Anda di halaman 1dari 46

SEMINAR AKHIR

DEPARTEMEN MEDIKAL
PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS MDR PADA KEHAMILAN DAN
TUBERCULOSIS PADA PENDERITA HIV/AIDS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Medikal


Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh : Kelompok 1 dan 2

Muhammad Badrus Solikhin


Eriska Pratiwi
Ayu Rindu Lestari
Fatimah Az Zahra
Anisa Devi Rosari Sinaga
Titik Zahrotul Ainiyah

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberculosis (TB) merupakan contoh lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit ini
disebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis, yang biasanya ditularkan
melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari satu individu ke individu lainnya dan
membentuk kolonisasi di bronkiolus atau alveolus. Kuman juga dapat masuk ke tubuh
melalui saluran cerna, melalui ingesti susu tercemar yang tidak dipasteurisasi, atau kadang-
kadang melalui lesi kulit. (Elizabeth J. Corwin, 2009).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi


Mycobacterium tuberculosis,dan pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 9,27 jutakasus baru
Tuberkulosis di seluruh dunia. Di seluruh dunia,TB merupakan penyakit infeksi terbesar
nomor duapenyumbang angka mortalitas dewasa yang menyebabkansekitar 1,7 juta
kematian (WHO 2008). Negara denganprevalensi TB terbesar adalah India, Cina, Afrika
Selatan,Nigeria dan Indonesia.Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lamamerupakan penyakit
menular yang endemisdi Indonesia dan saat ini Indonesia beradapada ranking kelima
negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Kasus TB ditemukan diseluruh propinsi yang
ada di Indonesiadimana Papua, DKI Jakarta dan Bantenadalah 3 propinsi dengan jumlah
kasus TBterbesar di Indonesia. Estimasi prevalensiTB semua kasus adalah sebesar
660,000dan estimasi insidensi berjumlah 430,000kasus baru per tahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61,000 kematian pertahunnya (Kemenkes RI, 2011).Penanganan
yang substandard (di bawah standard) akan berakibat kegagalan pengobatan,transmisi
kuman TB yang berkelanjutan kepada anggota keluarga dan anggota masyarakat lain serta
menimbulkan resistensi obat atau dikenal dengan kasus Multi Drug ResistanceTuberculosis
(TB-MDR) (WHO, 2010).

Insidens TBC pada kehamilan adalah 1/10.000 kehamilan. Penelitian pada tahun
1985-1990 di New York,memperlihatkan insidens TBC pada kehamilanadalah 12 kasus per
100.000 kelahiran dan padatahun 1991-1992 insidens meningkat menjadi 95 kasus per
100.000 kelahiran. Penelitian diLondon tahun 1997-2001, menunjukkan 32 wanita hamil
menderita TBC, dengan insidens 252/100.000 kelahiran. Lima puluh tiga persendidiagnosis
sebagai TBC ekstrapulmonal, 38%TBC pulmonal dan 9% TBC ekstra dan intrapulmonal.
Pada masa sebelum ditemukannya kemoterapi, didapatkan kematian sampai 70%
disebabkan oleh TBC pada wanita usiareproduksi. Setelah kemoterapi ditemukaninsidens
TBC meningkat kembali, hal inidikarenakan timbulnya bermacam-macam faktor, salah
satunya infeksi humanimmunodeficiency viral (HIV) (Tripahty, 2003). Menurut Prawiroharjo
& Sumoharto (2007) frekuensi wanita hamil yang menderita TB paru di Indonesia yaitu
1,6%.

Kehamilan tidak memperburuk perjalanan penyakit dari TBC, dan TBC tidak
mengganggu secara keseluruhan dari jalannya kehamilan dan persalinan walaupun
dilaporkan di India adanya peningkatan insidensi persalinan prematur, BBLR, dan
pembatasan perkembangan bayi dan juga peningkatan angka kematian bayi pada ibu
dengan aktif TB paru pada 79 wanita hamil (Jana and coleagues 1994) Jana dkk (1999)
melaporkan pada 33 wanita hamil dengan komplikasi TB paru melahirkan bayi dengan berat
badan yang rendah. Selain itu kasus kasus meningitis TBC dalam kehamilan menyebabkan
kematian pada ibu pada sepertiga dari seluruh kasus.Risiko yang dihadapi oleh ibu dan
janin lebih besar bilatidak mendapatkan pengobatan TBCdibandingkan risiko pengobatan itu
sendiri.Pemberian regimen kemoterapi yang tepat danadekuat akan memperbaiki kualitas
hidup ibu,mengurangi efek samping obat anti tuberkulosis(OAT) terhadap janin dan
mencegah infeksi yangterjadi pada bayi yang baru lahir.Beberapa penelitian juga
menunjukkan HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) pada pasien HIV. Terapi
tersebut dapat memperbaiki sistem imun dan menurunkan mortalitas serta morbiditas. WHO
juga menjelaskan bahwa ART (Antiretroviral Therapy) dapat menurunkan viralload dan
memperbaiki sistem imun (De Carvalho, 2008).

Koinfeksi Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS menjadi salah satu kendala besar
dalam menanggulangi penyakit tersebut. Infeksi Tuberkulosis merupakan hasil dari interaksi
kompleks antara lingkungan, host, dan patogen. Strategi komprehensif yang terfokus pada
faktor risiko utama TB sangat penting untuk mencapai target Stop TB Partnership (Taha,
2011).Kehamilan yang dipersulit dengan kontaminasi oleh organisme yang resisten atau
dengan adanya AIDS, memerlukan perhatian khusus, pada kasus ini penggunaan kombinasi
4 sampai 5 obat mungkin diperlukan, termasuk obat-obatan seperti streptomicin, yang
normalnya tidak direkomendasikan selama kehamilan. Harus dipertimbangan untuk dirawat
dulu dirumah sakit pada penanganan awal dilanjutkan dengan pengawasan ketat secara
DOTS.

Berdasarkan uraian diatas maka kelompok tertarik untuk menganalisis


Penatalaksanaan Tuberculosis Pada Kehamilan dan Tuberculosis Pada Penderita
HIV/AIDS, berdasarkan pada jurnal dan studi kasus di RS dr. Saiful Anwar Malang.
1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui penatalaksanaan penderita TB pada saat masa kehamilan dan


Penderita TB dengan HIV/AIDS.

1.2.2 Tujuan Khusus

Mengetahui perbedaan penatalaksanaan penderita TB pada saat masa


kehamilan dan Penderita TB dengan HIV/AIDS.
Membandingkan penatalaksanaan pada jurnal yang berjudul Tuberculosis
and Pregnancy: An Updated Systematic Review dengan penatalaksanaan di
RS dr. Saiful Anwar Malang.

