Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia
yang dilakukan secara berkelanjutan. Tujuan pembangunan tersebut dapat dicapai dengan
menyelenggarakan program pembangunan nasional secara berkelanjutan, terencana dan
terarah. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Visi
pembangunan nasional yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah
mewujudkan Indonesia sehat tahun 2010. Tujuan diselenggarakannya pembangunan
kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (Depkes RI, 2004).

Aging atau penuaan berhubungan dengan adanya dua fenomena, yaitu penurunan
fisiologik tubuh dan peningkatan terjadinya penyakit (Fowler, 2003). Dengan kata
lain, aging adalah suatu proses fisiologis yang akan di alami oleh semua mahluk hidup
(Wibowo, 2003).

Definisi aging menurut American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) adalah


kelemahan dan kegagalan fisik-mental yang berhubungan dengan aging normal disebabkan
oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran
yang tepat (Klatz, 2003). Anggapan dahulu bahwa menjadi tua memang hal yang wajar,
alamiah dan tidak bisa diintervensi, tetapi hal ini dipatahkan sejak penelitian Rudman
yang dipublikasikan bahwa menjadi tua adalah suatu penyakit yang bisa dicegah dan dalam
batas tertentu bisa disembuhkan (Djuanda, 2005).

Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa
secara khusus pada lansia.

1.2 Pernyataan Masalah


Memahami perkembangan usia lanjut (lansia) adalah bentuk pembelajaran sekaligus
pengorbanan pada orang tua karena usia lanjut bagi sebagian orang adalah salah satu hal yang
tidak diinginkan. Ada perasaan takut, takut merepotkan anak, tak bisa mengurus diri sendiri,
jadi pemicu masalah dan banyak hal lainnya.

Bagi setiap orang yang sedang mengalami proses perkembagan menuju usia lanjut
perlu memahami segala perubahan. Perubahan yang barangkali tidak dipahami dan tidak
disadari. Lansia akan membuat seseorang mengalami penurunan semua fungsi indera, lansia
juga akan menurunkan kemampuan motorik. Bagi orang-orang disekitarnya, yang memiliki
orangtua atau kakek dan nenek yang menapaki lansia juga perlu memahami perkembangan
mereka. Pemahaman tersebut akan sangat membantu mengurusi dan memberi perhatian lebih
pada anggota keluarga yang memasuki usia lanjut.

Oleh karena itu, menurut Havighurst (Hurlock, 1999) sebagian tugas perkembangan
usia lanjut (lansia) lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada
kehidupan orang lain. Memahami hal ini akan sangat bermanfaat untuk yang sedang
memasuki tahap perkembangan lansia. Hal itu juga akan sangat berguna bagi yang memiliki
anggota keluarga yang dalam masa lansia. Adapun tugas perkembangan tersebut antara lain:

1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah
dilakukan di dalam maupun di luar rumah. Mereka diharapkan untuk mencari kegiatan
sebagai pengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagaian besar waktu kala
mereka masih muda.

2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga

Pada usia ini, lansia sudah memasuki masa pensiun dan tidak bekerja lagi, sehingga
pemasukan yang ada hanya berasal dari dana pensiun maupun dari pemberian anak-anak
mereka.

3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

Sebagaian besar orang lansia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan
peristiwa kematian suami atau istri. Kejadian seperti ini lebih menjadi masalah dengan
peristiwa kematian suami atau istri. Dimana kematian suami berarti berkurangnya pendapatan
dan timbul bahaya karena hidup sendiri dan melakukan perubahan dalam aturan hidup.
4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sesuai

Pada lansia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka,
untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan anak yang tumbuh besar dan masa pensiun.
Walaupun begitu, tidak disarankan untuk menitipkan mereka ke panti jompo. Ini adalah
saatnya bagi orang-orang disekitarnya untuk merawat dan mengurangi rasa kesepiannya.
Membangun hubungan emosional dan sosial dengan mereka akan mengurangi rasa kesepian
yang kadang mereka rasakan.

5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

Menyadari bahwa menurunnya kesehatan dan fungsi-fungsi fisik, pada masa lansia
mereka berusaha untuk mempertahankan dan mengatur kegiatan sehari-hari yang
berhubungan dengan kesehatan, yaitu berolahraga maupun mengatur pola makan.

6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Pada lansia, individu mengalami perubahan peran. Dimana, para lansia mempunyai
pengalaman lebih daripada orang yang lebih muda, sehingga peran lansia biasanya diminta
untuk memberi pendapat, masukan ataupun kritikan, dan partisipasi lansia terhadap
kehidupan sosial. Pemberian peran tersebut akan membuat kesehatan fikir dan fisiknya akan
terjaga baik. Termasuk mengurangi percepatan kepikunan. Lansia (usia lanjut) akan dialami
oleh tiap orang. Masa itu adalah takdir yang tak bisa ditolak oleh siapapun. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap perkembangan lansia (lanjut usia) sangat bermanfaat merawat dan
memberi perhatian pada mereka. Juga akan berguna bagi kita nanti saat memasuki masa
lansia.

1.3 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai pada mini project ini, meliputi :

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Susu


terhadap kesehatan jiwa pada lansia sehingga dapat dilakukan bagaimana cara hidup
sehat, mencegah penyakit-penyakit degeneratif, bagaimana cara memperlakukan dan
merawat lansia, dll.
1.4 Manfaat
Manfaat pada mini project ini, adalah :

1. Bagi penulis, mini project ini menjadi pengalaman yang berguna dalam menerapkan
ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelum internship.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
tentang pentingnya memahami kesehatan pada lansia.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi lanjut usia
Lansia adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. ( Wahyu, 2009)
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya
penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan
jiwa secara khusus pada lansia.
Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang
mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut
aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial
yang menyertai kehidupan lansia. Diperkirakan Indonesia mulai tahun
1990 hingga 2023 lansia (umur 60 ke atas) akan meningkat hingga
41,4 % (geriatric and psychigeriatric workshop training for trainers,
2008) masalah yang paling banyak adalah demensia, delerium,
depresi, paranoid dan ansietas.
Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut
1. Menyesuaikan diri terhadap ketahanan dan kesehatan yang
berkurang.
2. Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya
pendapatan.
3. Menyesuaikan diri terhadap kemungkinan ditinggalkan pasangan
hidup
4. Mempertahankan kehidupan yang memuaskan dan mencari
makna hidup.
5. Menjaga hubungan baik dengan anak
6. Membina hubungan dengan teman sebaya dan berperan serta
dalam organisasi sosial

2.2. Batasan Umur pada Lanjut Usia


DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut:
1. Kelompok menjelang usia lanjut (45 - 54 tahun).
2. Kelompok usia lanjut (55 - 64 tahun).
3. Kelompok usia lanjut (65 tahun lebih ). (Farida, 2010)
Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Usia lanjut : 60 - 74 tahun
2. Usia Tua : 75 - 89 tahun
3. Usia sangat lanjut : > 90 tahun

2.3. Penyebab Gangguan Jiwa pada Lansia


1. Masalah keluarga
2. Masalah interpersonal
3. Penyakit
4. Masalah sosial. (Farida, 2010)

2.4. Masalah Psikososial yang Muncul pada Lansia

1. Depresi
a. Tanda dan gejala
Frekuensi tampak bertambah sesuai usia, meski laju relaps, yaitu
waktu antara dua episod depresi tampak berkurang. Frekuensi bunuh diri
juga naik tajam dengan penuaan. Namun ada bukti baik bahwa ciri
tertentu depresi, yaitu gangguan obsesional dan fobik berkurang dengan
penuaan.
Studi epidemiologik depresi pada manula diganggu oleh kebingungan
antara depresi dan demensia. Anggota keluarga pasien demensia sering
membawa pasien dengan keluhan utama depresi tanpa adanya gangguan
mood sejati apapun. Psikiater harus mengenali kurangnya bicara,
melambatnya gait (cara berjalan), mendatarnya afek dan turunnya minat
dalam dan keterlibatan dengan aktivitas sosial dan personal, yang
semuanya menunjukkan depresi pada pasien muda, bila tanpa disforia
jelas, pertanda demensia dini pada pasien tua. Penentuan kognitif yang
akan menentukan defisit pada demensia, bila sesuai, dapat membuat
lebih jelas diagnosa demensia.
Depresi dapat terjadi bersamaan dengan demensia dan merupakan
konkomitan sering dari stadium awal penyakit Alzheimer (stadium 3-5
pada Global Deterioration Scale). Bila depresi terjadi dalam konteks
penyakit Alzheimer, gejala tersering adalah berlinang air mata, yang
sering disertai tanda awal gangguan tidur khas, kecurigaan, cemas, dan
agitasi, yang membentuk sindrom perilaku dari penyakit Alzheimer. Gejala
lain, yang mengingatkan pada depresi dalam konteks lain, dapat terjadi
pada sindrom depresif dari penyakit Alzheimer, termasuk keluhan
somatik dan perilaku obsesif. Disforia pervasif relative jarang sekali dan
pasien Alzheimer dengan depresi sangat jarang menunjukkan perilaku
bunuh diri. Pernyataan maneristik seperti saya berharap saya mati,
sering ditemukan pada penyakit Alzheimer, tapi pernyataan itu tidak
disertai rencana bunuh diri, sikap atau tindakan kea arah itu.
Berbeda dengan psikosis, depresi tampak tak pernah terjadi pada
stadium lebih lanjut dari penyakit Alzheimer, meski sering merupakan
manifestasi paling awal dari penyakit itu dan dapat mendahului gejala
kognitif sejauh banyak bulan atau tahun.
Depresi juga sering terjadi bersama infark atau cidera otak lain,
dengan atau tanpa demensia serentak. Patologi yang menimpa regio otak
frontal dipercayai khususnya terkait dengan simtomatologi afektif. Depresi
berkaitan dengan infark otak secara khas berkaitan dengan inkontinensia
emosional, yaitu episod mendadak menangis tanpa disforia pervasive,
konsisten, atau afektif.
Selain demensia dan trauma otak jelas, depresi pada manula sering
disebabkan oleh patologi fisik dengan etiologi beraneka. Misal, gangguan
elektrolit akibat diuretik saja atau bersamaan dengan obat lain dapat
menyebabkan presentasi gangguan mood, juga defisiensi vitamin B12
akibat malabsorpsi yang mungkin berkaitan dengan operasi saluran
cerna.
b. Terapi
Penyakit depresi primer (idiopatik) pada manula bersifat serius dan dalam
banyak hal merupakan keadaaan yang mengancam nyawa. Cara terapi
yang harus diberikan prioritas meliputi antidepresan, ECT, dan MAO-
inhibitor. (Harold, 1994)
1) Anti-depresan
Semakin luas jenisnya, semuanya berpotensi berguna bagi manula.
Diantaranya paling disukai untuk manula adalah amina sekunder,
termasuk desipramin dan nortriptilin, sebagian karena mareka kurang
menimbulkan hipotensi dari pada amina tersier. Desipramin sangat
rendah efek samping antikolinergiknya dibandingkan antidepresan lain
umumnya, ini menguntungkan karena manula diketahui kurang aktif
fungsi neurotransmitter kolinergik dan dipercaya khususnya peka
terhadap efek samping antikolinergik. Nortriptilin jgua sering di anggap
obat terpilih untuk manula karena mampu dipantau jendela terapeutik
berupa kadar darah berhubungan dengan reaksi klinis. Fluoxetin dan
bupropion dapat berguna khususnya pada manula karena berefek
samping antikolenergik minimal. (Harold, 1994)
2) ECT
Dapat menjadi terapi terpilih untuk depresi pada manula, khususnya
jika faktor jantung membatasi atau memustahilkan obat antidepresen
atau jika penolakan makan merupakan ancaman akut bahkan masalah
mengancam jiwa.Risiko ECT sangat rendah dan sering kurang dari
farmakoterapi. Setiap risiko terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko
depresi, terhadap status mental pasien dan setiap resiko bunuh diri.
(Harold, 1994)
3) MAOI
Aman untuk manula bila diberikan dengan kewaspadaan lazim. Pada
manula, terapi depresi akibat penyakit lain tidak berbeda jauh dari terapi
depresi idiopatik kecuali bahwa terapi gangguan yang mendasari, jika
mungkin, dapat mendahului atau mengesampingkan perlunya menterapi
gejala afektifnya secara lebih langsung. Bila depresi dan demensia terjadi
bersamaan, terapi depresi mungkin dapat atau tidak mengakibatkan
resolusi gangguan kognitif. Meski jika gangguan kognitif remisi
seluruhnya, pada sekitar separuh kasus itu, gejala dini kehilangan kognitif
akan jelas lagi dalam sekitar 2-3 tahun. (Harold, 1994)

2. Gangguan mania dan bipolar


Angka relaps mania dan gangguan bipolar bertambah dengan usia.
Panjang rata-rata episode morbid minimal sama pada pasien tua
dibandingkan yang lebih muda. Kebanyakan kasus penyakit bipolar mulai
sebelum usia 50, kemunculan sesudah usia 65 dianggap tak lazim. Bila
suatu episode manik terjadi untuk pertama kalinya sesudah usia 65, harus
dicurigai adanya patofisiologik (organik) etiologik mencolok. Kemungkinan
etiologi termasuk efek samping obat atau demensia konkomitan.
Pemakaian litium pada manula lebih berbahaya karena sering
timbulnya morbiditas berkaitan dengan usia dan perubahan faali. Litium
diekskesi oleh ren dan bersihan renal yang menurun dan / atau penyakit
renal dapat menaikkan resiko keracunan. Diuretik tiazid menurunkan
bersihan renal terhadap litium dan akibatnya pemakaian serentak obat-
obat itu dapat memerlukan penyesuaian dosis litium. Obat lain dapat juga
mengganggu bersihan litium. Litium dapat menimbulkan efek SSP yang
mungkin lebih peka bagi manula. Karena faktor-faktor ini, pemantauan
kadar serum yang lebih sering dianjurkan bagi manula. (Harold, 1994)

3. Skizofrenia, status paranoid, dan psikosis kehidupan lanjut lain


a. Tanda dan gejala
Pemasukan awal ke rumah sakit jiwa untuk skizofren memuncak dari
usia 25 hingga 34 dan relatif jarang sesudah usia 65. Psikosis paranoid
dari aneka etiologi umumnya timbul pada pasien tua, termasuk banyak
pasien tua tanpa riwayat psikopatologi berarti pramorbid. Defisit sensorik
tampak merupakan predisposisi terhadap psikosis paranoid pada sebagian
pasien manula.
Pada yang lainnya, CVD atau demensia berkaitan dengan munculnya
patologi. Obat atau kausa patofisiologik lain harus digali dengan hati-hati
pada semua kasus. Temuan mutakhir menunjukkan bahwa paranoid dan
psikosis delusional pada kasus tertentu mungkin menjadi sebab demensia
degeneratif primer tipe Alzheimer. Pada kasus lain, status ini mungkin
berkaitan dengan faktor serebrovaskular yang tidak selalu jelas
berdasarkan temuan klinis atau neuroimaging. Perubahan
neurotransmitter berkaitan dengan penuaan dapat juga menjadi
predisposisi psikosis pada manula.
Secara lebih spesifik, pada manula penurunan aneka sistem
neurotransmitter telah ditunjukkan secara meyakinkan. Misalnya terdapat
penurunan fungsi dopaminergik berkaitan dengan kehilangan sel
berkaitan usia pada substansia nigra, dengan atau tanpa gejala
parkinsonian jelas. Juga terdapat perubahan berkaitan usia pada fungsi
noradrenergik berkaitan dengan bukti fisik kehilangan sel di lokus
seruleus. Demikian juga, perubahan sistem neurotransmitter kolinergik
berkaitan-usia terjadi berkaitan dengan turunnya aktivitas enzim
asetiltransferase kolin. Secara keseluruhan, perubahan neurokimia SSP ini
semua mengakibatkan penetapan ulang imbangan (resetting)
neurotransmitter SSP, dan dalam banyak hal perubahan itu dapat menjadi
predisposisi bagi psikosis pada manula. (Harold, 1994)
b. Terapi
Perubahan system neurotransmitter SSP manula tampak berperan
besar, baik dalam etiologi maupun terapi psikosis. Pada umumnya psikosis
pada manula sering bereaksi terhadap dosis obat yang jauh lebih rendah
dibandingkan psikosis pada pasien lebih muda. Manula juga jauh lebih
peka terhadap banyak efek samping obat antipsikotik dibandingkan
pasien lebih muda. (Harold, 1994)

4. Gangguan ingatan berkaitan usia, penyakit Alzheimer, dan gangguan


demensia lain.
Perubahan kognisi adalah termasuk yang paling sering dan penting
(dalam hal morbiditas, mortalitas dan dampak terhadap anggota keluarga
dan masyarakat umumnya) daripada kondisi medis berkaitan dengan
usia. (Harold, 1994)
a. Penyakit Alzheimer
Perubahan kognisi pada penuaan normal dan pada penyakit
Alzheimer progresif terjadi dalam kesinambungan.
1). Stadium satu : normal : tanpa bukti objektif atau subjektif penurunan
kognitif.
2). Stadium dua : normal untuk usia : keluhan subjektif penurunan kognitif.
Umumnya klien lebih dari 65 mengeluh subjektif tak mengingat hal
seperti nama dan lokasi objek seperti halnya 5-10 tahun silam.
3). Stadium tiga : kompatibel dengan penyakit alzheimer insipien : bukti
samar penurunan objektif dalam tugas sosial atau pekerjaan kompleks.
4). Stadium empat : penyakit alzheimer ringan : defisit muncul jelas pada
wawancara klinis yang cermat.
5). Stadium lima : penyakit alzheimer sedang : defisit cukup berat hingga
pasien tak lagi dapat hidup lebih lama tanpa bantuan.
6). Stadium enam : penyakit alzheimer berat sedang : defisit cukup besar
hingga butuh bantuan dalam hal aktivitas kehidupan dasar sehari-hari.
7). Stadium tujuh : penyakit alzheimer berat : defisit cukup berat hingga
butuh bantuan terus menerus dalam aktivitas sehari-hari.

b. Demensia multi infark


Ini mrupakan sebab utama kedua dari demensia pada manula. Itu
paling sering terjadi bersamaan dengan penyakit Alzheimer. Studi patologi
klasik menunjukkan sekitar 50% kasus demensia yang di autopsi
berkaitan dengan penyakit Alzheimer saja, 25% dengan penyakit
Alzheimer berkaitan dengan faktor serebrovaskular, dan 15% dengan
demensia multi infark tanpa bukti neuropatologik penyakit Alzheimer.
c. Gangguan demensia lain dan diagnosis banding demensia
Kausa demensia lain termasuk penyakit pick, penyakit creutzfeldt-
jakob, korea huntington, demensia terkait alkohol (demensia Korsakoff),
hidrosefalus tekanan normal, dan demensia akibat aneka gangguan faali.
1) Penyakit pick adalah demensia degeneratif yang sulit dibedakan secara
klinis dari penyakit alzeimer. Secara neuropatologis, itu berbeda karena
hasil pemeriksaan autopsi otak menunjukan badan pick dan bukan
karakteristik berkas neurofibrilar, plakat senil, atau degenerasi
granulovaskular dari penyakit alzeimer. Penyakit pick juga cenderung
mengenai regio frontal otak, sedang alzeimer jauh lebih difus. Penyakit
pick berdistribusi usia lebih muda daripada alzheimer, menimbulkan jauh
lebih banyak demensia pada dekade keenam. Secara klinis, penyakit pick
tampak di tandai gambaran yang lebih ke lobus frontal daripada penyakit
alzheimer. Tak ada terapi untuk penyakit pick.
2) Penyakit creutzfeldt-jakob adalah kondisi yang langka menimpa sekitar
satu per sejuta orang bervariasi dan akut. Seringkali penyakit ini
dibedakan dari penyakit alzhemier yang mungkin lebih cepat
perjalannanya atau berdasarkan patologi neural, vokal dan terlokaliasasi.
3) Korea-huntington dapat tampil dengan ganguan demensia sebelum
munculnmya patologi koreiform.
4) Hidrosefalus tekanan normal ditandai oleh gangguan berjalan
inkontinensi uri, temuan neuro radiologi dan timbulnya relatif dini.
5) Demensia akibat gangguan faali beragam. Temuan positif dari salah satu
studi ini harus di interpretasi oleh klinisi mereka mungkin menunjukan
suatu etiologi primer demensia yang mungkin dapat diobati, mereka
mungkin pertanda tambahan rudapaksa dalam konteks demenseia
degeneratif. (Harold, 1994)

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan
jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak
sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat
mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology),
misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi
makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum kondisi
fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan
secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau
kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang
sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan
kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada
usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya.Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan
baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung,
gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai
operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan
kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-
obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer. Faktor
psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada
lansia
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat
oleh tradisi dan budaya.
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan
jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan sebagainya.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain
sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat.
Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga
mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan
kepribadian lansia.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati
hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering
diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri.
Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari
model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Makin meningkatnya jumlah manula dalam masyarakat telah
melahirkan sejumlah penelitian psikologis tentang kemampuan orang
lanjut usia. Penelitian ini telah mengukuhkan bahwa orang lanjut usia
cenderung lebih lamban dalam pemahaman mental dan kurang mampu
melakukan tugas-tugas yang menuntut ia mempelajari hal-hal baru.

F. Gangguan Jiwa pada Usia Lanjut


1. Delirium.
Merupakan Sindrom Otak Organik (SOO), yang ditandai dengan
fluktuasi kesadaran, apatis, somnolen, spoor, koma, sensitif, gangguan
proses berpikir. Konsentrasi pada lanjut usia akan mengalami
kebingungan dan persepsi halusinasi visual (pada umumnya). Psikomotor
akan mengikuti gangguan berpikir dan halusinasi
2. Psikosa pada lansia
Gejala gejala : awalnya idea of reference, waham, terkadang
sebagai penyerta demensia, premorbid, schizofrenia
3. Abuse pada lansia
Tindakan yang disengaja atau kelalaian terhadap lansia baik dalam
bentuk malnutrisi, fisik/tenaga atau luka fisik, psikologis oleh orang lain
yang disebabkan adanya kegagalan pemberian asuhan nutrisi, pakaian,
pengawasan, pelayanan medis, rehabilitasi, dan perlindungan yang
dibutuhkan.
Abuse, suatu tindakan kekerasan yang disengaja seperti kekerasan
fisik, mental dan psikologi, serta jenis penyiksaan lainnya yang tidak
dibenarkan
Neglect, suatu keadaan di ana lansia yang tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan sendiri tidak mendapatkan bantuan dari keluarga
maupun pemberi asuhan (caregiver)
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan sebagai berikut
a. primer : pendekatan kepada komunitas/lingkunganpeberi dukungan pada
lansia, memperkuat koping individu dan keluarga, pola sehat lingkungan,
melihat tanda-tanda risiko tinggi.
b. sekunder : diskusi,komunikasi yang efektif dengan keluarga
c. tersier : tidak menoleransi kekerasan, mengharagai dan peduli pada
anggota keluarga, memprioritaskan kepada keamanan, tulus secara utuh
dan pendayagunaan. (Farida, 2010)
4. Gangguan demensia
Faktor resiko demensia yang sudah diketahui adalah usia, riwayat
keluarga, dan jenis kelamin wanita. Perubahan khas pada demensia
terjadi pada kognisi, memori, bahasa, dan kemampuan visuospasial, tapi
gangguan perilaku juga sering ditemui, termasuk agitasi, restlessness,
wandering, kemarahan, kekerasan, suka berteriak, impulsif, gangguan
tidur, dan waham.
5. Gangguan depresi
Gejala yang sering muncul pada gangguan depresif adalah
menurunnya konsentrasi dan fisik, gangguan tidur (khususnya bangun
pagi terlalu cepat dan sering terbangun(multiple awakenings), nafsu
makan menurun, penurunan berat badan, dan masalah-masalah pada
tubuh.
6. Gangguan kecemasan
Termasuk gangguan panik, ketakutan (fobia), gangguan obsesif-
kompulsif, gangguan kecemasan yang menyeluruh, gangguan stres akut,
dan gangguan stres pasca trauma.
Tanda dan gejala ketakutan (fobia) pada lansia tidak seberat
daripada yang lebih muda, tetapi efeknya sama. Gangguan kecemasan
mulai muncul pada masa remaja awal atau pertengahan, tetapi beberapa
dapat muncul pertama kali setelah usia 60 tahun.
Pengobatan harus disesuaikan dengan penderita dan harus
diperhitungkan pengaruh biopsikososial yang menghasilkan gangguan.
Farmakoterapi dan psikoterapi dibutuhkan.

G. Pendekatan Perawatan Lanjut Usia


1. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan,
kejadian-kejadian yang dialami klien lanjut usia semasa hidupnya,
perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bias di
capai dan dikembangkan, dan penyakit yang yang dapat dicegah atau
ditekan progresifitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut
usia dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
a. Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-
hari masih mampu melakukan sendiri.
b. Klien lanjut usia yang pasif atau yang tidak dapat bangun, yang keadaan
fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui
dasar perawatan klien usia lanjut ini terutama tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk mempertahankan
kesehatannya.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah
timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila
keberhasilan kurang mendapat perhatian.
Disamping itu kemunduran kondisi fisik akibat proses penuaan, dapat
mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan
infeksi dari luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan
bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan
badan, kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi
tidurnya, hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindahdari tempat
tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting meskipun tidak selalu
keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala yang ditemukan
memerlukan perawatan, tidak jarang pada klien lanjut usia dihadapkan
pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat
dan intensif, misalnya gangguan serebrovaskuler mendadak, trauma,
intoksikasi dan kejang-kejang, untuk itu perlu pengamatan secermat
mungkin.
Adapun komponen pendekatan fisik yang lebuh mendasar adalah
memperhatikan atau membantu para klien lanjut usia untuk bernafas
dengan lancar, makan, minum, melakukan eliminasi, tidur, menjaga sikap
tubuh waktu berjalan, tidur, menjaga sikap, tubuh waktu berjalan, duduk,
merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan
menukar pakaian, mempertahankan suhu badan melindungi kulit dan
kecelakaan.Toleransi terhadap kakurangan O2 sangat menurun pada klien
lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus disegah
dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan melakukan gerak
badan yang berlebihan.
Seorang perawat harus mampu memotivasi para klien lanjut usia agar
mau dan menerima makanan yang disajikan. Kurangnya kemampuan
mengunyah sering dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan. Untuk
mengatasi masalah ini adalah dengan menghidangkan makanan agak
lunak atau memakai gigi palsu. Waktu makan yang teratur, menu
bervariasi dan bergizi, makanan yang serasi dan suasana yang
menyenangkan dapat menambah selera makan, bila ada penyakit
tertentu perawat harus mengatur makanan mereka sesuai dengan diet
yang dianjurkan.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah
timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi bisa saja timbul bila
kebersihan kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, kebersihan
badan, tempat tidur, kebersihan rambut, kuku dan mulut atau gigi perlu
mendapat perhatian perawatan karena semua itu akan mempengaruhi
kesehatan klien lanjut usia.
Perawat perlu mengadakan pemeriksaan kesehatan, hal ini harus
dilakukan kepada klien lanjut usia yang diduga menderita penyakit
tertentu atau secara berkala bila memperlihatkan kelainan, misalnya:
batuk, pilek, dsb. Perawat perlu memberikan penjelasan dan penyuluhan
kesehatan, jika ada keluhan insomnia, harus dicari penyebabnya,
kemudian mengkomunikasikan dengan mereka tentang cara
pemecahannya. Perawat harus mendekatkan diri dengan klien lanjut usia
membimbing dengan sabar dan ramah, sambil bertanya apa keluhan yang
dirasakan, bagaimana tentang tidur, makan, apakah obat sudah
dimminum, apakah mereka bisa melaksanakan ibadah dsb. Sentuhan
(misalnya genggaman tangan) terkadang sangat berarti buat mereka.
2. Pendekatan psikis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan
pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan
sebagai supporter , interpreter terhadap segala sesuatu yang asing,
sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang
akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam
memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima
berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat
harus selalu memegang prinsip Tripple, yaitu sabar, simpatik dan
service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta
kasih sayang dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan
perawatan.. Untuk itu perawat harus selalu menciptakan suasana yang
aman , tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam
batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut
usia dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa , rendah diri,
rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan
yang dideritanya.
Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena
bersama dengan semakin lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini
meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa
yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan, peningkatan
kewaspadaan , perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk
tiduran diwaktu siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau yang
membosankan, jangan menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila
lupa melakukan kesalahan . Harus diingat kemunduran ingatan jangan
dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka
terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara perlahan lahan
dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah
pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak
menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini
mereka puas dan bahagia.
3. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah
satu upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan
sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu pegangan
bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang
membutuhkan orang lain.
Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para
lanjut usia untuk mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal
jalan pagi, nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur
terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang
dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau
kekhawatiran, dan rasa kecemasan.
Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut
usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak
dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai
hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas
yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial
bagi lanjut usia di Panti Werda.
4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin
dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnua dalam
kedaan sakit atau mendeteksi kematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang
menghadapi kematian, DR. Tony styobuhi mengemukakan bahwa maut
sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh
berbagai macam factor, seperti ketidak pastian akan pengalaman
selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi bengan
keluatga dan lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap
klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari
kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan
yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat
meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun kelurga tadi di tinggalkan , masih
ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu
menghantui pikiran lanjut usia.
Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau
kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada
waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan
dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan
hanya terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan
pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
Daftar Pustaka

Kaplan, Harold I & Benjamin J. Sadock. 1994. Buku Saku Psikiatri Klinik. Jakarta:
Binapura Aksara.
Kusumawati, Farida & Yudi Hartono. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Damaiyanti, Mukhripah & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatn Jiwa. Bandung:
Refika Aditama.
Maramis, W.F. 1994. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Maryam, R. Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Purwaningsih, Wahyu & Ina Karlina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakartaa
: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai