PENDAHULUAN
1
meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan
yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat
kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan
antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis
aliran darah dan hiperkoagulasi. 1
1. Statis Vena
3
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama
pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup
lama.
Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena
dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin. 1
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel
yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa
substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan
trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin. Apabila endotel
mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan ini akan
menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat
pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-
fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan
tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk
berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan
mengaktifkan sistem pembekuan darah. 1
4
banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat,
seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen. 1
2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah
operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai
bawah. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis
vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena
sekitar 10%-14%.5
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan
operatif, adalah sebagai berikut : 3
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah
karena trauma pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode
preperatif, operatif dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama
sesudah operasi.
5
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara
langsung di daerah tersebut.
6
7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan
aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena. 5
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo
plastin-like activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas
koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya
aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan
terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas
menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa. 5
7
- bendungan aliran vena.
- peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
- emboli pada sirkulasi pulmoner.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian
proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan
ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah
sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan
perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di
sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan
berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak
ditinggikan. 4
8
bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia
alba dolens. 4
4. Sindroma post-trombosis
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena
besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding
vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan
perforasi vena dalam. 4
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema,
kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena
yang di kenai. Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada
daerah betis yang timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous
claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul
pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah. 4
9
zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran
sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke v iliaca. 6
2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada
tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan
iliaca dibandingkan vena di betis. 6
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT)
dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan
tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan
kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang
2
ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko. Tanda dan
gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba
dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Skor dari Wells (tabel 1) dapat
digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan,
sedang atau tinggi. 6,7
10
Tabel-1. Skor Wells 6
Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak
khas karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan
diagnosa.6 Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT.
Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan
ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes
tunggal untuk diagnosis DVT.8 Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan
pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non
invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada
kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96%
untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan
tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan
6,7
spesifisitasnya kurang lebih 70%. Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler
dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan maka magnetic resonance
11
venography (MRV) harus dilakukan.7 Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat sebagai
berikut :
12
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo
emboli.
Terapi Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah
dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-
obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal
mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli
paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin. 2
Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti
koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan
trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin
perlu dipantau waktu trombo plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas,
sekurang-kurangnya waktu pembekuan. 2
13
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana
penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam. 2
14
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
Stop pemberian warfarin.
Pantau sampai INR : 3,0
Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
kembali tiap hari.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.
Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer. 2
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan
memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin
tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,
terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen
activator (TPA). 2
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek
samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan
dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan
1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin
dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi
15
perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka
diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu
protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol. 2
16
paru, akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik,
terjadinya hipertensi pulmonal ini dapat di cegah.
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang
makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah
kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan
antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan drug of choice DVT. 2
17
satu sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring
laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan.6,9
18
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama
empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama
warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang
dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT
dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan
untuk terapi profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali
sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi,
2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah
pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman,
2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis
5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) secara
subkutan, satu kali perhari.10
Terapi Trombolitik
Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan lisisnya
trombus secara langsung dengan peningkatan produk plasmin melalui aktivasi
plasminogen. Obat- obat trombolitik yang direkomendasikan FDA meliputi
streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA), dan urokinase.5
Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru terbentuk
dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik
dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis
(CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan risiko
rekurensi dan post- thrombotic syndrome (PTS). Trombolitik sistemik dapat
menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi. 9 Risiko
perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan
heparin. Indikasi trombolisis antara lain trombosis luas dengan risiko tinggi emboli
paru, DVT proksimal, threatened limb viability, ada predisposisi kelainan anatomi,
kondisi fisiologis baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan,
onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi. Kontraindikasi trombolisis antara lain
bleeding diathesis/ trombositopeni, risiko perdarahan spesifik organ (infark miokard
19
akut, trauma serebrovaskuler, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma),
gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastasis otak), kehamilan, stroke iskemi
dalam 2 bulan, hipertensi berat tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110
mmHg).1,3
Trombektomi
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi
terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik
maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi
dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk
penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter
embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting.
Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian
warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah
pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan
kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus
difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi.7
20
2.7 Komplikasi DVT
2. Post-thrombotic syndrome
BAB III
KESIMPULAN
21
DVT cukup sering dengan angka kejadian mendekati 1 : 1000 populasi. DVT
mempunyai risiko besar emboli paru yang dapat menimbulkan kematian. Faktor
terjadinya trombosis dapat dikelompokkan menjadi kelainan pembuluh darah, aliran
darah, dan komponen pembekuan darah. Faktor risiko DVT antara lain usia tua,
imobilitas lama, trauma, hiperkoagulabilitas, obesitas, kehamilan, dan obat-obatan.\
22
DAFTAR PUSTAKA
23