Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kesakitan dan
kematian yang cukup sering di dunia. Berdasarkan data World Health Organization
(WHO) pada tahun 2005, sebanyak 210 juta orang menderita PPOK dan hampir 3
juta orang meninggal akibat PPOK. Menurut WHO, PPOK menduduki peringkat
kelima sebagai penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2020
penyakit ini akan menempati peringkat ketiga (WHO 2011).1
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, angka kematian akibat PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia (Kemenkes RI,
2008). Morbiditas dan mortalitas pasien PPOK berhubungan dengan eksaserbasi
periodik atau terjadinya perburukan gejala.2 Semakin sering terjadinya eksaserbasi,
semakin berat pula kerusakan paru yang akan diikuti dengan memburuknya fungsi
paru. PPOK eksaserbasi akut (AECOPD) ditandai dengan adanya peningkatan
produksi dan purulensi sputum disertai dispneu.3,4 Eksaserbasi akut ini disebabkan
oleh banyak faktor, seperti infeksi saluran pernapasan, polusi, perubahan temperatur,
alergi, dan faktor komorbid lainnya.3,5,6
Dari beberapa faktor tersebut, penyebab tersering eksaserabsi akut PPOK
adalah infeksi oleh bakteri. Beberapa penelitian bronkoskopik menunjukkan tidak
kurang dari 50% pasien yang terdeteksi mengalami infeksi bakteri yang memicu
eksaserbasi.5 Namun penelitian tersebut masih menjadi kontroversi karena dari
sepertiga kasus eksaserbasi tidak jelas ditemukan infeksi.4,5
Penelitian mengenai bakteri sebagai penyebab eksaserbasi akut pada PPOK
ini sudah banyak didapatkan Pseudomonas aeruginosa sebagai bakteri etiologi
terbanyak.6 Hasil yang cukup berbeda didapatkan pada penelitian di India pada tahun
2012. Penelitian tersebut menyatakan 30-50% kasus PPOK eksaserbasi akut
disebabkan oleh infeksi bakteri dengan Klebsiella pneumonia (59%) sebagai

1
penyebab utama, diikuti Pseudomonas aeruginosa (15%), Staphylococcus aureus
(13.6%), Streptococcus pneumoniae (6.8%) dan Streptococcus pyogenes (4.5%).3
Penelitian yang sama juga telah dilakukan di Indonesia. Penelitian pada awal
tahun 2011 di Surakarta mendapatkan insiden infeksi bakteri berdasarkan kultur
sputum positif pada PPOK eksaserbasi akut sebesar 71%, dengan Klebsiella spp
(30,4%) sebagai bakteri patogen yang paling sering dan diikuti Streptococcus
hemolyticus (15,2%), Pseudomonas spp (8,7%), Acinetobacter spp (8,7%),
Streptococcus pneumonia (6,5%) dan Enterobacter (4,4%).4
Dari beberapa penelitian tersebut didapatkan adanya kecenderungan
perbedaan identifikasi bakteri pada isolat sputum pasien PPOK eksaserbasi akut di
daerah yang berbeda. Perbedaan ini salah satunya disebabkan perbedaan antara satu
daerah dengan daerah lain dan berbeda pula dari waktu ke waktu.7
Dari berbagai penjabaran data mengenai infeksi bakteri sebagai penyebab
PPOK eksaserbasi akut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimana pola kultur kuman PPOK eksaserbasi akut pada pasien rawat
inap di Ruang Paru Terpadu RSUD Arifin Achmad tahun 2017 berdasarkan umur
2. .Bagaimana pola kultur kuman PPOK eksaserbasi akut pada pasien rawat
inap di Ruang Paru Terpadu RSUD Arifin Achmad tahun 2017 berdasarkan jenis
kelamin

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bakteri yang terdapat pada sputum pasien PPOK
eksaserbasi yang dirawat di RSUD Arifin Achmad.

2
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pola bakteri sputum pasien PPOK berdasarkan
jenis kelamin.
2. Untuk mengetahui pola bakteri pada sputum pasien PPOK berdasarkan
umur.
3. Untuk mengetahui pola bakteri pada sputum pasien ppok berdasarkan
jenis pekerjaan.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang akan didapatkan dalam melakukan penelitian ini adalah :
1. Manfaat Bagi Bidang Ilmiah
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai dasar gambaran mengenai pola
bakteri penyebab PPOK Manfaat Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan atau bahan pertimbangan
dalam pemilihan antibiotika yang rasional.
2. Manfaat bagi dinas kesehatan
3. Untuk penelitian selanjutnya, menambah referensi untuk penelitian lebih
lanjut

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 I PPOK AKSASERBASI AKUT


2.11Defenisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai
dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel dan gas berbahaya.1
Berdasarkan studi epidemiologi sekitar 5-12% didapatkan pasien yang tidak pernah
merokok tetapi terdiagnosis PPOK.2 Selain rokok, PPOK juga terbukti berkaitan
dengan pajanan bahan bakar biomassa, asap tembakau, pajanan pekerjaan (debu, gas, asap
dan uap), polusi udara di luar ruangan, riwayat tuberkulosis paru, asma dan infeksi
saluran napas.3 Namun, insidens terjadinya PPOK pada perokok masih lebih tinggi
1
apabila dibandingkan dengan bukan perokok. Tinjauan pustaka ini akan membahas
mengenai faktor risiko PPOK pada bukan perokok yaitu genetik, polusi udara,
pekerjaan, asma, usia, jenis kelamin, infeksi, status sosioekonomi dan environment
tobacco smoke (ETS).

2.1.2 Epidemiogi

Penelitian yang dilakukan Zhou dkk di China prevalens pasien PPOK di atas usia
40 tahun tetapi bukan perokok didapatkan data sekitar 5.2%.3 Penelitian di Korea
mendapatkan prevalens sekitar 8,8% laki-laki di atas usia 40 tahun bukan perokok lebih
4
mungkin untuk menderita PPOK. Penelitian di Jerman dan Norwegia juga menghasilkan
data yang serupa.5 Sedangkan penelitian di Australia, Islandia dan Polandia terdapat
perbedaan data yaitu prevalens perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki pada
bukan perokok.6 Menurut Tucson Epidemiological Study of Airways Obstructive Disease
di Amerika Serikat asma dan bronkitis kronik merupakan faktor risiko terjadinya PPOK
pada perempuan.7

4
Penelitian Viegi dkk menemukan bahwa 14% pasien asma dan 11% pasien
bronkitis atau emfisema juga menderita PPOK. Sehingga disimpulkan bahwa peningkatan
8
insidens PPOK terjadi pada pasien asma, bronkitis dan emfisema.
Penelitian Nhung NV dkk terhadap 1.506 orang pada populasi perkotaan dan
pedesaan di Vietnam dan Indonesia ditemukan prevalens PPOK tidak merokok pada
individu adalah 6,9%. Data penelitian tersebut menunjukan bahwa laki-laki bukan
perokok 3 kali lebih banyak dibandingkan perempuan bukan perokok dengan angka
bermakna yaitu 94% yang sebelumnya tidak terdiagnosis PPOK.9

2.1.3 Patogenesis
Pajanan polutan atau gas di udara menyebabkan proses aktivasi dari sel-sel
inflamasi seperti neutrofil, CD8+, sel limfosit T, sel limfosit B, makrofag alveolar dan sel
epitel jalan napas dalam membentuk faktor kemotaktik yang akan menyebabkan kerusakan.
Inflamasi yang terjadi memicu pelepasan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor
alpha (TNF-), interferon gamma (INF-), matriks-metaloproteinase (MMP-6, MMP-9),
protein C-reaktif (CRP), interleukin (IL-1, IL-6, IL-8) dan fibrinogen. Mediator-mediator
inflamasi ini menyebabkan peradangan yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan dan
berbagai dampak sistemik. Peradangan kronik menyebabkan berbagai perubahan struktur
paru pada awal penyakit, selanjutnya dapat menyebabkan keterbatasan aliran
udara.10 Pembahasan patogenesis PPOK dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Patogenesis PPOK


Dikutip dari (10)

