Anda di halaman 1dari 18

Referat

Neurogenic Bladder

Disusun oleh :
Azrin Agmalina
11-2015-380

Pembimbing :
dr. Waluyo Eko,Sp.U

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


RSUD KOJA
Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
Periode 12 Juni 19 Agustus 2017

1
Latar Belakang
Berkemih (mikturisi) merupakan sebuah proses pengosongan kadung kemih setelah terisi
dengan urin. Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara
sistim saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor
dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab
neurogenik dari gangguan kandung kencing dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.
Gangguan ini menyebabkan seseorang tidak dapat mengontrol waktu yang tepat bagi dirinya
untuk berkemih.1

ANATOMI dan Fisiologi


A.Struktur otot detrusor dan sfingter
Susunan sebagian besar otot polos kandung kencing sedemikian rupa sehingga bila
berkontraksi akan menyebabkan pengosongan kandung kencing. Pengaturan serabut detrusor
pada daerah leher kandung kencing berbeda pada kedua jenis kelamin, pria mempunyai distribusi
yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung kencing yang
efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Sfingter
uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria,
rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir
seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar
pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan
menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi.1

B.Persarafan dari kandung kencing dan sfingter


1. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion
parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2
dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan
mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu
jaringanhalus yang menutupi kandung kencing dan rektum. Serabut postganglionik pendek
berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ-organ pelvis. Tak terdapat perbedaan khusus
postjunctional antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut

2
postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel
dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik
nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan.2

2. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)


Kandung kencing menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a
hipogastrik. Leher kandung kencing menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis
dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim
simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh
pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd.
Leher kandung kencing pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis
selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kencing untuk mencegah ejakulasi
retrograde.1,2

3. Persarafan somantik (N.pudendus)


Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang
mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis
medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf,
mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra.
Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu
penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat
skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari
sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati
pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra.
Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi
mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah.3

3
4. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus
suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini
mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat
mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik
motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal,
parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang
berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi kandung kencing tampaknya
merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kencing yang normal. Akson aferen terdiri
dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A bermyelin kecil. Peran aferen
hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi
kandung kencing dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine,
nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis
sakral sebagai aferen kandung kencing. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-
daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith
(1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan
bahwa jaras asending dari kandung kencing dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus.
Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi
aferen.2,3

C. Hubungan dengan susunan saraf pusat


1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-bulberspinal atau long
loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik
pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk
pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kencing. Pusat miksi pons berperan sebagai
pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak.2

4
2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal
dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung
kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kencing yang
hiperrefleksi.1,3

Gambar 1. Persarafan pada kandung kemih serta struktur anatomis kandung kemih.1

Gambar 2. Jalur neuronal yang meregulasi traktus urinarius bagian.1

5
Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kencing
1. Pengisian urine
Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan adanya aktivitas
sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung kencing normal, tekanan
intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan
active compliance dari kandung kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan
jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme
active compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan
inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4. Selain
akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot
lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal
dan urine tidak mengalir keluar.4

2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung
kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan.
Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari
relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung
kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan
intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung
kemih yang lengkap tergantung dari refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan
mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.4

6
Gambar 3. a Fase pengisian urine. b. Fase pengaliran urine.4

Epidemiologi

Lebih dari 200.000 orang di Amerika Serikat hidup dengan cidera tulang belakang akibat
dari trauma. Setiap tahunnya kira-kira 10.000 kasus baru terjadi dengan rata-rata usia 30.7 tahun.
Lebih dari 50% dari jumlah kasus tersebut, terjadi berbagai macam derajat disfungsi kandung
kemih.Selain disebabkan oleh cidera tulang belakang, neurogenic bladder juga terjadi pada
menjadi gejala dari penyakit seperti multiple sclerosis, Alzheimer, Parkinson, stroke dan
mielodisplasia. Neurogenic bladder ditemukan pada 40-90% pasien multiple sclerosis (MS) di
Amerika Serikat, 37-72% pada pasien parkinsonisme, dan 15% pada pasien stroke. Diperkirakan
bahwa 70-84% pasien dengan cidera tulang belakang memiliki setidaknya beberapa derajat
disfungsi kandung kemih. Selain itu neurogenic bladder juga dapat ditemukan pada pasien
diabetes mellitus dengan neuropati otonom. Pada pasien MS, sebanyak 34-99% mengalami
uninhibited bladder contraction atau detrusor overactivity. Begitu juga dengan pasien dengan
cidera tulang belakang dan kecelakaan yang melibatkan cerebrovascular. Sedangkan sisanya
mengalami detrusor underactivity.5

