Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

DEMAM TIFOID

Oleh :
Rezi Amalia Putri

1110312003

Preseptor :
dr. Yorva Sayoeti, Sp.A (K)

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Unand
RSUP dr. M. Djamil
Padang
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan

oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai Negara

berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini

juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena

penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan

lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri

pengolahan makanan yang masih rendah.1

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat

luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan

terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi

600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid

dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan

sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan

rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh

propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di

daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta

kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19

tahun pada 91% kasus.2

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPIDEMIOLOGI

Demam typhoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara

epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar disuatu daerah dan jarang

terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan

biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan S.typhi, yaitu pasien

dengan demam typhoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik transmisi

terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan

sumber penularan yang paling sering di daerah non-endemik.

Distribusi Demam Tifoid

Geografi

Demam tifoid terdapat diseluruh dunia dan penyebarannya tidak

tergantung pada keadaan iklim,tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara

sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan

air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu yang kurang baik.

Musim

Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada

kesesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah

kasus demam tifoid.

Jenis kelamin

Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden demam tifoid pada pria dan

wanita.

3
Umur

Di daerah endemik demam tifoid, insiden tertinggi didapatkan pada

anakanak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh

sendiri dan menjadi kebal.

2.2 ETIOLOGI

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram

negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif

anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar

antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri

polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang

membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi

juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik.3

2.3 PATOGENESIS

Kuman S.typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau

minuman yang tercemar oleh kuman tersebut. Sebagian kuman di musnahkan oleh

asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan

limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang kemudian mengalami hipertrofi.

Kuman S.typhi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan

mencapai kelenjar limfe mesenterial yang juga mengalami hipertrofi. Setelah

melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S.typhi masuk aliran darah (bakteremia

primer) dan menuju ke organ Retikulo Endotelial Sistem (RES) terutama hati dan

limpa melalui sistem portal. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit

4
RES dan kuman yang lolos dari fagositosis tetap berkembang biak. Pada akhir

masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh

tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama

limfa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali

dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.

Dalam masa bakteremia ini kuman melepaskan endotoksin

Lipopolisakarida yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya

gejala-gejala dari demam typhoid. Tapi kemudian berdasarkan penelitian

eksperimental disimpulkan bahwa endotoksin bukan merupakan penyebab utama

demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid. Endotoksin S.typhi

berperan pada patogenesis demam typhoid,karena membantu terjadinya proses

inflamasi local pada jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada

typhoid disebabkan karena S.typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan

pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat

pirogen yang beredar di dalam darah mempengaruhi pusat termoregulator di

hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.

Pada demam typhoid ini kelainan utama terjadi di ileum terminal dan

plaque peyeri yang hiperplasia (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua) dan

ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan

parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus

dimana ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.

2.4 MANIFESTASI KLINIS3,4

5
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-

rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala

klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat

sehingga harus dirawata. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonella,

status nutrisi dan imunologik penjamu serta lama sakit di rumahnya

Demam

Penampilan demam pada kasus demam tifoid memiliki istilah

khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam

timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai

titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan

bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam akan turun perlahan secara

lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan

lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid

melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari

dibandingkan dengan pagi harinya.

Gangguan saluran pencernaan

Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih, ujung dan tepi

lidah hiperemis dan tremor (coated tongue), pada penderita anak jarang

ditemukan. Pada umumnya pasien sering mengeluh nyeri perut terutama

regio epigastrik disertai mual dan muntah. Pada pasien juga sering

ditemukan konstipasi atau diare.

Gangguan kesadaran

6
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa

penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan

kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai

somnolen dan koma. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih

menonjol.

Hepatosplenomegali

Terkadang ditemukan pembesaran pada hepar dan limpa. Hepar

terasa kenyal dan terdapat nyeri tekan. Berbeda dengan buku bacaan Barat,

pada anak di Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan

dengan splenomegali.

Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak. Bradikardi relatif

adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan

frekuensi nadi. Patokan yang dipakai adalah bahwa setiap peningkatan

suhu 1 C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 kali per menit. Gejala

lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang

biasanya ditemukan pada region abdomen, toraks, extremitas, dan

punggung pada kulit orang putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada

anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama

2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar

lama bahak menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid.

2.5 KOMPLIKASI4

7
Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid

mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang

sering terjadi diantaranya :

Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati)

Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan

gejala delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis

lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas-batas normal.

Syok Septik

Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena

bakteremia Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diatas, penderita

jatuh ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan

halus, berkeringat serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi

irreversible.

Perdarahan dan Perforasi Intestinal

Pada anak, perforasi usus dapat terjadi pada 0.5-3%, sedangkan

perdarahan pada usus terjadi pada 1-10%. Perdarahan dan perforasi terjadi

pada minggu ke-2 demam atau setelahnya. Perdarahan dengan gejala

hematoskhezia atau dideteksi dengan occult blood test. Perforasi intestinal

ditandai dengan nyeri abdomen akut, defans muskular, nyeri tekan kuadran

kanan bawah abdomen. Suhu tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan

frekuensi nadi dan berakhir dengan syok. Pada pemeriksaan abdomen

didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus melemah, dan pekak hepar

menghilang. Perforasi dapat dipastikan dengan pemeriksaan foto polos

8
abdomen 3 posisi. Perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid yang paling

serius karena sering menimbulkan kematian.

Peritonitis

Biasanya menyertai perfotasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi.

Ditemukan gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung serta

nyeri lepas pada penekanan.

Hepatitis Tifosa

Demam tifoid yang disertai gejala ikterus, hepatomegali, dan

peningkatan SGOT, SGPT, dan bilirubin darah. Pada histopatologi

didapatkan nodul tifoid dan hiperplasi sel-sel kuffer.

Pankreatitis Tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Gejalanya adalah nyeri

perut hebat disertai dengan mual dan muntah kehijauan, meteorismus dan

bising usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat, dapat dibantu

dengan pemeriksaan USG atau CT Scan.

Pneumonia

Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan

mikroba lain yang menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan

didapatkan gejala klinis pneumonia serta gambaran khas pneumonia pada

foto polos thoraks.

Komplikasi lain

Karena basil salmonella bersifat intra makrofag dan dapat beredar

keseluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang

menimbulkan infeksi yang bersifat fokal antara lain seperti osteomielitis,

9
artritis, miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, serta

peradangan di tempat lainnya.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG3,4

a. Gambaran Darah Tepi4

Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran

leukopeni, limfositosis relatif, monositosis, an eosinofilia, dan

trombositopenia ringan. Terjadi leukopenia akibat depresi sumsum tulang

oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Diperkirangan kejadian

leukopenia 25%. Namun banyak laporan bahwa dewasa ini hitung

leukositosis kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.

Kejadian trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun dan

destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES. Sedangkan anemia juga

disebabkan produksi hemoglobin yang menurun serta kejadian akibat

occult bleeding. Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin

secara akut pada minggu ke 3-4, yang biasanya disebabkan oleh

perdarahan hebat dalam abdomen.

b. Pemeriksaan Bakteriologis3

Pada dua minggu pertama sakit kemungkinan mengisolasi S.typhi

dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan

yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil.

Biakan spesismen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai

sensitivitas tertinggi, hasi positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi

10
prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-

hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang

diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.

c. Biakan Salmonella Typhi4

Spesimen untuk biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang,

feses, dan urin yang ditanam dalam biakan empedu (gall culture).

Spesimen darah diambil pada minggu pertama sakit saat demam tinggi.

Spesimen feses dan urin pada minggu ke II dan minggu selanjutnya.

Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil

biakan Basil Salmonella tumbuh maka penderita sudah pasti mengidap

demam tifoid. Bila pada minggu ke-4 biakan feses masih positif maka

pasien sudah tergolong karier.

d. Tes Widal3

Uji serologi widal suatu metode serologik yang memeriksa

antibodi agglutinin terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak

dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia

pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal

slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)

menunjukakan nilai normal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,

96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi bila negatif tidak

menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali

maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak

dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi

11
aglutinin dipakai pada deteksi karier. Banyak peneliti mengemukakan

bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif

palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.

e. TUBEX

Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif

yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan

partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas

ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogroup D. Tes ini sangat akurat

dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi

IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan Tes Tubex ini,

beberapa penelitian menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas

dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji widal.5

Penelitian mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas

sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat

digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah, dan

sederhana, terutama di negara yang berkembang.6

f. Pemeriksaan lain3

Pada akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis

pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen

terhadap S.typhi dalam darah, serum, dan urin bahkan DNA S.typhi dalam

darah dan feses. Polymerase Chain Reaction telah digunakan untuk

12
memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara spesifik pada darah

pasien dan hasil dapat diperoleh dalam beberapa jam. Metode ini spesifik

dan lebih sensitive dibandingkan dengan biakan darah.

2.7 DIAGNOSIS BANDING3

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara

klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,

bronchitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme intraseluler seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik,

bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam

tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai

diagnosis banding.

2.8 TATA LAKSANA3

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah

baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi, serta

pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit

agar pemenuhan cairan, elektrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan

timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik

merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya pathogenesis infeksi

Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteremia.

Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan

penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam

13
turun, sedangkan pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat

diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomyelitis akut, dan 4 minggu

untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka

relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang dilaporkan.

Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila

dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksisilin

dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral

memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam

lebih lama. Kombinasi Trimethoropin Sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan

hasil yang kurang baik disbanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah

TMP 10 mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa

Negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson

100mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7

hari atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat

yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak.

Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat

diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <200/l atau

dijumpai resistensi terhadap S. typhi. Pada demam tifoid kasus berat seperti

delirium, obtundasi, stupor, koma, shock, pemberian deksametason intravena (3

mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg

tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai, dapat menurunkan

angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.

14
Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang

memerlukan transfuse darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya

cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu

menegakkan diagnosis. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus

disertai penambahan antibiotik metronidazole dapat memperbaiki prognosis.

Reseksi 10 cm di setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka

harapan hidup. Transfusi trombosit dianjutkan untuk pengobatan trombositopenia

yang dianggap cukup berat sehingga menyebabkan perdarahan saluran cerna pada

pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah.

Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral

ditambah dengan probenecid 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-

SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa

penyakit saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian

antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan setelah pemberian

antibiotik (ampisilin 200mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari,

setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30 mg/kgBB/hari dalam 3

dosis peroral selama 30 hari. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi

pengobatan sebagai kasus demam tifoid yang pertama.

2.8 PROGNOSIS3

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya, da nada tidaknya komplikasi. Di Negara maju dengan

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang,

angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,

15
dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endocarditis, dan pneumonia mengakibatkan

orbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu

yang mengeluarkan Salmonella Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi

karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak rendah dan meningkat sesuai usia.

Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens

penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan

populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan

dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

2.9 PENCEGAHAN3

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan S.typhi, maka setiap

individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka

konsumsi. S.typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk

beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan

sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan

kuman S.typhi. penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik

buruknya pengadaaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat

kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu

menekan angka kejadian demam tifoid.

2.10 VAKSIN DEMAM TIFOID3

Saat ini dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu

yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup, dan komponen Vi dari S.typhi.

16
Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. parathypi A, S. paratyphi B yang

dimatikan (TAB vaccine) telah puluha ntahun digunakan dengan cara suntikan

subkutan. Namun, vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas,

disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin

yang berisi kuman S.typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga

kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun.

Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian

lapangan didapatkan hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan

derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari S.typhi yang

diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70%

selama 3 tahun .

17
BAB III

LAPORAN KASUS

Nama : An. AR
Umur : 3 tahun 2 bulan
Jenis kelamin : Laki-Laki
Suku bangsa : Minang
Alamat :
No. MR : 95.28.98
Tanggal Masuk:

Alloanamnesis :

Anak dibawa oleh orangtua ke IGD RSUP DR.M.Djamil Padang dengan

Keluhan Utama :