5
2.1.4 patofisiolgi
2.1.5 Faktor Risiko
1.Genetik
Faktor genetik telah diidentifikasi memiliki peran dalam patogenesis PPOK. Salah
satunya adalah defisiensi -1 antitripsin (AAT) terdapat sekitar 1-2% pada kasus PPOK.11,12
Selain defisien AAT faktor genetik lain adalah protease inhibitor yang menyebabkan
perubahan fungsi paru terutama jika merokok. Protease inhibitor salah satu contohnya
adalah protein AAT diberi kode oleh gen 12.2 kb yang berlokasi di kromosom
14q32.1. Varian protein AAT dapat dibedakan dengan kecepatan migrasi pada gel
elektroforesis menggunakan fokus isoelektrik. Alel yang paling umum ditemukan
adalah M, S dan Z. Kombinasi ketiga alel ini ditemukan hampir lebih dari 95%
populasi. Bentuk yang paling umum dari kekurangan AAT berat adalah kombinasi dari
yaitu 2 alel Z (Glu342Lys) dan Z alel (dengan alel nol) yang juga termasuk sebagai
protease inhibitor.12 Kombinasi yang lain yaitu alel Z dan alel S juga memberikan risiko
moderat pada PPOK.12
Penelitian Li Liu di China dilakukan pemeriksaan gen terhadap 286 pasien PPOK
dan 326 kontrol. Mayoritas gen yang ditemukan adalah / hydrolase domain
containing protein 2 gen (ABHD2) yang terletak di lokus rs12442260 yang mengalami
delesi akibat peningkatan jumlah sel otot polos, merupakan gen yang berperan dalam
emfisema paru dan dapat berkembang menjadi PPOK. Pada penelitian ini ditemukan
perbedaan bermakna pada kelompok pasien PPOK dibanding kontrol bila dikaitkan dengan
pajanan rokok dan penurunan fungsi paru
(penurunan VEP1 dan rasio VEP 1/KVP).13

2.Polusi udara
Daerah perkotaan merupakan daerah dengan angka kejadian tertinggi terjadinya
PPOK akibat polusi udara tercemar. Udara tercemar pada daerah perkotaan bisa berasal
dari industri, asap kendaraan maupun sumber lainnya. Polutan seperti ozon (O3) dan
nitrogen dioksida (NO2) dapat menimbulkan stres oksidatif saluran napas yang nantinya
menyebabkan kerusakan saluran napas, inflamasi sistemik, inflamasi paru, penurunan
aktivitas silia dan meningkatkan reaktivitas bronkus. Mekanisme tersebut menyebabkan
penurunan fungsi paru yang irreversibel. Penelitian Gauderman dkk menemukan bahwa

6
perkiraan usia 10-18 tahun yang paling banyak terpajan polutan udara, menyebabkan
penurunan fungsi paru dan peningkatan proporsi nilai VEP1 dapat berisiko menjadi
faktor penyebab terjadinya PPOK di kemudian hari. 14
3.Pekerjaan
Pajanan partikulat udara pada beberapa jenis pekerjaan tertentu diperkirakan
sekitar 15% dapat menjadi PPOK. Penelitian di Swedia didapat data bahwa pekerjaan
di lingkungan berdebu menyebabkan peningkatan angka kejadian PPOK pada
pekerjanya sekitar 50%, sedangkan angka kejadian PPOK karena merokok hanya sekitar
10%. Menurut data Carcinogen Exposure (CAREX) di seluruh dunia pada tahun 2000
didapatkan sekitar 318.000 kematian yang terjadi akibat PPOK karena pajanan udara di
lingkungan kerja. Penelitian European Community Respiratory Health Survey (ECRHS)
pajanan yang tinggi terhadap debu dan asap pada lingkungan kerja meningkatkan
risiko terjadinya PPOK sekitar 160 kali bila dibandingkan dengan perokok saja
dan insidens ini meningkat pada laki-laki yang terpajan debu mineral, gas dan asap di
lingkungan pekerjaan dengan rasio sebesar 2.7 kali.8

