Anda di halaman 1dari 14

1.

Klasifikasi penyakit Hirschsprung

Pada pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit ini, sel ganglion Auerbach

danMeissner tidak ditemukan serabut saraf menebal dan serabut otot hipertofik.

Aganglionosis ini mulai darianus ke arah oral.Berdasarkan panjang segmen yang terkena,

Penyakit Hirschsprung dapat di klasifikasikandalam 4 kategori :

a. Penyakit Hirschsprung segmen pendek / HD klasik (75%)Segmen aganglionosis dari

anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschsprung dan lebih

sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.

b. Penyakit Hirschsprung segmen panjang/ Long segment HD (20%) daerah

agonglionosis dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon

dansampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan.

c. Total colonic aganglionosis (3-12%). Bila segmen aganglionik mengenai seluruh

kolon (5-11%)

d. Kolon Aganglionik Universal. Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai

pylorus (5%)

1. Faktor Resiko

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terkenanya penyakit Hirschsprung ialah

riwayat keluarga terkena penyakit tersebut, lebih sering pada pria daripada wanita dan dapat

berhubungan dengan penyakit kongenital lain.

2. Diagnosis

Diagnosis penyakit Hirschsprung sangatlah penting dan harus ditegakkan sedini

mungkin. Penyakit Hirschsprung harus disadari pada setiap anak yang mempunyai riwayat

konstipasi setelah kelahiran. Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan berbagai

komplikasi seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis, yang merupakan penyebab
kematian tersering. Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit

Hirschsprung. Namun demikian dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan

fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsy isap

rektum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian kasus dapat ditegakkan.

2.1 Anamnesis

Pada anamnesis (alloanamnesis) didapat riwayat keterlambatan pengeluaran

mekonium. Mekonium pada keadaan normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket, dan

dalam jumlah cukup. Manifestasi klinis lain penyakit Hirschsprung yang khas adalah distensi

abdomen dan muntah hijau atau fekal. Distensi abdomen merupakan manifestasi dari

obstruksi usus letak rendah yang dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti atresia ileum,

dan lain-lain. Muntah yang berwarna hijau pada penyakit Hirschsprung, disebabkan oleh

obstruksi usus. Penyakit Hirschsprung dengan komplikasi enterokolitis menampilkan distensi

abdomen yang disertai dengan diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau busuk,

dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan atau tengguli. Pada 10 persen

pasien memiliki riwayat keluarga dengan penyakit serupa. Pada pasien anak yang sudah besar

terdapat keluhan berupa konstipasi kronik sejak lahir dan menunjukan penambahan berat

badan yang kurang.

2.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan abdomen yang membuncit, kembung,

dan tampak pergerakan usus. Bila telah terdapat komplikasi peritonitis akan ditemukan tanda-

tanda edema dan bercak-bercak kemerahan, khususnya disekitar umbilikus, punggung, dan

disekitar genitalia.

2.3 Pemeriksaan penunjang

Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:

1. Barium enema.
Pemeriksaan enema barium harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan

mekonium disertai distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok

dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau hilang. Enema barium

berisikan kontras cairan yang larut dalam air, yang sangat akurat untuk mendiagnosis

penyakit Hirschsprung. Tanda-tanda klasik radiografik yang khas untuk penyakit

Hirschsprung adalah:

a. Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu.


b. Zona transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi.
c. Segmen dilatasi.

Terdapat 3 jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada foto enema barium:3

a. Abrupt, perubahan mendadak


b. Cone, bentuk seperti corong atau kerucut
c. Funnel, bentuk seperti cerobong

Enterokolitis pada Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang

ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh

oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas

dengan barium enema.

Retensi barium dapat terjadi 24 sampai 48 jam pertama merupakan tanda penyakit

Hirschsprung terutama neonatal. Gambaran barium tampak membaur dengan feses kearah

proksimal didalam kolon berganglion normal. Retensi barium pada pasien obstruksi kronik

yang bukan disebabkan penyakit Hirschsprung terlihat makin distal, menggumpal didaerah

rectum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada waktu foto enema barium

ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda khas penyakit Hirschsprung.
Gambar 1. Gambaran Radiologis Hirschprung

Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen, sering

seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan kolon mungkin terlihat

normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang paling mungkin berkembang dari hari

hingga minggu. Pada neonatus dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaskan.

Biopsi rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan pada semua

neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus besar/kecil atau semua anak

kecil dengan appendicitis selama 1 tahun.

2. Anorectal manometry

Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung,

yaitu pengukuran yang dilakukan dengan memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang

berbeda-beda dalam rectum dan kolon. Kontraksi yang terjadi dalam segmen aganglionik

tidak ada hubungannya dengan kontraksi dalam kolon proksimal yang berganglion normal.

Studi manometri pada penyakit Hirschsprung memberikan hasil sebagai berikut:


a. Dalam segmen dilatasi terdapat hiperaktivasi dengan aktivitas propulsive yang

normal.
b. Dalam segmen aganglionik tidak terdapat gelombang peristaltic yang terkoordinasi.

Motilitas normal digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan intensitas

dan kurun waktu yang berbeda-beda.


c. Refleks inhibisi antara rectum dan sfingter anal interna tidak berkembang. Refleks

relaksasi sfingter anal interna setelah distensi rectum tidak terjadi, bahkan terdapat

kontraksi spastic. Relaksasi spontan tidak pernah terjadi.

Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung

pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien

yang lebih besar dibandingkan pada neonatus.

3. Biopsy rectal

Biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit hirschprung.

Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal karena

menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya

diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang

normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi

umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.
Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel biopsi pada Morbus Hirschprung

2.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan obstruksi

pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:

Obstruksi mekanik :

Meconium ileus
o Simple
o Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malrotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
NEC

Obstruksi fungsional :

Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia

2.5 Penatatalaksanaan
2.5.1 Preoperatif
a. Diet

Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi buruk

disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang disebabkan oleh

obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral.

Meskipun demikian bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy danpat

diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama dilatasi rectal

preoperative dan irigasi rectal.

b. Teapi Farmakologi

Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan untuk

mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk mempersiapkan usus adalah

dengan dekompresi rectum dan kolon melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan

irigasi tuba rectal dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena

diberikan dalam beberapa jam sebelum pembedahan.

2.5.2 Operatif

Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.

a. Tindakan Bedah Sementara

Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa

kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Kolostomi adalah

pembuatan lubang pada dinding perut yang disambungkan ke ujung usus besar. Pengangkatan

bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada

saat anak berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi atau enterokolitis, diberikan
antibiotik. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah

enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi

adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan

mengecilkan kaliber usus pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga

memungkinkan dilakukan anastomosis.

Gambar 3. Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease

b. Tindakan Bedah Definitif


1. Prosedur Swenson

Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik

terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada

dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani.

Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah

meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering
dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode

operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya

menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.

Gambar 4. Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi

eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat

mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran

anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian

kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar

melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk
bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to

end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2

lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke

kavum pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen

ditutup.

2. Prosedur Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi

pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal

yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan

dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang

ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side. Prosedur

Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia

dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu

panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel diantaranya:

a) Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan pemasangan 2 buah klem melalui

sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;


b) Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk

melakukan anastomose side to side yang panjang;


c) Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang

terjadi setelah 6-8 hari kemudian;


d) Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps

sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14

pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem;

kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan

pada fungsi hemostasis.


Gambar 5. Teknik pembedahan dengan prosedur Duhamel

3. Prosedur Soave

Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk

tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966

diperkenalkan untuk tindakan bedah definitive Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama dari

prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik

terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas

tersebut.

Gambar 6. Teknik pembedahan dengan prosedur Soave


4. Prosedur Rehbein

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose

end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas

anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.

Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

2.5.3 Post Operatif

Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pull-through),

pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan long

segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru

dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson.

Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi

sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan anastomosis.

Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi

enteral secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering muntah

pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode ini dan memerlukan

perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.

2.6 Komplikasi

Setelah operasi, kebanyakan anak-anak melepaskan feses secara normal.Beberapa

dapat mengalami diare, tetapi setelah beberapa waktu feses akan menjadilebih padat. toilet

training dapat mengambil waktu lama karena beberapa anak-anak memiliki kesulitan

mengkoordinasikan otot-otot yang digunakan untuk melepaskan feses. Konstipasi dapat


berlanjut pada beberapa, meskipun laksatif seharusnya membantu. Makan makanan tinggi

serat juga dapat membantu pada diare dan konstipasi.

Kebocoran anastomose post operasi bisa terjadi disebabkan oleh ketegangan yang

berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak mencukupi pada kedua ujung,

peradangan usus dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi post

operasi yang dikerjakan terlalu cepat dan tidak berhati-hati. Antara manifestasi klinis yang

terjadi akibat kebocoran anastomose ini adalah bermula dari abses rongga pelvik, abses intra-

abdominal, peritonitis, sepsis dan kematian.

Stenosis bisa terjadi post operasi karena disebabkan oleh gangguan penyembuhan

luka di kawasan anastomose, serta prosedur bedah yang digunakan.Stenosis sirkuler biasanya

disebabkan oleh komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, manakala stenosis posterior

yang berbentuk oval adalah kesan akibat prosedur Duhamel. Stenosis memanjang biasanya

disebabkan oleh prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa distensi abdomen,

enterokolitis hingga fistula perianal.

Anak juga berada pada resiko peningkatan enterocolitis dalam kolon atauusus halus

setelah operasi. Waspadalah pada gejala dan tanda dari enterocolitis, danhubungi dokter

segera bila salah satu dari ini terjadi: demam, perut kembung, muntah,diare dan perdarahan

dari rektum.

2.7 Prognosis

Terdapat perbedaan hasil yang didapatkan pada pasien setelah melalui proses

perbaikan penyakit Hirschsprung secara definitive. Beberapa peneliti melaporkan tingkat

kepuasan tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian yang signifikan dalam konstipasi

dan inkontinensia. Belum ada penelitian prospektif yang membandingkan antara masing-

masing jenis operasi yang dilakukan.


Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan kolostomi

permanen untuk memperbaiki inkontinensia. Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari

90% pasien yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan. Kematian akibat

komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

Anda mungkin juga menyukai