Demam sejak 9 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Demam sejak 9 hari yang lalu, tinggi, hilang timbul pada sore dan malam
hari, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang
- Batuk sejak 9 hari yang lalu, tidak berdahak, tidak disertai pilek
- Buang air besar tidak ada sejak 9 hari yang lalu, sejak 1 minggu terakhir
anak buang air besar kurang teratur, warna da konsistensi biasa
- Sesak nafa tidak ada, kebiruan tidak ada
- Mual tidak ada, muntah tidak ada
- Nyeri perut tidak ada
- Perdarahan pada kulit, gusi, dan saluran cerna tidak ada
- Nafsu makan menurun selama sakit. Biasanya anak makan dengan menu
biasa makanan keluarga, frekuensi 2-3 kali sehari menghabiskan 1/3-
porsi kecil. Selama sakit anak tidak mau makan dan minum, paling banyak
anak makan 1-2 kali sehari menghabiskan dari porsi biasanya.
- Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal
- Riwayat buang air keci warna seperti air cucian daging disangkal
- Riwayat buang air kecil berpasir disangkal
- Riwayat nyeri saat buang air kecil tidak ada
- Buang air kecil jumlah dan warna biasa

Riwayat Penyakit Dahulu :

18
Anak sebelumnya pernah dirawat di RSUP M.Djamil pada Januari 2016
selama + 6 hari dengan radang paru akut dan telah dilakukan pemeriksaan
namun hasil tidak diketahui keluarga

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini


- Tidak ada keluarga yang batuk-batuk lama atau mengkonsumsi obat 6
bulan

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, Kebiasaan

- Anak pertama dari 2 bersaudara, lahir section caesarea atas indikasi


ketuban pecah dini, cukup bulan, ditolong dokter, BBL 2200 gram, PBL
lupa, anak langsung menangis
- Ayah dan ibu pasien memiliki latar belakang pendidikan tamatan S1
dengan ayah bekerja sebagai honor guru dan ibu bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Penghasilan keluarga + 3.000.000,- perbulan

Riwayat Makanan dan Minuman :

Bayi :

- ASI : 0-6 bulan


- Susu formula : 6 bulan- 18 bulan
- Bubur Susu : 6-9 bulan
- Nasi Tim : 9 bulan -1 tahun
- Nasi biasa : 1 tahun - sekarang
Kesan : Kualitas cukup dan kuantitas cukup

Riwayat imunisasi :

BCG : 2 bulan
DPT : 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan
Polio : 0 bulan, 2 buan, 4 bulan, 6 bulan
Hepatitis B: 0 bulan, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan
Campak : 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat perkembangan fisik dan mental :

19
Pasien tengkurap : 4 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 11 bulan
Bicara : 12 bulan
Membaca dan menulis : 4 tahun
Kesan : Normal

Perkembangan Pubertas
- Axila : A1
- Rambut Pubis : P1
- Gonad : G1
Kesan : normal

Riwayat keadaan rumah dan lingkungan :

Rumah tempat tinggal : permanen


Sumber air minum : PDAM
Buang air besar : jamban di dalam rumah
Pekarangan : Cukup luas
Buang sampah : TPS
Kesan : Hiegiene dan sanitasi baik

Pemeriksaan fisik

Tanda vital :
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Sadar
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Frekuensi nadi : 130 kali/ menit
Frekuensi nafas : 30 kali/menit
Suhu : 38,20C
Berat badan : 9,5 kg
Tinggi badan : 92 cm
Gizi :
- Berat badan : BB/U :
- Tinggi Badan :TB/U :
- Berat Badan / Tinggi Badan : BB/TB :

Kesan :

Pemeriksaan sistemik :

20
- Kulit : teraba hangan, turgor kulit kembali cepat
- Kelenjar Getah Bening : teraba pembesaran kelenjer getah bening,
multiple, di region colli dekstra dan sinistra,
ukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 cm, konsistensi
kenyal padat, mobile, nyeri tekan tidak ada
- Kepala : Bulat, simetris, normochepal
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik, reflex cahaya +/+ diameter 2
mm/2mm
- Telinga : Tidak ada kelainan
- Hidung : Tidak ada kelainan
- Tenggorok : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, Faring
tidak hiperemis
- Gigi dan Mulut : Mukosa mulut dan
bibir basah , lidah kotor ada
- Leher : JVP 5-2 CmH20
Thorak :

Paru
Inspeksi : normochest, retraksi tidak ada
Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial linea mid clavicula sinistra RIC V
Perkusi : batas jantung nomal
- Atas: RIC II
- Kanan: Linea sternalis dextra
- Kiri : 1 jari medial linea mid clavicula sinistra RIC V
Auskultasi : irama regular, bising tidak ada

Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Supel, hepar teraba 1/3-1/3, pinggir tajam, konsistensi kenyal
padat, permukaan rata, dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada

21
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung : Tidak ada kelainan

Alat kelamin : Fimosis ada, OUE hiperemis tidak ada

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

Pemeriksaan laboratorium

Darah :

- Hb : 10,3 g/dl
- Leukosit : 8.200/mm
- Trombosit : 221.000/mm
- Hematokrit : 34%
- Hitung jenis : 0/0/0/59/39/2

Imunologi - Serologi Darah

Widal Test :
S.Ty. O : 1/320
S.Ty.H : 1/320

Daftar Masalah :
- Demam
- Batuk
- Konstipasi
- Nafsu makan menurun
- Riwayat radang paru akut
- Pembesaran kelenjer getah bening region colli
- Lidah Kotor
- Gizi Kurang
- Fimosis
- Widal test positif

Diagnosis kerja :

Demam Tifoid

Tatalaksana :

22
- IVFD KaEN 1B 105 cc/kgBB/hari

Kebutuhan cairan : 105cc x 9,5 kg /hari : 997,5cc/hari

Tetesan : 997,5/24 x 20/60 : 12 tpm (makro)

- ML 1000 kkal

Kebutuhan Kalori : 9,5 kg x 100 kkal : 950 kkal 1000 kkal

- Paracetamol 10-15 mg/kgBB : 100 mg (T> 380C)


- Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari : 4 x 250 mg P.O

BAB IV
DISKUSI

Seorang anak laki-laki usia 3 tahun 2 bulan dibawa orangtua ke IGD

RSUP DR.M.Djamil Padang dengan keluhan demam sejak 9 hari yang lalu,

tinggi, hilang timbul pada sore dan malam hari, tidak menggigil, tidak

berkeringat, tidak disertai kejang, batuk sejak 9 hari yang lalu, tidak berdahak,

tidak disertai pilek, buang air besar tidak ada sejak 9 hari yang lalu, sejak 1

minggu terakhir anak buang air besar kurang teratur, warna da konsistensi biasa.

Nafsu makan menurun selama sakit. Biasanya anak makan dengan menu biasa

makanan keluarga, frekuensi 2-3 kali sehari menghabiskan 1/3- porsi kecil.

23
Selama sakit anak tidak mau makan dan minum, paling banyak anak makan 1-2

kali sehari menghabiskan dari porsi biasanya. Anak sebelumnya pernah dirawat

di RSUP M.Djamil pada Januari 2016 selama + 6 hari dengan radang paru akut

dan telah dilakukan pemeriksaan namun hasil tidak diketahui keluarga.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan Status gizi anak dengan gizi kurang,

didapatkan pembesaran kelenjer getah bening region colli dekstra dan sinistra,

multiple, ukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 cm, konsistensi kenyal padat, mobile, nyeri tekan

tidak ada. Pada mulut didapatkan lidah kotor dan pemeriksaan genitalia

didapatkan fimosis. Pemeriksaan serologi widal test idapatkan titer S.ty O dan H

positif.

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

yang dilakukan, anak di diagnose dengan demam tifoid. Pada anak diberikan

cairan KaEN 1B 105cc/kgBB/ hari, makanan lunak 1000 kkal, paracetamol 100

mg jika anak demam, dan kloramfenikol 250 mg 4 kali sehari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :

Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan

Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.

2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :

Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi

1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.

24
3. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H,

Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit

Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.

4. Anonim, 2006, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid,

Menkes RI, Jakarta.

5. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,

treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization,

2003;7-18.

6. Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. Diagnostic value of

dot-enzyme- immunoassay test to detect outer membrane protein antigen in

sera of patients with typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health

2001;32(3):507-12. [Abstract]

7. Soedarmo PS,Garna H, Hadinegoro SS, Satari IH. Demam Tifoid. Dalam

Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai