua.

Invaginasi biasanya terjadi pada anak yang sehat dan memiliki status gizi yang

baik (Kitagawa & Miqdady, 2008).

2.3 Etiologi

Invaginasi umumnya terjadi pada anak-anak, invaginasi pada orang

dewasa dianggap sebagai kondisi yang jarang, terhitung 5% dari semua kasus

invaginasi. Delapan sampai dua puluh persen kasus adalah idiopatik atau disebut

dengan invaginasi primer pada sebagian besar kasus pada anak. Faktor presipitasi

invaginasi pada anak adalah berupa infeksi virus dan pertumbuhan tumor

intestinum. Hampir 90% dari kasus invaginasi pada orang dewasa adalah tipe

sekunder berupa adanya kondisi patologis seperti karsinoma, divertikulum

meckel, divertikulum kolon, striktur atau neoplasma jinak (Marinis, 2009).

2.4 Patofisiologi

Invaginasi sekunder biasanya terjadi karena adanya lesi patologis atau

iritan pada dinding usus yang dapat menghambat gerakan peristaltik normalserta

menjadi lokus minoris untuk terjadinya invaginasi. Invaginasi dideskripsikan

sebagai prolaps internal usus proksimal dalam lekukan mesenterika dalam lumen

usus distal. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi pada pasase isi usus

dan menurunkan aliran darah ke bagian usus yang mengalami invaginasi tersebut.

Akhirnya dapat mengakibatkan obstruksi usus dan peradangan mulai dari

penebalan dinding usus hingga iskemia dinding usus. Mesenterium usus proksimal

tertarik ke dalam usus distal, terjepit, dan menyebabkan obstruksi aliran vena dan edema
dinding usus yang akan menyebabkan keluarnya feses berwarna kemerahan akibat

darah bercampur mucus (red currant stool). Jika reduksi intususepsi tidak

dilakukan, terjadi insufisiensi arteri yang akan menyebabkan iskemik dan nekrosis

dinding usus yang akan menyebabkan pendarahan, perforasi, dan peritonitis.

Perjalanan penyakit yang terus berlanjut dapat semakin memburuk hingga

menyebabkan sepsis (Marinis, 2009).

2.5 Klasifikasi

Lokasi pada saluran cerna yang sering terjadi invaginasi merupakan lokasi

segmen yang bebas bergerak dalan retroperitoneal atau segmen yang mengalami

adhesive. Invaginasi diklasifikasikan menjadi 4 kategori berdasarkan lokasi

terjadinya (Marinis, 2009):

1. Entero-enterik: usus halus masuk ke dalam usus halus

2. Colo-kolika: kolon masuk ke dalam kolon

3. Ileo-colica: ileum terminal yang masuk ke dalam kolon asendens

4. Ileosekal: ileum terminal masuk ke dalam sekum di mana lokus

minosrisnya adalah katup ileosekal

Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik ke

kolon asendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektum

(Sjamsuhidajat, )

2.6 Manifestasi klinis

Pada kasus yang khas umumnya nyeri kolik hebat yang timbul mendadak,

hilang timbul, sering kumat, dan disertai rasa tersiksa pada penderita yang

sebelumnya sehat-sehat. Jika invaginasi tidak dapat direduksi maka penderita


akan semakin lemah dan lesu, akhirnya dapat terjadi keadaan seperti syok dengan

kenaikan suhu tubuh hingga 41 C. Muntah terjadi pada kebanyakan kasus dan

biasanya lebih sering diawal, pada fase lanjut muntah disertai dengan empedu.

Tinja dengan gambaran normal dapat keluat pada beberapa jam pertama setelah

timbulnya gejala. Setelah itu, pengeluaran tinja sedikit atau sering tidak ada, dan

kentut jarang atau tidak ada. Darah umumnya keluar dalam 12 jam pertama, tetapi

kadang tidak keluar sampai 1-2 hari dan jarang tidak keluar sama sekali. 60% bayi

akan mengeluarkan tinja bercampur darah berwarna merah dan mukus yang

dikanal dengan tinja jeli kismis. Pada palpasi abdomen akan dijumpai massa

berbentuk sosis (nelson & blanco).

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan

invaginasi adalah sebagai berikut: (puri)

a. Pemeriksaan laboratorium

Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis

invaginasi, sebagai proses dari progresitivitas akan didapatkan abnormalitas

elektrolit yang berhubungan dengan dehidrasi, anemia, dan atau peningkatan

jumlah leukosit

b. Pemeriksaan radiologi

1. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen akan didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak

merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah berlanjut terlihat tanda-tanda
obstruksi usus dengan gambaran air fluid level, juga dapat terlihat free air bila

terjadi perforasi.

Gambar 2.2 usus terdesak ke kiri atas

2. Barium enema

Pemeriksaan dengan barium enema adalah untuk tujuan diagnosis dan

terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila gejala-gejal klinis meragukan. Pada barium

enema akan tampak gambaran coiled spring appearance.


Gambar 2.3 coiled spring appearance

3. ultrasonography abdomen

Tanda invaginasi yang terlihat pada USG tampilan transversal berupa

target lession atau bisa juga disebut doughnut sign.

Gambar 2.4 gambaran USG transversal: target lession atau doughnut sign

Tanda invaginasi yang dapat dilihat pada USG tampilan longitudinal

berupa pseudokidney sign


Gambar 2.5 gambaran USG longitudinal: pseudokidney sign

4. CT-Scan

Invaginasi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran klasik

seperti USG yaitu target sign. Invaginasi temporer dari usus halus dapat terlihat

pada CT maupun USG, dimana sebagian besar kasus ini secara klinis tidak

signifikan.

Gambar 2.6 gambaran CT Scan invaginasi berupa target sign

2.8 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis invaginasi berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Gejala klinis yang

ditemukan invaginasi adalah anak dalam keadaan sehat, gizi baik dan mungkin
beberapa hari sebelumnya ada infeksi saluran napas atas. Lalu bayi tiba-tiba

menangis seperti menahan sakit untuk beberapa menit kemuadian diam, main-

main atau tidur kembali. Sering disertai rangsangan muntah. Muntah berupa

minuman dan makanan yang masuk. Beberapa jam kemuadia bayi defekasi

disertai dengan darah segar dan lendir. Selanjutnya defekasi hanya darah dan

lendir. Sementara gejala dan tanda obstruksi belum terlihat (FK UI).

Pada inspeksi harus dibedakan antara invaginasi yang kelaur lewat rektum

dengan prolapsus mukosa rektum. Pada invaginasi akan dijumpai invaginatum

bebas dari dinding anus sedangkan proplasus berhubungan secara sirkuler dengan

dinding anus. Pada palpasi akan teraba massa sausage shape, suatu massa yang

posisinya mengikuti garis usus kolon asendens sampai ke sigmoid dan rektum.

Bila massa teraba di kanan atau kiri atas makan perabaan abdomen kanan bawah

terus kosong yang dikenal sebagai dances sign. Pada perkusi pada tempat

invaginasi terkesan suatu rongga kosong. Pada auskultasi bising usus terdengar

meninggi selama serangan kolik menjadi normal kembali di luar serangan. Pada

pemeriksaan colok dubur, sebelum tanda obstruksi tampak akan dijumpai darah

segar serta lendir dan mungkin masih terdapat feses pada sarung tangan.

Menjelang 24 jam setelah invaginasi akan dijumpai tanda obstruksi usus dan pada

pemeriksaan colok dubur akan teraba ujung invaginatum seperti perabaan portio

yang dikenal sebagai pseudoportio, sarung tangan hanya terdapat darah dan lendir,

tidak ada feses lagi (FK UI, Pickering, 2000).

Foto polos abdomen dapat menunjukkan padatan di daerah invaginasi.

Dibuat dalam 2 arah, posisi supine dan lateral dekubitus kiri. Posisi lateral
dekubitus kiri ialah posisi penderita yang dibaringkan dengan bagian kiri di atas

meja dan sinar dari arah mendatar. Dengan posisi ini, selain untuk mengetahui

invaginasi juga dapat mendeteksi adanya perforasi. Gambaran X-ray pada

invaginasi ileo-coecal memperlihatkan daerah bebas udara yang fossa iliaca kanan

karena terisi massa. Pada invaginasi tingkat lanjut kelihatan air fluid levels

(Pickering 2000). USG membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan

gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign

pada potongan longitudinal invaginasi (d jong)

Pemeriksaan radiologi dengan enema barium untuk diagnostik dan terapi.

Untuk tujuan diagnostik hanya dikerjakan bila terdapat keraguan diagnosis. Pada

foto akan dijumpai coil spring sign atau pseudo ball sign. Untuk tujuan terapi

reposisi hidrostatik dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan

kateter dengan tekanan hidrostatik tidak boleh melewati satu meter air dan tidak

boleh dilakukan pengurutan atau penekanan manual di perut sewaktu dilakukan

reposisi hidrostatik, dapat dikerjakan sekaligus sewaktu diagnosis Rontgen

ditegakkan, syaratnya adalah keadaan umum mengizinkan, tidak ada gejala dan

tanda rangsangan peritoneum, anak tidak toksik, dan tidak terdapat obstruksi

tinggi. Pengelolaan berhasil jika barium kelihatan masuk ileum ( Sudarmo &

Irdam, 2008, pickering, fk ui).

Kriteria diagnosis invaginasi akut: (puri & chandra)

1. Invaginasi definitif (pasti invaginasi)

a. Kriteria bedah: ditemukannya invaginasi pada pembedahan


b. Kriteria radiologi: adanya baik gas maupun cairan kontras padaenema pada

usus halus yang berinvaginasi, adanya massa intraabdominal yang dideteksi

dengan USG

c. Kriteria autopsi: ditemukan invaginasi pada otopsi

2. Mungkin invaginasi (probable)

Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.

3. Possible invaginasi

Memenuhi paling sedikit 4 kriteria minor

Kriteria mayor pada invaginasi yakni:

1. Bukti adanya obstruksi saluran cerna

a. Riwayat muntah kehijauan

b. Distensi abdomen dan tidak adanya bising usus atau bising ususabnormal

c. Foto polos abdomen menunjukkan adanya level cairan dan dilatasiusus

halus

2. Inspeksi

a. Massa di abdomen

b. Massa di rectal

c. Prolapsus intestinal

d. Foto polos abdomen, USG, CT menunjukkan invaginasi atau massa dari

jaringan lunak

3. Gangguan vaskuler intestinal dan kongesti vena

a. Keluarnya darah per rectal

b. Keluarnya feses yang berwarna red currant jelly


c. Adanya darah ketika pemeriksaan rectum

Adapun kriteria minor untuk invaginasi adalah: usia < 1 tahun, laki-

laki,nyeri perut, muntah, letargi, hangat, syok hipovolemik, foto polos abdomen

menunjukkan pola gas usus yang abnormal

2.9 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding dari invaginasi adalah sebagai berikut (Puri)

a. Gastroenteritis

Bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa

sakit, muntah dan perdarahan

b. Divertikulum meckel

Dijumpai perdarahan dan biasanya tidak ada rasa nyeri

c. Disentri amoeba

Diare yang mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila

disentri berat disertai adanya nyeri perut, tenesmus dan demam

d. Enterokolitis

Pada enterokolitis akan dijumpai feses yang bercampur darah disertai

kram abdomen, namun hal ini dapat dibedakan dengan invaginasi karena sakit

cenderung lebih jarang, disertai diare, dan tetap adanya rasa sakit diantara nyeri

e. Prolapsus recti atau rectal prolaps

Dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok dubur didapatkan

hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada invaginasi

didapatkan celah

f. Henoch-schonlein purpura
Terkadang terdapat gejala perdarahan pada pasien ini, namun yang dapat

membedakannya adalah ditemukannya purpuran pada pasien ini

2.10 Penatalaksanaan

Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,

penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah

komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang

sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa

dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat

dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter

untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit

darah dapat dilakukan (puri & chandra ).

Pneumatic atau Kontras Enema masih menjadi pilihan utama untuk

diagnosa maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat

kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus dilakukan

dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan

kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene pada usus. Semakin

lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar kemungkinan kegagalan dari

terapi reduksi tersebut(puri & chandra ).

I. Tindakan Non-Operatif

Tindakan Non-Operatif pada kasus invaginasi terdiri dari dua metode

utama yaitu(puri & chandra ):

a. Hydrostatic Reduction
Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak

dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876. Reduksi hidrostatik dengan

menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi telah menjadi metode yang

dikenal sejak pertengahan 1980. Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:

a. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi

kuat diantara pertengahan bokong.

b. Melalui kateter, barium dialirkan dari kontainer

c. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis

sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi loop tertutup.

d. Pelaksanaannya memperhatikan Rule Of Three yang terdiri atas:

(1) Reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien

(2) Tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan

(3) Tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.

e. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik

konstan dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.

f. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas

melalui katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada rentang

45-95% dengan kasus tanpa komplikasi.

Pengobatan dianggap berhasil bila barium sudah mencapai ileum

terminalis, serta pada saat itu, pasase usus kembali normal, norit yang diberikan

akan keluar melalui dubur. Seiring dengan pemeriksaan zat kontras kembali dapat

terlihat coiled spring appearance. Gambaran tersebut disebabkan oleh sisa-sisa


barium sepanjang bekas tempat invaginasi. Berikut merupakan beberap indikasi dan

kontraindikasi dalam penatalaksanaan invaginasi dengan barium enema yakni:

1. Indikasi

a. Tidak terdapat gejala & tanda rangsangan peritoneum

b. Tidak terdapat obstruksi yang tinggi

c. Tidak dehidrasi

d. Gejala invaginasi kurang dari 48 jam

2. Kontraindikasi

a. Distensi abdomen yang berlebihan

b. Invaginasi rekuren

c. Gejala invaginasi lebih dari 48 jam

d. Peritonitis

e. Perforasi

Gambar 2.7 Terapi dengan menggunakan Barium enema

b. Pneumatic Reduction
Reduksi udara pada intususepsi pertama kali diperkenalkan pada tahun

1897 dan cara tersebut telah diadopsi secara luas hingga akhir tahun 1980.

Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam

rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan

110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini bahwa

metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi.

Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi

daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah prosedure Pneumatic Reduction:

a. Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan

direkatkan dengan kuat.

b. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan

kateter, dan udara dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80

mmHg (maksimum 120 mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum

udara akan berhenti pada bagian intususepsi, dan dilakukan sebuah foto

polos.

c. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan

teramati melewati usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat

pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan terlebih dahulu sebelum kateter

dilepas.

d. Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan

decubitus/upright views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan

udara bebas.
e. Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan

glucagon (0.5 mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki

hasil yang beragam dan tidak rutin dikerjakan

II. Tindakan Operatif

Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray,

mengalami kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik,

ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus

segera dilakukan(puri & chandra ).

1. Pre-Operatif

Penanganan intususepsi melalui tindakan operasi secara umum sama

seperti penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan

umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit.

Pembedahan sudah dapat dilakukan jika perfusi jaringan sudah cukup

yang dapat diukur secara klinis dari produksi urin, yaitu 0,5 - 1 ml/kgBB/jam

melalui kateter. Kriteria lainnya adalah suhu tubuh kurang dari 38C, nadi kurang

dari 120 kali per menit, pernapasan tidak lebih dari 40 kali/ menit, turgor kulit

membaik, dan paling utama kesadaran yang baik. Biasanya dengan pemberian

cairan sejumlah 50% dari kebutuhan (untuk koreksi & kebutuhan normal), perfusi

jaringan sudah dapat dicapai.

2. Operatif

a. Insisi

Antibiotik intravena preoperatif profilaksis harus diberikan 30 menit

sebelum insisi kulit.


Pasien diposisikan terlentang dan sayatan kulit sisi kanan perut melintang dibuat

sedikit lebih rendah daripada umbilikus. Sayatan bisa dibuat sejajar, di bawah atau

di atas umbilikus, tergantung pada derajat intususepsi

Gambar 2.8 sayatan di Inferior Umbilikus

b. Diseksi

Teknik pemisahan otot dimulai dari eksternal, obliqus internus, dan fascia

transversalis.

Usus yang mengalami intususepsi secara hati-hati dijangkau dari luka

operasi dan reduksi dilakukan dengan lembut, meremas usus distal ke apex

bersamaan dengan tarikan lembut dari usus proksimal untuk membantu

reduksi.Traksi yang kuat atau menarik usus intususeptum dari intususipien

harus dihindari, karena ini dapat dengan mudah mengakibatkan cedera

lebih lanjut pada usus besar


Gambar 2.9 teknik reduksi manual atau milking

Setelah reduksi, kondisi umum ileum terminal yang mengalami

intususepsi harus dinilai dengan hati-hati

Gambar 2.10 evaluasi ileum terminal dengan seksama untuk menilai

viabilitas usus

c. Reseksi

Kadang-kadang, reseksi usus segmental diperlukan jika reduksi tidak dapat

dicapai atau usus nekrotik diidentifikasi setelah reduksi.

Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi - tepi segmen usus

yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari


lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.

Gambar 2.11 reseksi usus segmental dan anastomosis end to end

Umumnya, ileum terminal yang direduksi akan muncul kehitaman dan

menebal pada palpasi. Penempatan spons yang hangat dan lembab selama

beberapa menit dapat meningkatkan perfusi jaringan lokal, sehingga,

berpotensi menghindari reseksi bedah yang tidak perlu.

Apabila terdapat kerusakan usus yang cukup luas, dan banyak bagian dari

usus itu yang harus diangkat. Maka pada kasus ini tidak dapat dilakukan

anastomosis end to end, harus colostomy supaya proses digestive tetap

berjalan.

Appendektomi standar dilakukan jika dinding cecal berdekatan adalah

normal.
Gambar 2.11 appendiktomi insidental

d. Menutup

Setelah reduksi dicapai atau reseksi dilakukan (jika diperlukan) dan

hemostasis dipastikan, penutupan fasia perut dilakukan di lapisan

menggunakan benang absorbable 3-0.

Kulit reapproximated dengan jahitan subcuticular 5-0 yang diserap

3. Post-Operatif

Pada kasus tanpa reseksi, Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi

pada saluran cerna selama 1-2 hari dan penderita tetap dengan pemasangan infus.

Setelah oedem dari intestine menghilang, pasase dan peristaltik akan segera

terdengar. Kembalinya fungsi intestine ditandai dengan menghilangnya cairan

kehijauan dari nasogastric tube. Abdomen menjadi lunak, tidak distensi. Dapat

juga didapati peningkatan suhu tubuh pasca operasi yang akan turun secara

perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada kasus dengan

reduksi. Pada kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama. Hal-hal yang

perlu diperhatikan setelah dilakukannya operasi pada penderita adalah:

a. Hindari Dehidrasi

b. Pertahankan stabilitas elektrolit

c. Pengawasan akan inflamasi dan infeksi

d. Pemberian analgetika yang tidak menggangu motilitas usus


2.11 KOMPLIKASI INVAGINASI

Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain

yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia

dan nekrosis usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang

signifikan pada usus dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan

Short Bowel Syndrome. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun

radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang terlibat (tan

2009).

2.12 PROGNOSIS INVAGINASI

Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-

anak sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan

intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara

berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih

dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi bedah,

reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.

Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat

dalam kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya

gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama.

Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-

masing rata-rata 5% dan 1-4% (kushmaheidi 2015)


1. Dungerwalla, M, Loh, S & Pintar, P 2012, Adult colonic intussusception:

Surgery still the best option, JSCR, vol. 2012, no. 6, diakses tanggal 5

Juni 2016, http://jscr.oxfordjournals.org

2. Kitagawa, S & Miqdady, M 2008, Intussuception in children, PUCRS,

diakses 5 Juni 2016, http://www3.pucrs.br

3. Ko, SF, Lee TY, Nq, SH, Wan, YL, Chen, MC, Tiao, MM, Liang, CD,

Shieh, CS & Chuang, JH 2012, Small bowel intussusception in

symptomatic pediatric patients, NCBI, vol. 26, no. 4, diakses 5 Juni 2016,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov

4. Sjamsuhidajat R & Jong WD 2004 Buku ajar ilmu bedah, Jakarta, EGC

5. Blanco, FC 2016, intussusception, diakses 12 Juni 2016,

http://emedicine.medscape.com

6. Ignacio RC & Fallat, ME 2010, Intusussusception, dalam buku Ashcrafts

pediatric surgery, eds. Holcomb, GW & Murphy, JP, Elsevier,

Philadephia.
7. Marinis, A, Yiallourou, A, Samanides, L, Dafnos, N, Anastasopoulos, G,

Vassiliou, I & Theodosopoulos, T, 2009, Intussusception of the bowel in

adults, WJG, vol. 15, no. 4, diakses 12 Juni 2016,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov

8. Sudarmo, P & Irdam AI 2008, Pemeriksaan radiografi polos abdomen

pada kasus gawat darurat , Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 58, no.

12.

9. Reksoprdjo, S, Kumpulan kulia ilmu bedah FK UI, Jakarta: Binarupa

Aksara.

10. Hollwarth, PP 2009, Pediatric surgery diagnosis and management in:

Intussesption, New York: Springer

11. Kushmaheidi S.Diposarosa R.2015.Pattern of Intussusceptions on Infants and


Children in Dr.Hasan Sadikin General Hospital Bandung from 2009 to
2011.Bandung :Althes Medical Journal.458-461.
12. Tan N.2009.An Update of Paediatric Intussusception Incidence in Singapore :

1997-2007,11 Years of Intussusception Surveillance.Singapore: Ann Acad

Med.690-692.

13. Puri P.Hollwarth M.2009.Pediatric Surgery Diagnosis and Management


In:Intussesption.New York : Springer.485-490.

14. Chandrawati PF.2011. Invaginasi.Malang: FKUMM.181-192.

Anda mungkin juga menyukai