Anda di halaman 1dari 13

BAB I

KONSEP DASAR MEDIK

A. Pengertian
Leukemia adalah keganasan hematologi yang diakibatkan oleh
proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest)
pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik sehingga mengakibatkan
terjadinya ekspensi progresif dari kelompok sel ganas tersebut dalam
sumsum tulang. Dan sel leukemia tersebut beredar secara sistemik (Bakta,
2006).

Akut myeloblastik leukemia (AML) adalah suatu keganasan


yang berasal dari organ pembentuk darah dalam tubuh yang disebabkan
karena tidak terkontrolnya pertumbuhan leukosit yang tidak matang,
didominasi oleh sel blast yang abnormal (Mansjoer, 2007). Akut
mieloblastik leukemia (AML) merupakan leukemia yang menyerang sel
sistem hematopetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel myeloid
(Handayani, 2008). AML merupakan penyakit berbahaya yang metastasenya
sangat cepat dimana terlalu banyak sel - sel pembentuk darah yang imatur
dalam darah dan sumsum tulang (Wong and Whaley, 2006).

Berdasarkan literature diatas maka dapat disimpulkan bahwa


pengertian dari AML merupakan salah satu jenis dari leukemia yaitu suatu
penyakit berbahaya yang menyerang sistem hematopoetik yang ditandai
dengan banyaknya sel blast sehingga mengakibatkan tidak terkendalinya
pertumbuhan leukosit yang imatur.

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Penyebab akut mieloblastik leukemia sampai saat ini
belum diketahui secara pasti, diduga karena virus onkogenik
(Kurnianda, 2007).
Terdapat beberapa faktor prediposisi dari AML pada
populasi tertentu (Jabbour dan Kantarjian, 2007):
a. Obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone,
chloroquine dan methoxypsoralen dapat merangsang
terjadinya kerusakan pada sumsum tulang yang
kemudian beresiko terhadap terjadinya AML.
b. Senyawa kimia seperti yang terkandung pada rokok,
pestisida, herbisida, dan benzene diketahui berpotensi
merangsang perkembangan AML.
c. Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan AML,
seperti pada orang-orang yang selamat dari bom atom
di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai
tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan
mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman.
d. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan
kromosom, seperti pada sindrom Down (trisomi
kromosom 21), sindrom Bloom, anemia Fanconi
dan klinefelter, diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih
tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita AML.
e. Terapi radiasi dengan menggunakan golongan
alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor
diketahui dapat meningkatkan resiko terjadinya AML.
Golongan alkylating agent seperti cychlophospamide,
melphalan, dan nitrogen mustard sering dihubungkan
dengan kejadian abnormalitas pada kromosom 5 dan
atau 7. Terpapar golongan topoisomerase II inhibitor
seperti etoposide dan teniposide sering menyebabkan
abnormalitas pada kromosom 11 dan atau 27.
2. Patofisiologi
Pada kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker
pada sel mielogen, yaitu bentuk dini neutrofil, monosit atau
lainnya dalam sumsum tulang yang kemudian menyebar ke
seluruh tubuh, sehingga leukosit dibentuk pada banyak organ
ekstra medula (Bakta, 2006).
Patogenesis utama AML adalah adanya gangguan
pematangan yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel mieloid
terhenti pada sel- sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi
blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang
akan menyebabkan terjadinya gangguan hematopoesis normal
yang akhirnya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum
tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan
adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni) (Sudoyo
dan Setiyohadi, 2006).
Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah
dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya
trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, serta
adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap
infeksi. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga dapat
bermigrasi keluar sumsum tulang atau berinfiltrasi ke organ-organ
lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem saraf pusat dan
merusak organ-organ tersebut (Sudoyo dan Setiyohadi, 2006).
Pada hematopoiesis normal, myeloblast merupakan sel
myeloid yang belum matang yang normal dan secara bertahap
akan tumbuh menjadi sel darah putih dewasa. Namun, pada AML
myeloblast mengalami perubahan genetik atau mutasi sel yang
mencegah adanya diferensiasi sel dan mempertahankan keadaan
sel yang imatur, selain itu mutasi sel juga menyebabkan terjadinya
pertumbuhan tidak terkendali sehingga terjadi peningkatan jumlah
sel blast (Sudoyo dan Setiyohadi, 2006).
3. Manifestasi Klinik
Gejala leukemia akut bervariasi dan timbul dalam waktu
beberapa hari atau bulan saja. Gejalanya dapat digolongkan
menjadi 3 golongan besar. Berikut adalah manifestasi klinis
leukemia menurut Bakta (2006):
a. Gejala kegagalan sumsum tulang, meliput:
1) Anemia sehingga menimbulkan gejala pucat dan
lemah pada penderita
2) Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh
demam, infeksi rongga mulut, tenggorokan, kulit, saluran
nafas, dan sepsis sampai dengan timbulnya syok septik.
3) Trombositopenia yang dapat menimbulkan easy brusing,
perdarahan pada kulit, mukosa seperti adanya perdarahan
gusi dan epistaksis atau mimisan.
b. Keadaan Hiperkatabolik, yang ditandai oleh :
1) Kaheksia
2) Berkeringat pada malam hari
3) Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal
ginjal
c. Infiltrasi kedalam organ yang menimbulkan
organomegali (pembesaran organ) dan gejala lain, seperti :
1) Nyeri tulng dan sternum
2) Limfadenopati superfisial
3) Splenomegali
4) Hipertrofi gusi atau infiltrasi kulit
5) Sindrom meningeal, yang menimbulkan : sakit kepala ,
mual, muntah, mata kabur, kaku kuduk

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah
Bertujuan untuk memeriksa jumlah leukosit, eritrosit, dan platelet.
Dalam pemeriksaan darah ini ditemukan jumlah leukosit yang
sangat tinggi, rendahnya kadar trombosit dan hemoglobin.
b. Pemeriksaan Biopsi
Merupakan suatu pemeriksaan untuk mengetahui ada atau
tidaknya sel-sel leukemia di dalam sumsum tulang belakang.
Dalam pemeriksaan ini diperlukan bantuan anestesi lokal
untuk membantu mengurangi rasa sakit. Pemeriksaan biopsi
ini menggunakan 2 cara umum, yaitu :
1) Aspirasi sumsum tulang, yaitu biopsi dengan
menggunakan jarum berongga tebal, yang diambil hanya
sumsum tulang.
2) Biopsi sumsum tulang yaitu jenis biopsi menggunakan
jarum berongga sangat tebal untuk mengangkat sepotong
kecil tulang dan sumsum tulang.
c. Sitogenik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk meneliti kromosom dengan
meggunakan sampel sel darah atau kelenjar getah bening.
Bila ditemukan kromosom yang abnormal maka tes juga
dapat menunjukkan jenis leukemia yang diderita.
d. Spinal Tap
Merupakan pemeriksaan dengan pengambilan beberapa
cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang didalam dan
sekitar otak dan sumsum tulang belakang) menggunakan
jarum panjang tipis yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dari tulang punggung bagian bawah. Prosedur ini
memerlukan waktu sekitar 30 menit dan dilakukan dengan
anestesi lokal. Pasien berbaring selama beberapa jam
setelahnya, agar tidak pusing, kemudian akan diperiksa cairan
untuk meneliti adanya sel-sel leukemia atau tanda-tanda lain
dari masalah yang dialami
e. Pemeriksaan darah terapi
Menunjukkan pansitopenia, limfositosis dan terdapat
adanya sel blast yang merupakan gejala patognomik
terjadinya leukemia. (Bakta, 2006)

5. Komplikasi
Komplikasi AML menurut Bakta (2006) adalah sebagai berikut :
a. Perdarahan karena terjadinya trombositopenia
b. Infeksi sepsis karena terjadinya fagositosis dari leukosit
c. Aplasia sumsum tulang dan gangguan fungsi organ akibat
pemberian obat sitostatika
d. Hipokalemia atau hiperkalemia karena gagal ginjal akut
e. Hipoalbumin akibat pengikatan oleh fosfat yang dikeluarkan
oleh limfoblast kalsium
f. Hiperkalsemia karena adanya pembesaran suatu bahan
yang mempunyai aktivitas seperti hormon paratiroid
g. Organomegali