4.Asma
Penelitian oleh Tucson menemukan bahwa asma merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya PPOK selain merokok.10 Pada asma terjadi sumbatan saluran napas
karena penebalan dinding saluran napas yang ditimbulkan akibat peradangan dan
edema yang dipicu oleh histamin. Sumbatan saluran napas terjadi karena sekresi mukus
yang kental berlebihan, hiperresponsivitas saluran napas, konstriksi saluran napas kecil
dan spasme otot polos yang diinduksi oleh pemicu di dinding saluran napas mencakup
pajanan berulang akibat alergen, iritan, infeksi saluran napas dan olahraga berlebihan.5
Penelitian Andrew dkk tentang hubungan antara asma pada masa anak-anak
dengan terjadinya PPOK pada saat dewasa didapatkan hasil bahwa anak dengan asma
berat berisiko 10 kali lipat menderita PPOK dan terjadi peningkatan risiko PPOK di atas
usia 50 tahun. Pada bayi dengan penurunan fungsi paru dapat menyebabkan fungsi paru
kurang optimal pada usia 22 tahun dan akan berlanjut menjadi PPOK. Asma pada masa
anak-anak juga dipengaruhi oleh faktor maternal seperti ibu yang merokok, atopi, infeksi
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan paru dan faktor lingkungan (polusi udara dan
merokok) yang nantinya dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya PPOK.15

7
5.Usia dan Jenis Kelamin
Pada negara berkembang, PPOK lebih banyak ditemukan pada populasi laki-laki
dibandingkan perempuan. Angka kematian di beberapa negara menurun pada laki- laki
tetapi meningkat pada perempuan. Selain itu ditemukan peningkatan angka kejadian
PPOK pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan pada populasi perokok.
Prevalens terjadinya PPOK terbanyak pada tahun 2011 lebih dari sepuluh juta orang
Amerika pada penduduk usia 65 tahun. Diperkirakan pada tahun 2020 prevalens PPOK
akan meningkat pada individu berusia sekitar 65 tahun serta dapat meningkatkan angka
7,12
kecatatan dan kematian.

Penyakit paru obstruktif kronik akan berdampak negatif untuk kualitas hidup
penderita, terutama pada individu diatas 40 tahun yang akan menyebabkan keterbatasan
aktivitas. Sedangkan pada usia produktif tidak dapat bekerja maksimal karena sesak
napas yang kronik. Lebih dari 10% populasi dengan usia lebih dari 45 tahun di Amerika
Serikat mengalami obstruksi saluran napas berdasarkan pemeriksaan spirometri. Penyakit
paru obstruktif kronik merupakan penyebab kematian keempat di Amerika Serikat
dengan angka kematian
13,16
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

6.Infeksi
Infeksi saluran napas adalah faktor risiko yang berpotensi untuk berkembang
menjadi PPOK pada orang dewasa. Infeksi saluran napas pada anak-anak juga
dipercaya berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK dikarenakan
terjadi hiperresponsivitas bronkus. Infeksi saluran napas pada anak dapat menyebabkan
penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala kelainan respirasi saat dewasa. Ditemukan
beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini seperti seringnya
angka kejadian infeksi berat pada anak yang dapat menjadi risiko terjadinya PPOK.10
Meskipun infeksi saluran napas adalah salah satu penyebab penting terjadinya
eksaserbasi PPOK tetapi hubungan infeksi saluran napas dewasa dan anak-anak dengan
perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan. Pemicu terjadinya eksaserbasi
PPOK ditemukan kolonisasi bakteri seperti pada infeksi saluran napas. Infeksi virus
dan infeksi bakteri dapat berperan terhadap progresivitas PPOK. Infeksi HIV telah
terbukti mempercepat terjadinya emfisema yang berperan menyebabkan PPOK

8
terutama pada perokok. Selain itu infeksi tuberkulosis ditemukan menjadi faktor
risiko PPOK dan merupakan diagnosis Banding PPOK.1

7.Status Sosioekonomi
Kemiskinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK masih belum terbukti
kaitannya tetapi dapat dihubungkan dengan kekurangan nutrisi, kepadatan tempat tinggal
atau polusi di dalam dan di luar ruangan tempat tinggal.1 Pada keadaan malnutrisi dan
kekurangan berat badan menyebabkan kekuatan dan daya tahan otot respirasi menurun.
Kondisi anoreksia pada perempuan dengan malnutrisi kronik ditemukan pada
pemeriksaan CT-scan toraks menunjukkan perubahan fungsi paru seperti emfisema.
Beberapa contoh nutrisi yang dapat mempengaruhi terjadinya PPOK antara lain vitamin C,
vitamin E , karotenoid dan omega 3 yang dapat menjadi komponen protektif terhadap
saluran napas. 17,18

8.Environmental Tobacco Smoke (ETS)


Asap tembakau adalah campuran dari gas dan partikel yang mengandung lebih
dari 7000 senyawa kimia. Terdapat lebih dari 250 bahan kimia berbahaya dan
sekurang-kurangnya 69 bahan kimia tersebut diketahui dapat menyebabkan dampak
merugikan yang berhubungan dengan kebiasaan merokok dan pajanan ETS atau
perokok pasif. International Agency for Research on Cancer (IARC) melaporkan pada
tahun 2009 bahwa orang yang tidak merokok berisiko menderita kanker sekitar dua kali tapi
hampir 5 kali lebih tinggi ketika merokok. Asap rokok yang bersifat iritan pada saluran
napas dan menyebabkan inflamasi dan obstruksi
pada saluran napas.19,20

2.1.5 Tatalaksana
Tatalaksana PPOK dapat dibedakan menjadi dua yaitu non farmakologi dan
farmakologi. Pengobatan PPOK bukan perokok tidak berbeda dengan PPOK yang
diakibatkan oleh rokok. Pencegahan yang paling utama adalah berhenti merokok atau
menghindari pajanan asap rokok. Pencegahan PPOK akibat pekerjaan dan polusi udara
yang efektif adalah mengurangi pajanan di tempat kerja tersebut. Tatalaksana

9
farmakologi berguna untuk mengurangi polak gejala, frekuensi eksaserbasi, derajat
keparahan pernyakit, meningkatkan status kesehatan dan toleransi latihan
2.2 pola kumanefenisi atau penelitian ttg hal yg mempengarui???????????
Cari d
2.2.1

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru dan Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Penelitian dilakukan pada bulan
Maret 2017 sampai dengan bulan Desember 2017.

3.2. Ukuran Sampel

10
Populasi penelitian adalah semua pasien PPOK Eksaserbasi Akut yang
dirawat inap di bangsal Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi pada bulan Maret
2017 sampai Desember 2017. Sampel penelitian adalah pasien PPOK Eksaserbasi
Akut yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan pengambilan sampel
menggunakan teknik consecutive sampling.
Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah:
1. Pasien dapat membatukkan sputum.
2. Pasien sudah bersedia mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed
consent.
3. Pasien yang belum mendapatkan terapi antibiotik 3 hari sebelum pengambilan
sampel.

Kriteria Eksklusi pada penelitian ini adalah:


1. Pasien rawat inap yang menderita infeksi paru dengan hasil pemeriksaan
mikrobiologi sputum bakteri tahan asam positif.
2. Secara klinis atau radiologis foto rontgen dada ditemukan sekuele penyakit lain
seperti pneumonia atau Bronkiekstasis.

3.3. Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik, yaitu
menggambarkan bakteri penyebab eksaserbasi akut pada sputum pasien rawat inap di
bangsal Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau yang didiagnosis menderita PPOK
eksaserbasi akut.

3.4. Teknik Pengumpulan Data


Data dikumpulkan melalui hasil pemeriksaan kultur sputum pasien ppok
eksaserbasi yang masuk kedalam kriteria inklusi di laboratorium mikrobiologi
fakultas kedokteran universitas riau.

11
3.5. Teknik Analisis Data
Data diolah secara manual, kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi yang dihitung dalam satuan persen.

3.6. Rincian Anggaran


Besarnya angaran dalam penelitian ini serta perincian biayanya dapat dilihat
pada tabel berikut ini.

NO BAHAN HARGA
1 Pot sputum Rp. 700.000,-
2 Objek Glass Rp. 1.000.000,-
3 Media isolasi Rp. 3.000.000,-
4 Larutan NaCL (0.8-0.9%) Rp. 1.000.000,-
5 Zat pewarnaan gram Rp. 2.000.000,-

6 Biaya Pengolahan data dan pembuatan laporan Rp. 2.000.000,-

7 Biaya lain-lain Rp. 300.000,-


JUMLAH Rp. 10.000.000,-

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy
for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease
update 2015; 2014.p.6-21.
2. Birring SB, Brightling CE, Bradding P, Entwisle JJ, Vara DD, Grigg J,et al. Clinical,
Radiologic, and Induced Sputum features of chronic obstructive pulmonary disease in
nonsmokers a descriptive study. Am J Respir Crit Care Med. 2002;166:107883.

12
3. Zhou Y, Wang J, Ran P. Clinical Features, Burden, and Risk factors for chronic
obstructive pulmonary disease in nonsmokers. Ann Respir Med.2010.p.1-7.
4. Kim DS, Kim YS, Jung KS. Prevalence of chronic obstructive pulmonary disease
in Korea: a population based spirometry survey. Am J Respir Crit Care Med.
2005;172:842-7.
5. Celli BR, Halbert RJ, Isonaka S, Schau B. Population impact of different
definitions of airway obstruction. Eur Respir J. 2003;22:268-73.
6. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM. International variation in the
prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study.
Lancet. 2007;370:741-50.
7. Zhou Y, Wang C, Yao W, Chen P, Kang J, Huang S, et al. COPD in Chinese
nonsmokers. Eur Respir J. 2009;33:50918.
8. Viegi G, Pistelli F, Sherril DL, Maio S, Baldacci. Definition, epidemiology and
natural history of COPD. Eur Respir J. 2007; 30:9931013.
9. Viet NN, Yunus F, Phuong ANT, Bich VD, Damayanti T, Wiyono WH, et al. The
prevalence and patience characterististics of chronic obstructive pulmonary
disease in non-smokers in Vietnam and Indonesia: an observational survey.
Respirology. 2015;20:602-11.
10. Barnes PJ. Inflammatory and immune cells involved in COPD. Nat Rev
Immunol. 2008;8:183-92.
11. Silverman EK, Demeo DL. Genetic of chronic obstructive pulmonary disease. Semin
Respir Crit Care Med. 2003;24(2);2-11.
12. Foreman M, Campos M, Celedon JC. Genes and COPD. Med Clin North Am.
2012;96:699-711.
13. Liu L, Li X, Zhang H, Qiang L, Shen J, Jin S, et al. Associations of ABDHD2 genetic
variations with risks for chronic obtructive pulmonary disease in a Chinese Han
population. Plos One. 2015;10:1-11.
14. Gauderman WJ, Vora H, McConnell R. Effect of exposure to traffic on lung
development from 10 to 18 years of age: a cohort study. Lancet. 2007; 369:57177.
15. Andrew T, Haily T, Mary R, Nadeene C, John W, Colin FR. The asscociation between
childhood asthma and adult chronic obstructive pulmonary disease. Thorax.
2013;69:805-10.

13
16. Repke JT, Shapiro SD, Silverman EK. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, ed.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th ed. United States of America:
McGraw-Hills Companies;2012.p.1635-43.
17. Florian I. Nutrition and COPD dietary consideration for better breathing todays
dietitian [Online]. 2009. [Cited 2015 Nov 2]. Available from:
http://www.todaysdietitian.com/newarchives/td_020909p54.shtml.
18. Chaterine ER, Anne H, Lee L, Karin B. Epidemiology of chronic obstructive
pulmonary disease: a literature review. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis.
2012;19:457-94.
19. American Cancer Society. Secondhand smoke [Online]. 2015. [Cited 2015 Nov
11]. Available from:
http://www.cancer.org/cancer/cancercauses/tobaccocancer/secondhand-smoke.
20. American Lung Association. Health effect of secondhand smoke [Online]. 2015.
[Cited 2015 Nov 10]. Available from: http://www.lung.org/stop-
smoking/smoking-fas/health-effects-of-secondhand-smoke.html.
21. Celli BR. Predictor of mortality in COPD. Respir Med. 2010;6:773-79.
22. Halvani AH, Tavakoli M, Kamalabadi MS. Epidemiology of COPD in
inpatients [Online]. 2015. [Cited 2015 Nov 28]. Available from:
http://jssu.ssu.ac.ir/browse.php?a_id=1260&sid=1&slc_lang=en.

14

Anda mungkin juga menyukai