Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
PENDAHULUAN

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga


bagian tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media
terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing
mempunyai bentuk akut dan kronis. Pada beberapa penelitian, diperkirakan
terjadinya otitis media yaitu 25% pada anak-anak. Infeksi umumnya terjadi 2
tahun pertama kehidupan dan puncaknya pada tahun pertama masuk sekolah.
Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis pada telinga tengah dengan
perforasi membrane timpani dan sekret keluar dari telinga terus menerus atau
hilang timbul, sekret dapat berupa encer atau kental, bening atau berupa nanah.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikaan, terapi tidak adekuat, virulensi
kuman tinggi. Gejala otitis media supuratif kronis antara lain otorrhoe yang
bersifat purulen, terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinnitus, rasa penuh
ditelinga.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Otitis Media Supuratif Kronis adalah stadium dari penyakit telinga tengah
dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran
timpani perforasi dan ditemukan sekret, purulen yang hilang timbul. Istilah kronik
digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap selama 2 bulan atau
lebih.

2.2 ETIOLOGI
Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada
anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari
nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah
melalui tuba eustachius. Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang
relatif tinggi adalah defisiensi imun sistemik. Penyebab OMSK antara lain:
1. Otitis media akut
Secara umum dikatakan otitis media supuratif kronis merupakan
kelanjutan dari otitis media akut.
2. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang
secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan
pertumbuhan bakteri. .
3. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian
penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau
toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.
3

4. Gangguan fungsi tuba eustachius.


Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh
edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder
masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah
digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya
menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif
menjadi normal

2.1.5. PATOFISIOLOGI
Otitis media supuratif kronik didahului otitis media akut. Otitis media akut
dengan berforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif kronis apabila
prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Otitis media akut disebabkan oleh infeksi di
saluran nafas atas (ISPA), umumnya terjadi pada anak karena keadaan tuba
eustachius, tuba eustachius pada lebih pendek, lebih horizontal dan relative lebih
lebar daripada dewasa.
Infeksi pada saluran nafas atas akan menyebabkan edema pada mukosa
saluran nafas termasuk mukosa tuba eustachius dan nasofaring tempat muara tuba
eustachius. Edema akan menyebabkan oklusi tuba yang berakibat gangguan
fungsi tuba eustachius yaitu fungsi ventilasi, drainase dan proteksi terhadap
telinga tengah

2.1.6. GEJALA KLINIS


1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas
kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan
yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat
disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar
setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adanya
4

sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi
kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil,
berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret
telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan
polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma yang mendasarinya.
Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya
di jumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan
pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena
daerah yang sakit ataupun kolesteatoma, dapat menghambat bunyi dengan efektif
ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatoma, tuli konduktif kurang dari 20
db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan
fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih
dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena
putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatoma bertindak
sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus
diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi
perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui
jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis
supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran
tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kokhlea.

3. Otalgia (nyeri telinga)


Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan
suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya
5

drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan
pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh
adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.

2.1.8. PENATALAKSANAAN
Terapi OMSK memerlukan waktu lama dan harus berulang. Pengobatan
penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor
penyebabnya dan stadium penyakitnya. Bila didiagnosis kolesteatoma, maka
mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat-obatan dapat digunakan untuk
mengontrol infeksi sebelum operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, dimana
pengobatannya dibagi atas :
a) Medikamentosa
Bila sekretnya keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga,
berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka
terapi dilanjutkan dengan memberikan dengan obat tetes telinga yang
mengandung antibiotika, dan kortikosteroid. Secara oral diberikan
antibiotic dari golongan ampisilin, atau eritromisin.
b) Pembedahan
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi
selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti.
Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen,
memperbaiki membrane timpani yang berforasi, mencegah terjadinya
komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran.
Jenis pembedahan pada OMSK :
1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
2. Mastoidektomi radikal
3. Miringoplasti
6

4. Timpanoplasti
2.1.9. KOMPLIKASI
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan
kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan
patologik yang menyebabkan otorea. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien
OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut
oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan
komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada
eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatoma.
Komplikasi di telinga tengah yaitu perforasi persisten, erosi tulang
pendengaran dan paralisis nervus fasial.
Komplikasi telinga dalam yaitu fistel labirin, labirinitis supuratif dan tuli
saraf (sensorineural).
Komplikasi ekstradural yaitu abses ekstradural, trombosis sinus lateralis
dan petrositis.
Komplikasi ke susunan saraf pusat yaitu meningitis, abses otak dan
hidrosefalus otitis.

2.2 ANESTESI

2.2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu.
7

a. Hipnotik, hilang kesadaran

b. Analgetik, hilang perasaan sakit

c. Relaksan, relaksasi otot-otot

2.2.2 Anestesi Umum

Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana


hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.

Indikasi anestesi umum :

Pada bayi dan anak-anak


Pembedahan pada orang dewasa di mana anestesi umum lebih disukai
oleh ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
Operasi besar
Pasien dengan gangguan mental
Pembedahan yang lama
Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan
memuaskan
Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :

a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena.

b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan yaitu N2O,
Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori
8

menggunakan sungkup muka, Endotrakeal Tube nafas spontan, Endotrakeal tube


nafas terkontrol.

c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan


kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi
atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-


anestesi. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya


sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
nafas.

2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.

3) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai


dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin
yang sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada pasien yang berusia di atas
50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.
9

4) Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang


ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :

ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia


ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
ASA 6 : Pasien dengan kematian batang otak
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.
2.2.3 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
10

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada


situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis


asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor
H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam
sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering
ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5
mg atau ondansetron 2-4 mg.

Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa


pemberian injeksi Metoclopramide 10mg dan injeksi Ranitidine 50mguntuk
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian
bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan
lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.

Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi


yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor
Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.

Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan


ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2
sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko.
11

Yang banyak digunakan:

Analgetik opium :

Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler


Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler
Sedatif :

Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler


Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, 1,5 mg/kgbb intramuskuler
Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral
Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb
Vagolitik antisialogog :

Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau intravena pada saat induks


maksimal 0,5 mg
Antasida :

Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan 2 jam sebelum operasi
Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi
Sebelum induksi anastesi

Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab


untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum
sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui
hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung
mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa
mungkin. Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman.
Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.
12

Pemeriksaan Alat

Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,


karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksa dan gantungkan pada alat anastesi yang sering
digunakan. Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan
aliraninfus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam
vena besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera
dimulai.

2.2.4 Durate operation

1. Induksi Anestesi

Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS:
13

S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope,
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
cukup terang
T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah


terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5%
dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan
manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol
14

(recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3


mg/kgBB. Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.

Induksi Intamuskular

Sampai sekarang hanya ketamine yang dapat diberikan secara


intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi inhalasi

Teknik ini merupakan pilihan bila jalan napas pasien sulit ditangani. Jika
induksi intravena, pada pasien seperti itu dapat menimbulkan kematian akibat
hipoksia jika kita tidak dapat mengembangkan paru. Sebaliknya, induksi inhalasi
hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat anestesi dapat
masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk dan
anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal
ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk anak-
anak yang takut pada jarum.

Intubasi Endotrakeal

Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa


pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.
15

Gambar 2.1 Intubasi Endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal :

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun


2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tak ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :

Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
Posisi kepala dan leher yang tepat
Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut
16

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :

a. Pipa endotrakea

Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya


dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir
bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :

Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + umur (thn)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)

b. Laringoskop

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop :

Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)


Bilah lengkung (curved blades/ Macinto
17

Penilaian Mallampati

Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi


kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut,
khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade:

Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas


Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.
Kesulitan dalam teknik intubasi:

Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap


Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
Kesulitan membuka mulut
Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
Abnormalitas pada daerah servikal
Kontraktur jaringan leher
Komplikasi pada intubasi endotrakeal :
Memar & oedem laring
Strech injury
Non specific granuloma larynx
Stenosis trakea
Trauma gigi geligi
Laserasi bibir, gusi dan laring
Aspirasi, spasme bronkus
18

Obat-Obat Anestesi Umum

Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah:

I. Gas Anestesi

Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk


praktek klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi
misteri dalam farmakologi modern.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :

1) Ambilan oleh paru


2) Difusi gas dari paru ke darah
3) Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:

1. N2O

N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.

2. Halotan

Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi
dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol
% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan
klinis pasien.
19

3. Isofluran

Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi
adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan
frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap
oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.

4. Desfluran

Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur
bedah singkat atau bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga
menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk
induksi.Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi
lain, tapi17 kali lebih poten dibanding N2O.

5. Sevofluran

Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.


Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.

II. Obat-obat Anestesi Intravena

Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang


diberikan dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena.
20

A. Hipnosis

1. Golongan barbiturat (pentotal)

Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya
cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat kerjanya
habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan kehilangan
kesadaran dengan jalan memblok kontrol brainstem.

Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai
induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian 15-20
detik (untuk orang dewasa)

2. Benzodiazepin

Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat


toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang
lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah
banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan
menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi Efek farmakologi
benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA)
sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA A melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA A terhadap
neurotransmitter penghambat. Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV,
Midazolam : induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.

3. Propofol

Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna


putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2.5
mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya
21

boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn
dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.

4. Ketamin

Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan


kerja singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran
dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N- metil-D-aspartat.
ifat nalgesiknya angat uat ntuk istem omatik, tetapi lemah untuk sistem
viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang
tonusnya sedikit meninggi. Dosis ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10
mg/kgBB IM. Anestesi dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi
mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal
sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa
dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan
tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai
40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.

B. Analgetik

1. Morfin

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Efek analgesi morfin timbul
berdasarkan 3 mekanisme ;

(1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat


mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di
korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari
thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang
nyeri meningkat.
22

Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-
0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat
diulang sesuai yamg diperlukan.

2. Fentanil

Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid


sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor .
Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak
analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan
secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.

3. Meridipin

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa


keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi
nafas pada janin. Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10
mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.

Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi
dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.

a. Pelumpuh otot depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf


otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah
sipnatik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul
23

relaksasi otot lurik. Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan
dosis 1-2 mg/kgBB IV.

b. Pelumpuh otot non-depolarisasi

Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-


kolinergik, etapi ak enyebabkan epolarisasi, anya enghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.

2. Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.


Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
24

air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan


jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang.

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan


darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.

3. Monitoring

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi


adalah:

- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter

- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas


reflek palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi


25

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.2.5 Postoperatif

a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care


unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi
ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti.

Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat
berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU.
Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek,
monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan
dengan lancar.

b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room


26

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal.

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih


dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut :

a. Pulse oximeter

b. Non-invasive blood pressure monitor

c. Elektokardiograf

d. Nerve stimulator

e. Pengukur suhu.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk


dikeluarkan dari PACU adalah:

a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu

b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat

c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah

d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang

e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam

f. Mual dan muntah dalam kontrol


27

g. Nyeri minimal

Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan


normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.

Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang


sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting).

Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama


anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis.

c. Pemindahan Penderita dari Kamar Operasi

Ada banyak pedoman untuk menentukan kapan penderita dapat


dipindahkan dari kamar operasi. Di RSUP Dr. Kariadi memakai Aldrette Score
yaitu penlaian yang didasarkan atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, akfititas dan
warna kulit. Hasil penjumlahan ke-5 faktor tersebut, yang mempunyai nilai
maksimal 10 menentukan dapat tidaknya penderita dipindahkan. Penderita dengan
nilai Aldrette Score 8, dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
28
29

BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
Nama : Heldiyani zega
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 25 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Midin hutagalung
Pekerjaan : IRT
Status Perkawinan : Sudah Menikah
No RM : 24.99.72

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Telinga kanan sakit
Telaah : Pasien perempuan datang ke IGD RS Haji dengan keluhan sakit di
telinga sebelah kanan yang sudah di alami pasien sejak 5 bulan yang lalu. Mual (-
), Muntah (-), keluar cairan dari telinga (-), os juga mengeluhkan pandangan kabur
sejak 1 bulan ini dan sudah dibawa berobat ke poli THT RSHM dan di diagnosa
OMSK. Riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Tidak ditemukan adanya riwayat
penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan Asma. Pada pemeriksaan fisik di dapati
psoas sign (+), Rovsings Sign (+). BAK (+), BAB (+) Normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
Riwayat Alergi :
- Alergi makanan disangkal oleh pasien
30

- Alergi obat disangkal oleh pasien


Riwayat Pengobatan :
Tidak ada
Riwayat Psikososial
- Merokok (-)
- Alkohol (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit
Vital Sign
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36 0C
Tinggi Badan : 158cm
Berat Badan : 65 kg
Pemeriksaan Umum
Kepala - Leher
Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
Hidung :Tidak ada secret/bau/perdarahan pada hidung.
Telinga : Tidak ada secret/bau/perdarahan pada telinga.
Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
31

torakalabdominal, retraksi costae -/-


Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Nyeri Ketok (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas : Edema -/-

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Extremitas Atas-Axilla

1. Dingin (-), edema (-).


2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik

Extremitas Bawah

1. Dingin (-), edema (-)


2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 14.5 g/dl (13 18 g/dl)
HT : 41.3 % (40 54 %)
Eritrosit : 4.8 x 106/L (4.5 6.5 x 106/L)
32

Leukosit : 9.500 / L (4000 11.000 / L)


Trombosit : 278.000/L (150.000 450.000 / L)
Index Eritrosit
MCV : 85.4 fL (80-96 fL)
MCH : 29.9 pg (27-31 pg)
MCHC : 35.1 % (30-34 %)
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil : 0% (1-3 %)
Basofil : 0% (0-1 %)
N. Stab : 0% (2-6 %)
N. Seg : 67% (53-75 %)
Limfosit : 26% (20-45 %)
Monosit : 7% (4-8 %)
Metabolik
KGDS : 108 mg/dl (<140 mg/dl)
Fungsi Ginjal
Ureum : 25 mg/dl (20 40 mg/dL)
Kreatinin : 0.98 mg/dl (0.5 1.1 mg/dL)
Asam Urat : 5.5 mg/dl (3.4-7.0 mg/dl)
Fungsi Hati
Bilirubin Total : 0.37 mg/dl (0.3 1 mg/dL)
Bilirubin Direk : 0.25 mg/dl (< 0.25 mg/dL)
AST (SGOT) : 22 U/I (< 40 U/I)
ALT (SGPT) : 27 U/I (< 40 U/I)

Diagnosis : OMSK

5. RENCANA TINDAKAN
Tindakan : Mastoidektomi
Anesthesi : GA-ETT
33

PS-ASA :1
Posisi : Supinasi
Pernapasan :Ventilator

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 20x/menit
SP : Vesikuler ka=ki
ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
Akral : Hangat
TD : 110/70 mmHg
HR : 80x/menit
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
Urine Output : -
Kateter : Tidak Terpasang
B5 (Bowel)
Abdomen : Soepel
Peristaltik : (+) Normal
Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
Oedem : (-)
34

7. PERSIAPAN OBAT GA-ETT


Intravena
Propofol : 100mg
Fentanyl : 200 mcg
Jumlah Cairan
PO : RL 200 cc
DO : RL 1300 cc
Produksi Urin :-

Perdarahan
Kasa Basah : 10 x 10 = 100 cc
Kasa 1/2 basah :4 x5 = 20 cc
Suction : = 100 cc
Jumlah : 220 cc
EBV : 65 x 65 = 4220 cc
EBL 10 % = 422 cc
20 % = 845 cc
30 % =1267,5 cc
Durasi Operatif
Lama Anestesi = 14.05 Selesai WIB
Lama Operasi = 14.30 17.10 WIB
Teknik Anastesi : GA - ETT
Premedikasi : Analgetik + Midazolam
Induksi Propofol O2 Relaxant Oxygenasi
Intubasi : ETT 7.0 Cuff (+)
Maintenance : Sevoflurance + O2

8. POST OPERASI
Operasi berakhir pukul : 17.10 WIB
35

Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan


darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI


Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

9. TERAPI POST OPERASI


Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
IVFD RL 43gtt/menit
Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah
36

DAFTAR PUSTAKA

Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi:


Anestesiologi. EGC. Jakarta. pp:229-231
Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta
Snel, R.S., 2006. Abdomen: Bagian I Dinding Abdomen. Dalam: Hartanto,
Huriawati, ed. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta:
EGC, 14200
Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Efiaty ,2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. FKUI

Anda mungkin juga menyukai