6. Penatalaksanaan Medis
a. Transfusi Darah
Tindakan ini hanya diberikan pada pasien dengan kadar Hb
kurang dari 7gr/dL, pada pasien dengan trombositopenia
berat dan perdarahan pasif dapat diberikan transfusi trombosit
(Bakta, 2006).
b. Pemberian Kortikosteroid
Pemberian prednisone ini dikurangi sedikit demi sedikit dan
akhirnya dihentikan setelah dicapai remisi dosis yang
diharapkan (Bakta, 2006).
c. Tindakan Kemoterapi
Kemoterapi merupakan bentuk terapi utama dan pada
beberapa kasus dapat menghasilkan perbaikan yang
berlangsung sampai setahun atau lebih. Obat yang biasanya
digunakan meliputi daun orubcin, hydrochloride
(cerubidine), cytarabine (Cytosar-U), dan mercaptopurine
(purinethol) (Handayani,2008). Obat ini mengandung zat
yang dapat merusak dan membunuh sel normal dan sel
kanker, serta menghambat tumor malignan (Bakta, 2006).
d. Imunoterapi
Untuk merangsang sistem kekebalan tubuh dalam melawan
penyakit kanker (Bakta, 2006).

C. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong ( 2004 : 596-610) diagnosa keperawatan pada
anak dengan leukimia adalah:
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem
pertahanan tubuh.
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan akibat
anemia.
3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
mual dan muntah.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens
kemoterapi, radioterapi, imobilisasi.
5. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kehilangan nafsu makan.
D. Fokus Intervensi
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem
pertahanan tubuh.
Tujuan : Tidak ada tanda dan
gejala infeksi sistemik Kriteria hasil :
a. Terbebas dari tanda-tanda infeksi (kolor, dolor, ubor, tumor,
fungsiolaesa)
b. Pasien mampu menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
c. Jumlah leukosit dalam batas normal
Intervensi Risiko Infeksi
Intervensi Rasional
1. Kaji tanda-tanda infeksi 1. Untuk mengetahui adanya
2. Pantau tanda-tanda vital tanda-tanda infeksi
3. Berikan lingkungan yang 2. Hipertermia lanjut terjadi pada
bersih dan nyaman beberapa tipe infeksi dan
4. Lakukan perawatan infus demam.
5. Kolaborasi pemberian obat 3. Untuk meminimalkan terjadinya
antibiotik infeksi
4. Balutan basah menyebabkan
kulit iritasi dan memberikan
media untuk pertumbuhan
bakteri, peningkatan resiko
infeksi
5. Membantu mengurangi
terjadinya
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan infeksiakibat anemia.
kelemahan
6.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
dapat melakukan aktivitas.
Kriteria hasil :
a. Laporan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
b. Berpartisipasi dalam aktifitas sehari-hari sesuai tingkat
kemampuan
c. Menunjukkan penurunan tanda psikologis tidak toleran missal
: nadi
d. Pernafasan dan tekanan darah masih dalam batas normal.
Intervensi Intoleransi Aktivfitas
Intervensi Rasional
1. Kaji laporan kelemahan, 1. Efek leukemia, anemia dan
perhatikan kemoterapi mungkin komulatif
ketidakmampuan untuk (khususnya selama fase
berpartisipasi dalam pengobatan, akut dan aktif)
aktifitas sehari-hari 2. Menghambat energi keluar
2. Berikan lingkungan tenang untuk aktivitas dan energi
dan periode istirahat tanpa dipergunakan untuk
gangguan. regenerasi seluler/
3. Implementasi teknik penyembuhan jaringan.
pengematan energi, bantu 3. Memaksimalkan sediaan energi
ambulasi atau aktivitas untuk tugas perawatan diri.
sesuai
3. Risiko indikasi
tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan berlebihan, pemasukan cairan yang menurun.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
keseimbangan cairan pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan volume cairan adekuat
b. Mengidentifikasi faktor resiko individual dan intervensi yang
cepat
c. Melakukan perubahan pola hidup / perilaku untuk
mencegah terjadinya deficit volume cairan.
Intervensi Resiko Tinggi Terhadap Kekurangan Volume Cairan
Intervensi Rasional
1. Awasi masukan/keluaran 1. Penurunan sirkulasi sekunder
perhatikan penurunan urine terhadap destruksi dan
pada adanya pemasukan pencetusnya pada tubulus ginjal
adekuat dan atau terjadi batu ginjal dapat
menimbulkan retensi urine atau
gagal ginjal
2. Awasi tekanan darah dan 2. Perubahan tekanan darah dan
frekuensi jantung frekuensi jantung dapat
menunjukkan efek hipovolemia.
3. Inspeksi kulit/membran 3. Supresi sumsum tulang dan
mukosa untuk petekie area produksi trombosit
ekimotik : perhatikan menempatkan pasien pada risiko
perdarahan gusi, perdarahan spontan tak
perdarahan lanjut dari sisi terkontrol
tusukan invasiv 4. Mempertahankan
4. Berikan cairan IV sesuai keseimbangan cairan/elektrolit
indikasi pada tidak ada pemasukan oral.
5. Menghilangkan mual, muntah
sehubungan dengan pemberian
5. Berikan obat sesuai indikasi agen kemoterapi
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agen
kemoterapi, radioterapi, imobilisasi
Tujuan : Keadaan kulit pasien tetap baik.