7
Etiologi

Terdapat banyak kasus neurologis yang dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi
traktus urinarius. Lesi pada saraf perifer atau pusat mikturisi di sakral dapat menyebabkan
detrusor areflexia, yakni menyebabkan tidak timbulnya rasa ingin berkemih sehingga kandung
kemih menjadi meregang dan terjadi inkontinensia uri. Sedangkan lesi pada suprapontin
menyabkan uninhibited bladder contraction akibat tidak adanya inhibisi dari korteks serebri,
sementara sfingter uretra dalam keadaan relaksasi. Hal ini kemudian menjadikan otot detrusor
terlalu aktif (detrusor overactivity) .6

Gambar 4.Etiologi dan lokasi lesi yang dapat menyebabkan neurogenic bladder.7

Patofisiologi gangguan kemih


Gangguan kandung kencing dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras
yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan kandung kemih:8

1. Lesi supra pons


Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh
aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia
basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan
menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi
periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia
basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat
ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara
volunteer.8
8
2. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral medula
spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi
sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah:7,8

a. Kandung kencing yang hiperrefleksi


Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan menimbulkan
suatu keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan tekanan
pada penambahan yang kecil dari volume kandung kencing.6,8

b. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)


Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada
keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter
untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang
tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat
keluar dri kandung kencing hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi
sfingter sehingga aliran urine terputus-putus.5,8

c. Kontraksi detrusor yang lemah


Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan kandung
kencing yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia akan
menimbulkan peningkatan volume residu paska miksi.8

d. Peningkatan volume residu paska miksi


Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan kandung kencing yang
hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi
kandung kencing. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.6,8

9
3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan
menimbulkan gangguan LMN dari fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung
kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme untuk
menimbulkan kontraksi detrusor hilang, kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila
kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini
merupakan suatu proses aktig yang tergantung pada utuhnya persarafan. Sensibilitas dari
peregangan kandung kencing terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan disebabkan
informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah
torakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namu njaringan elastik
dari leher kandung kencing memungkinkan terjadinya kontinens. Mekanisme untuk
mempertahankan kontinens selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang,
sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.8

Gejala gangguan disfungsi miksi


Gejala-gejala disfungsi kandung kencing neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi,
retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya
frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising
value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons
maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis.
Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi
prostat atau striktur. 1
Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medula spinalis bagian sakral,
DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia
detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor
seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi
seperti pada lesi susunan saraf pusat.Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat
menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa.1
Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan
suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan
timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat

10
bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang
mengakibatkan retensi kronik dengan overflow.5

Diagnosis

Pemeriksaan secara menyeluruh penting untuk menegakkan diagnosis neurogenic


bladder:7

a. Anamnesis
Keluhan saat berkemih (disuria, infeksi berulang, nokturia, inkontinensia,
urgensi, frekuensi)
Riwayat berkemih
Riwayat operasi dan penyakit dahulu yang berhubungan dengan
genitourinaria
Riwayat pengobatan (obat-obatan sedative, antidepressant, antipsikotik,
antihistamin, antikolinergik, antispasmodik, opiat, calcium channel
blocker) dapat mempengaruhi fungsi perkemihan.
Kebiasaan berkemih (pola berkemih, intake cairan, volume urin saat
berkemih

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis (status mental, refleks, kekuatan, dan sensasi pada
dermatom sakral) pemeriksaan ini berfungsi untuk mengevaluasi
kemungkinan kondisi neurologis berhubungan dengan gangguan berkemih
Kemungkinan ketidaknormalan mekanis seperti pembesaran prostat atau
prolaps kandung kemih harus dinilai dan dieksklusi
Pada pasien dengan cidera tulang belakang, periksa derajat dari lesi pada
spinal (komplit atau inkomplit), tonus ekstremitas, sensasi dan tonus pada
rectal, tonus volunter dari rektal, dan refleks bulbokavernosus

11
c. Pemeriksaan lanjutan
Urinalisis
Kultur urin
Serum kreatinin, BUN (Blood Urea Nitrogen)
Creatinine clearance
Evaluasi urodinamik:
1. Volume urin residual setelah berkemih (volume residu abnormal
yakni lebih dari 100cc)
2. Uroflowmetry merupakan pemeriksaan non-invasif terhadap
laju kemih (volume urin per unit waktu) beserta penilaian terhadap
tekanan kandung kemih dan rektal. Uroflow yang rendah
menunjukan adanya obstruksi uretra, kelemahan otot detrusor, atau
gabungan dari keduanya. Sedangkan uroflow yang tinggi
menunjukan adanya detrusor overactivity.1,5

Evaluasi dan penatalaksanaan


1. Evaluasi
Pendekatan sistematis untuk mengetahui maslah gangguan miksi selama rehabilitasi
pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting karena penatalaksanaan yang
baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen.
Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan kandung
kencing dan deteksi hiperrefleksia detrusor.9

a. Penilaian saluran kencing bagian atas


Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas, gangguan ginjal
merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi
ginjal dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan
voiding cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan
adanya refluks vesikoureteral.10

12
b. Penilaian pengosongan kandung kencing
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama pemeriksaan
meupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100 ml dikatakan bermakna

c. Deteksi hiperrefleksia detrusor


Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu menentukan
disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot
detrusor dapat dideteksi dengan baik dengan menggunakan filling cystometrogram (CMV). Pada
orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian kandung kencing bahkan pada
kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita dengan hiperrefleksia kandung
kencing, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada pengisian.1

d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk
mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, reflex anal dan refleks
bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus dan lengkung refleks lokal. Didapatkannya
kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter dan pada kasus
kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medulla spinalis,
dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di
bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode
ini, kandung kencing bersifat arefleksi danmemerlukan drainase periodik atau kontinu yang
cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 40Cair dingin steril suhu 4oC tidak akan
menimbulkan aktifitas refleks kandung kencing. Tes air es dikatakan positif bila pengisian
dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari kandung kencing. Drainase
kandung kencing yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi
yang berlebih dan atoni dari kandung kencing yang arefleksi.9

13
2. Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk mempertahankan
fungsi gunjal dan mengurangi gejala:10

a. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara


- Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal
- Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, credes manoeuvre
- Clean intermittent self-catheterisation
-Indwelling urethral catheter

b. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor


-Bladder retraining (bladder drill)
-Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin

c. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis
kongenital atau cedera medula spinalis.

Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medulla:


a. Lesi kauda Ekuina
Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan perhatian khusus.
Pada umumnya ditemukan kandung kencing yang arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan
dengan bantuan manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit atau tipe campuran
dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan. Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan
sfingter uretral eksternal yang utuh danps demikian dengan lesi suprakonus mungkin mengalami
kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan intravesikal yang penuh yang dapat
mengakibatkan refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan
parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami reinervasi dimana leher
kandung kencing mungkin tidak dapat membuka dengan baik pada waktu miksi.11,12

14
b. Sindroma Medula Spinalis Sentral
Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis sentral dapat
diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam
minggu-minggu pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat terjadi terutama karena
serabut kandung kencing terletak perifer pada medula spinalis. Penatalaksanaan biasanya dengan
kateterisasi intermiten danobat-obatan. Keadaan inkontinens dapat ditimbulkan dengan reseksi
sfingter transuretral dini. DDS yang menetap, spastisitas yang berat dan hidronefrosis merupakan
indikasi untuk tindakan sfingtertomi transuretral setalh mencoba penggunaan penghambat alfa,
antikolinergik dan pelemas otot skelet seperti baclofen.11
Penatalaksanaan neurogenic bladder pada pasien wanita dengan lesi medula spinalis
(UMN) adalah sulit, namun penatalaksanaan lesi konus dankauda (LMN) adalah mudah dengan
menggunakan maneuver Crede/Valsava. Kateterisasi intermiten dimulai setiap 4 sampai 6 jam
dan dengan restriksi cairan sampai 1,5 liter perhari pada umunya memerlukan kateterisasi 3 kali
perhari . Pada lesi suprakonus dengan kandung kencing hiperrefleks, untuk mengurangi
inkontinens antara kateterisasi, dapat diberikan antikolinergik seperti oxybutinin 1-2 kali 5 mg
perhari. Iritabilitas kandung kencing meningkat dengan adanya infeksi sehingga pengobatan
infeksi adalah penting.12
Profilaksis jangka panjang untuk infeksi saluran kencing sangat direkomendasikan.
Pasien dilatih untuk mengosongkan kandung kencing dengan menggunakan suprapubic tapping
dan manuver Valsava secara periodik. Kegagalan dalam kateterisasi berkala biasanya
memerlukan tindakan indwelling cathether jangka panjang. Tindakan bedah saraf seperti blok
radis sakral dapat diindikasikan untuk mengubah keadaan reflex (contractile) bladder menjadi
keadaan areflexic bladder yang penatalaksanaannya lebih mudah dengan tindakan
Crede/Valsava. Implant radix sakral untuk merangsang miksi baru dicoba pada pasien paraplegi
dengan contactile bladder.11,12

