Anda di halaman 1dari 10

PERUBAHAN IKLIM

Perubahan Iklim merupakan perubahan kondisi fisik atmosfer bumi, seperti suhu dan
distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2001). Perubahan iklim saat ini telah memberi ancaman
global, dimana variasi iklim berpengaruh besar terhadap masyarakat di seluruh belahan dunia
termasuk Indonesia. Perubahan kondisi fisik yang dimaksud tidak terjadi hanya dalam waktu
sesaat, melainkan dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini diperjelas oleh UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change) (dalam IPCC glossary working
group III, UN-Habitat, 2011) yang menyatakan bahwa perubahan iklim secara langsung
ataupun tidak langsung disebabkan oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi
atmosfer dan tata guna lahan, serta adanya perubahan karena sebab alami dalam periode
waktu yang lama (Awuor, 2009).

Perubahan iklim ini memberikan dampak terhadap kehidupan yang sulit untuk dihindari.
Menurut Alston dan Whittenbury (2013), jika perubahan iklim tidak dapat dikendalikan
maka pada tahun 2030 variabilitas iklim akan mengancam ketahanan pangan dan kebutuhan
air karena pada saat itu populasi dunia telah menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan
sebesar 50% lebih besar dari saat ini, 45% lebih banyak energy yang dibutuhkan, dan 30%
lebih banyak air bersih yang dibutuhkan. Sehingga perkiraan masyarakat miskin yang akan
mengalami kekurangan gizi meningkat lebih dari 20 juta orang, 884 juta orang tidak memiliki
akses terhadap air bersih, dan 2,6 miliar orang tidak mempunyai sanitasi dasar. Sedangkan
menurut LAPAN (2009), dampak ekstrim dari perubahan iklim adalah terjadinya kenaikan
temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di
Kutub Utara dan Selatan mencair, sehingga menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut
dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini dapat menurunkan produksi tambak perikanan serta
mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai (UN- Habitat, 2011; Awour, 2009;
McGranahan, 2007).

B. Kondisi Iklim Rata-Rata di Indonesia

Perubahan iklim pada dasarnya telah berlangsung sejak jutaan tahun yang lalu sebagai
mekanisme alami yang terjadi di atmosfer bumi. Seiring dengan bertambahnya penduduk dan
berbagai aktivitas manusia yang berdampak langsung pada lingkungan, perubahan iklim tidak
lagi hanya disebabkan oleh peristiwa alam. Kemajuan pembangunan ekonomi di berbagai
belahan dunia berdampak pada kondisi iklim global di permukaan bumi.

Kondisi suhu di Indonesia mulai meningkat sejak abad ke-20. Kenaikan temperatur di
Indonesia tercatat telah meningkat sekitar 0.3 oC sejak tahun 1900. Tahun 1990-an menjadi
decade terpanas pada abad ini dan tahun 1998 adalah tahun terpanas hampir 1oC di atas rata-
rata periode 1961 1990 (Hulme dan Sheard, 1999). Beberapa parameter perubahan iklim di
Indonesia pada periode 2001 2012 disajikan pada beberapa gambar 1 berikut.

Gambar 1. Trend suhu minimum,


maksimum, dan rata- rata di wilayah
Indonesia periode 2003-2012
(Sumber: Pusat Perubahan Iklim
dan Kualitas Udara, BMKG 2012)

Gambar di atas menunjukkan bahwa telah terjadi trend kenaikan suhu minimum dan
maksimum di wilayah Indonesia pada periode 2003 2012. Trend kenaikan suhu minimum
tertinggi terjadi merata di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, sebagian besar wilayah Kalimantan,
sebagian kecil wilayah Sulawesi dan Papua. Sementara itu, trend kenaikan suhu maksimum
tertinggi terjadi di wilayah Sumatera, sebagian kecil wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTB dan
NTT, Maluku dan sebagian besar wilayah Papua.
Jika dilihat dari tingkat gradasi warna yang ditunjukkan, maka dapat disimpulkan bahwa
trend kenaikan suhu minimum lebih tinggi dibandingkan dengan trend kenaikan suhu
maksimum di sebagian besar wilayah Indonesia. Pada periode 2003 2012, terjadi
peningkatan suhu minimum di wilayah Indonesia sekitar 0.01 - 0.03 oC/bulan. Untuk kondisi
trend suhu rata-rata, terlihat bahwa hanya wilayah Jawa yang mengalami kenaikan trend suhu
rata-rata tertinggi sekitar 0.02 oC/bulan, diikuti oleh sebagian wilayah Sumatera berkisar
antara 0-0.01oC/bulan.

Semakin meningkatnya suhu udara baik suhu minimum, maksimum maupun suhu rata-
rataakan memberikan dampak fisik bagi manusia. Kecenderungan kenaikan suhu minimum
mengindikasikan bahwa suhu pada malam hari akan cenderung semakin naik, hal tersebut
akan menimbulkan semakin tidak nyamannya udara pada malam hari akibatnya manusia akan
lebih banyak menggunakan pendinginan ruangan sehingga terjadi pemborosan energi. Selain
pemborosan energi, semakin hangat suhu udara pada malam hari (25 27 oC) akan memicu
semakin meningkatkan perkembangbiakan nyamuk (Epstein et al 1998 dalam Suwito dkk,
2010). Sedangkan kenaikan suhu maksimum mengindikasikan semakin panasnya suhu udara
pada siang hari, kondisi ini akan memicu semakin meningkatnya potensi terjadinya
kebakaran.

Untuk trend curah hujan musiman di wilayah Indonesia selama periode 2003 2012, terlihat
beberapa wilayah yang mengalami penurunan curah hujan cukup signifikan (Gambar 2).
Penurunan curah hujan paling tinggi hingga sekitar 100 mm/tahun (bulan September,
Oktober, dan November) terjadi di wilayah Sumatera bagian utara. Wilayah Jawa bagian
barat juga demikian dengan tingkat penurunan sekitar 50 mm/tahun (bulan Desember,
Januari, dan Februari). Sebaliknya, peningkatan curah hujan yang cukup tinggi sekitar 150
175 mm/tahun
terjadi di wilayah Sulawesi bagian tengah dan selatan (bulan September, Oktober, dan
November), dan peningkatan sangat tinggi sekitar 250 mm/tahun (bulan Juni, Juli, dan
Agustus) terjadi di wilayah Maluku dan sebagian wilayah Papua.
Semakin meningkatnya curah hujan pada musim penghujan akan semakin meningkatkan
potensi terjadinya banjir dan tanah longsor, sebaliknya semakin berkurangnya curah hujan
pada
musim kemarau akan semakin meningkatkan potensi terjadinya kekeringan. Kondisi tersebut

perlu mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah dan masyarakat karena bencana banjir
maupun kekeringan yang terjadi dapat menimbulkan jumlah kerugian yang sangat besar.

Gambar 2 Trend curah hujan musiman di wilayah Indonesia periode 2003-2012


(Sumber: Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, BMKG 2012)

Gambar 3 menunjukkan trend suhu air laut di wilayah Indonesia selama periode tahun 2003
2012. Secara umum dapat terlihat bahwa peningkatan trend suhu air laut sebesar 0.01
0.02oC terjadi hampir merata di seluruh perairan Indonesia. Kondisi trend suhu air laut di
wilayah Samudera Pasifik menunjukkan trend penurunan, hal tersebut berkebalikan dengan
kondisi trend suhu air laut di wilayah perairan Indonesia. Hal tersebut menjadi suatu hal yang
menarik,
karena konektivitas antara suhu air laut di perairan Indonesia dengan suhu air laut Samudera
Pasifik memegang peranan penting dalam mempengaruhi kondisi iklim di wilayah Indonesia.
Pada saat suhu air laut di Samudera Pasifik mengalami pendinginan (anomali negatif)
bersamaan dengan itu suhu air laut di perairan Indonesia menghangat (anomali positif) maka
kondisi iklim (curah hujan) di wilayah Indonesia akan cenderung lebih basah, kondisi
tersebut
lebih dikenal dengan fenomena La Nina.

Sebaliknya, pada saat suhu air laut di


Samudera Pasifik menghangat (anomali positif)
bersamaan dengan itu suhu air laut di perairan
Indonesia
mengalami pendinginan (anomali negatif)
maka kondisi iklim (curah hujan) di wilayah
Indonesiaakan cenderung lebih kering, kondisi
tersebut lebih dikenal dengan fenomena El
Nino. Apabila melihat trend suhu air laut antara
kedua perairan yang saling berkebalikan, maka
fenomena La Nina yang terjadi saat ini cenderung semakin kuat.
Gambar 3 Trend suhu air laut di perairan Indonesia
(Sumber: Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, BMKG 2012)

Kenaikan Tinggi Muka Laut (TML) merupakan salah satu konsekuensi akibat terjadinya
pemanasan global. Analisis perubahan tinggi muka air laut di antara periode 2001 2008
(gambar 5) dilakukan oleh Ibnu Sofyan et.al (2011). Gambar 5 menunjukkan perubahan TML
menggunakan data altimeter berdasarkan analisa komparatif selama 7 tahun. Kenaikan TML
bervariasi antara 2 cm sampai 12 cm, dan rata-rata kenaikan sebesar 6 cm. Kenaikan TML
terbesar terjadi di Samudera Pasifik bagian barat dengan kenaikan sebesar 8 cm, dan terendah
terjadi di pantai selatan Pulau Jawa, Laut Cina Selatan, dan pantai barat Filipina, tepatnya di
lokasi Mindanao Eddy atau Pusaran Mindanao. Perbedaan tingkat kenaikan TML antara
Samudera Pasifik dan Hindia mungkin berdampak terhadap perubahan karakteristik
Indonesia
Through Flow (ITF) yang akan merubah pola iklim regional di Indonesia. Tingginya
kenaikan TML di Samudera Pasifik dibandingkan dengan Samudera Hindia mempertinggi
intensitas transport massa air laut hangat dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Pada
akhirnya peningkatan intensitas ITF ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pola hujan
lokal di Indonesia.

B. Kondisi Iklim Rata-Rata di Maluku


Utara

Pencatatan curah hujan pada BMKG


Baabullah dapat dilihat pada Gambar..( ),
dimana pola hujan di Ternate mempunyai
pola hujan lokal yang dipengaruhi oleh
kondisi setempat. Pola demikian terlihat dari tidak jelas dan tetapnya saat dan lamanya
musim hujan dan kemarau untuk tiap tahun. Besar curah hujan rata-rata yang terekam selama
24 tahun terakhir (1990-2014) sebesar 4605,57mm/ tahun. Berdasar data tersebut, bulan
terkering umumnya terjadi dari bulan Juli hingga bulan September dengan besar curah hujan
bulanan dibawah 81 mm. Sedangkan bulan basah umumnya terjadi dari bulan Nopember
hingga bulan Januari Tahun berikutnya dengan curah hujan diatas 220 mm/bulan. Adapun
bulan terbasah yaitu bulan Mei sebagai akhir musim hujan dan bulan Desember sebagai awal
musim hujan dengan curah hujan diatas 283 mm/bulan.
600

500

400
Curah Hujan (mm)

300
Rerata
Maksimum
200 Minimum

100

0
Jan Feb MaretApril Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
Bulan

Gambar 5.Grafik Curah Hujan Bulanan


(Sumber: BMKG Stasiun Baabullah Ternate, 2016)

20
18 17
17 16
16 15
15 14 15
12
11
10
Hari Hujan

10
8

0
Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des
Bulan

Gambar 6. Grafik Jumlah Hari Hujan Rata Rata


(Sumber: BMKG Stasiun Baabullah Ternate, 2016)
Terjadinya hujan juga hanya bersifat hujan lokal (tidak meluas) dengan durasi yang tidak
lama. Adapun jumlah hari hujan bulanan rata-rata selama 24 tahun terakhir adalah sebesar 14
hari, sedangkan jumlah hari hujan rata-rata per-tahun adalah sebesar 351 hari. Jumlah hari
hujan maksimum terjadi di bulan Januari yaitu diatas 18 hari sedangkan jumlah hari hujan
minimum terjadi di bulan Agustus yakni dibawah 10 hari.

Tabel ??. Klimatologi Rata-Rata Tahun 2003-2014


Bulan
Data
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des
Temperatur
0
C 26,79 26,69 27,19 27,16 27,04 27,10 26,84 26,76 26,39 27,06 27,09 27,23

Kec. Angin
m/det 0,06 0,06 0,06 0,05 0,04 0,05 0,05 0,06 0,05 0,05 0,04 0,05
Kelembaban
Udara % 84,00 84,08 82,92 84,33 84,17 81,50 80,58 77,58 81,08 79,33 83,25 84,42
Penyinaran
Matahari % 52,00 57,42 63,42 62,67 61,17 54,75 56,08 62,33 60,92 67,17 58,83 52,42
(Sumber: BMKG Stasiun Baabullah Ternate, 2016)

Berdasarkan tabel 13, temperatur rata-rata berkisar anatara 26-27C, kecepatan angin
terendah 0,04 dan tertinggi 0,06 m/det. Tingkat kelembaban udara cukup tinggi yaitu 77,58%
- 84,42%, dengan lama penyinaran matahari 52% sampai 67,17%.

C. Kejadian iklim ekstrem


Kejadian iklim ekstrem di Indonesia biasanya terkait fenomena El Nino Southern Oscillation
atau ENSO, karena Indonesia terletak di antara dua samudera, yaitu Pasifik dan Hindia.
Kejadian El Nino akan menyebabkan kekeringan di wilayah Indonesia terutama di wilayah
yang mempunyai pola curah hujan monsunal. Kejadian La Nina akan menyebabkan
peningkatan curah hujan dan kejadian banjir (Bell et al 1999 dalam Sucahyono dan Aldrian,
2012; Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Dalam Laporan Indonesia Country Report:
Climate Variability and Climate Changes and Their Implication tahun 2007, disebutkan
bahwa ENSO mempengaruhi curah hujan tahunan di Indonesia melalui: i) musim kemarau
lebih panjang ketika El Nino terjadi dan musim kemarau lebih pendek ketika La Nina terjadi,
ii) Awal musim hujan datang terlambat ketika El Nino dan lebih awal ketika La Nina, iii)
pengurangan signifikan pada jumlah curah hujan pada musim kemarau ketika El Nino dan
peningkatan curah yang signifikan di musim kemarau ketika terjadi La Nina; dan iv)
kekeringan muncul pada musim hujan, khususnya di wilayah timur Indonesia.
Gambar 6 Peta anomali curah hujan tahun 2010 dibanding curah hujan rata-rata periode
2003-2012 (Sumber: Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, BMKG 2012)

Selama periode 2001 2011, tahun 2010 merupakan tahun terjadinya anomali iklim yang
sangat signifikan yang melanda wilayah Indonesia (Gambar 5). Hal ini ditandai dengan
fenomena kemarau basah sehingga sepanjang tahun terjadi musim hujan. Kejadian ini
merupakan salah satu contoh iklim ekstrem sebagai akibat terjadinya perubahan iklim di
Indonesia (Sucahyono dan Aldrian, 2012). Pada tahun 2010 terjadinya fenomena La Nina
memberikan dampak yang sangat besar terhadap kondisi curah hujan di wilayah Indonesia,
terlebih pada saat musim kemarau (Juni November). Dimana pada musim kemarau (Juni,
Juli, Agustus (JJA) dan September, Oktber, November (SON)) curah hujan di sebagian besar
wilayah Indonesia mengalami peningkatan curah hujan yang signifikan, terlebih di wilayah
Indonesia sebelah selatan ekuator. Berdasarkan gambar di atas pada periode JJA dan SON,
telah terjadi peningkatan curah hujan yang sangat signifikan yakni hingga mencapai 250%
terhadap rata-rata curah hujan periode tahun 2003 2010 dalam periode musim yang sama.
Kondisi tersebut menjadikan musim kemarau tahun 2010 dikenal sebagai kemarau basah,
karena jumlah curah hujan yang terjadi pada saat itu sangatlah besar. Sedangkan pada musim
hujan (Desember-Mei) jumlah curah hujan di wilayah Indonesia tahun 2010 juga mengalami
peningkatan meskipun peningkatannya tidak sebesar periode musim kemarau (Juni-
November).
Melihat fenomena dan dampak ekstrim dari perubahan iklim tersebut, tanpa disadari
menuntut adanya suatu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi dan mitigasi merupakan bentuk
penanganan terhadap perubahan iklim yang terjadi. Mitigasi mempunyai makna
pengurangan, dalam hal ini mitigasi terhadap perubahan iklim berupa usaha yang dilakukan
untuk mengurangi penyebab dari perubahan iklim sehingga laju perubahan dapat melambat.
Sedangkan adaptasi lebih menekankan pada penyesuaian diri terhadap perubahan yang ada
guna kelangsungan hidup (UN Habitat, 2011). Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan
hal yang perlu dilakukan di Indonesia mengingat dampak ekstrim dari perubahan iklim lebih
kepada ancaman terhadap wilayah pesisir.

Subandono (2009), Dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang
sangat luas dengan jumlah pulau-pulau kecil yang cukup besar, maka Indonesia termasuk
negara yang memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan iklim. Oleh karena
itu, kemampuan untuk memperkirakan dampak perubahan iklim serta upaya upaya mitigasi
dan adaptasinya perlu dimiliki oleh Indonesia. Kemampuan ini menjadi suatu keharusan
mengingat besarnya peranan laut dalam mengantisipasi perubahan iklim.

Perubahan iklim yang terjadi saat ini sangat memberi dampak pada kawasan pesisir dan laut,
dimana pada kawasan tersebut terdapat ekosistem yang kompleks seperti hutan mangrove,
batu karang dan rawa payau. Pada berbagai ekosistem tersebut, pemanasan global
mempengaruhi sifat-sifat fisik, biologi dan biokimia laut dan pesisir sehingga merubah
struktur ekologis, fungsi dan penyediaan barang serta jasa yang diberikan oleh laut dan
pesisir. Terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim menimbulkan berbagai kejadian
ekstrim yang berdampak pada laut dalam skala luas (Wardana 2010).

Pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan iklim dikarenakan kapasitas adaptasi
masyarakat relatif lebih lemah akibat keterbatasan sarana prasarana pendukung, tingkat
pendidikan serta jauh dari jangkauan layanan administrasi dan sosial. Dengan demikian,
kerentanannya menjadi lebih tinggi (Subandono 2007).

Anda mungkin juga menyukai