Kriteria hasil :
a. Integritas kulit yang baik dapat dipertahankan (sensasi,
elastik, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik, tidak terdapat kemerahan
d. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan
kelembaban kulit dan perawatan diri.
Intervensi Kerusakan Integritas Kulit
Intervensi Rasional

1. Berikan perawatan kulit 1. Karena area tersebut cenderung


yang cermat terutama terjadi ulserasi
didalam mulut dan daerah 2. Efek kemerahan, kulit kering
perianal dapat terjadi dalam area radiasi
2. Kaji kulit yang kering pada beberapa agen kemoterapi
terhadap efek samping 3. Membantu untuk mencegah
terapi kanker fiksi atau trauma kulit
3. Anjurkan pasien untuk 4. Untuk mencegah keseimbangan
tidak menggaruk dan nitrogen yang negatif
menepuk kulit yang kering 5. Untuk meminimalkan iritasi
4. Dorong masukan kalori tambahan
protein yang adekuat
5. Pilih pakaian yang longgar
dan lembut diatas area yang
teradiasi
5. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kehilangan nafsu makan.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi
yang adekuat.
Kriteria hasil :
a. Mendapatkan nutrisi yang adekuat
b. Nafsu makan baik
c. Porsi makan dihabiskan
d. Lidah tidak kotor
Intervensi Resiko Perubahan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Intervensi Rasional
1. Catat status nutrisi pasien: 1. Berguna dalam mendefinisikan
turgor kulit, timbang berat derajat masalah dan intervensi yang
badan, integritas mukosa tepat
mulut, kemampuan 2. Membantu intervensi kebutuhan
menelan, adanya bising yang spesifik, meningkatkan intake
usus, riwayat mual/muntah diet pasien
atau diare 3. Mengukur keefektifan nutrisi dan
2. Kaji pola diet pasien yang cairan.
disukai dan yang tidak 4. Dapat menentukan jenis diet dan
mengidentifikasi pemecahan
3. Monitor intake dan output masalah untuk meningkatkan
secara periodik intake nutrisi
5. Memaksimalkan intake nutrisi dan
4. Catat adanya anoreksia, menurunkan iritasi gaster
mual, muntah, dan tetapkan 6. Memberikan bantuan dalarn
jika ada hubungannya perencaaan diet
dengan medikasi. Awasi dengan nutrisi adekuat untuk
frekuensi, volume, kebutuhan metabolik dan diet
konsistensi Buang Air Besar
(BAB)
5. Anjurkan makan sedikit dan
sering dengan makanan
tinggi protein dan
karbohidrat
6. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan
komposisi diet.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I. M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas . Jakarta: EGC.

Handayani,W., & Haribowo, A.S. 2008. .Asuhan Keperawatan pada Klien


dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Jabbour, E., Cortes, J.E., Giles, F.J., OBrien, S., Kantarijan H.M. 2007. Current
and Emerging Treatment Option in Chronic Myeloid
Leukemia. American Cancer Society,109(11):2171-2181

Kurnianda, Johan. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medika Aeseulupius

Sudoyo, A. W., dan Setiyohadi, B. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,
Ed. 4. Jakarta : FKUI.

Whaley dan Wong. 2006. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 2, Jakarta :
EGC.

Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:


EGC.

Anda mungkin juga menyukai