PERSALINAN DENGAN
DISTOSIA BAHU
Pembimbing :
dr.Yedi Fourdina Sukardi, SpOG.
Disusun Oleh :
Shabira Aliyah, S.Ked
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang . 3
DAFTAR PUSTAKA 25
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Angka kejadian distosia bahu menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) adalah 0,6-1,4%. Namun angka
kejadian ini bervariasi mulai dari 1 dalam 750 kelahiran hingga 1 dalam 15
kelahiran (Sokol & Blackwell, 2003 dan Poggi dkk, 2004). Salah satu alasan
utama variasi ini adalah kesulitan dalam diagnosis dan adanya kasus distosia
bahu yang tidak dilaporkan karena kondisinya yang bersifat ringan dan dapat
ditangani dengan outcome yang menguntungkan (Allen & Gurewitsch, 2010).
Bahkan kejadian distosia bahu diperkirakan bisa lebih tinggi lagi karena tidak
pernah dilaporkan oleh dokter atau bidan yang menolong persalinan karena
pertimbangan litigasi (Cluver & Hofmeyr, 2009).
Angka kejadian distosia bahu juga bervariasi berdasarkan berat bayi
yang dilahirkan, dimana 0,6-1,4% terjadi pada bayi dengan berat 2500-4000
gram, dan meningkat hingga 5-9% pada bayi dengan berat 4000-4500 gram
dari ibu tanpa diabetes. Distosia bahu tidak dipengaruhi oleh status wanita
yang primigravida maupun dengan multigravida, meskipun lebih sering
terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes (Sokol & Blackwell,
2003), dimana sebesar 16/1000 kelahiran sering berhubungan dengan obesitas
dan kontrol yang buruk terhadap diabetesnya (SOGC, 2005).
Diperkirakan angka kejadian distosia bahu akan terus meningkat, yang
kemungkinan bisa disebabkan oleh adanya wanita yang memiliki anak pada
usia reproduksi lanjut dan juga tingkat obesitas yang semakin meningkat
(Cluver & Hofmeyr, 2009).
Distosia bahu mempunyai kemungkinan berulang sebesar 10-15%,
dimana wanita dengan riwayat persalinan distosia bahu yang mengakibatkan
cedera pada bayi yang dilahirkannya mempunyai resiko lebih besar berulang
pada persalinan selanjutnya (Lerner, 2004). Sehingga informasi adanya
persalinan dengan distosia bahu perlu disampaikan kepada wanita hamil
untuk memudahkan perencanaan persalinan pada kehamilan selanjutnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
4
Gambar 2. Anatomi Pelvis
5
bahu. Tulang sacrum tidak memiliki tonjolan seperti tulang pubis sehingga kecil
kemungkinannya untuk menghalangi turunnya bahu posterior bayi.
Ukuran relative dari kepala, bahu dan bahu bayi dibandingkan bentuk dan
ukuran pelis ibu dapat menentukan kemudahan dalam persalinan. Pada umumnya
diameter kepala merupakan diameter terbesar dibandingkan dengan diameter
lainnya. Sehingga jika kepala lahir secara mudah makabagian tubuh yang lain dapat
melewati panggul dengan mudah pula. Terdapat beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan distosia bahu yaitu ukuran axis bahu yang lebih besar dibandingkan
diameter terbesar dari kepala. Risiko tersebut lebih sering terjadi pada bayi
makrosimia atau bayi dengan ibu penderita diabetes.
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu
untuk melipat kedalam panggul (mis. Pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif
dan persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan
kepala yang terlalu tepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada saat
melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah
mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu berhasil melipat masuk ke dalam
panggul.
1. Preconceptual
a. Riwayat Distosia Bahu
Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu terbukti sebagai
prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini dikarenakan
beberapa hal antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak akan berubah
selama hamil, sedangkan kecenderungan bayi kedua akan lebih besar
dibandingkan bayi sebelumnya.
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu akan kembali
terjadi pada wanita dengan riwayat distosia bahu sebesar 11,9% (Gherman,
2002). Risiko akan meningkat sampai 20 kali lipat, sehingga beberapa dokter
kandungan mengusulkan, jika sekali terjadi distosia bahu, maka berikutnya
harus menggunakan sesar.
b. Obesitas
Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu. Emerson (1962)
6
menunjukkan bahwa kejadian distosia bahu pada wanita obesitas dua kali
lebih sering dibandingkan dengan wanita berat badan normal yaitu sebesar
1,78% : 0,81%. Sandmire (1988) memperkirakan risiko relatif pafa wanita
sebelum hamil dengan berat bedan 82 kg adalah 2,3.
Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek primer dari
wanita obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas cenderung
memiliki bayi yang besar pula. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan
penelitian mengenai kejadian distosia bahu dikaitkan dengan berat badan ibu
dan bayi.
c. Usia Ibu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan salah satu
risiko terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis mengatakan bahwa
usia ibu berhubungan dengan faktor risiko lain dalam distosia bahu
meliputi ibu obesitas dan diabetes. Bahar (1996) tidak menemukan
perbedaan kejadian distosia bahu berdasarkan umur ibu.
d. Multiparitas
Acker (1988) menyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan Erb Palsy
dilahirkan dari seorang multipara. Data diambil dari RS Beth Israel selama
tahun 1975-1985. Akan tetapi sebagaian ahli berpendapat bahwa
2. Ante Partum
a. Makrosomia
Makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram. Hal
penting yang perlu diperhatikan pada bayi makrosomia adalah laju
pertumbuhan dari kepala, dada dan tubuh janin. Sampai usia kehamilan 36-
38 minggum kepala bayi secara umum tetap lebih besar dibandingkan
tubuhnya. Akan tetapi pada usia kehamilan 36-40 minggu, pertumbuhhan
bahu, dada dan perut akan lebih besar dibandingkan kepala bayi. Acker
(1985) menyatakan bahwa bayi dengan berat lebih dari 4500 gram, 22,6%
akan mengalami distosia bahu. Lebih dari 70% bayi yang mengalami distosia
bahu memiliki berat badan lebih dari 4000 gram.
7
b. Diabetes
Sandmire (1988) menemukan risiko relatif untuk distosia bahu dari bayi
dengan ibu diabetes sebesar 6,5 dibandingkan dengan ibu nondiabetes. Ada
dua alasan utama untuk korelasi ini antara diabetes dan distosia bahu. Di
tempat pertama, diabetes dalam kehamilan menunjukkan korelasi sangat kuat
dengan makrosomia. Pertumbuhan bayi diabetes tidak hanya mewakili
potensi genetik mereka dalam pertumbuhan tetapi juga mencerminkan
penurunan dari substrat glukosa ekstra pada tubuh ibu dan bayi.
Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, sifat pertumbuhan janin
berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak merata antara kepala dan
batang seperti pada bayi nondiabetes. Sebaliknya, bayi dari ibu diabetes
menunjukkan pola pertumbuhan yang lebih besar pada bahu, dada, dan
pertumbuhan perut. Seperti yang diringkas Ellis dalam 1982: "Bayi
dari ibu diabetes memiliki konfigurasi tubuh yang berbeda dengan bayi dari
seorang ibu nondiabetes. Peningkatan deposisi lemak pada berbagai organ
mungkin karena untuk meningkatkan sekresi insulin dalam menanggapi
hiperglikemia."
c. Berat Badan Ibu
Data yang menghubungkan berat badan ibu dengan berat lahir janin masih
kontroversial. Abrams (1995) dan Langhoff-Roos (1987) keduanya
menunjukkan bahwa total berat badan ibu secara signifikan berkorelasi
dengan kelahiran bayi berat badan. Dawes (1991) tidak bisa
mengkonfirmasi hal tersebut. Tidak ada perbedaan jelas dalam korelasi
antara kenaikan berat badan ibu dan berat badan lahir.
Selain itu, beberapa peneliti telah melaporkan informasi yang saling
bertentangan untuk efek pola kenaikan berat badan ibu terhadap janin
terutama berat badan. Beberapa penelitian telah menemukan kenaikan berat
badan pada trimester kedua sebagai faktor utama sedangkan yang lain
telah menemukan bahwa kenaikan berat badan pada trimester
terakhir adalah faktor yang paling penting.
d. Jenis Kelamin Bayi
Terdapat sedikit data yang menghubungkan jenis kelamin dengan janin
makrosomia dan distosia bahu. Meskipun pada bayi laki-laki rata-rata sedikit
lebih berat daripada perempuan, tidak ada data yang menunjukkan jumlah
8
signifikan kejadian makrosomia lebih tinggi pada bayi laki-laki dibandingkan
bayi perempuan.
Resnick 1980 menyebutkan jenis kelamin janin sebagai faktor potensi tetapi
tidak menyediakan data untuk mendukung klaimnya. El Madany (1990)
menunjukkan bahwa 59,2% bayi mengalami distosia bahu adalah laki-laki,
data tersebut signifikan secara statistik tetapi tidak bernilai sebagai prediktor
klinis.
e. Bayi Serotinus
Meskipun pertumbuhan janin melambat dalam beberapa minggu terakhir
kehamilan, masih terdapat beberapa pertumbuhan terus selama kehamilan.
Jadi ketika bayi tetap dalam rahim, akan semakin besar bayi dan akan
semakin besar risiko distosia bahu.
3. Intra Partum
a. Instrumen Persalinan
Beberapa studi telah dengan jelas menunjukkan bahwa persalinan yang
berakhir pada instrumen yaitu vakum atau forsep menunjukkan
tingkat lebih tinggi distosia bahu pada setiap kelompok berat badan janin.
Dengan demikian jelas bahwa persalinan dengan instrumen memiliki risiko
tinggi terjadi distosia bahu dan cedera pleksus brakialis. Ini juga mungkin
bahwa ketidakmampuan ibu untuk mendorong bayi keluar tanpa bantuan
adalah karena janin makrosomia atau distribusi lemak antara kepala, dada,
bahu, dan perut bayi yang merupakan faktor risiko utama untuk distosia
bahu.
b. Pengalaman Penolong Persalinan
Sejak cara mengatasi yang aman dari distosia bahu melibatkan manuver
spesifik kandungan dan karena distosia bahu relatif jarang terjadi, akan
terlihat praktisi yang lebih berpengalaman memiliki hasil lebih baik dalam
situasi ini. Namun data tidak mendukung keyakinan ini. Acker (1988)
melakukan penelitian tentang hubungan antara pengalaman dokter dan
kejadian distosia bahu. Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa jumlah
Erb palsy yang dikarenakan distosia bahu tidak bervariasi antara dokter
ataupun dokter yang sedang menjalani pendidikan. Sebagian besar dokter
tidak mendapatkan keahlian dan kepercayaan diri untuk mengatasi distosia
bahu
9
karena insidensi nya yang jarang.
c. Oksitosin dan Anestesi
Tidak terdapat korelasi independen antara penggunaan oksitosin ataupun
anestesi dengan kejadian distosia bahu. Oksitosin umumnya digunakan untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi rahim. Sejauh bahwa oksitosin digunakan
lebih sering pada ibu dengan bayi makrosomia, mungkin memiliki korelasi
sekunder dengan persalinan distosia bahu. Tetapi tidak ada data yang
menghubungkan oksitosin digunakan dengan kejadian distosia bahu
secara independen. Demikian juga dengan anestesi, tidak ada laporan
tentang peningkatan distosia bahu dengan adanya tindakan anestesi pada
persalinan.
1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi yang
cukup untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir
2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum
ibu setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor kura-
kura yang menarik kepala kembali ke cangkangnya. Peenarikan kepala bayi
ini dikarenakan bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga
mencegang lahirnya tubuh bayi.
1. Janin
Setelah persalinan dengan distosia bahu, 20% bayi akan mengalami
beberapa cedera sementara ataupun permanen. Cedera yang paling sering
terjadi antara lain cedera pleksus brakhialis, fraktur tulang klavikula dan
10
humerus, kontusio, laserasi dan kelahiran dengan asfiksia.
a. Cedera Pleksus Brakhialis
Pleksus brakhialis berasal dari nervis C5-C8 sampai dengan T1.
Cedera pada pleksus brakhialis dapat terletak di bagian atas atau
bawah dari pleksus tersebut. Hal ini biasanya terjadi akibat
traksi pleksus brakhialis ke bawah pada pelahiran bahu depan.
Erb palsy, terjadi akibat cedera pada saraf spinalis C5-6 dan
terkadang juga C7. Kelainan ini terdiri atas paralisis otot-otot
bahu dan lengan atas yang mengakibatkan lengan atas
menggantung yang dapat mencapai siku. Keterlibatan saraf-
saraf spinal bawah (C7-T1) selalu melibatkan cedera pada
saraf di atasnya dan menyebabkan kecacatan termasuk pada
11
Gambar 5. Cedera Pleksus Brakhialis
b. Fraktur Klavikula
Cedera kedua yang sering terjadi adalah fraktur klavikula. Insidensinya
mecapai 10% dari semua kelahiran dengan distosia bahu. Jika bahu dan
dada bayi lebih besar dibandingkan panggul ibu, tekanan yang
signifikan terjadi untuk mengeluarkan kepala bayi. Pada beberapa bayi,
tekanan tersebut dapat menyebabkan fraktur klavikula, hal ini dapat
mengurangi diameter dada dan bahu agar dapat dilahirkan. Secara tidak
langsung, kejadin tersebut dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pleksus brakhialis. Fraktur
klavikula terjadi pada 0,3% kelahiran. Fraktur klavikula relatif sering
terjadi dan telah didiagnosis pada 0,4% bayi yang dilahirkan per
vaginam di Parkland Hospital (Roberts et al, 1995). Fraktur jenis ini,
meski terkadang dihubungkan dengan distosia bahu, sering terjadi
tanpa kejadian klinis apapun yang mencurigakan. Distosia bahu
meningkatkan risiko sampai dengan 30 kali lipat terjadinya fraktur
klavikula. Akan tetapi, sekitar 75% kasus fraktur klavikula tidak
berhubungan dengan distosia bahu. Para peneliti menyimpulkan bahwa
fraktur klavikula tersendiri tidak dapat dihindari dan diramalkan serta
tidak memiliki konsekuensi klinis apapun (Chez et al, 1994; Roberts et
al, 1995).
c. Fraktur Humerus
Fraktur humerus terjadi kira-kira 4% dari bayi yang lahir dengan
distosia bahu. Fraktur humerus dapat sembuh dengan cepat sehingga
12
d. Kontusio
Kontusio selama persalinan dengan distosia bahu dapat terjadi, bahkan
pada persalinan normal. Tekanan yang digunakan untuk melahirkan
tangan dan tekanan oleh tulang pubis dapat menyebabkannya.
e. Asfiksia Bayi
Komplikasi distosia bahu yang paling ditakuti adalah asfiksia bayi. Dalam
beberapa percobaan pada binatang dan penelitian retrospektif, dinyatakan
bahwa berhentinya suplai aliran darah dari tali pusat ke bayi (tali pusat
putus atau rupture uteri), jika bayi tidak dilahirkan dalam waktu lima
sampai sepuluh menit maka akan terjadi kerusakan saraf ireversibel atau
kematian. Wood, yang dikutip dalam artikelnya pada tahun 1993,
menyatakan bahwa ketika melahirkan kepala dan tubuh bayu, pH arteri
umbilikus turun sebesar 0,04 unit per menit. Ini berarti bahwadalam lima
menit setelah melahirkan kepala, pH bayi dapat turun dari 7,2 sampai ke
level 7,0 yang didefinisikan sebagai asfiksia. Setelah 10 menit, pH akan
turun kembali menjadi 6,8. Ouzounian (1998) melaporkan bahwa dari 39
bayi yang dilahirkan dengan distosia bahu, 15 diantaranya mengalami
kerusakan otak dengan waktu rata-rata melahirkan kepala ke bahu dalam
waktu 10,6 menit. Sedangkan 24 bayi yang lahir dengan distosia bahu
tanpa kerusakan otak dapat melahirkan
kepala ke bahu bayu dalam rata-rata waktu 4,3 menit.
Alasan terjadinya asidosis dan asfiksia selama persalinan dengan
distosia bahu adalah ketika kepala lahir, tali pusat akan sangat
terkomptesi antara tubuh bayi dengan jalan lahir ibu. Hal ini akan
membuat suplai darah ke bayi menurun atau terhenti. Jika tekanan
tersebut tidak segera dibebaskan secara cepat, konsekuensinya adalah
aliran oksigen ke bayi akan menurun.
2. Ibu
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu pada persalinan dengan distosia
bahu adalah kehilangan darah yang cukup banyak karena laserasi pada
vagina dan vulva. Perdarahan dapat terlihat selama persalinan ataupun
pada masa post partum. Hal itu dapat dikarenakan laserasi ataupun atonia
yang terjadi. Ruptur uteri pernah dilaporkan terjadi pada persalinan dengan
13
distosia bahu.
Tekanan langsung pada vesika urinaria oleh bahu depan ketika distosia
bahu dapat menyebabkan atonia vesika urinaria yang biasanya bersifat
sementara. Simfisis pubis dapat terpisah ataupun dapat terjadi kerusakan
pada nervus cutaneus femoralis dikarenakan hiperrefleksi yang berlebihan
dalam usaha mengeluarkan bahu.
2.6 Penatalaksanaan
Distosia bahu tidak dapat diramalkan, sehingga penolong persalinan harus
mengetahui benar prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat
sangat melumpuhkan ini. Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai
pelahiran badan amat penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi
ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan.
Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat
menyebabkan cedera serius pada bayi. Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan
episiotomi luas dan idealnya diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya
adalah membersihkan mulut dan hidung bayi.
Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik untuk
membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu.
1. Manuver Mazzanti
Penekanan suprapubik dilakukan oleh seorang asisten dan penolong tetap
melakukan traksi curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah simfisiolisis.
14
Gambar 6. Penekanan Suprapubik
2. Manuver McRobert
Manuver ini ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai sesuai
nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di
UniversitasTexas di Houston. Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai
dari pijakan kaki pada kursi obstetris dan memfleksikannya sejauh
mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000) menganalisa manuver
McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka mendapati bahwa
prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra
lumbal disertai dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang
menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski
manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke arah
kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan
rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di
laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu mengurangi
tekanan ekstraksi pada bahu janin. Jika digabungkan dengan manuver
penekanan bahu diperkirakan dapat mengatasi distosia bahu sampai dengan
50-60%.
15
Gambar 7. Manuver Mc Robert
16
Gambar 8. Manuver Wood Screw
4. Manuver Jacquemier
Penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai dada,
yang diikuti dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum pektorale
kemudian diputar ke arah salah satu diameter oblik panggul yang diikuti
pelahiran bahu depan.
5. Manuver Zavanelli
Manuver Zavanelli dilakukan dengan mengembalikan kepala ke dalam
rongga panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian pertama
dari manuver ini adalah mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior
atau oksiput posterior bila kepala janin telah berputar dari posisi tersebut.
17
Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan
mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran
secara sesar. Terbutaline dapat diberikan untuk menghasilkan relaksasi
uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus yang
menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus
presentasi kepala dan pada semua kasus terjepitnya kepala pada presentasi
bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada keadaan-keadaan sulit yang
menerapkan manuver Zavanelli, terdapat delapan kasus kematian neonatal,
enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur
uteri juga pernah dilaporkan.
6. Manuver Rubin
Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin
diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada
abdomen. Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih
bahu yang paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke permukaan
anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu,
yang kemudian akan menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran
bahu depan dari belakang simfisis pubis.
Manuver ini dilakukan dengan memasukkan satu tangan dari bagian depan
o
ataupun belakang, kemudian memutar bahu 30 sehingga terletak pada
18
diameter miring dari panggul. Keuntungan dari metode ini adalah
penolong dapat mengetahui orientasi bahu yang sebernarnya. Jika rotasi
dapat tercapai, bahu depan akan muncul dari bawah simfisis dengan atau
tanpa traksi tambahan.
7. Manuver Gaskin
Manuver Gaskin atau All Four Maneuver diperkenalkan oleh Ina May
Gaskin pada tahun 1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi distosia
bahu dengan menempatkat ibu dalam posisi merangkak. Brunner (1998)
melaporkan bahwa 68 kasus (82%) dari 82 kasus persalinan dengan
distosia bahu berhasil diatasi hanya dengan menggunakan manuver Gaskin.
Waktu yang diperlukan untuk memposisikan ibu dalam manuver ini dan
melahirkan secara lengkap dilaporkan mencapai dua sampai dengan tiga
menit. Namun, tidak ada laporan secara mendetail tentang efek terhadap
ibu dan bayi yang menjalani manuver ini.
Secara teoritis, posisi merangkak dalam manuver ini akan membuat
penambahan luas diameter sagital panggul sebesar satu sampai dua
sentimetr karena pergerakan pada sendi sakroiliaka. Posisi litotomi dapat
membatasi gerakan dari sakrum. Manfaat tambahan dapat diperoleh dari
gerakan saat perubahan posisi dari litotomi ke posisi merangkak yang
kemungkinan dapat membantu membebaskan bahu yang terperangkap.
19
Gambar 12. Manuver Gaskin
8. Penekanan Fundus
Penekanan fundus ke arah jalan lahir dapat dilakukan namun dianjurkan
dikombinasi dengan manuver lain. Penekanan kuat pada fundus pada saat
yang salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross
dkk (1987) melaporkan penekanan fundus tanpa disertai manuver lain
akan menyebabkan komplikasi sebesar 77% dan erat dihubungkan dengan
kerusakan ortopedik dan neurologik pada bayi.
9. Kleidotomi
Kleidotomi merupakan pemotongan tulang klavikula dengan gunting atau
benda tajam lain untuk memperpendek diameter biacromial. Tindakan ini
dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Biasanya dilakukan pada
bayi yang sudah mati.
10. Simfisiotomi
Simfisiotomi juga dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Akan
tetapi, beberapa penelitian mengungkapkan peningkatan morbiditas ibu
dan kemungkinan terjadinya cedera traktur urinarius.
20
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan
pervaginam dengan adduksi bahu depan dengan tekanan untuk
mempermudah aspek bahu belakang (yaitu dengan mendorong kea rah
dada) sehingga akan menghasilkan diameter terkecil (Manuver Rubin)
d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)
0
Manuver ini dilakukan dengan memutar 180 bahu belakang sehingga
menjadi bahu depan (Manuver Woodscrew)
e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara
manual/ Manuver Jacquemier)
f. Episiotomi
g. Roll over onto all fours (knee-chest position/ Manuver Gaskin)
2. Hindari mpat P
a. Panic (Panik)
b. Pulling (Menarik)
c. Pushing (Mendorong)
d. Pivot
Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi maka
dapat dilakukan:
1. Manuver Zavanelli
2. Kleidotomi
3. Simfisiotomi
The American College of Obstetricians and Gynecologists (1991)
merekomendasikan langkah-langkah berikut ini, urut-urutannya bergantung
pada pengalaman dan pilihan pribadi masing-masing operator:
1. Panggil bantuanmobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak. Pada
saat ini dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan
kandung kemih bila penuh.
2. Lakukan episiotomi luas (mediolateral atau episioproktotomi) untuk
memperluas ruangan di posterior.
3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter
karena alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk
melakukan penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan
pada kepala janin.
21
4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi
satu tungkai dan memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen.
Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus
distosia bahu. Namun, bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut
dapat dicoba:
5. Manuver corkscrew Woods
6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang dalam
posisi ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan.
7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus
ketika manuver lain telah gagal. Yang termasuk dalam teknik ini
22
BAB III
Kesimpulan
23
Daftar Pustaka
Cluver CA & GJ Hofmeyr 2009. Shoulder dystocia: An update and reviewof new
techniques. SAJOG volume 15 No. 3.
Gary Cuningham et al.2005. Distosia Bahu. Dalam: Obstetri William Edisi 21.
Jakarta: EGC.Hal 505-10
Mir, Shylla & Abida Ahmad 2010. Review article : Shoulder dystocia. JK Science
volume 12 No.4
Poggi SH, Allen RH, Patel CR, Ghidini A, Pezzullo JC, Spong CY 2004.
Randomized trial of McRoberts versus lithotomy positioning to decrease the
force that is applied to the fetus during delivery. Am J Obstet Gynecol. Sep
2004;191(3):874-8.
24