Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

Cedera kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera
pada kulit kepala, tulang tengkorak maupun otak (www.medicastore.com )

Klasifikasi cedera kepala

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan


morfologi cedera.

1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater

Trauma tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil ) dan kecepatan rendah


( terjatuh, dipukul )

Trauma tembus ( luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya )

2. Keparahan cedera

Ringan : GCS 14-15

Sedang : GCS 9-13

Berat : GCS 3-8

3. Morfologi
Fraktur tengkorak : kranium: linear / stelatum; depresi/non depresi; terbuka /
tertutup

Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan / tanpa


kelumpuhan nervus VII

Lesi intrakranial : Fokal : epidural; subdural; intraserebral

Difus: konkusi ringan; konkusi klasik, cedera aksonal difus

Trauma kepala adalah tipe trauma yang mengenai kulit kepala, skull, wajah,
struktur intra cranial termasuk meningien, otak dan batang otak.

2. Anatomi Fisiologi

Sistem syaraf pusat terdiri dari sekumpulan neuron dan bergabung menjadi
otak dan medula spinalis, daerah-daerah otak dan tulang belakang ditandai badan-
badan sel yang dikonsentrasikan kepada nukleus dan kelompok akson berjalan pada
jalur yang saling berhubungan deengan bagian masing-masing.

a. Tengkorak

Yang mengelilingi otak itu ialah tengkorak, sturktur tulang yang menutup
dan melindunginya. Tengkorak dibagi dalam 2 bagian utama yaitu cranium dan
tulang muka.

a. Otak

Otak beratnya kira-kira 3 pound (satu setengah kilo) dan dibagi secara
kasar :

1) Cerebrum

Hemisperium cerebri kiri dan kanan terdiri dari 4 lobus utama yaitu :
frontal, parietal, temporal, dan occipital. Cerebrum adalah bagian terbesar dari
otak, dibungkus dari sebelah luar dengan cerebra korteks yang tebalnya kira-
kira seperempat inci dan terdiri dari 14 milyar neuron. Menerima dan
menganalisa impluls, mengendalikan gerakan volunter dan menyimpan semua
pengetahuan dari impuls yang diterima. Tiap lobus otak mengikuti nama
tulang tengkorak yang diisinya, mengerjakan fungsi spesifik, seperti sensasi,
persepsei, penglihatan, rasa khusus dan pembicaraan.

Broca terletak pada lobus fraontalis yang berhubungan dengan korteks


motorik dan mengendalikan bicara, ekspresive verbal. Area wernicke berada
pada bagian posterior dari lobus temporal dan membentang sampai bagian
yang menyambung dengan lobus parietalis. Wernicke bertanggungjawab untuk
menerima dan mengartikan bahasa. Daerah pada lobus frontalis memiliki
kemampuan menuliskan kata-kata, dan daerah pada lobus occipital
mengendalikan kemampuan mengartikan tulisan.

2) Batang Otak

Batang otak membuat semua serabut syaraf lewat diantara hemisfer


otak dan tulang belakang ; dari sini semua syaraf kranial berasal berasal
kecuali syaraf I.

Berbagai struktur berada dalan batang otak. Batang otak terdiri dari
diencephalons, otak tengah, pons dan medulla oblongata.

3) Cerebellum

Cerebellum (otak kecil) terletak dibawah cerebrum (otak besar)


posterior besarnya seperlima cerebrum. Mengendalikan otot kerangka yang
mengatur koordinasi gerakan, keseimbangan dan menegakkan tubuh. Bekerja
bersama-sama dengan cerebrum untuk koordinasi aktifitas otot dan
menghasilkan gerakan-gerakan trampil.

b. Sirkulasi Otak dan Medula Spinalis

Pembuluh-pembuluh yang kecil membawa nutrien kepada neuron-neuron.


Arteri-arteri besar mengirimkan darah kedaerah-daerah :
1) Arteri carotis interna 80 % dari suplai darah.

2) Arteri vertebralis 20 % dari suplai darah.

3) Arteri cerebral posterior

c. Meningens

Selaput jaringan syaraf pada otak dan medula spinalis disebut meningens.
Selaput ini menunjang, melindungi, memberi makan jaringan vital ini.
Pembungkus yang paling luar disebut durameter. 4 buah tonjolan yang masuk
sangat dalam, kedalam otak. Arachnoid merupakan membran yang halus yang
terletak dibawah durameter dan menutup otak sepenuhnya. Meningens yang
terdalam disebut piameter, penuh dengan pembuluh darah dengan pleksus-pleksus
pembuluh darah yang unik.

Ada 3 ruang penting yang berhubungan dengan meningens :

1) Extra dural (externa dari dura).

2) Subdura (diantara dura dan arachnoid).

3) Subarachnoid (diantara arachnoid dan piameter)

3. Etiologi

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Benturan pada kepala

c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki

d. Menyelam ditempat yang dangkal

e. Olah raga keras

Manifestasi Klinis
a. Berdasarkan Derajat / Tingkatan

1) Tingkat I

Bila dijumpai riwayat kehilangan kesadaran / pingsan yang sesaat


setelah mengalami trauma,dan kemudian sadar. Pada waktu diperiksa dalam
keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologis.

2) Tingkat II

Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah


yang sederhana, dan dijumpai adanya defisit neurologis fokal.

3) Tingkat III

Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah


(walaupun sederhana ) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun
susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik
bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sikit sampai tidak
ada respon sama sekali-deserebrasi.

4) Tingkat IV

Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.

b. Berdasarkan Lokasi

1) Hematoma epidural (extra dural)

Ditandai oleh adanya penurunan kesadaran yang mulai bukan pada


detik trauma tetapi lebih lambat (kecuali tertutup koma kontusio), defisit
neurologik lambat, anisokoria (penekanan pada batang otak dari jarak jauh
oleh masa hemisferik sesisi), bradikardi, tensi naik, maka kecurigaan akan
hematoma epidural makin jelas, dan deteksi dini harus segera dimulai dengan
CT, arteriografi cito, ekhoencegalografi (yang terakhir tidak dilakukan lagi).
Begitu ditegakkan HED terapi (bedah, burrhole, trepanasi).
2) Hematoma Subdural

Lebih lambat dari HED, dan bedanya adalah timbulnya edema papil,
yang pada HED tak sempat timbul walau TIK meninggi. Nyeri kepala juga
menonjol, sedang interval lusid lebih sulit ditemukan. Perdarahan yang
disebabkan pecahnya berpuluh-puluh vena jembatan yang berjalam radial
ditepi dura dan pia, atau pecahnya sinus sagitalis superior yang lebih hebat dan
menyebabkan hematoma subdural akut. Operasi kraniotomi perlu dilakukan,
mungkin disertai duraplasty yang lebih sulit. Kadang-kadang HSD tipis tidak
memerlukan operasi.

3) Hematoma Intra Cerebral

Pasti terjadi bersama kontusio, sehingga secara umum lebih buruk,


baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam terjadinya herniasi
oleh bekuan darah ditengah otak disertai edema lokal yang hebat biasanya
berprognosis buruk daripada hematom intra serebral yang dioperasi.

4) Hematoma Cerebri Traumatik

Apabila dalam pengamatan lanjut terdapat tanda-tanda penurunan


keadaan, misalnya kesadaran yang turun lambat atau tidak membaik dalam
waktu antara 3-7 hari, disertai tanda-tanda yang mungkin ada, yaitu tanda-
tanda tekanan intrakranial meninggi berupa edema papil, nyeri kepala makin
berat dan muntah.

Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma


kapitis terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih
dari 10 menit dan pada pemeriksaan neurologik juga tidak dijunpai tanda-
tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh sakit kepala, vertigo,
mungkin muntah. Pada pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai
tekanan yang agak meningkat.

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sama dengan pada komosio


serebri, bila mungkin ditambah CT. kepala.
5. Penatalaksanaan

a. Penanganan kasus-kasus cedera kepada diunit gawat darurat / emergensi didasarkan


pada patokan pemantauan dan penanganan terhadap 5 B yakni:

1) Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekwensi dan jenis pernafasan penderita.


Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-
tindakan suction, intubasi, tracheostomi. Oksigenisasi yang cukup atau
hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting
sehubungan dengan edema cerebri yang terjadi.

2) Blood

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium


darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi menandakan
adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari
kepala / otak) dan memerlukan tindakan tranfusi.

3) Brain

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-


respon mata, motorik, dan ferbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan
implikasi perbaikan / perburukan cedera kepala tersebut, dan bila pada
pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih
mendalam pupil (ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-
gerakan bola mata (refleks, okulosefalik, okulo vestibuler, deviasi konjugat,
nistagmus).

4) Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)


mengingat bahwa kandungan kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan
untuk mengedan sehingga tekanan intra cranial cenderung lebih meningkat.

5) Bowel
Usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan tekanan intra
cranial.

Pada prakteknya dengan memperhatikan hal-hal di atas, cedera kepala


ditangani sesuai dengan tingkat-tingkat gradisi klasifikasi klinisnya.

b. Pemeriksaan Klinis Cedera Kepala


Pemeriksaan klinis tetap merupakan pemeriksaan yang paling
komprehensif dalam evaluasi diagnostik penderita-penderita cedera kepala,
dimana dengan pemeriksaan-pemeriksaan serial yang cepat, tepat, dan
noninvasive diharapkan dapat menunjukkan progresifitas atau kemunduran dari
proses penyakit atau gangguan tersebut.

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan / cedera sistemik


penyerta pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka dalam evaluasi klinis perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1) Cedera daerah kepala dan leher : laserasi, perdarahan, otore, rinore, ekimosis
periorbital, atau ekimosis retrourikuler.

2) Cedera daerah thoraks : fraktur iga, pneumothoraks, hematothoraks, tamponade


jantung, (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi),
aspirasi atau ARDS.

3) Cedera daerah abdomen : khususnya laserasi hepar, limpa atau gatal-gatal.


Adanya perdarahan biasanya ditandai dengan gejala-gajela akut dari abdomen
yang tegang dan distensif. Disamping itu sering kali gejala ini belum
menunjukkan manifestasi pada saat dini atau tidak begitu jelas pada penderita
yang koma.

4) Cedera daerah pelvis : cedera pada penderita yang nonkomatus. Biasanya


klinisnya tidak begitu jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera
pelvis ini sering kali berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang akut.
5) Cedera daerah spinal. Trauma kepala dan spinal khususnya daerah servikal
dapat terjadi secara bersamaan dan cedera kombinasi ini harus selalu
difikirkan.

6) Cedera ekstremitas yang dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak
(otot, saraf, pembuluh darah). Terapi definitife cedera-cedera yang melibatkan
ekstrimitas kebanyakan dapat ditunda sampai setelah masalah-masalah yang
mengancam jiwa dapat teratasi.

c. Pemeriksaan Neurologis Cedera Kepala

1) Tingkat Kesadaran

Dinilai dengan GCS. Skala ini merupakan gradasi sederhana dari


aurosal dan kapasitas fungsional korteks cerebral berdasarkan respon verbal,
motorik dan mata penderita.

Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)

a) Respon (membuka) mata

(1) Spontan 4

(2) Berdasarkan perintah verbal 3

(3) Berdasarkan rangsang nyeri 2

(4) Tidak memberi respon 1

b) Respon motorik

(1) Menurut perintah 6

(2) Melokasir rangsang nyeri 5

(3) Menarik / berlawanan rangsang nyeri 4

(4) Fleksi abnormal 3


(5) Ekstensi 2

(6) Tidak memberikan respon 1

c) Respon verbal

(1) Orientasi baik 5

(2) Konversasi kacau 4

(3) Kata-kata kacau 3

(4) Bersuara inkomprehensif 2

(5) Tidak memberikan respon 1

d) Skala nyeri

Sangat nyeri dan tidak terkontrol _______ 10

Sangat nyeri tetapi masih dapat _______ 9

dikontrol oleh pasien dengan _______ 8

aktifitas yang bisa dilakukan _______ 7

_______ 6

Nyeri sedang _______ 5

_______ 4
_______ 3

Nyeri ringan _______ 2

_______ 1

Tidak nyeri _______ 0

2) Kekuatan Fungsi Motorik

Biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang sulit


mendapatkan penilaian akurat dari penderita-penderita dengan kesadaran yang
menurun. Masing-masing. Ekstremitas di gradisi kekuatannya.

a) Skala fungsi motorik :

(1) Normal 5

(2) Menurun moderat 4

(3) Menurun berat (dapat melawan grafitasi) 3

(4) (tidak dapat melawan grafitasi) 2

(5) tidak ada gerakan 1

a) Skala tingkat kemampuan mobilisasi :

(1) Pasien tidak tergantung pada orang lain 0

(2) Pasien butuh sedikit bantuan. 1

(3) Pasien butuh bantuan / pengawasan/ bimbingan 2

sederhana.
(4) Pasien butuh bantuan / peralatan yang banyak. 3

(5) Pasien sangat tergantung pada pemberi pelayanan. 4

3) Ukuran Pupil dan Responnya Terhadap Cahaya

Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya adalah


pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala.

a) Dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil : gejala dini dari herniasi
lobus temporal.

b) Miosis pupil bilateral : tampil pada saat dini herniasi sefalik central akibat
kedua jaras simpatik pupilomotor yang berasal dari hipotalamus terganggu
sehingga tonus parasimpatisnya menjadi lebih dominan dan menimbulkan
kontriksi pupil.

c) Miosis : timbul pada kasus dengan lesi pons.

d) Pupil horner unilateral : tampak pada kasus dengan lesi di batang otak.

e) Pupil dilatasi bilateral dan fixed : akibat dari perfusi cerebral yang tidak
adekuat seperti : hipotensi akibat kehilangan darah, atau gangguan aliran
darah cerebral karena peningkatan tekanan intracranial.

4) Gerakan Bola Mata

Merupakan indeks penting untuk penilaian aktifitas fungsional batang


otak. Penderita yang sadar penuh dan mempunyai gerakan bola mata yang
baik menandakan intaknya sistem motorik okuler di batang otak. Pada
keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang,
sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan
okulovestibuler.

d. Penanganan cedera kepala sesuai dengan tingkat gradasi klasifikasi klinis,


meliputi :
1) Cedera Kepala Tingkat I

Cedera kepala tingkat I ini merupakan kelompok kasus yang


jumlahnya tebanyak dibanding dengan cedera kepala tingkat lainnya dan
dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai cedera kepala ringan.
Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu
kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya
amnesia (retrograde) serta keluhan-keluhan lain yang berkaitan dengan
peninggian tekanan intracranial seperti : nyeri kepala, pusing, dan muntah.
Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda ada-tidaknya pada kepala,
sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat
ringannya konkusi cedera kepala yang terjadi. Kepentingan pemeriksaan
radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk mengetahui adanya :
fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar spinal, pneumocepalus.
Korpus alineum dan lainnya ; sedangkan foto servikal atau bagian tubuh
lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi. Pemeriksaan scan tomografi otak
(CT Scan) memang secara ideal perlu dilakukan bagi semua kasus cedera
kepala terutama bagi yang memenuhi 7 kriteria indikasi rawat inap.

a) Anamnesa antegrade / pasca traumatic yang memanjang (> 1 jam).

b) Adanya riwayat penurunan kesadaran

c) Tingkat kesadaran yang menurun adanya keluhan nyeri kepala mulai dari
derajat yang moderat sampai berat.

d) Intoksikasi alkohol atau obat-obatan

e) Adanya fraktur tulang tengkorak

f) Adanya kebocoran likuor serebro spinalis (otorre inore)

g) Cedera bagian tubuh lain yang berat

h) Indikasi sosial (tidak ada keluarga/pendamping dirumah)

i) Gambaran CT Scan otak yang abnormal


Penderita tingkat I yang tidak mempunyai atau memenuhi indikasi
rawat diatas, setelah beberapa saat menjalani pemantauan dirumah sakit
diperkenakan untuk pulang dan berobat jalan dengan catatan bila ada gejala-
gejala seperti yang tercantum di bawah ini harus segera kembali ke rumah
sakit :

a) Mengantuk dan sukar dibangunkan

b) Mual dan muntah

c) Kejang

d) Salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tidak
biasa

e) Kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi

f) Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat

g) Kacau / bingung (confuse), tidak mampu berkonsentrasi terjadi perubahan


personalitas.

h) Gaduh, gelisah

i) Perubahan denyut nadi atau pola pernafasan

j) Pusing hebat

2) Cedera Kepala Tingkat II

Penderita-penderita yang termasuk tingkat ini dikategorikan sebagai


kasus cedera kepala yang menengah / moderat, mengingat walau mereka
masih dapat mengikuti segala perintah sederhana, namun dapat secara tiba-tiba
berubah cepat ke tingkat III. Dengan kata lain, penanganannya di tekankan
sesuai dengan penanganan cedera kepala tingkat III (tetapi aspek
kedaruratannya tidak begitu akut).
Penanganan pertama selain menacakup anamnesa dan pemeriksaan
fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan CT Scan otak.
Pada tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi dirumah sakit perlu
dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam sekali, sedengkan follw
up Scan tomografi otak pada hari ke tiga atau bila ada perburukan neurologis.

3) Cedera Kepala Tingkat III

Penderita kelompok ini tidak mengikuti segala perintah sederhana


sekalipun setelah stabilisasi kardiopulmoner. Walaupun definisi ini masih
belum mencakup keseluruhan spektrum cedera otak, kelompok kasusnya
adalah dikatagorikan sebagai yang mempunyai resiko terbesar berkaitan
dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan menunggu disini dapat
berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang termasuk kelompok ini
mencakup tujuh tahap yaitu :

a) Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC. Semua


penderita cedera kepala tingkat III memerlukan intubasi.

b) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau


gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya.

c) Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal,


pemeriksaan pupil, reflek okulo-sefalik dan refleks okulovestibuler.
Penilaian neurologis kurang bernilai bila tekanan darah penderita masih
rendah (syok).

d) Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.

e) Pemberian pengobatan seperti : anti edema serebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.

f) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : CT Scan otak, angiografi cerebral


dan lainnya.

g) Pemilihan tindakan operasi versus konservatif.


Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah :

a) Lesi massa intra atau ekstra-aksial yang menyebabkan pergeseran garis


tengah (pembuluh darah cerebral anterior) yang melebihi 5 mm.

b) Lesi massa ekstra-aksial yang tebalnya melebihi 5 mm dari tabula interna


tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri cerebri anterior atau
media.

c) Lesi massa ekstra-aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari tabula


eksterna.

d) Lesi massa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat


dari arteri cerebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.

e. Terapi Operasi Pada Cedera Kepala

Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif


adalah adanya lesi massa inra cranial dengan pergeseran garis tengah > 5 mm
(kecuali penderita sudah mati otak). Prinsip konsiderasi oleh pemakaian obat
yang tidak meningkatkan tekanan intracranial. Kombinasi yang kerap ditetapkan
adalah N2O (50-70 % dengan O2), relakson otot I.V dan tiopental.

f. Terapi Medikamentosa pada Cedera Kepala

1) Yang lazim adalah deksamethasone (dengan dosis awal 10 mg dan kemudian


dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam).

2) Mannitol 20 % (dosis 1 3 / kg BB / hari yang bertujuan untuk mengatasi


edema cerebri.

3) Fenition juga masih diperdebatkan sehubungan dengan variasi insiden epilepsi


pasca trauma.

4) Akhir-akhir ini ada beberapa obat yang penggunaannya mulai populer seperti
THAM dan barbiturat, THAM (This-hidroksi-metil-aminometana) merupakan
suatu buffer yang dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat dan secara
teoritis lebih superior daripada natrium bikarbonat; dalam hal ini diharapkan
dapat mengurangi tekanan intracranial. Disamping untuk mengatasi tekanan
intra cranial yang meninggi, berbiturat mempunyai efek proteksi anoksia dan
iskhemia.

5) Oksigen hiperbarik, merupakan beberapa obat yang tampaknya merupakan


harapan yang menggembirakan untuk terapi cedera kepala. Namun
penerapanannya secara luas masih dalam penelitian.

6. Komplikasi dan Pencegahan

a. Higroma Subdural

Merupakan pengumpulan cairan likuor yang terbungkus oleh kapsul dibawah


durameter.

b. Pneumatokel Traumatika

Pneumatokel ekstracanial adalah pengumpulan udara dibawah periosteum akibat


adanya fraktur tulang tengkorak.

c. Meningokel Traumatika Spuriosa

Keadaan ini ditimbulkan oleh fraktur tengkorak dan robeknya durameter sehingga
likuor bebas mengalir keluar serta berkumpul dijaringan lemak ekstracranial.

d. Prolap Serebri

Prolaps serebri terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak yang terbuka
sehingga korteks serebri keluar dari tengkorak.

e. Ostitis Osteomielitis

Ostitis osteomielitis merupakan infeksi tulang sebagai kejadian komplikasi


sekunder dari hidung atau sinus paranasal (frontal).

f. Meningitis Encefalitis
Umumnya terjadi pada trauma kapitis dengan luka yang terbuka disamping
komplikasi sekunder dari focus : hidung, mastoid, atau sinus paranasal.

g. Abses Subdural Abses Otak

Abses subdural abses otak sering merupakan komplikasi lanjut dari cedera
kapala yang terbuka.

h. Epilepsi Pasca Traumatika

Mekanisme secara pasti masih belum jelas. Diduga kajadian ini


disebabkan oleh perdarahan korteks serebri yang kemudian meninggalkan
perlekatan, jaringan parut, atrofi, nekrosis, dan sisa lainnya.

i. Sindrom Pasca Concusi

Sindrom pasca concusi merupakan kumpulan gejala yang timbul setelah 2 3


minggu pasca trauma kapitis. Mengingat tidak adanya kelainan organik yang
tampak pada kasus-kasusnya maka sindrom ini sering dikenal dengan istilah
neurosa pasca trauma atau neurosa renten.

B. Konsep Dasar Keperawatan


Ilmu keperawatan didasarkan pada suatu teori bisa disebut sebagai suatu
pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu ; teknik, dan keterampilan
interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien / keluarga. Proses
keperawatan terbagi lima tahap yang saling berhubungan yaitu : pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi (iyer et al, 1996).

Standard praktek keperawatan profesional Indonesia telah dijabarkan oleh PPNI


(2000). Standard tersebut juga mengacu pada tahapan dalam proses keperawatan, terdiri
dari 5 standard :

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses
yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasikan status kesehatan klien (iyer et al, 1996).

a. Tipe Data

Ada 2 tipe data pada pengkajian :

1) Data Subyektif.

Data subyektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat
terhadap suatu situasi atau keadaan.

2) Data Obyektif.

Data obyektif adalah data yang dapat diobservasi atau diukur. Fokus
pengumpulan data meliputi :

a) Status kesehatan sebelumnya dan sekarang.

b) Pola koping sebelumnya dan sekarang.

c) Fungsi status sebelumnya dan sekarang.

d) Respon terhadap terapi medis dan tindakan keperawatan.

e) Resiko untuk masalah potensial.

f) Hal-hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien.

b. Sumber Data

1) Klien

Klien adalah sumber utama data ( primer ) dan perawat dapat menggali
informasi yang sebenarnya mengenai masalah klien.

2) Orang terdekat
Informasi dapat diperoleh dari orang tua, suami atau istri, anak atau
teman klien, jika klien mengalami gangguan keterbatasan dalam
berkomunikasi ataupun kesadaran yang menurun. Hal ini terjadi pada klien
anak-anak, dimana informasi diperoleh dari ibu atau yang menjaga anak
selama di rumah sakit.

3) Catatan klien

Catatan klien yang ditulis oleh anggota tim kesehatan dapat


dipergunakan sebagai sumber informasi didalam riwayat keperawatan.

4) Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang diperoleh adalah hal-hal tyang difokuskan pada


indentifikasi patologi dan untuk menentukan rencara tindakan medis.

5) Konsultasi

Kadang-kadang terapi memerlukan konsultasi dengan anggota tim


kesehatan specialis, khususnya delam menentukan diagnosa medis atau dalam
merencanakan dan melakukan tindakan keperawatan.

6) Hasil pemeriksaan diagnostik

Bagi perawat dapat membantu mengevaluasi keberhasilan dari tindakan


keperawatan.

7) Catatan medis dan anggota tim kesehatan lainnya

Anggota tim kesehatan lain adalah para personal yang berhubungan


dengan klien, dan memberikan tindakan, mengevaluasi dan mencatat hasil dari
status klien. Jika klien adalah rujukan dari pelayanan kesehatan yang lain,
maka perawat harus meminta informasi kepada perawat yang telah merawat
klien sebelumnya.

8) Kepustakaan
Memperoleh literature sangat membantu perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan yang benar dan tepat.

c. Metode atau Teknik P.E (Phisical Examination)

Ada 4 teknik dalam pemeriksaan fisik :

1) Inspeksi

2) Palpasi

3) Perkusi

4) Auskultasi

d. Aspek Pendekatan P.E

Pendekatan pengkajian fisik dapat menggunakan :

1) Head To Toe (kepala ke kaki)

Pemeriksaan yang dilakukan mulai dari kepala secara berurutan sampai ke


kaki.

2) ROS (Review Of System) sistem tubuh

Pada pendekatan ini perawat melakukan pengkajian sistem tubuh


secara keseluruhan. Adapun lingkup mayor body sistem meliputi : keadaan
umum, tanda-tanda vital, sistem pernafasan, sistem cardiovaskuler, sistem
pernafasan, sistem perkemihan, sistem muskuloskeletal, sistem integrumen
dan sistem reproduksi.

3) Pola fungsi kesehatan

Pola fungsi kesehatan meliputi (persepsi kesehatan, penatalaksanaan


kesehatan, nutrisi pola metabolisme, peran pola perhubungan, aktifitas
pola latihan, seksualitas pola reproduksi, koping pola toleransi stress, dan
nilai pola keyakinan).
e. Pengkajian Dasar Pada Trauma Kepala

1) Dapatkan riwayat terjadinya cedera kepala.

2) Lakukan pengkajian neurologis cepat

3) Amati kepala dan belakang kepala bila terjadi luka atau edema

4) Periksa telinga dan hidung kalau kemungkinan ada darah atau cairan bening
yang keluar.

5) Pemeriksaan diagnostik :

a) Sinar X kepala dan servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
CT Scan untuk mengenali adanya hematoma intracranial.

b) Fungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien


memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal,
kejang), kecuali bila ada tanda PTIK.

6) Bila pasien sadar dan orientasinya penuh, kaji respon terhadap kondisi dan
pemahamannya tentang kondisinya serta rencana penangannya.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan tentang masalah ketidaktahuan


dan / atau ketidakmauan dan / atau ketidakmampuan pasien atau klien baik dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun dalam penanggulangan masalah
kesehatan tersebut berhubungan dengan penyebab (etiologi) dan / atau gejala.

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada trauma kepala antara lain :

a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


ke SOL ( hemoragi, hematoma ) ; edema cerebral (respon lokal atau umum pada
cedeera, perubahan metabolik) ; penurunan sistematik / hipoksia (hipovolemi,
disritmis jantung).
b. Resiko atau aktual tidak efektifnya pola pernafasan berhubungan dengan obstruksi
trakiobronkial, gangguan / kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata.

c. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intra kranial berhubungan dengan adanya


proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.

d. Aktual atau resiko terjadinya gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
dengan hipermetabolik, perubahan kemampuan untuk mencerna makanan.

e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi atau terapi tirah baring.

f. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala, pusing dan vertigo berhubungan dengan
kerusakan jaringan otak dan perdarahanotak / peningkatan tekanan intrakranial.

g. Kurang pengetahun keluarga berhubungan dengan kurang mengenal kondisi dan


kebutuhan perawatan klien.

4. Implementasi

Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
specifik ( iyer et al , 1996).

Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses perawatan yang


menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.

Meskipun evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi


merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data
perlu direfisi untuk menentukan apakah informasi yang telah dikumpulkan sudah
mencukupi dan apakah perilaku yang diobservasi sudah sesuai. Diagnosa juga perlu di
evaluasi dalam hal ; keakuratan dan kelengkapannya. Tujuan diintervensi dan evaluasi
adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut dapat dicapai secara efektif.

a. Penentuan Keputusan pada Tahap Evalausi

Setelah data terkumpul tentang status keadaan klien, maka perawat


membandingkan data dengan outcomes. Tahap berikutnya adalah membuat
keputusan tentang pencapauan klien terhadap outcomes. Ada tiga kemungkinan
pada tahap ini :

1) Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan. Pada keadaan ini,
perawat akan mengkaji masalah klien lebih lanjut atau mengevaluasi outcomes
yang lain.

2) Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan. Perawat mengetahui
keadaan klien pada tahap perubahan kearah pemecahan masalah. Penambahan
waktu, resources, dan intervensi mungkin diperlukan sebelum tujuan tercapai.

3) Klian dapat mencapai hasil yang ditentukan. Pada situasi ini, perawat harus
mencoba untuk mengidentifikasi alasan mengapa keadaan atau masalah ini
timbul.

a) Mengkaji ulang masalah atau respon bahwa secara akurat telah


diidentifikasi

b) Membuat outcomes yang baru. Mungkin outcomes pertama tidak realistik


dalam hal sarana, perawat, dan waktu. Kemungkinan yang lain adalah
klien tidak menghendaki terhadap tujuan yang disusun perawat.

c) Intervensi keperawatan harus dievaluasi dalam hal ketetapan untuk


mencapai tujuan sebelumnya.

b. Komponen Evaluasi Tindakan Keperawatan

Ada dua komponen mengevaluasi tindakan keperawatan yaitu :

1) Proses ( formatif)
Fokus tipe evaluasi ini adalah aktifitas dari proses keperawatan dan
hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses harus
dilaksanaakan untuk membantu ke efektifan terhadap tindakan. Evaluasi
formatif terus-menerus dilaksanakan sampai tujuan yang telah ditentukan
tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi formatif terdiri dari analisa
rencana tindakan keperawatan, open chard audit, pertemuan kelompok,
inteview dan observasi dengan klien, dan menggunakan form evaluasi. Sistem
penulisan pada tahap evaluasi ini bisa menggunakan sistem SOAP atau model
dokumetasi lainnya.

2) Hasil (sumatif)

Fokus evaluasi adalah peruabahan perilaku atau status kesehatan klien


pada akhir tindakan keperawatan klien. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada
akhir tindakan keperawatan secara paripurna. Sumatif evalusi adalah obyektif,
fleksibel dan efisien. Adapun metode pelaksanaan evaluasi sumatif terdiri dari
close-chart audit, interview akhir pelayanan, pertemuan akhir pelayanan, dan
pertanyaan pada klien atau keluarga. Meskipun informasi pada tahap ini tidak
secara langsung berpengaruh terhadap klien yang dievaluasi, sumati evaluasi
bisa menjadi suatu metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan
yang telah diberikan.

c. Dokumentasi

Perawat mendokumentasikan hasil yang telah atau belum dicapai pada


medical record penggunaaan istilah yang tepat perlu ditekankan pada penulisnya,
untuk menghindari salah persepsi dan kejelasan dalam menyusun tindakan
perawatan lebih lanjut.

d. Evaluasi pada Klien Cedera Kepala Diharapkan

1) Rasa nyaman terpenuhi

2) Perubahan perfusi cerebral teratasi

3) Jalan nafas berfungsi dengan baik


4) Kebutuhan sehari-hari terpenuhi

5) Infeksi tidak terjadi

6) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi

7) Pengetahuan keluarga meningkat mengenai kondisi pasien dan pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai