KASUS TB
Halaman Judul
Disusun Oleh:
Ahmad Farabi
Andrian fahril Ode Putra
Angela Bonita
Dani M Trianto
Desy Atmadika Rahim
Elizabeth Budiani
Khairul Hukmi
Nurfitrianingsih Pujiano Agatha
Nuri Indahwati
Rabid Yahya P
Sarah Annadya
Siti Aliyah Said Utriyani Adilah
Syahru Ramadhan
Tazkya Amany
Tn FH, 35 tahun
Keluhan batuk berdahak disertai darah sejak 2 hari yang lalu
Keluhan batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu, sudah beroabat ke dokter dan minum
amoxicillin selama 3 hari dan tidak kunjung sembuh
ANAMNESIS
o Sudah berapa kali batuk berdarah dan berapa kira-kira volume darahnya?
Sudah 2 kali batuk disertai darah, volume darah setiap batuk kira-kira 1 sendok the
o Perlu ditanya riwayat penyakit dahulu, apakah sebelumnya pernah sakit batuk lama,
kemudian minum obat 6 bulan?
Tidak pernah. Biasanya apabila pasien batuk, pasien mengkonsumsi obat warung dan
langsung sembuh
o Perlu ditanya di keluarganya adakah yang sakit batuk berminggu-minggu dan tidak
sembuh-sembuh? Di lingkungan tempat tinggal juga apakah ada?
Tidak ada
o Perlu ditanya kondisi rumahnya bagaimana? Ventilasinya cukup atau tidak, sinar
matahari apakah bisa masuk ke dalam rumah atau tidak? Pasien tinggal dengan siapa
saja?
Pasien tinggal di rumah petak berukuran 4x5 m, kondisi rumah berhimpitan dengan
rumah tetangga. Hanya ada 1 jendela di bagian depan, jarang dibuka, biasanya ditutup
gorden. Sinar matahari sulit masuk ke dalam rumah. Pasien tinggal dengan istri dan 3
anak usia 10 tahun, 4 tahun, dan 1 tahun.
PEMERIKSAAN FISIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
2. Gejala sistemik
Demam
Keringat malam
Anoreksia
Berat badan menurun tanpa sebab jelas
Pemeriksaan fisik
Bila dicurigai adanya infiltrat yang meluas maka bisa ditemukan perkusi redup
Bisa ditemukan suara napas bronkial pada lapang paru
Jika terdapat kavitas dapat ditemukan perkusi hipersonor
A. Pemeriksaan bakteriologis
1. Mikroskopis
Pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan BTA (basil tahan asam) dengan pewarnaan
ziehl nielsen atau kinyoun
Hasil pemeriksaan positif jika ditemukan sekurangnya 3 basil dalam 1 sediaan
Dari 3 spesimen disebut BTA positif jika
o 3 kali positif/2 kali positif maka BTA positif
o 1 kali positif 2 negatif maka ulangi pemeriksaan BTA
Jika 1 kali positif, 2 negatif maka BTA Negatif
Jika 3 kali negatif maka BTA negatif
o Jika 3 kali negatif maka BTA Negatif
2. Kultur
B. Pemeriksaan Radiologi
Daftar pemeriksaan :
Pada pasien perlu dilakukan pemerisaan Sputum BTA dan pemeriksaan foto toraks
Tatalaksana nonfarmakologi :
Dari gejala klinis yang dialami pasien, pasien diduga mengalami TB paru sehingga
dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Tatalaksana TB diberikan
kepada pasien TB, yang didefinisikan sebagai berikut :
i. Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis, meliputi :
Pasien TB paru BTA positif
Pasien TB paru dengan hasil kultur M.tb positif
Pasien TB paru dengan hasil rapid test M.tb positif
Pasien TB ekstraparu dengan hasil BTA/kultur/rapid test positif dengan
sampel dari jaringan yang terinfeksi
Pasien TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis
Obat lini pertama untuk terapi TB yaitu rifampisin, isoniazid (INH), pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol. Terdapat kombinasi dosis tetap (fixed dose combination) berupa:
4 OAT dalam 1 tablet (rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg, dan
etambutol 275 mg) dan 2 OAT dalam 1 tablet (rifampisin 150 mg, isoniazid 150 mg).
Sementara itu OAT lini kedua terdiri atas kanamisin, kuinolon, obat lain yang masih dalam
penelitian (makrolid, amoksiklaf), dan derivat rifampisin dan INH. Regimen terapi TB lini
pertama menggunakan 4 jenis antibiotik. Rifampicin dan INH merupakan antibiotik yang
paling aktif terhadap M.tb . Pemberian kombinasi Rifampicin dan INH selama 9 bulan dapat
menyembuhkan 95-98% pasien TB dengan strain M.tb yang masih suseptibel. Adapun
Pirazinamide ditambahkan ke dalam regimen terapi untuk mempersingkat waktu terapi
menjadi 6 bulan. Penambahan ethambutol berperan memberikan coverage tambahan untuk
bakteri yang sudah resisten terhadap Rifampicin dan/atau INH. Alasan lain mengapa
diberikan kombinasi 4 obat adalah karena resistensi mudah timbul apabila diberi regimen
antibiotik tunggal. M.tb adalah bakteri aerob obligat dan untuk pembelahannya dipengaruhi
oleh pH lingkungan. Dalam tubuh pasien, M.tb dapat terbagi menjadi 3 kategori, yakni
bakteri yang ada dalam kavitas dan aktif membelah, bakteri yang ada dalam lesi perkijuan
tertutup yang membelah secara lambat atau intermiten, serta bakteri yang ada pada sel
makrofag yang bersifat asam dan relatif lambat membelah. Keempat jenis OAT yang
digunakan bekerja terhadap kelompok bakteri yang berbeda-beda sehingga penggunaan
kombinasi antibiotik efektif untuk mengeradikasi kuman TB.
Mekanisme kerja
Pada umumnya mekanisme obat ini masih belum diketahui, namun terdapat beberapa
hipotesis yakni memiliki efek pada lemak, biosintesis asam nukleat, dan glikolisis.
Namun ada pendapat yang menyatakan bahwa efek utamanya yakni menghambat
biosintesis asam mikolat yang menjadi unsur yang sangat penting pada dinding sel
mikrobakterium.
Farmakokinetik
Obat ini mudah sekali diabsorpsi secara oral maupun parenteral. Kadar puncak dari obat
ini dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian secara oral.
Di hati, INH akan mengalami asetilasi dan pada manusia proses ini dipengaruhi oleh
genetik dan secara bermakna mempengaruhi kadar obat di dalam plasma serta masa
paruh. Masa paruh dari obat ini berdasarkan sebagian besar populasi yakni sekitar 1-4
jam. Masa paruh rata- rata pada asetilator cepat sekitar 70 menit dan pada asetilator
lambat sekitar 2-5 jam. Pada orang- orang dengan insufisiensi hati, masa paruh dari INH
dapat memanjang. Adanya perbedaan asetilasi tidak mempengaruhi toksisitas dan
efektivitas obat, namun yang perlu diingat yakni jika seseorang tergolong asetilator cepat
maka pemberian INH seminggu sekali maka penyembuhannya mungkin akan kurang
baik. INH mudah mengalami difusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Kadar obat ini
dalam cairan serebrospinal pada radang selaput otak hampir sama dengan kadar dalam
plasma. Pada awalnya kadar INH tinggi pada plasma dan otot namun kemudian obat
tersebut akan tinggal lama di dalam jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang cukup
sebagai bakteriostatik.
Sekitar 75-95% obat ini diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir
seluruhnya dalam bentuk metabolit. Bentuk metabolit yang utama yakni asetil isoniazid
yang berasal dari hasil asetilasi dan asam isonikotinat yang merupakan hasil metabolit
dari proses hidrolisis.
Efek samping
Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain reaksi hipersensitivitas yang
dapat memicu terjadinya demam, kelainan kulit seperti urtikaria dan maculopapular.
Reaksi hematologi juga dapat terjadi seperti agranulositosis, eosinophilia,
thrombositopenia, dan anemia. Vaskulitis juga dapat terjadi namun akan menghilang
ketika pengobatan dihentikan. Beberapa gejala arthritis seperti atralgia pada siku, lutut,
dan pergelangan tangan serta sakit pinggang. Neuritis perifer juga dapat terjadi pada
INH yang diberikan dengan dosis 5 mg/kg/BB/hari. Pemberian profilaksis piridoksin
dapat mencegah terjadinya neuritis perifer dan berbagai gangguan sistem saraf.
Neurohepatologik juga dapat terjadi yakni berupa menghilangnya vesical sinaps,
membengkaknya mitokondria, dan pecahnya akson terminal. Pemberian piridoksin juga
berperan dalam mencegah terjadinya perubahan tersebut. Selain itu,, INH juga dapat
menyebabkan terjadinya kejang pada pasien yang sebelumnya juga memiliki riwayat
kejang, neuritis optic, dan atropi juga dapat terjadi. INH juga memiliki efek
neurotoksisitas berupa kedut otot, vertigo, ataksia, paresthesia, stupor, ensefalopati
toksik yang dapat berakibat sangat fatal. Beberapa kelainan mental juga dapat terjadi
seperti euphoria, daya ingat sementara berkurang, hilangnya pengendalian diri,, dan
psikosis. Ketika diberikan bersamaan dengan fenitoin maka obat ini dapat menimbulkan
sedasi berlebihan atau memicu terjadinya inkoordinasi. INH juga dapat memicu
terjadinya icterus dan kerusakan hati akibat adanya nekrosis multilobular. Adanya
kerusakan hati diduga disebabkan oleh salah satu metabolit yang dihasilkan yakni
asetilhidrazin. Pasien- pasien yang diberikan tatalaksana INH harus selalu dipantau dan
direkomendasikan untuk periksa aktivitas enzim SGOT. Beberapa efek samping lainnya
antara lain mulut kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinnitus, dan
retensi urin. Pemberian dosis tinggi INH dapat menyebabkan terjadinya koma, kejang,
asidosis metabolik, dan hiperglikemia.
Sediaan
INH terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, 400 mg serta dalam bentuk sirup
10mg/ml. Pada tablet biasanya sudah terkandung piridoksin di dalamnya. Biasanya obat
ini diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. Dosis biasanya yakni 5 mg/kgBB
dan maksimum 300 mg/hari. Pada kasus tuberculosis yang berat dapat diberikan 10
mg/kgBB dan maksimum 600 mg/hari. Pemberian obat dalam dosis yang besar belum
ada buktinya merupakan hal yang efektif. Obat ini juga dapat diberikan secara intermiten
2 kali seminggu dengan dosis 15 mg/kgBB/hari dan piridoksin 10 mg/kgBB/hari.
Rifampisin
Mekanisme kerja
Obat ini terutama aktif pada sel yang sedang tumbuh. Kerja dari obat ini adalah dengan
menghambat DNA- dependent RNA polymerase dari mikrobakteria dan mikroorganisme
lain sehingga akan menghambat terbentuknya rantai dalam sintesis RNA.
Farmakokinetik
Kadar puncak dari obat ini ketika diberikan per oral dalam plasma yakni sekitar 2-4 jam
dengan dosis tunggal sebesar 600 mg yang akan menghasilkan kadar sekitar 7g/mL.
Asam para amino salisilat dapat memperlambat absorpsi dari rifampisin sehingga kadar
terapetik rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Jika ingin diberikan secara bersamaan
maka pemberiannya harus berjarak sekitar 8-12 jam. Setelah obat ini diabsorpsi pada
saliran cerna, obat ini akan diekskresikan melalui empedu dan kemudian akan
mengalami sirkulasi enterohepatik. Masa paruh dari obat ini bervariasi yakni anta 1,5
sampai 5 jam dan akan memanjang jika ada kelainan fungsi hepar. Sekitar 75% obat ini
terikat pada protein plasma. Obat ini juga berdifusi dengan sangat baik menuju jaringan
termasuk ke dalam cairan otak. Luas distribusi dari obat ini dapat dilihat dari warna
merah pada urin, tinja, sputum, air mata, dan keringan dari pasien. Obat ini diekskresi
melalui urin dan juga di eliminasi lewatt ASI.
Efek samping
Efek samping yang paling sering yakni ruam kulit, demam, mual, muntah. Ketika
diberikan secara intermiten atau berselang dengan dosis besar dapat menimbulkan
terjadinyya flu like syndrome, nefritis interstitial, nekrosis tubular akut, dan
thrombositopenia. Salah satu hal yang menjadi masalah yakni ikterus dimana terdapat 16
kematian dari 500.000 pasien yang diobati yang dihubungkan dengan reaksi ini.
Hepatitis jarang terjadi pada orang- orang dengan fungsi hati yang normal namun akan
meningkat kejadiannya pada orang- orang dengan penyakit hati kronik, alkoholisme, dan
usia lanjut. Pemberian obat ini secara intermiten dapat menyebabkan timbulnya sindrom
hepatorenal. SGOT dan fosfatase alkali yang meningkat akan menurun kembali setelah
pemberian obat dihentikan. Efek samping lainnya yakni berhubungan dengan sistem
saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, ataksia, bingung, sulit untuk
berkonsentrasi, melemahnya otot, dan sakit pada tangan serta kaki. Reaksi
hipersensitivitas juga dapat terjadi dimana dapat berupa demam, pruritus, urtikatria, dan
berbagai macam kelainan kulit lainnya. Efek samping lain seperti hematuria, hemolisis,
hemoglobinuria, insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut merupakan reaksi
hipersensitivitas namun jarang sekali terjadi. Selama kehamilan, sebaiknya obat ini
dihindari meskipun efek teratogeniknya masih belum diketahui.
Interaksi obat
Pemberian PAS bersamaan dengan rifampisin dapat menghambat absorpsi rifampisin
sehingga kadar terapetik dalam darah tidak akan cukup atau tercapai. Rifampisin
merupakan obat yang dapat memacu metabolisme obat yang cukup kuat sehingga
pemberian obat seperti obat hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan akontrasepsi oral
efektivitasnya akan menurun jika diberikan bersamaan dengan obat ini. Obat ini juga
mengganggu metabolisme dari vitamin D sehingga dapat menyebabka terjadinya
kelainan tulang seperti osteomalasia.
Sediaan
Di Indonesia, rifampisin terdapat dalam bentuk kapsu 150 mg dan 300 mg. Obat ini juga
terdapat dalam sediaan tablet 450 mg dan 600 mg serta suspense yang mengandung 100
mmg/5 mL. Beberapa sediaan dari obat ini sudah dikombinasikan dengan INH. Obat ini
biasanya diberikan sehari sekali 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Pada
orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg dosisnya yakni 450 mg/hari dan
untuk orang dewasa dengan berat badan lebih dari 50 kg dosisnya yakni 60 mg/hari.
Pada anak- anak dosisnya adalah 10-20 mg/Kg/BB/ hari dengan dosis maksimumnya
adalah 600 mg/hari.
Pirazinamid
Dosis dan sediaan
Sediaan pirazinamid yaitu tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis peroral yaitu 25-30
mg/kgBB/hari maksimal 3 g. Diberikan 1 atau beberapa kali/hari selama 2 bulan pertama
pengobatan.
Mekanisme kerja
Merupakan bakterisid yang kuat untuk BTA yang berada di dalam makrofag.
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh pirazinamidase menjadi asam pirazinoat
yang aktif sebagai tuberkulostatik pada media asam. Pada in vitro, pertumbuhan bakteri
TB dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 g/mL.
Absorpsi pirazinamid mudah di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh (mencapai cairan
serebrospinal dan ASI). Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma 45 g/mL 2 jam
setelah pemberian obat. Protein binding 50%. Pirazinamid dihidrolisis menjadi asam
pirazinoat kemudian dihidroksilasi menjadi 5-hydroxypyrazinoic acid sebagai produk
ekskresi. Masa paruh eliminasinya 10-16 jam. Ekskresi terutama melalui filtrasi
glomerulus.
Kontraindikasi
Pirazinamid tidak boleh diberikan pada individu dengan kelainan fungsi hati. Perlu
diperhatikan pemberian pada kehamilan dan laktasi, pasien dengan riwayat artritis gout,
DM,dan dengan gangguan hati serta ginjal ringan-sedang.
Efek samping
Efek yang paling umum dan serius yaitu kelainan hati dengan gejala pertama
peningkatan SGOT dan SGPT. Dilaporkan juga nyeri sendi (kadang dapat menyebabkan
serangan artritis gout); reaksi demam, mual, kemerahan, dan reaksi lain. Jika timbul
kerusakan hati, pemberiannya harus dihentikan. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi
hati sebelum pengobatan dimulai; dan pemantauan transaminase secara berkala selama
pengobatan.
Interaksi
Interaksi pirazinamid dengan agn urikosurik sebagai antagonis, menurunkan efek
kontrasektif estrogen, menginaktivasi vaksin oral tifoid, meningkatkan konsentrasi
plasma siklosporin, meningkatkan efek hepatotoksik rifampisin.
Ethambutol
Mekanisme kerja
Inhibisi arabinosyl transferase mycobacterium yang berperan dalam reaksi
polimerisasi dari arabinoglycan yang merupakan komponen dinding sel
mycobacterium.
Farmakokinetik
Diabsorbsi baik di saluran cerna, Tmax 2-4 jam, 10% dieksresi di feses, 50% dieksresi
di urine tanpa mengalami perubahan. Pada pasien gagal ginjal dengan klirens
kreatinin < 10 ml/menit perlu dilakukan pengurangan dosis menjadi setengahnya.
Ethambutol dapat melewati sawar darah otak hanya apabila terdapat inflamasi di
meninges dan dapat mencapai konsentrasi 4-64% di cairan serebrospinal.
Resistensi mudah terjadi apabila ethambutol diberikan sebagai terapi antibiotik
tunggal. Resistensi biasanya terjadi akibat mutasi yang menyebabkan overproduksi
produk gen emb.
Efek samping
Neuritis retrobulbar yang dapat menyebabkan kehilangan akuitas visual dan buta
warna merah-hijau, terjadi akibat pemberian dosis 25 mg/kg/hari selama beberapa
bulan secara kontinu. Apabila diberikan dosis 25 mg/kg/hari, perlu dilakukan
pemeriksaan akuitas visual secara periodik.
Kontraindikasi relatif pada anak dengan usia yang terlalu muda untuk melakukan
pemeriksaan akuitas visual.
Streptomycin
Mekanisme kerja
Inhibisi sintesis protein secara ireversibel. Streptomycin akan berikatan dengan
subunit 30S ribosom dan mengganggu sintesis protein dengan interterferensi dengan
peptide inisiasi, menginduksi misreading DNA, memecah polisome menjadi
monosome yang non fungsional
Indikasi
Infeksi TB dalam kombinasi dengan antibiotik lain, plague, tularemia, brucellosis,
enterococcal endocarditis (kombinasi dengan penicillin), viridians streptococcal
endocarditis
Farmakokinetik
Penetrasinya ke dalam sel buruk sehingga aktif terhadap tuberkel ekstrasel.
Streptomycin dapat melalui sawar darah otak dan mencapai kadar terapeutik pada
kondisi inflamasi meninges.
Efek samping
Hipersensitivitas akibat paparan dalam jangka waktu lama, menyebabkan demam,
ruam kulit, dan manifestasi alergi lain. Efek samping yang paling berat adalah
gangguan fungsi sistem vestibular yang menyebabkan vertigo dan kehilangan
keseimbangan. Frekuensi dan tingkat keparahan efek ini sebanding dengan usia
pasien, kadar obat dalam darah, serta durasi administrasi obat. Efek samping ini dapat
muncul setelah penggunaan beberapa minggu bila kadar dalam darah tinggi atau
dalam beberapa bulan bila kadar dalam darah rendah
Kontraindikasi relative pada kehamilan karena dapat menyebabkan tuli pada neonates
PANDUAN PENGOBATAN BAGI PASIEN
Apabila pasien pada kasus terdiagnosis sebagai pasien TB, maka perlu diketahui apakah
pasien pernah menjalani pengobatan TB sebelumnya atau tidak. Apabila pasien belum pernah
menjalani pengobatan TB atau pernah mengkonsumsi obat TB <28 hari, maka pasien diberi
regimen OAT lini pertama kategori 1
Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yakni tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap
intensif diberikan dalam 56 hari, meliputi Rifampicin, INH, PIrazinamide, dan
Ethambutol yang dikonsumsi setiap hari. Tahap lanjutan diberikan dalam 16 minggu,
meliputi Rifampicin dan INH yang diberikan 3 kali dalam seminggu atau setiap hari
Apabila pasien pernah menjalani pengobatan TB >28 hari dan merupakan pasien kambuh,
pasien putus obat, atau pasien yang gagal pengobatan dengan kategori 1 sebelumnya, maka
diberi regimen OAT lini pertama kategori 2
Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5(RH)3E3
Keterangan : S: Streptomycin
Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yakni tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada
tahap intensif diberikan Rifampicin, INH, Pirazinamid, Ethambutol, dan injeksi
Streptomycin selama 56 hari dilanjutkan dengan pemberian Rifampicin, INH,
Pirazinamid, dan Ethambutol selama 28 hari. Pada tahap intensif diberikan
Rifampicin, INH, dan Ethambutol selama 20 minggu
Apabila pasien pada kasus dianggap memiliki BB 45 kg, maka dosis OAT harian untuk fase
intensif bagi pasien ini :
INH : 180-270 mg 225 mg/hari (sediaan tab 150 mg, 300 mg)
Rifampicin : 360-540 mg 450 mg/hari (sediaan tab 300 mg, 450 mg, 600 mg)
Pirazinamid : 900-1350 mg 1000 mg/hari (sediaan tab 500 mg)
Ethambutol : 675-900 mg 800 mg/hari (sediaan tab 250 mg, 400 mg, 500 mg)
Streptomycin : 540 mg-810 mg 750 mg/hari (sediaan 1gr/vial)
Sedangkan dosis untuk fase lanjutan apabila diberikan 3 kali seminggu adalah :
INH : 360-540 mg 450 mg/kali (sediaan tab 150 mg, 300 mg)
Rifampicin : 360-540 mg 450 mg/kali (sediaan tab 300 mg, 450 mg, 600 mg)
Pirazinamid : 1350-1800 mg 1500 mg/kali (sediaan tab 500 mg)
Ethambutol : 1125-1575 mg 1200 mg/kali (sediaan tab 250 mg, 400 mg, 500 mg)
Apabila terdapat sediaan OAT KDT (kombinasi dosis tetap), maka regimen OAT pada pasien
dapat diberikan mengikuti panduan dosis berikut
Kategori 1
Apabila BB pasien 45 kg, maka pada tahap intensif pasien diberi 3 tablet 4KDT yang
diminum setiap hari, sedangkan pada fase lanjutan pasien diberi 3 tablet 2KDT yang
diminum 3 kali seminggu
Kategori 2
Apabila BB pasien 45 kg, maka pada tahap intensif pasien diberi 3 tablet 4KDT yang
diminum setiap hari beserta 750 mg Streptomycin injeksi pada 56 hari pertama, sedangkan
pada fase lanjutan pasien diberi 4 tablet 2KDT ditambah 4 tab Ethambutol 400 mg yang
diminum 3 kali seminggu
KESIMPULAN :
Obat yang diberikan pada pasien adalah OAT 4KDT sebanyak 3 tablet/hari dan piridoksin tab
10 mg/hari sebagai profilaksis neuritis perifer akibat penggunaan INH. Batuk darah pada
pasien tidak membutuhkan pemberian antifibrinolitik (contoh : asam traneksamat) karena
tidak ada cukup bukti bahwa penggunaan asam traneksamat bermakna secara klinis. Selain
itu, batuk darah pada pasien volumenya hanya 10 ml/24 jam sehingga belum tergolong
hemoptisis.
Pro : Tn FH
Usia : 35 tahun
TB dapat disembuhkan
Sampaikan kepada pasien bahwa penyakit TB dapat disembuhkan secara tuntas bila ia
menjalankan pengobatan dengan teratur dan tidak putus obat. Putus pengobatan akan
menyebabkan kuman yang masih tersisa dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat. Jika
keluhan pasien sudah membaik, pengobatan harus tetap berlanjut hingga tuntas sesuai anjuran
dokter.
Karena pengobatan TB yang lama dan rutin, maka sangat dianjurkan untuk pasien memiliki
seorang PMO agar menunjang kepatuhan pasien dalam minum obat.
Berdasarkan konsensus TB dari PDPI, OAT memiliki beberapa efek samping baik efek
samping ringan hingga berat. Efek samping ringan dari OAT yaitu:
1. Rifampisin - tidak nafsu makan, mual, nyeri perut sehingga obat dapat diberikan
sebelum tidur. Selain itu, rifampisin juga dapat menimbulkan warna kemerahan pada urin.
Hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien bahwa itu tidak menjadi masalah.
3. INH - kesemutan hingga rasa terbakar pada kaki, sehingga dapat diberikan vitamin
B6 (piridoksin) 100mg per hari.Sedangkan efek samping berat yang dapat terjadi seperti gatal
dan kemerahan pada kulit, tuli, gangguan keseimbangan, kuning (ikterik), bingung dan
muntah-muntah, gangguan penglihatan. Jika hal tersebut terjadi maka segera konsultasi ke
dokter.
Pencegahan Penularan TB
Edukasi bahwa TB merupakan penyakit menular. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah penularan TB yaitu dengan edukasi mengenai etika batuk dan bersin, membuka
jendela dan pintu agar cahaya matahari dapat masuk ke rumah, penggunaan masker untuk
pasien, edukasi tentang langkah cuci tangan, serta tidak diperlukan diet khusus.
Kontak Serumah
Terapi pencegahan INH diberikan pada anak <5 tahun yng kontak dengan pasien TB BTA
positif tapi tidak terinfeksi dan anak yang terinfeksi TB tapi tidak sakit TB. Profilaksis INH
yang diberikat yaitu 10mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Selain itu, anggota keluarga juga dapat
diperiksakan ke dokter.
Selain saat berobat, penderita yang telah sembuh juga diharuskan untuk evaluasi
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh dengan tujuan untuk mengidentifikasi kekambuhan.
Pada evaluasi ini yang diperiksa ialah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik
BTA dahak dilakukan pada 2,6,12, dan 24 bulan setelah pasien dinyatakan sembuh.
Sementara evaluasi foto toraks dilakukan pada 6,12,dan 24 bulan setelah pasien dinyatakan
sembuh.
7. Setelah terapi selama 6 minggu, pasien datang dengan keluhan mata terlihat kuning,
apa yang akan anda lakukan?
Mata kuning atau ikterik merupakan tanda kelainan hati yang dapat disebabkan oleh obat-
obatan tuberkulosis yang dikonsumsi oleh pasien, seperti isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid yang bersifat hepatotoksik. Kondisi ini disebut sebagai drug induced hepatitis
yang umum terjadi pada minggu ke 4-8 terapi OAT (obat anti tuberkulosis). Namun, kondisi
mata kuning pada pasien juga dapat disebabkan oleh hepatitis akibat infeksi virus, baik itu
virus hepatitis A, B, ataupun C.
Untuk membedakan apakah ikterik disebabkan oleh obat-obat TB atau infeksi virus hepatitis,
dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga dapat dipastikan dengan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, penting untuk ditanyakan apakah pasien demam
atau tidak. Tidak adanya demam pada pasien ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar
ikterik tidak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis, melainkan karena efek samping OAT
yang dikonsumsi oleh pasien. Selain melalui anamnesis, demam juga dapat ditentukan
dengan melakukan pengukuran suhu tubuh pasien.
Penentuan apakah pengobatan pada pasien ini tetap dilanjutkan atau dihentikan, yaitu melalui
klinis dan hasil pemeriksaan bilirubin atau SGOT dan SGPT. Pengobatan dengan OAT
dihentikan bila terdapat tanda klinis yang nyata seperti ikterik atau tanpa tanda klinis tetapi
kadar bilirubin >2 atau kadar SGOT & SGPT meningkat 5 kali atau kadar SGOT & SGPT
meningkat 3 kali disertai gejala/tanda klinis. Peningkatan kadar SGOT & SGPT 3 kali
namun tidak disertai gejala/tanda klinis, maka pengobatan tetap diteruskan namun dengan
pengawasan ketat fungsi hati melalui pemeriksaan SGOT & SGPT sekali seminggu. Pada
pasien, sudah ada tanda klinis ikterik, oleh karena pengobatan dengan OAT harus dihentikan.
Namun, pada pasien tetap harus dilakukan pemerksaan SGOT & SGPT serta bilirubin untuk
monitoring fungsi hati. Pengobatan OAT dihentikan sampai gejala/tanda klinis yaitu ikterik
hilang dan hasil lab yaitu kadar SGOT & SGPT serta bilirubin kembali normal.
Setelah gejala/tanda klinis (ikterik) hilang dan kadar SGOT & SGPT serta bilirubin normal,
pasien mulai diberikan satu OAT terlebih dahulu, dimulai dari OAT yang paling tidak
hepatotoksik, yaitu isoniazid. Pemberiannya dilakukan dengan cara titrasi, mulai dari dosis
terkecil (misalnya ) hingga dosis penuh (full dose). Jika sampai pemberian isoniazid full
dose klinis tetap baik dan hasil lab (SGOT, SGPT, bilirubin) normal, maka dilanjutkan
dengan pemberian rifampisin juga dengan cara titrasi. Namun, jika dalam pemberian
isoniazid, muncul kembali tanda/gejala klinis seperti ikterik dan hasil lab menjadi tidak
normal, maka pemberian isoniazid dihentikan dan tidak dimasukan dalam regimen OAT
karena hal tersebut berarti bahwa isoniazid lah yang menyebabkan hepatotoksik pada pasien.
Setelah itu, dilakukan pemberian rifampisin dengan titrasi untuk mengetahui apakah
rifampisin juga menyebabkan hepatotoksik pada pasien atau tidak. Jika menyebabkan
hepatotoksik, maka rifampisin juga tidak dimasukan dalam regimen OAT. Pemberian
pirazinamid tidak dilakukan dan tidak dimasukan dalam regimen OAT karena memiliki efek
hepatotoksik yang paling kuat. Setelah selesai pemberian dengan titrasi, maka pengobatan TB
dimulai dari awal dengan regimen OAT yang terbukti tidak hepatotoksik pada pasien.
Pemberian obat-obat hepatoprotektor pada pasien tidak diperlukan karena berdasarkan hasil
studi, antara pasien yang diberikan hepatoprotektor dan pasien yang tidak diberikan
hepatoprotektor, durasi ikterik menghilang dan kadar SGOT, SGPT, dan bilirubin kembali
normal tidak berbeda signifikan.