Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler


termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow,
terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah
dan komponen pembekuan darah (Virchow triat).
Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang
dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam
paru-paru (emboli paru). Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti,
sehingga tidak ada dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya
mengemukakan data-data penderita yang di rawat di rumah sakit dengan berbagai
diagnosis.
Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat
di rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli paru dan 60.000
kasus meninggal karena proses penyumbatan pembuluh darah.
Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan
pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan
terhadap meluasnya trombosis dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat
menimbulkan kematian.
DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit
koroner arteri dan stroke. DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun.
Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Insiden tahunan DVT
di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun. Faktor resiko
DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama),
kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid
syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena,
keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal,
kortikosteroid). Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko
tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT). Untuk

1
meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan
yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat
kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan
antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi DVT


Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada
lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh
darah dan jaringan perivena. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh
darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal
dengan trias virchow.1,7,6

2.2 Etiologi dan Patogenesis DVT


Berdasarkan Triad of Virchow, terdapat 3 faktor yang berperan dalam
patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding
pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. 1 Selain
faktor stimuli, terdapat faktor protektif yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah
aktif (contoh: antitrombin yang berikatan dengan heparan sulfat pada pembuluh
darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif, dan kompleks
polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolisis.2,11
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah
merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.
Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut : 1
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.

Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis
aliran darah dan hiperkoagulasi. 1
1. Statis Vena

3
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama
pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup
lama.
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena
dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin. 1

2. Kerusakan pembuluh darah


Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,
melalui : 1
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel
yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa
substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan
trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin. Apabila endotel
mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan ini akan
menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat
pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-
fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan
tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk
berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan
mengaktifkan sistem pembekuan darah. 1

3. Perubahan daya beku darah


Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah
dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas
pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena

4
banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat,
seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen. 1

2.3 Faktor Resiko DVT


Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status
aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding
pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya trombosis vena
dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis
aliran darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan
trombosis vena. 2
Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut : 5
1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di
netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat. 5

2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah
operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai
bawah. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis
vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena
sekitar 10%-14%.5
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan
operatif, adalah sebagai berikut : 3
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah
karena trauma pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode
preperatif, operatif dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama
sesudah operasi.

5
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara
langsung di daerah tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan


Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik,
statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII
dan IX. Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah,
sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah. 5

4. Infark miokard dan payah jantung


Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan
jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan
darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total.
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat
statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses
immobilisasi pada pengobatan payah jantung. 5

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.


Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena. 5

6. Obat-obatan konstrasepsi oral


Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan
meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah
terjadinya trombosis vena. 5

6
7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan
aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena. 5

8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo
plastin-like activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas
koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya
aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan
terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas
menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa. 5

2.4 Manifestasi Klinik DVT

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain


vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v
poplitea, v femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain
relatif jarang di kenai. 3
Trombosis v superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala
klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis v tungkai
superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang
tidak jarng menimbulkan kematian. 3
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang
timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.
Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis
yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. 3
Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi
dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih
proksimal. Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila
menimbulkan : 4

7
- bendungan aliran vena.
- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
- emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa : 4


1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis.
Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan
bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha.Keluhan nyeri sangat
bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya
mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau
penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan. 4

2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian
proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan
ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah
sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan
perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di
sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan
berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak
ditinggikan. 4

3. Perubahan warna kulit


Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri.Pada trombosis vena
perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan
warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.
Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin,
merupakan tanda-tanda adanya sumbatan vena yang besar yang

8
bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia
alba dolens. 4

4. Sindroma post-trombosis
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena
besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding
vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan
perforasi vena dalam. 4

Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema,
kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena
yang di kenai. Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada
daerah betis yang timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous
claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul
pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah. 4

2.5 Diagnosis DVT


Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala klinis saja kurang sensitif
dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang besar tidak
menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan perivaskuler sehingga tidak
menimbulkan keluhan dan gejala. 6
Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan diagnosis
trombosis vena dalam, yaitu: 6
1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk
trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa
menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak
menyenangkan penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan

9
zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran
sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke v iliaca. 6

2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada
tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan
iliaca dibandingkan vena di betis. 6

3. Ultra sonografi (USG) Doppler


Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga
adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.
Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%.
Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang
berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain. 6

DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT)
dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan
tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan
kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang
2
ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko. Tanda dan
gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba
dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Skor dari Wells (tabel 1) dapat
digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan,
sedang atau tinggi. 6,7

10
Tabel-1. Skor Wells 6

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak
khas karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan
diagnosa.6 Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT.
Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan
ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes
tunggal untuk diagnosis DVT.8 Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan
pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non
invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada
kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96%
untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan
tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan
6,7
spesifisitasnya kurang lebih 70%. Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler
dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance

11
venography (MRV) harus dilakukan.7 Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat sebagai
berikut :

Algoritme diagnosis DVT 6

2.6 Penatalaksanaan DVT


Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya
sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan
yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius. Berbeda
dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang jarang
menimbulkan kematian.2
Oleh karena itu tujuan pengobatan adalah :
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.

12
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo
emboli.

Terapi Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah
dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-
obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal
mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli
paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin. 2
Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti
koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan
trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin
perlu dipantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas,
sekurang-kurangnya waktu pembekuan. 2

Pemberian Heparin standar


Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips
konsitnus 1000 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil
APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target
1,5 2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 150 iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam,
hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama
hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.

13
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana
penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam. 2

Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)


Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat
ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan
(Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa
terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia
(HIT).2

Pemberian Oral Anti koagulan oral


Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai
dengan dosis 6 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di
kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR :
adalah 2,0 3,0. 2

Cara penyesuaian dosis


INR
Penyesuaian
1,1 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 1,9 hari 1, naikkan 5% 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
2,0 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
3,1 3,9 hari : kurang 5% 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 5,0 hari 1: tidak dapat obat

14
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
Stop pemberian warfarin.
Pantau sampai INR : 3,0
Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.
Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer. 2
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.

Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan
memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin
tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,
terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen
activator (TPA). 2
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek
samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan
dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan
1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin
dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi

15
perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka
diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu
protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol. 2

1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.


Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.
- Istirahat di tempat tidur.
- Posisi kaki ditinggikan.
- Pemberian heparin atau trombolitik.
- Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
- Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam serangan


trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di
anjurkan tindakan embolektomi.
Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli,
biasanya tidak di anjurkan.

2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.


Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat
proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang
eksistensif seperti vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan
biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan
berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.

3. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.


Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli paru.
Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya emboli

16
paru, akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik,
terjadinya hipertensi pulmonal ini dapat di cegah.

Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang
makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah
kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan
antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT. 2

Unfractionated Heparin (UFH)


Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi
harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan
meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan thrombin.9.
Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai
kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan
berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang
diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH
berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan
plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada
terapi inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada
dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik.
Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat
dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International
Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0.2

Low Molecular Weight heparin (LMWH)


Low Molecular Weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara menghambat
faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin. LMWH merupakan antikoagulan yang
memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang
lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan

17
satu sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring
laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan.6,9

Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT 2

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi


dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan
darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS),
kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan
perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan
efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan
LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua,
baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki
penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH
diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal
perannya dapat digantikan oleh UFH.10

18
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama
empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama
warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang
dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT
dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan
untuk terapi profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali
sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi,
2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah
pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman,
2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis
5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara
subkutan, satu kali perhari.10

Terapi Trombolitik
Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan lisisnya
trombus secara langsung dengan peningkatan produk plasmin melalui aktivasi
plasminogen. Obat- obat trombolitik yang direkomendasikan FDA meliputi
streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA), dan urokinase.5
Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru terbentuk
dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik
dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis
(CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan risiko
rekurensi dan post- thrombotic syndrome (PTS). Trombolitik sistemik dapat
menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi. 9 Risiko
perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan
heparin. Indikasi trombolisis antara lain trombosis luas dengan risiko tinggi emboli
paru, DVT proksimal, threatened limb viability, ada predisposisi kelainan anatomi,
kondisi fisiologis baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan,
onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi. Kontraindikasi trombolisis antara lain
bleeding diathesis/ trombositopeni, risiko perdarahan spesifik organ (infark miokard

19
akut, trauma serebrovaskuler, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma),
gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastasis otak), kehamilan, stroke iskemi
dalam 2 bulan, hipertensi berat tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110
mmHg).1,3

Terapi non Farmakologis


Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya.
Latihan dan compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi
insiden terjadinya post thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression
stockings selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT
ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS. Peranan compression stockings atau
intermitten pneumatic compression (IPC) dalam mencegah PTS belum sepenuhnya
dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara luas. Compression
stockingssebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang
memiliki fungsi vena yang jelek.2,7

Trombektomi
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi
terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik
maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi
dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk
penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter
embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting.
Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian
warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah
pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan
kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus
difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi.7

20
2.7 Komplikasi DVT

1. Pulmonary Embolism (PE)

Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya


akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya tidak khas,
seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai
hemoptoe, palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami
penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku penegakan diagnosis
adalah dengan angiografi, namun invasif dan membutuhkan tenaga ahli. Dengan
demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis, pemeriksaan D-Dimer dan CT
angiografi.11

2. Post-thrombotic syndrome

Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang


terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena
sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan nyeri
berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian
trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada beberapa pasien dapat terjadi
ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat
diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien harus
menggunakan compressible stocking untuk mencegah berulangnya post thrombotic
syndrome. Penggunaan compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien
mendapatkan manfaat tetapi harus diperiksa berkala.3

BAB III

KESIMPULAN

21
DVT cukup sering dengan angka kejadian mendekati 1 : 1000 populasi. DVT
mempunyai risiko besar emboli paru yang dapat menimbulkan kematian. Faktor
terjadinya trombosis dapat dikelompokkan menjadi kelainan pembuluh darah, aliran
darah, dan komponen pembekuan darah. Faktor risiko DVT antara lain usia tua,
imobilitas lama, trauma, hiperkoagulabilitas, obesitas, kehamilan, dan obat-obatan.\

Manifestasi klinis DVT cenderung tidak spesifik, biasanya pasien mengeluh


nyeri, bengkak, dan perubahan warna kulit. Diagnosis DVT ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, juga pemeriksaan penunjang. Prinsip pengobatan
adalah mengurangi morbiditas dan terutama mencegah emboli paru. Terapi yang
dianjurkan adalah heparin dilanjutkan dengan anti-koagulan oral.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in


women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
2. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J
Med, 351:268-77
3. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux
or enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep vein
thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73
4. Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood,
115:15-20
5. Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of
the American College of Cardiology, 56:1-7
6. Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein
thrombosis.Blood, 99: 3102-3110
7. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention
of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ
J; 75: 1258-1281.
8. Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer antigen: current
concepts and future prospects. Blood, 113:2878-87.
9. Deitcher S, Rodgers D (2009). Thrombosis and antithrombotic
therapy. In: Greer J. Wintrobes clinical hematology,12 th ed, Lippincott
william and wilkins. Philadhelphia: p 1465-99
10. Mackman N, Becker R (2010). DVT: a new era in anticoagulant
therapy. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30: 369-371
11. Fauci,AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson
JL, et al. Venous thrombosis. In: Harrisons principles of internal medicine.
17th ed. Ch.111. USA: McGraw-Hill; 2008.

23

Anda mungkin juga menyukai