Anda di halaman 1dari 3

Nama : Febewati Ginting

Nim : 121021010

KUSTA
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi
juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan juga ketahanan nasional.
Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai akibat
keterbatasan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang
kesehatan, kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat (Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).

Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian,
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).

Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu
eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Eliminasi yang dimaksud World Health Organization (WHO) adalah suatu
keadaan dimana prevalensi (jumlah penderita yang tercatat) kurang dari 1/10.000 penduduk
(Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, jumlah penderita kusta di Indonesia


masih cukup tinggi dan terus mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Tahun 2012 jumlah penderita kusta terdaftar sebanyak 23.169 kasus dan jumlah kecacatan
tingkat 2 di antara penderita baru sebanyak 2.025 orang atau 10.11 persen. Jika dibandingkan
tahun 2011 terjadi peningkatan dimana jumlah penderita kusta mencapai 20.023 kasus.
"WHO menetapkan Indonesia menempati urutan ke tiga dunia setelah India (127.295) dan
Brazil (33.955) dengan jumlah penderita kusta tertinggi.

Di kawasan ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas. Myanmar di urutan kedua


dengan 3.082 kasus, Filipina ketiga (2.936). Dua negara tetangga Indonesia, Malaysia hanya
216 kasus dan Singapura 11 kasus.

Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010, selama
tahun 2009 terdapat 17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi
sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data
kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum
perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak.

Di Sumatera Utara insiden (jumlah kasus baru) kusta 192 kasus pada Januari-
Desember 2010, dan 12 % dari kasus tersebut adalah anak berumur kurang 15 tahun.
Berdasarkan data, jumlah penderita kusta di Sumut, masing-masing terdapat di Kabupaten
Serdang Bedagai sebanyak 10 penderita, Sibolga 13 penderita, Padang Lawas 10 penderita,
Medan 42 penderita, Deli Serdang 15 penderita, Simalungun 17 penderita, Asahan 12
penderita, Labuhan Batu 12 penderita dan Tapanuli Selatan 13 penderita.

WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut: impairment,
disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang
dimuat dalam WHO Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2 (Kosasih,
2008).

Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita seringkali tidak dapat menerima


kenyataan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada
kepribadian dan tingkah lakunya. Akibatnya ia aka berusaha untuk menyembunyikan
keadaannya sebagai penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan
kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat (Kuniarto, 2006).

Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan
masalah medis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya stigma dan leprofobi yang banyak
dipengaruhi oleh berbagai paham dan informasi yang keliru mengenai penyakit kusta. Sikap
dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan
penderita kusta merasa tidak mendapat tempat di keluarganya dan lingkungan masyarakat
(Kuniarto, 2006).

Akibatnya penderita cacat kusta (PCK) cenderung hidup menyendiri dan mengurangi
kegiatan sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung kepada orang lain, merasa tertekan dan
malu untuk berobat. Dari segi ekonomi, penderita kusta cenderung mengalami keterbatasan
ataupun ketidakmampuan dalam bekerja maupun mendapat diskriminasi untuk mendapatkan
hak dan kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan penyakitnya sehingga kebutuhan
hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi mayoritas penderita kusta berasal dari kalangan ekonomi
menengah ke bawah, padahal penderita kusta memerlukan perawatan lanjut sehingga
memerlukan biaya perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat
kualitas hidup (Kuniarto, 2006).

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individual terhadap posisinya


dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan
hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya yang terkait. Masalah
yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik,
status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan lingkungan dimana
mereka berada.

Di Indonesia pengobatan dan perawatan penyakit kusta secara terintegrasi dengan unit
pelayanan kesehatan Puskesmas. Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sejak tahun
1992 yaitu pengobatan dengan kombinasi MDT (multi drug therapy) secara teratur sampai
selesai sesuai dengan dosis dan waktu yang ditentukan untuk semua penderita kusta tetapi
tampa melibatkan keluarga dengan maksimum (Depkes RI, 2002).

Di Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia bersama dengan dinas


kesehatan provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia telah melakukan program
pencegahan dan penanggulangan kusta melalui pendekatan ilmu kedokteran dan ilmu
kesehatan masyarakat dengan melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Fungsi rehabilitasi tersebut agar penderita, keluarga dan masyarakat sekitar ikut secara
bersama-sama membantu penderita agar dapat hidup mandiri. Optimisme bahwa masalah
kusta dapat diatasi apabila penderita, keluarga dan masyarakat sendiri mau bekerja sama
dengan penuh tanggung jawab, sehingga terciptalah iklim yang baik untuk rehabilitasi secara
paripurna bagi penderita kusta. Akhirnya semua elemen masyarakat dapat hidup
berdampingan tanpa diskriminasi yang ditimbulkan oleh penyakit kusta (Depkes RI, 2005).

Sumber Referensi

http://www.tempo.co/read/news/2013/02/14/214461169/Penderita-Kusta-Indonesia-
Tertinggi-Ketiga-Dunia

http://medan.tribunnews.com/2011/06/09/medan-capai-angka-tertinggi-penderita-penyakit-
kusta-baru

http://health.kompas.com/read/2013/02/14/08181098/Jumlah.Pengidap.Kusta.Masih.Tinggi

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1421-prevalensi-kusta-berhasil-
diturunkan-81-persen-.html

Anda mungkin juga menyukai