1.3 MANFAAT

1.3.1 Pendidikan

Mahasiswa dapat menambah pengetahuan dalam penatalaksanaan penderita TB


pada kehamilan dan penderita HIV/AIDS.

1.3.2 Perawat

Perawat mendapatkan pengetahuan dalam merawat penderita TB pada kehailan


dan penderita HIVAIDS.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERCULOSIS

A. Definisi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat kuman Mycobacterium tuberkulosis
sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000).Tuberculosis
(TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis
dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meninges, ginjal, tulang, dan
nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001)
Tuberculosis (TB) merupakan contoh lain infeksi saluran napas bawah. Penyakit
inidisebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis, yang biasanya
ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari satu individu ke individu lainnya
dan membentuk kolonisasi di bronkiolus atau alveolus. Kuman juga dapat masuk ke
tubuh melalui saluran cerna, melalui ingesti susu tercemar yang tidak dipasteurisasi, atau
kadang-kadang melalui lesi kulit. (Elizabeth J. Corwin, 2009).

Gambar 2.1 Tuberculosis

B. Klasifikasi

Klasifikasi I (berdasarkan bagian tubuh yang terinfeksi)


Tuberculosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru)
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
A. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberculosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif

B. Tuberkulosis Paru BTA (-)


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotic spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
b. Berdasakan tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :
1. Kasus baru
Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
2. Kasus kambuh (relaps)
Penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
3. Kasus pindahan (Transfer In)
Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah
4. Kasus lalai berobat
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Kasus gagal
Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
Penderita dengan hasil BTA negative gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran
radiologik ulang hasilnya perburukan
6. Kasus kronik
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
7. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologic

Tuberculosis Ekstra Paru


Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB
ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat
anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakit, yaitu :
1. TB ekstra paru ringan: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB ekstra paru berat: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.
Klasifikasi II ( Menurut American Thoracic Society, 2000)
Class 0 Tidak ada jangkitan atau terinfeksi, riwayat terpapar,
reaksi test tuberculin (PPD) tidak bermakna.

Class 1 Terpapar TBC, tidak ada bukti infeksi, reaksi kulit tak
bermakna
Class 2 Ada infeksi TBC, reaksi kulit bermakna, pemeriksaan
bakteri (-), tidak ada bukti.

Class 3 Sedang sakit, BTA (+), test mantoux bermakna,


Rontgent Thorax (+). Lokasi tempat : Paru-paru,
Pleura, Limfatik, tulang/sendi, meninges, peritoneum,
dsb.

Class 4 Sedang sakit, ada riwayat mendapat pengobatan,


Rontgent Thorax (+), test mantoux bermakna.
Class 5 dicurigai TBC, sedang dalam pengobatan

Klasifikasi III
a. Tuberculosis Primer
Tuberculosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang
belum pernah terpajan (orang yang belum pernah mengalami TB) atau
peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap
basil mikobakterium.
Dampak utama dari tuberculosis primer adalah
1. penyakit ini memicu timbulnya hipersensitivitas dan resistensi.
2. fokus jaringan parut mungkin mengandung basil hidup selama bertahun-
tahun bahkan seumur hidup
3. penyakit ini (meskipun jarang) dapat menjadi tuberculosis primer
progresif. Hal ini terjadi ada orang yang mengalami gangguan akibat
suatu penyakit (terutama penyakit yang menyerang sistem kekebalan
tubuh, seperti AIDS dan biasanya terjadi pada pada anak yan mengalami
malnutrisi atau usia lanjut).
b. Tuberculosis Sekunder (Tuberculosis Post Primer)
Merupakan penyakit yang terjadi pada seseorang yang telah terpajan
penyakit tuberculosis atau peradangan jaringan paru oleh karena terjadi
penularan ulang di mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik
terhadap basil mikobakterium tersebut. Penyakit ini mungkin terjadi segera
setelah tuberculosis primer, tetapi umumnya muncul karena reaktivasi lesi
primer dorman beberapa dekade setelah infeksi awal, terutama jika sistem
pertahanan penjamu (seseorang yang pernah terkena TB sebelumnya)
melemah.
Klasifikasi IV
Klasifikasi TB Paru berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat
pengobatan sebelumnya dibagi sebagai berikut:
a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
1. Dengan atau tanpa gejala klinik
2. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong
biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
3. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
1. Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
c. Bekas TB Paru dengan kriteria:
1. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negative
2. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
3. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto
yang tidak berubah.
4. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

Klasifikasi V
Berdasarkan tipe penderita.Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita :
a) Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.
b) Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil
pemeriksaan BTA positif.
c) Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d) Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang
kembali berobat.
C. Etiologi
Agen infeksius utama dari penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan bakteri tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap
panas serta sinar ultra violet dengan ukuran panjang 1/4um dan tebal 0,3-0,6um. Ada
dua macam mikrobakteria tuberculosis yaitu Tipe Human dan Tipe Bovin. Basil TIpe
Bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberculosis usus. Basil Tipe
Human bisa berada di bervak ludah (droplet) dan di udara yang berasal dari penderita
TBC dan orang yang terkena rentan terinfeksi setelah menghirupnya.Mikroba yang
terinhalasi dan masuk paru-paru dapat bertahan hidup dan menyebar ke nodus linfatikus
local. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat menyebabkan TB pada organ lain,
dimana infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun (Elizabeth J Corwin, 2009;
Wim de Jong. 2005)
Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase (Wim de Jong. 2005):
1. Fase 1 (Fase Tuberkulosis Primer)
Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan
tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer.Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe
di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis.Reaksi yang khas adalah
terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar
limfe hilus.Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa
mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis
dan kalsifikasi (95%).

2. Fase 2
Kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran milier melalui
pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus.Penyebaran milier menyebabkan TB
di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran
bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan
bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan
perjalanan TB primer ke paru
3. Fase 3 (Fase Laten)
Fase dengan kuman yang tidur (bertahun-tahun/seumur hidup) dan reaktivitas jika
terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh.Basil yang tidur ini bisa terdapat di
tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di
ginjal.
4. Fase 4
Dalam perjalanan selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh
dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan
dapat menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus.

D. Faktor Resiko

1. Intrinsik
Umur
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif
(15 - 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi menyebabkan
usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai
penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.
Jenis kelamin
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan.Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok
tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan
tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.
Sosial ekonomi
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat
memudahkan penularan TB.Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan
penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup
layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.
Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain- lain,
akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap
penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Status imun
Individu dengan imunosupresfi yaitu lansia, pasien dengan kanker, mereak yang
dalam terapi kortokisteroid, atau mereka yang terinfeksi HIV memiliki resiko tinggi
terkena penyakit TB. Status imun yang redah dapat diakibatkan pula karena
perawatan kesehatan yang tidak adekuat seperti pada tunawisma, tahanan, etnik
dan ras minoritas, anak-anak dibawah usia 15 tahun dan dewasa muda yang
berusia 15 - 44 tahun.
Penyakit yang diderita sebelumnya
Penyakit yang dimaksud antara lain adalah diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis,
penyimpangan gizi bypass gastreoktomi, atau yeyunoineal.
2. Ekstrinsik
Lingkungan
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan yang berada di daerah perumahan bersubstandar kumuh, lingkungan
dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB.Selain
itu, setiap individu yang yang tinggal di institusi seperti misalnya fasilitas
perawatan jangka panjang, institusi psikiatirk, dan openjara memiliki resiko TB.

Pekerjaan
Pekerjaan yang lebih sering terpapar udara kotor (penambang pasir) dapat
meningkatkan morbiditas gejala penyakit saluran pernapasan.Selain itu, jenis
pekerjaan mempengaruhi pendapatan keluarga yang berdampak pada pola hidup
sehari-hari seperti konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan, dan kondisi
tempat tinggal.

E. Manifestasi Klinis

Penyakit tuberculosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum
seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas
sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik (Muttaqin, Arif. 2008).
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan
gejala sistemik.
1. Gejala Respiratorik
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah
sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat
ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
pecah.
c. Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-
lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada Tuberculosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

2. Gejala Sistemik
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang
serangannya.

b. Gejala sistemik lain


Gejala sistemik lain ialah berkeringat pada malam hari, sakit kepala,
anoreksia, penurunan berat badan, keletihan, dan malaise. Timbulnya gejala
biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan.
c. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun.Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, BB menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam, dll.Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara teratur.

F. Patogenesis TB
Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang
mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli
paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanyaasymptomatic/tanpa gejala).
Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap oleh makrofag
dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh.Orang yang terinfeksi kuman TB
dapat menjadi sakit TB bila kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian dari
kuman TB akan tetap tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun
dalamtubuh manusia. Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten. Seseorang dengan
infeksi TB laten tidakmempunyai gejala TB aktif dan tidak menular.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
- Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
- Kalsifikasi atau fibrotik
- Kompleks ranke
- Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung)


- Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru .
- Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologik tersebut.
- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
- Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus
vertebra torakalis 5 dan tidak dijumpai kaviti
- Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah
satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai
predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan
supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah
yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

b. Sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan.Disamping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah dapat
diberikan.Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan
dilapangan (puskesmas).Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat
sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktiv.Dalam
hal ini dianjurkan dalam satu hari sebelum pemeriksaan sputum dianjurkan minum
air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk.Dapat juga dengan
memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi
larutan garam hipertonik selama 20 30 menit. Bila masih sulit , sputum dapat
diperoleh dengan cara bronkoskopi di ambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL ( Broncho Alveolar Lavage). BTA dari sputum bisa juga di
dapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak
karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan di periksa
hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah di dapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini
terbuka keluar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar.
Diperkiran di Indonesia ditemukan pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak
ditemukan di dalam sputum mereka.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain 5000 kuman dalam 1mL
sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai caraTan Thiam Hok yang
merupakan muldifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
Pemeriksaan sediiaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan
khusus)
Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
Pemeriksaan terhadap resistensi obat
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara
Bactec (Bactec 400 Radiometric System), dimana kuman sudah dapt dideteksi
dalam 7-10 hari. Disamping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.
tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan.Dari hasil biakan biasanya
dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif.Ini terjadi pada fenomen dead
bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat
antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu
pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan
paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan
serebrospinal, urin dan tinja.

3. Tes Mantoux
Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah
injeksi intradermal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi
tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang
secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi
disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.
Tes mantoux adalah dengan menyuntikan tuberculin (PPD) sebanyak 0,1 ml
mengandung 5 unit (TU) tuberculin secara intrakutan pada sepertiga atas permukaan
volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibesihkan dengan lalkohol. Untuk
memperoleh reaksi kulit yang maksimal diperlukan waktu antara 48 sampai 72 jam
sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam peiode tersebut. Interpretasi tes
kulit menunjukan adanya beberapa tipe reaksi :
Indurasi 5 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :
a) Orang dengan HIV positif.
b) Baru saja kontak dengan orang yang menderita TB.
c) Orang dengan perubahan fibrotic pada radigrafi dada yang sesuai dengan
gambaran TB lama yang sudah sembuh.
d) Pasien yang menjalani tranplanstasi organ dan pasien yang mengalami
penekanan imunitas ( menerima setara dengan 15 mg/hari prednisone
selama 1 bulan).
Indurasi 10 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :
a) Pemakai obat-obat yang disuntikkan.
b) Penduduk dan pekerja yang berkumpul pada lingkungan yang berisiko tinggi.
Penjara, rumah-rumah perawatan, panti jompo, fasilitas yang disiapkan untuk
pasien dengan AIDS, dan penampungan untuk tuna wisma
c) Pengawai laboratorium mikrobakteriologi.
d) Orang dengan keadaan klinis pada daerah mereka yang berisioko tinggi.
e) Anak di bawa usia 4 tahun atau anak-anak dan remaja yang terpajan orang
dewasa kelompok risiko tinggi.
Indurasi 15 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :
a) Orang dengan factor risiko TB.
b) Target program-program tes kulit seharusnya hanya dilakukan di anatara
kelompok risiko tinggi (Price& Wilson. 2005)

4. Uji Tuberkulin
Menggunakan standar tuberkulin 1:10.000/5 TU PPD-S intrakutan yang dibaca
48-72 jam dengan indurasi > 5 mm. Uji tuberkulin negatif belum dapat menyingkirkan
TB. False negatif pada pemeriksaan uji tuberkulin sering ditemukan pada pasien HIV
dan kejadiannya meningkat sebanding dengan peningkatan imunosupresi.

5. Pemeriksaan Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi
hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan
kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan
dan glukosa rendah
6. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru dengan trans
bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi
pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula
dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH = biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama
pada tuberkulosis ekstra paru
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan
paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma.
Gambar 2.2. Skema Alur Diagnosis P2TB
Gambar 2.3. Skema Alur Diagnosis TB pada oaring Dewasa

H. Penatalaksanaan

Zain (2001) membagi penatalaksanaan medis tuberkulosis paru menjadi tiga bagian,
yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).
a. Pencegahan
Pencegahan tuberculosis antara lain (Muttaqin, Arif.2008):
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi test
tuberkulin, klinis dan radiologis. Bila test tuberkulin positif, maka pemeriksaan
radiologis foto thoraks diulang pada 6-12 bulan mendatang. Bila masih negatif,
diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil test tuberkulin
dan diberikan kemoprofilaksis.
b. Mass chest x-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu misalnya:
Karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan
Penghuni rumah tahanan
Siswa-siswi pesantren
c. Vaksinasi BCG
d. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama adalah bayi yang menyusui
pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan
bagi kelompok berikut:
- Bayi dibawah lima tahun dengan hasil test tuberkulin positif karena
resikotimbulnya Tbmilier dan meningitis TB,
- Anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil test tuberkulin positif yang
bergaul erat dengan penderita TB yang menular,
- Individu yang menunjukkan konversi hasil test tuberkulin dari negatif menjadi
positif,
- Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka
panjang,
- Pennderita diabetes melitus.
e. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas
pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Paru IndonesiaPPTI)

b. Pengobatan
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk
mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan
mata rantai penularan.Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut
ini adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui.
Mekanisme Kerja Obat anti-Tuberkulosis
1. Aktivitas bakterisidal untuk bakteri yang menelaah cepat
Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin (R) dan
Streptomisin (S)
Intraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Isoniazid (INH)
2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant)
Ekstraseluler,jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Isoniazid
Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid.
Untuk very slowly growing bacilli digunakan Pirazinamid (Z).
3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis
terhadap bakteri tahan asam.
Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam para-
amino salisilik (PAS), dan sikloserine.
Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam
keadaan telah terjadi resistensi sekunder.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan).Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama
dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi
WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol
(Depkes RI, 2004)
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu
berdasrkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi,
apusan sputum, dan riwayat pengobatan sebelumnya.Disamping itu, perlu
pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly
Observed Treatment Short Course (DOTSC).
Rekomendasi Dosis (mg/kgBB)
Obat anti-TB Esensial Aksi Potensi per Hari per Minggu
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

c. Pembedahan
Peranan pembedahan dengan adanya OAT yang poten telah berkurang.Indikasi
pembedahan dibedakan menjadi indikasi mutlak dan indikasi relative (Mansjoer, Arif.
2000).
1. Indikasi mutlak
Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap
positif
Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatas dengan cara konservatif
Penderita dengan fistula bronkopleura dan empyema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. Indikasi relative
Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kavin yang menutup.

d. Directly Observed Treatment Short course (DOTS)


Directly Observed Treatment Short course (DOTS) adalah nama untuk suatau
strategi yng dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi
dan penyembuhan pasien TB. Strategi ini terdiri dari 5 komponen, yaitu (Mansjoer,
Arif. 2000):
1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang sehingga program ini
menjadi salah satu prioritas dan pendanaan pun akan tersedia
2. Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB melalui
pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan penemuan secara
pasif.
3. Pengawas Minum Obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercya baik oleh
pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum
seluruh obatnya sehingga dapat dipastikan bahwa pasien betul minum obatnya
dan diharapkan sembuh pada akhir masa pengobatannya.
4. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari system
surveilans penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan.
5. Paduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka
waktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan pengabatan. Termasuk
jaminannya kelangsungan persediaan paduan obat ini.

I. Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut (Foong , Y.K.
2011).
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncets arthropathy
2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan nafas (SOPTSindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis,
sinrom gagal nafas dewasa (ARDS), sering terjadi pada milier dan kavitas TB.
2.2 TB MDR

A. Definisi

Multi drug resistant TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua agen
anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH) dan rifampisin. MDR TB
berkembang selama pengobatan TB ketika mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat.
Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan; Pasien mungkin merasa lebih baik dan
menghentikan pengobatan, persediaan obat habis atau langka, atau pasien lupa minum
obat. Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari ketidakpatuhan pengobatan.
Selanjutnya transmisi strain MDR TB menyebabkan terjadinya kasus resistensi primer.
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap
positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif.
Directly observed therapyshort course (DOTS) merupakan sebuah strategi baru yang
dipromosikan oleh World Health Organization (WHO) untuk meningkatkan keberhasilan
terapi TB dan mencegah terjadinya resistensi.

TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mibacterium tuberculosis resisten terhadap


rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya (World Health Organization, 1997).
TB resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer
yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya.
Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV.
Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang
sebelumnya sensitif obat (Mc Donald, et al. 2003).

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari
gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap
salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi
yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi
direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil
tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat
menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer.
Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat,
adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan
diagnostik (Leitch, 2000).

B. Etiologi

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al.
2006):
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang
atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan
resistensi terhadap kedua obat tersebut.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian
seterusnya.
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman
TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition)
satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten
saja.
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan.

C. Mekanisme Resistensi

Ungkapan terhadap tahap MDR pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten


secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada
obat anti tuberkulosis lainnya) (Vareldzis, et al. 1994).Analisa secara genetik dan molekuler
pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya
didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat (Spratt, 1994) atau oleh titrasi dari
obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara primer akumulasi mutasi
gen target obat pada individu.
A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting
pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti rekasi katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006).
Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara
spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase
peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA.
Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase
dan peroksidase (Wallace, et al. 2004).
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler (Riyanto, et al.
2006.Wallace, et al. 2004).Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau
menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus.Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada
semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih
12.Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier
atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.Rifampisin mengahambat
RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis
RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan
rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak
terganggu.Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom
dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3,
dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada
gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan
pada tempat ikatan obat tersebut (Riyanto, et al. 2006).
C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif
terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada
keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et
al. 2006).Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat
organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa.
Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
pyrazinoat (Wallace, et al. 2004).
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam
pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi
pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase (Wallace, et al. 2004).
D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria.Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis
standar.Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase
yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di
dalam dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi
missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi
ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam
amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace, et al. 2004).
E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus.Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu
fungsi ribosomal14.Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap
streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target
yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12
(rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi
yang utama terjadi pada rpsl.Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50%
isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak
20%15.Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi.Frekuensi
resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain
M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi
silang terhadap capreomysin maupun amikasin (Wallace, et al. 2004).

D. Diagnosis TB MDR

Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA)
tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif.
Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan
TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika
terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi
ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5)
Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB (Riyanto, et al. 2006).
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen
yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat
mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan
bronkoskopi.Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada
laboratorium rujukan yang memadai (Riyanto, et al. 2006).
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.Deteksi
resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi
pertumbuhan M.tuberculosis.Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi
baru.Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik.Pada banyak
kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu
metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan
prevalensi TB resisten tinggi.Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode
yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium
mikrobakteriologi klinik secara rutin (Martin, et al. 2007).

E. Penatalaksanaan TB MDR

Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB,
WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan
efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :
Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan
digunakan dalam dosis maksimal.
Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah
kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua
pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya
Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-
obat oral lini pertama dan kuinolon.
Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan
makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi
data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.

Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB yang
pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di suatu area, dan
hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka
dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang
diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan
pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu
penderita tersebut.
Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS
yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan.
Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama.
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil
DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama
selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari
pasien yang bersangkutan.
Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan
TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang
bersangkutan tersedia.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan oleh WHO
(2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization, 2008) : (1) Regimen
harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita. (2) Dalam pemilihan
obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada
di area / negara tersebut. (3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui
efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan. (5) Obat diberikan
sekurnag-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol,pirazinamid, dan
fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi
memberikan efikasi. (6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7)
Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak
memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. (8) Pirazinamid dapat
digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar
penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis
menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif. (9) Deteksi awal adalah faktor
penting untuk mencapai keberhasilan.
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap
lanjutan.Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB
bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti
tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya
adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap
awal.

Pemantauan selama pengobatan


Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan.Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan
BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan.Penilaian
respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan.Hasil uji kepekaan MDR TB dapat
diperoleh setelah 2 bulan.Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase
intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1)
penilaian klinis termasuk berat badan, (2) penilaian segera bila ada efek samping, (3)
pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan,
(4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan, (5) uji
kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan, (6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada
tanda-tanda hipotiroid.

Pencegahan terjadinya resistensi obat


WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain
relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya
kasus resistensi obat terhadap TB.Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi
pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah
yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru
TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali,
penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap
TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap
pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada
kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan
ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi
berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence based dan tes kepekaan kuman.

Strategi DOTSPlus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan
strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan
MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug resistance)
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan
pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjamin
mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang
ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan TB
MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien
TB bukan MDR Pelaksanaan

Pengobatan TB MDR pada ibu hamil


Menurut Kemenkes (2013) penatalaksanaan TB MDR pada ibu hamil adalah sebagai
berikut:
1) Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi sampai saat ini
keamanan OAT lini kedua bagi ibu hamil belum diketahui.
2) Bila pasien hamil pada tahap awal maka suntikan dihentikan sedangkan obat oral
dilanjutkan, dilakukan informed consent ulang bahwa obat yang diberikan sekarang
potensinya berkurang dan meningkatkan rasa tidak nyaman pasien.
3) Bila pada pasien hamil terjadi morning sickness maka diupayakan pemberian obat pada
siang hari.
2.3 TB PADA HIV/AIDS

HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB), terutama TB paru, saat ini merupakan masalah
kesehatan global. TB paru merupakan infeksi oportunistik paling sering terjadi pada
penderita HIV/AIDS di dunia. Mycobacterium tuberkulosis adalah agen menular yang dapat
muncul sebagai reaktivasi infeksi laten pada pasien imunokompromais atau sebagai infeksi
primer setelah penularan dari orang ke orang pada berbagai stadium HIV. Tuberkulosis
adalah penyebab kematian pada 13% orang dengan infeksi HIV (WHO, 2011)

Infeksi tuberkulosis dapat muncul sebagai tuberkulosis paru atau tuberkulosis


ekstraparu pada berbagai jumlah sel CD4. Gambaran klinis terdiri dari demam, penurunan
berat badan, dan gejala konstitusional seperti batuk dan nyeri dada. Tuberkulosis paru
merupakan infeksi yang paling sering muncul pada pasien koinfeksi TB-HIV. Tuberkulosis
ekstraparu (termasuk keterlibatan limfonodi, sistem saraf pusat dan bakteremia) dapat
timbul pada pasien defisiensi imun stadium lanjut (Hoy J, 2009).

Gambaran radiologi TB pada pasien HIV dengan CD4 > 200 sel/L sama seperti
gambaran TB pada umumnya, dengan predominansi adanya kelainan pada lobus paru atas,
infeksi kavitas, dan adanya efusi pleura. Pada pasien defisiensi imun, (jumlah CD4 <200
sel/L), pada umumnya timbul limfadenopati mediastinum, infeksi non-kavitas, dan
tuberkulosis ekstraparu. Diperkirakan hingga 10% pasien TB dengan infeksi HIV memiliki
gambaran radiologi paru yang normal (Hoy J, 2009).

Diagnosis infeksi M. tuberculosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis


sputum pasien dan kultur, pemeriksaan radiologi, histopatologis, kultur sumsum tulang, dan
pembesaran limfonodi atau hati. Pemeriksaanspesimen sputum dengan NAA (Nucleic Acid
Amplification) dapat mendiagnosisinfeksi tuberkulosis lebih cepat. Spesifitas tes NAA sangat
tinggi pada cairan tubuh lainnya, terutama dalam mendiagnosis meningitis TB dan pleural
TB. Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah tes tuberkulin (TST) dan Interferon-
gamma release assays. DHHS merekomendasikan tes ulang infeksi TB laten pada pasien
yang jumlah CD4-nya < 200 sel/L ketika jumlah tersebut telah mencapai 200 sel/L diikuti
dengan mulainya penggunaan ARV (Hoy J, 2009).

Skrining TB (paru dan ekstra paru) perlu dilakukan secara rutin untuk setiap odha.
Prosedur skrining harus standar dengan menggunakan alat skrining (kuesioner) yang
sederhana terhadap tanda dan gejala (penilaian risiko terhadap TB). Skrining dikerjakan
oleh konselor, manajer kasus atau para medis lainnya, dan harus dilakukan pada semua
odha setelah KTS (Konseling Post Test) dan secara berkala selama pelayanan HIV
termasuk sebelum memulai ART, atau selama pemberian ART. Sebelum memulai ART,
semua odha harus dipastikan status TB-nya, bila ternyata juga mengidap TB atau
sebaliknya maka penatalaksanaannya sesuai Pedoman Tatalaksana TB-HIV (Depkes RI,
2007).

Faktor Risiko Terjadinya Koinfeksi Tuberkulosis pada PasienHIV/AIDS

Koinfeksi Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS menjadi salah satu kendalabesar


dalam menanggulangi penyakit tersebut. Infeksi Tuberkulosis merupakanhasil dari interaksi
kompleks antara lingkungan, host, dan patogen. Strategikomprehensif yang terfokus pada
faktor risiko utama TB sangat penting untukmencapai target Stop TB Partnership (Taha,
2011).

Terdapat banyak risiko tinggi terhadap pasien koinfeksi HIV/TB dalammunculnya TB


aktif, baik dari reaktivasi infeksi laten atau dari progresivitasinfeksi baru. Risiko munculnya
TB pada pasien HIV meningkat 5-15% setiaptahunnya, disebabkan oleh reaktivasi infeksi
laten tersebut, sehingga tergantungpada derajat imunokompromais pada pasien HIV/AIDS.
Sebuah penelitian padapenambang emas di Afrika Selatan menunjukkan bahwa risiko
Tuberkulosismenjadi dua kali lipat dalam satu tahun infeksi HIV, tetapi hanya
meningkatsedikit dalam beberapa tahun kemudian (Taha, 2011).

Dalam hal ini tercatat bahwa TB paru terjadi lebih awal dalam spektruminfeksi HIV
dan sering kali sebelum kondisi AIDS. Peningkatan risiko munculnyaTB dalam waktu singkat
setelah terinfeksi HIV dapat dijelaskan dengan adanyaserokonversi penyakit atau sedang
bersamaan terinfeksi HIV dan TB. Berdasarkanhal tersebut, individu yang terinfeksi HIV
akan lebih rentan terkena TB, sehinggaHIV merupakan faktor risiko utama dalam munculnya
Tuberkulosis (Taha, 2011).

Faktor risiko TB dapat dikategorikan menjadi distal dan proksimal. Faktorrisiko distal
atau faktor status sosial ekonomi diantaranya yaitu kepemilikanrumah, penghasilan, status
perkawinan, pekerjaan dan pendidikan. Faktor risikoproksimal terdiri faktor host yang
meliputi umur, jenis kelamin, riwayat asma,riwayat diabetes, riwayat merokok, riwayat
anemia, jumlah CD4, serta IndeksMasa Tubuh dan faktor lingkungan yang meliputi kondisi
rumah, pembuangan limbah, serta kontak dengan pasien TB (Taha, 2011). Faktor risiko
distal atau faktor sosial ekonomi menjelaskan risikomunculnya Tuberkulosis secara tidak
langsung dimana faktor risiko proksimaljuga meningkatkan pajanan terhadap agen infeksius,
sehingga meningkatnya terjadinya koinfeksi Tuberkulosis. Faktor risiko distal juga erat sekali
kaitannya dengan perilaku yang tidaksehat, seperti merokok maupun alkohol. Selain itu,
status sosial ekonomi juga merefleksikan seberapa sering kontak dengan orang lain maupun
pajanan dilingkungan tempat bekerja yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
Tuberkulosis. Faktor risiko proksimal terdiri atas faktor host dan faktor lingkungan,dimana
menurut Teori Blum faktor lingkungan mempunyai pengaruh paling besardalam
mempengaruhi terjadinya penyakit (Taha, 2011).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti penelitian Brulio Matiasde


Carvalho (2008) diperoleh jenis kelamin laki-laki, status perkawinan belumkawin, dan terapi
ARV berhubungan secara signifikan terhadap munculnyaTuberkulosis. Dalam hal ini belum
diketahui apakah dominansi laki-lakidisebabkan oleh kurangnya data pasien dengan jenis
kelamin perempuan atauperbedaan perilaku sosial maupun kombinasi kedua hal tersebut.
Penelitian olehBellamy dkk (2000) juga menjelaskan kaitan antara kromosom X
dengankerentanan terhadap infeksi Tuberkulosis. Predominansi TB pada pasien yangbelum
kawin/ single merupakan gambaran dari status sosio-ekonomi, terutamapada laki-laki yang
sering berpindah tempat dalam mencari pekerjaan yang lebihbaik dan sering melakukan
kontak dengan orang lain sehingga meningkatkanrisiko terjadinya Tuberkulosis. Beberapa
penelitian juga menunjukkan HAART(Highly Active Antiretroviral Therapy) pada pasien HIV.
Terapi tersebut dapatmemperbaiki sistem imun dan menurunkan mortalitas serta morbiditas.
WHOjuga menjelaskan bahwa ART (Antiretroviral Therapy) dapat menurunkan viralload dan
memperbaiki sistem imun (De Carvalho, 2008).

Penatalaksanaan

Terapi Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS sesuai dengan regimen terapi TB seperti
biasanya yang menggunakan rifampicin. Obat anti-TB lini pertama digunakan dalam dosis
dan jadwal yang sama untuk semua pasien, tanpa memandang stadium HIV pasien tersebut
(Blascope, 2010).
Tabel 2. Terapi Tuberkulosis pada pasien yang mendapat terapi ART (Blascope, 2010).

Keterangan:

1. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI): Rifampicintidak dapat digunakan


bersama NVP tetapi dapat dikombinasikan dengan EFZ. Rifabutin dapat dikombinasikan
dengan NVP. Jika pasien sedang mendapat terapi NVP saat terdiagnosis TB, maka
apabila rifabutin tersedia, pasien diberi 2HZERifabutin/ 4 HRifabutin, atau apabila
rifabutin tidak tersedia maka NVP diganti dengan EFV 600 mg. Jika terapi TB telah tuntas
maka NVP dapat dilanjutkan.

2. Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI): Rifampicin dapat dikombinasikan


dengan NRTI.

3. Protease Inhibitors (PI): Apabila diberikan pada pasien, maka serum PIakan turun di
bawah jendela terapi, sedangkan serum rifampicin akan meningkat mencapai efek toksik.
Rifabutin merupakan obat yang kurang menginduksi enzim hepar dibandingkan dengan
rifampicin, sehingga dapat digunakan apabila tersedia.
Tabel 3. Pemilihan terapi ART pada pasien yang baru terdiagnosis koinfeksi TB (Blascope,
2010).

Semua pasien TB dengan infeksi HIV positif seharusnya menerima Terapi


Pencegahan Kotrimoksasol (CPT) tanpa mempedulikan jumlah CD4, paling tidak selama
pengobatan TB.25 Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan
terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi
yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima
suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum (PDPI, 2002).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Standar Prosedur Operasional Penatalaksanaan TB MDR pada Kehamilan di


RSSA
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat penanggug jawab ruang TB MDR di
RSSA didapatkan alur sebagai berikut:

Prinsip pengobatan TB MDR


Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu pada strategi DOTS
1. Paduan OAT MDR untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung
OAT lini kedua dan OAT lini pertama
2. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
Tuberculosis dengan paduan baru yang telah ditetapkan.
3. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB MDR serta perubahan dosis dan
frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh dokter yang bertanggung jawab.
4. Semua pasien TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan
kondisi klinis awal (Penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal,
kelainan fungsi hati, epilepsy psikosis, dan ibu hamil).

3.2 Standar Prosedur Operasional Penatalaksanaan TB MDR dengan HIV di RSSA


Berdasarkan surat edaran yang diberikan oleh Ka SMF Penyakit Paru RSSA
diberlakukan beberapa indikasi masuk dan perawatan terhadap pasien dengan Airborne
Infection atau TB yakni terkait pemeriksaan konfirmasi bakteriologis dan klinis serta
pasien suspek TB Paru. Beberapa aturan juga dibuat dalam penatalaksanaan pasien
TB paru terkait penempatan ruangan serta penempatan pasien suspek TB paru yang
harus ditempatkan bersama dengan pasien suspek TB Paru lainnya.
Hasil wawancara dengan Kepala Ruangan ruang 29 menyatakan bahwa alur masuk
pasien TB paru maupun suspek TB paru adalah melalui sistem bagian depan
maksudnya apakah terdapat cukup kamar diruang 29 serta diikuti dengan pemeriksaan
klinis lainnya.
Dalam hal penataan ruang dan sarana ruang 29 RSSA memiliki 13 tenaga perawat
dimana 2 diantaranya telah mendapatkan pelatihan khusus mengenai TB. Ukuran
kamar pada masing-masing ruangan adalah 3x3m dengan tinggi tembok 3 meter.
Terdapat sebuah Fan pada area tembok. Tidak terdapat pembedaan perlakuan yang
diberikan terhadap pasien TB maupun TB + HIV. Penempatan pasien diruangan tidak
didasarkan oleh kriteria khusus. Satu ruangan dapat dipakai oleh 2 orang pasien.
Terdapat 4 kamar mandi yang dapat digunakan oleh pasien. Konseling pasien TB dapat
dilakukan diruang perawat ataupun diruang pertemuan. Tidak ada ruang isolasi khusus
yang diperuntukkan bagi pasien TB yang baru memasuki ruangan.

3.3 Hubungan Penerapan Standar Prosedur Operasional Penatalaksanaan TB MDR


pada Kehamilan Jurnal Referensi dengan Standar Prosedur Operasional di RSSA
Pembahasan topik pada jurnal terkait pengobatan untuk penyakit tuberkulosis pada
ibu hamil. Tuberkulosis pada ibu hamil sangat mempengaruhi perkembangan janin dan
bisa berakibat pada janin dan ibu seperti bisa terjadi pre eklamsia, perdarahan vagina,
kematian janin pada minggu ke 16-28, gawat janin akut, prematuritas (<37 minggu),
berat badan lahir rendah, anak saat lahir bisa terkena tuberkulosis dan bisa
memungkinkan kematian janin, itu semua bisa terjadi jika ibu memiliki penyakit
tuberkulosis dengan tanpa penanganan atau pengobatan terlambat yang bisa menjadi
resisten terhadap obat tuberkulosis atau bisa di sebut dengan TB MDR. Pada jurnal ini
untuk penatalaksanaan pada ibu hamil dengan TB akan dilakukan skrining terlebih
dahulu yang diusulkan oleh WHO sebagai langkah awal untuk menemukan TB dengan
HIV untuk memastikan pengobatan yang sesuai yang tidak akan mempengaruhi pada
janin. Skrining dilakukan dengan melihat 4 tanda gejala (batuk, demam, keringat dingin
di malam hari, dan adanya penurunan BB) metode ini diperkenalkan untuk mengetahui
penyakit TB dengan HIV, dilakukan meta analisis yang diperkirakan sensitivitasnya
mencapai 79 % dan kekhasan gejala 50 %, namun saat di uji pada 799 ibu hamil
dengan TB di india sensitivitasnya hanya 54,5 % dan bisa mencapai 100% jika
dikombinasikan dengan tuberkulin skin test.

Pada jurnal ini dijelaskan bawa pengobatan TB pada ibu hamil dan tidak hamil tidak
ada bedanya. WHO menganjurkan pemberian isioniazid, rifampisin, perazinamida, dan
etambutol untuk 2 bulan pertama, 4 bulan selanjutnya diganti dengan pengobatan
isioniazid dan rifampisin, itu merupakan pengobatan lini pertama, regimen ini aman
digunakan selama kehamilan dan tidak menjadi alasan untuk tidak menyusui karena
tidak memiliki efek pada janin dan tidak teratogenik dan di berikan Suplemen Pyridoxine
yang Dianjurkan untuk semua wanita hamil atau menyusui. Di jurnal ini juga dijelaskan
obat Isoniazid Streptomisin dikontraindikasikan selama kehamilan karena bisa
mengakibatkan Kerusakan pada saraf kranial kedelapan dengan ototoxicity. Untuk lini
ke dua adalah pengobatan untuk TB MDR yang dilakukan dengan pemberian sedikitnya
4 obat yang dikenal atau yang efektif untuk TB MDR. Meskipun regimen lini ke dua
digunakan untuk pengobatan TB pada ibu hamil namun belum diketahui lebih jelas
terkait keamanan obat terhadap ibu dan janin, namun beberapa penelitian menyatakan
pengobatan lini ke dua untuk tb pada ibu hamil aman namun harus dilakukan
pengawasan lebih ketat.
3.4 Hubungan Penerapan Standar Prosedur Operasional Penatalaksanaan TB dengan
HIV Jurnal Referensi dengan Standar Prosedur Operasional di RSSA

Pemeriksaan sputum pada penderita HIV-TB seringkali menunjukkan hasil yang


negative, padahal bila dilakukan pemeriksaan lainnya dilakukan maka hasil akhir akan
berbeda. Pemeriksaan berdasarkan 4 tanda gejala yang di tetapkan WHO tidaklah
cukup dalam menegakkan diagnosa TB, diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan
lain seperti pemeriksaan dahak, pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif, pemeriksaan
biakan dahak dan foto thorak(Repossi, dkk. 2015).

Organisasi TB Indonesia pada tahun 2014 menjelaskan bahwa pemeriksaan dahak


yang dilakukan pada penderita TB dengan HIV seringkali memberikan hasil yang
negative sehingga pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif perlu dilakukan. Selain itu,
pemeriksaan foto thoraks juga mampu memberikan hasil yang kurang tepat terutama
pada ODHA dengan stadium lanjut. Sehingga mereka memberikan skema alur
pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan yakni pemeriksaan pada fakses yang
memiliki dan yang tidak memiliki layanan tes cepat Xpert MTB/Rif (Gambar 5.1 dan 5.2).
Apabila diagnosa telah ditegakkan maka pengobatan pun segera dijalankan (Kemenkes
RI, 2014).

Menurut kementrian kesehatan republik Indonesia tahun 2014, pengobatan antara


penderita TB dan penderita HIV-TB tidaklah jauh berbeda. Pada prinsipnya pengobatan
untuk mengobati TB adalah wajib diberikan sesuai dengan kondisi klien sedangkan
untuk pengobatan ART (Antiretroviral Therapy) tetap berjalan menyesuaikan juga
dengan kondisi klien serta interaksi obat OAT (Kemenkes RI, 2014).

3.5 Hubungan Penerapan Standar Prosedur Operasional Penatalaksanaan TB MDR


pada Kehamilan Jurnal Referensi dengan Penatalaksanaan di Ruang Rawat RSSA
berdasarkan studi kasus
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan diruang 23I pada tanggal 03-08 April 2017
didapatkan hasil bahwa pasien telah ditempatkan pada ruangan isolasi khusus dengan
1.5x1.5 meter dengan tinggi tembok 2.5 meter. Satu ruangan ditempati oleh satu orang
pasien. Pengaturan pengobatan dilaksanakan langsung oleh dokter yang bertugas serta
perawat pemegang program pelaksanaan pengendalian TB. Berdasarkan data yang
dikumpulkan pasien menjalani perawatan sejak tanggal 16 Maret 2017. Obat-obatan
yang didapatkan klien selama masa perawatan adalah campuran pengobatan dari lini
ke 1 sampai lini ke-4 dengan pertimbangan khusus yakni pasien dalam kondisi hamil.
Berdasarkan data kasus yang didapatkan pasien selama perawatan mendapatkan
Pirazinamid, Kapreomisin, Lefofloxasin, Sikloserin dan Etionamid yang sebelumnya
telah melalui beberapa pertimbangan dari dokter yang bertanggung jawab pada pasien
tersebut. Obat lini kedua tetap diberikan walaupun berefek pada gangguan
perkembangan pendengaran pada janin. Rohilla et al (2016) mengungkapkan bahwa
beberapa obat dari berbagai lini dapat membahayakan kondisi janin dan menyebabkan
efek samping yang dapat mengganggu kehamilan pasien. Contohnya adalah
Lefofloxasin yang penggunaannya harus diperhatikan terutama pada pemberian yang
melebihi 2-4 minggu pemakaian. Obat lini ke empat dengan jenis etionamid
penggunaannya sebaiknya dihindari karena kemungkinan dapat menimbulkan efek
teratogenik dan memperburuk mual-muntah pada pasien yang sedang hamil. P
3.6 Hubungan Penerapan Standar Prosedur Operasional Penatalaksanaan TB MDR
dengan HIV Jurnal Referensi dengan Penatalaksanaan di Ruang Rawat RSSA
berdasarkan studi kasus
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan di ruang 29 pada tanggal 14 April 2017.
Didapatkan hasil bahwa pasien dengan TB + HIV telah ditempatkan pada ruangan
isolasi khusus dengan l uas 3 x 3 m2. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat
jaga pada hari itu didapatkan data bahwa penempatan pasien tidak dibedakan
berdasarkan diagnosa penyerta TB. Apabila ruangan dalam kondisi penuh maka tidak
menutup kemungkinan bahwa pasien dapat ditempatkan bersama dengan pasien
lainnya. berdasarkan data yang dikumpulkan, pasien masuk ke ruang 29 untuk
menjalani perawatan tanggal 13 April 2017 setelah sebelumnya menjalani perawatan
diruang anak. Obat-obatan yang didapatkan pasien selama menjalani perawatan adalah
OAT FDC anak 1x5 tablet disertai pengobatan ARV.
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

4.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,


PERPARI, Jakarta, 2006.
Corwin E.J.2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC
Depkes RI. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. (online)
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf. Diakses pada tanggal 17 April
2017.
Foong, Yuen Kok. 2011. Prevalensi Komplikasi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes
Melitus di RSUP H Adam Malik pada Tahun2009. http://repository
.usu.ac.id/123456789/22414.pdf. Diakses pada tanggal 17 April 2017.
Gede,Ni Luh Yasmin Asih & Christiantie Efendy.2003.Keperawatan Medikal Bedah :
Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC
Irman, Somantri. 2008. Askep pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika
Mansjoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Cetakan 1. Jakarta :
Media Aesculapius
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.CdanBare, B.G. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol.2.
Jakarta : EGC.
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembahan Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta :
B. First.
Bell RT. Tuberculosis of the 1990s: the quiet public health threat. Pa Med 1992;95:24-5.
Bloom BR, Murray CJL. Tuberculosis: Commentaryon a reemergent killer. Science
1992;257:1055-64.
Freiden TE, Sterling T, Pablos-Mendez A, Kilburn JO, Cauthen JO, Dooley SW. The
emergence of drugresistant tuberculosis in New York city. New England Journal
Medicine 1993;328:521-6.
Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and Douglass
Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.2000.
Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC, et
al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed.
www.textbookcom. 2007.
Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baums Textbook
of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston,
2003.
Rattan A, Kalia A, Ahmad N. Multidrug-Resistant Mycobacterium tuberculosis: Molecular
Perspectives. Emerging Infectious Diseases Vol. 4, No. 2, AprilJune 1998.
Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program
dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala.
PERPARI.Bandung. 2006.
Snyder DE Jr, Roper WL. The new tuberculosis. New England Journal Medicine
1992;326:703-5.
Spratt BG. Resistance to antibiotics mediated by target alterations. Science
1994;264:388-93.
Vareldzis BP, Grosset J, de Kantor I, Crofton J, Laszlo A, Felten M, et al. Drug-resistant
tuberculosis: laboratory issues. World Health Organization recommendations.
Tubercle and Lung Diseases 1994;75:1-7.
Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds),
Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.
World Health Organization .Guidelines for the programmatic managementdrug resistant
tuberculosis emergency edition ,Geneve.2008.
World Health Organization report on TB epidemic. Global TB programme. Geneva: The
Organization; 1997.
LAMPIRAN

STUDI KASUS

KASUS 1 (TB MDR + Kehamilan)

Pasien Ny. NL usia 37 tahun dengan riwayat TB sejak SMA. Klien pernah putus
obat karena merasa bosan minum obat dan merasa sudah tidak batuk dan sesak.
Kemudian 2 bulan terakhir pasien mengeluh batuk dan sesak dan memberat 2
minggu terakhir sebelum MRS. Klien saat ini sedang hamil G2 P1001 Ab000. Klien
mengetahui bahwa dirinya sedang hamil saat di rumah sakit.

Selama menjalani rawat inap pasien mendapatkan terapi

KASUS 2 (TB + HIV)

Pasien atas naman An. F usia 14 tahun dengan riwayat HIV + TB. Pasien tidak
diketahui menderita HIV karena faktor herediter atau tidak. Masuk rumah sakit
pada tanggal 3 April 2017 dan dipindahkan ke ruang 29 pada tanggal 13 April
2017 untuk menjalani perawatan TB. Kedua orang tua pasien telah meninggal
sehingga tidak dapat diketahui apakah pasien telah mendapatkan imunisasi
lengkap atau tidak. Pasien saat ini dirawat oleh keluarga dari pihak ibu.

Selama di ruangan pasien mendapatkan pengobatan OAT FDC anak 1x5 tablet
per oral dengan tambahan etambutol 1x500mg, vitamin B6 1x1 tablet dan
pengobatan ARV. Terapi lainnya yang diberikan adalah injeksi Ceftriaxone
2x500mg dan injeksi Flukonazole 1x140mg.

Anda mungkin juga menyukai