15
Bladder training
Adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami
gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat
dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:9

1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dansimpatis T12-L1,2, yang bergabung menjadi
n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test). Test positif
menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN.

2. Refleks somatis
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes
refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif
berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal.
Langkah-langkah Bladder Training:
1. Tentukan dahulu tipe kandung kencing neurogeniknya apakah UMN atau LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi
3. Kateterisasi:
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether
IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping).
Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu
kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka
yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis
dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi
sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot.
b. Kateterisasi berkala
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:
-Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan
aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin
- Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi
normal

16
-Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat
melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap
terpelihara
-Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehari harinya.10

Prognosis
Neurogenic bladder merupakan keadaan yang dapat ditangani, yakni dengan tujuan untuk
mendapatkan kembali kemampuan berkemihnya secara normal. Apabila neurogenic bladder
tidak ditangani secara optimal, maka dapat terjadi peningkatan resiko terhadap sepsis dan gagal
ginjal yang disebabkan oleh tingginya tekanan otot detrusor.

Kesimpulan
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf
pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa berupa
kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder)
maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar
refleks yang tak terkendali (overactive bladder). Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder
terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan
yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai
lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat
kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat
berbagai keadaan patologis. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti
pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti
pada lesi susunan saraf pusat. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor
pada lesi suprapons dan suprasakral. Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu
upaya mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal atau ke
fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.

17
Daftar Pustaka

1.Chancellor MB. Practical neuro-urology, genitourinary complications in neurologic disease.


Boston: Butterworth, 1995.h.9-21, 99-190, 239-306
2.Snell RS. Neuroanatomi klinik, Jakarta : EGC;1996.h.504-506
3.Duus P. Topical diagnosis in neurology.3rd ed. New York: George Thieme;1983h.293-305
4.Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Pembentukan urin oleh
ginjal.Jakarta:EGC; 2008.h.328-31
5.Fowler CJ. Bladder dysfunction in neurologic disease, In Asbury. Disease of
the nervous system, clinical neurobiology. 2nd ed, vol.1, Philadelphia: WB Sounders,
1992.h.512-526
6.Lindsay KW. Neurology and neurosurgery illustrated. 3rd ed. New York: Churcill
Livingstone;1997.h.445-446
7.Al-Shukri.Neurogenic Bladder Assessment, Investigation and Treatment. European
Urology Review vol 7(1); 2012.h.55-60
8. Ginsberg, David. The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The
American Journal of Managed Care Vol.19(10);2013.h.29-36
9.Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management. New york: Churchil
Livingstone;1993.h.269-276
10.Perkash I. Management of neurogenic bladder dysfunction of the bladder and bowel, In
Kottke FJ, Krusens handbook of physical medicine and rehabilitaion. 4th ed. Philadelphia:
WB Sounders;1990.h.810-831
11.Marotta JT. Spinal injury, In Rowland LP. Merritts texybook of neurology. 9th ed.
Philadelphia : Williams & Wilkins;1995.h.440-446
12.Swash M. The conus medullaris and sphincter control, in Critchley E. A Spinal cord disease,
basic science, diagnosis and management. London : springer-Verlag;1997.h.403-412

18

Anda mungkin juga menyukai