Anda di halaman 1dari 89

A.

HALUSINASI
1. Masalah utama
a. Definisi
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang
sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau
sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007). Perubahan
persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa pengertian
mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:
1. Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara,
bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu
(Hawari, 2005).
2. Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan.
Klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa
kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada
kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
3. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang
salah (Stuart, 2007).
4. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana
penderita mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Suatu penerapana panca indra tanpa ada rangsangan dari luar.
Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra
tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
b. Manifestasi Klinik
1) Fase pertama/comforting/menyenangkan
Pada fase ini penderita mengalami kecemasan, stress,
perasaan gelisah, kesepian. Penderita mungkin melamun atau
memfokuskan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk
menghilangkan kecemasan atau stres. Cara ini menolong untuk
sementara. Penderita masih mampu mengontrol kesadarannya dan
mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku penderita: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon

1
verbal yang lambat jika sedang dengan halusinasinya dan suka
menyendiri.
2) Fase kedua/comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman
internal dan eksternal, penderita berada pada tingkat listening pada
halusinasi. Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara
dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas,
penderita takut apabila orang lain mendengar dan penderita merasa
tidak mampu mengontrolnya. Penderita membuat jarak antara
dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah
halusinasi datang dari orang lain.
Perilaku penderita: meningkatnya tanda-tanda sistem saraf
otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
Pasien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan
dengan realistis.
3) Fase ketiga/controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol
penderita menjadi terbiasa dan tidak berdaya pada halusinasinya.
Termasuk gangguan psikotik. Karakteristik: bisikan, suara, isi
halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol penderita.
Penderita menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap
halusinasinya.
Perilaku penderita: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik
berupa berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah.
4) Fase keempat/conquering/panik
Penderita merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri
dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya
menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan
memarahi penderita tidak dapat berhubungan dengan orang lain
karena terlalu sibuk dengan halusinasinya, pasien berada dalam
dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jama atau
selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.

2
Perilaku penderita: perilaku teror akibat panik, potensi bunuh
diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak
mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu
berespon lebih dari satu orang.

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan


halusinasi adalah sebagai berikut:
a) Bicara sendiri.
b) Senyum sendiri.
c) Ketawa sendiri.
d) Menggerakkan bibir tanpa suara.
e) Pergerakan mata yang cepat
f) Respon verbal yang lambat.
g) Menarik diri dari orang lain.
h) Berusaha untuk menghindari orang lain.
i) Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
j) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan
darah.
k) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa
detik.
l) Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
m)Sulit berhubungan dengan orang lain.
n) Ekspresi muka tegang.
o) Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
p) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
q) Tampak tremor dan berkeringat.
r) Perilaku panik.
s) Agitasi dan kataton.
t) Curiga dan bermusuhan.
u) Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
v) Ketakutan.
w) Tidak dapat mengurus diri.
x) Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

3
c. Jenis Halusinasi
1) Pendengaran
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia,
hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan musik dalam
keadaan sadar tanpa adanya rangsang apapun (Maramis, 2005).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang
berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai
klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut
(Stuart, 2007).
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang.
Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang
jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan
lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang
terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh
untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
2) Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,
gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias
yang menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
3) Pengciuman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses
umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu
sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
4) Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5) Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.
6) Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernaan makan atau pembentukan urine.

4
7) Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

2. Proses Terjadinya Masalah


a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1) Biologis.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah
frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung
oleh otopsi (post-mortem).
2) Psikologis.
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b. Faktor Presipitasi

5
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan
setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan
tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap
stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
c. Mekanisme Koping
1) Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2) Proyeksi : menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan
berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal. (Stuart, 2007).

d. Rentang Respon Halusinasi

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguanpikir/delusi


Persepsi kuat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten dengan Reaksi emosi berlebihan Sulit berespon

6
Pengalaman atau kurang Perilaku
disorganisasi
Perilaku sesuai Perilaku aneh/tidak biasa Isolasi sosial
Berhubungan sosial Menarik diri

Halusinasi merupakan salah satu mal adaptif individu berada dalam


rentang respon neurobiology. Jadi merupakan persepsi paling adaptif
jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima
melalui panca indera. Klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu
stimulus itu tidak ada, di antara kedua respon tersebut adalah respon
individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu
salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai
ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya terhadap
stimulus pancaindera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima.

e. Pohon Masalah
Pathway halusinasi

7
f. Penatalaksaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara:
1) Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasa, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan
dilakukan secara individual dan diusahakan agar terjadi kontak mata,
bila perlu pasien di sentuh. Pasien jangan diisolasi baik secara fisik
atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati
pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan
meninggalkannya hendaknya pasien diberitahu. Pasien diberitahu
tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya disediakan
sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien
untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar
atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2) Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang diberikan sehubungan
dengan rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendekatan
sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati
agar obat yang diberikan betul di minum, serta reaksi obat yang
diberikan
3) Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah
yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat
menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya
halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.
Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien
atau orang lain yang dekat dengan pasien.
4) Memberi aktivitas pada pasien
Pasien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini
dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan

8
memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien diajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5) Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang
data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam
proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien
diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki
mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak
terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri
dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.
Percakapan ini hendaknya diberitahukan pada keluarga pasien dan
petugas lain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang
diberikan tidak bertentangan.
6) Farmakologi
a) Anti psikotik:
Chlorpromazine (Promactile, Largactile)
Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)
Stelazine
Clozapine (Clozaril)
Risperidone (Risperdal)
b) Anti parkinson
Trihexyphenidile
Arthan

g. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Halusinasi


Pengkajian
Data yang harus dikaji:
a) Alasan masuk RS
Umumnya pasien halusinasi dibawa ke rumah sakit karena
keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku
pasien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga
pasien di bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan
b) Faktor predisposisi

9
Faktor perkembangan lambat
Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa
aman
Usia balita tidak terpenuhi kebutuhan otonomi
Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan
c) Faktor komunikasi dalam keluarga
Komunikasi peran ganda
Tidak ada komunikasi
Tidak ada kehangatan
Komunikasi dengan emosi berlebihan
Komunikasi tertutup
Orang tua yang membandingkan anak-anaknya, orang tua yang
otoritas dan konflik dalam keluarga
d) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan
lingkungan yang terlalu tinggi.
e) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri,
ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas tidak jelas, krisis pesan,
gambaran diri negatif dan koping destruktif.
f) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa: atrofi otak, pembesaran
ventrikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
g) Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui
kromosom tertentu. Namun demikian kromosom yang keberapa
yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang dalam
tahap penelitian. Diduga letak gen schizofrenia adalah kromosom
nomor 6, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4, 8, 5, dan
22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan schizofrenia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara
jika di zygote peluangnya sebesar 15%, seorang anak yang salah

10
satu orang tuanya mengalami skizofrenia maka peluangnya
menjadi 35%.
h) Faktor presipitasi
Faktor-faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang
menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal
otak.
Mekanisme penghantaran listrik di saraf terganggu (mekanisme
penerimaan abnormal).
Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan
tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Menurut Stuart (2007), pemicu gejala respon neurobiologis
maladaptif adalah kesehatan, lingkungan dan perilaku:
Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama sikardian,
kelelahan dan infeksi, obat-obatan sistem saraf pusat,
kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan
Lingkungan
Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam melaksanakan pola
aktivitas sehari-hari, sukar dalama berhubungan dengan orang
lain, isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial tekanan kerja,
dan ketidakmampuan mendapat pekerjaan
Sikap
Merasa tidak mampu, putus asa merasa gagal, merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang, rendahnya kemampuan
sosialisasi, ketidakadekuatan pengobatan dan penanganan
gejala.

Perilaku
Respon perilaku pasien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku

11
merusak, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan,
bicara sendiri. Perilaku pasien yang mengalami halusinasi
sangat bergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat
mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi
maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya
sekedar mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi informasi
tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:
Isi halusinasi. Menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang
dikatakan.
Waktu dan frekuensi. Kapan pengalaman halusinasi muncul,
berapa kali sehari.
Situasi pencetus halusinasi. Perawat perlu mengidentifikasi
situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Perawat bisa
mengobservasi apa yang dialami pasien menjelang munculnya
halusinasi untuk memvalidasi pertanyaan pasien.
Respon pasien. Sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi
pasien. Bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh pasien saat
mengalami pengalaman halusinasi. Apakah pasien bisa
mengontrol stimulus halusinasi atau sebaliknya.
i) Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernapasan dan
tekanan darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang
dirasakan pasien.
Status mental
Penampilan : tidak rapi, tidak serasi
Pembicaraan : terorganisir/berbelit-belit
Aktivitas motorik : meningkat/menurun
Afek : sesuai/maladaptif
Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus
yang ada sesuai dengan informasi
Proses pikir : proses informasi yang diterima tidak berfungsi
dengan baik dan dapat mempengaruhi proses pikir
Isi pikir: berisikan keyakinanan berdasarkan penilaian realistis

12
Tingkat kesadaran
Kemampuan konsentrasi dan berhitung
Mekanisme koping
Regresi : malas beraktivitas sehari-hari
Proyeksi : perubahan suatu persepsi dengan berusaha
untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
Menarik diri : mempercayai orang lain dan sibuk dengan
stimulus internal
Masalah psikososial dan lingkungan : masalah berkenaan
dengan ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau
pemukiman

Masalah keperawatan yang mungkin muncul


Gangguan persepsi sensori: halusinasi
Isolasi sosial
Defisit perawatan diri
Risiko perilaku kekerasan

Rencana tindakan keperawatan


Tujuan
Pasien mampu :
- Mengenali halusinasi yang dialaminya
- Mengontrol halusinasinya
- Mengikuti program pengobatan
Keluarga mampu : Merawat pasien di rumah dan menjadi
sistem pendukung yang efektif untuk pasien

Kriteria Evaluasi Intervensi


Setelah 1x pertemuan, SP I
pasien dapat menyebutkan : a. Bantu pasien mengenal halusinasi (isi, waktu
a. Isi, waktu, frekuensi, terjadinya, frekuensi, situasi pencetus, perasaan saat
situasi pencetus, terjadi halusinasi.

13
perasaan. b. Latih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.
b. Mampu memperagakan Tahapan tindakannya meliputi :
cara dalam mengontrol 1) Jelaskan cara menghardik halusinasi.
halusinasi 2) Peragakan cara menghardik
3) Minta pasien memperagakan ulang.
4) Pantau penerapan cara ini, beri penguatan
perilaku pasien
5) Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
Setelah 2x pertemuan, SP 2
pasien mampu : a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
a. Menyebutkan kegiatan b. Tanyakan program pengobatan.
yang sudah dilakukan. c. Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada
b. Menyebutkan manfaat gangguan jiwa
dari program pengobatan d. Jelaskan akibat bila tidak digunakan sesuai program.
e. Jelaskan akibat bila putus obat.
f. Jelaskan cara mendapatkan obat/ berobat.
g. Jelaskan pengobatan (6B).
h. Latih pasien minum obat
i. Masukkan dalam jadwal harian pasien
Setelah 3x pertemuan SP 3
pasien mampu : a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1 dan 2).Latih
a. Menyebutkan kegiatan kegiatan agar halusinasi tidak muncul.
yang sudah dilakukan. Tahapannya :
b. Membuat jadwal kegiatan 1) Jelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk
sehari-hari dan mampu mengatasi halusinasi.
memperagakannya. 2) Diskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh
pasien.
3) Latih pasien melakukan aktivitas.
4) Susun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan
aktivitas yang telah dilatih (dari bangun pagi
sampai tidur malam)
5) Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan, berikan

14
penguatan terhadap perilaku pasien yang (+)
Setelah 4x pertemuan, SP 4
pasien mampu : a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1, 2, dan 3)
a. Menyebutkan kegiatan b. Latih berbicara / bercakap dengan orang lain saat
yang sudah dilakukan. halusinasi muncul
b. Memperagakan cara c. Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
bercakap-cakap dengan
orang lain

Setelah 1x pertemuan SP 1
keluarga a. Identifikasi masalah keluarga dalam merawat pasien.
a. Mampu menjelaskan b. Jelaskan tentang halusinasi :
tentang halusinasi 1) Pengertian halusinasi.
2) Jenis halusinasi yang dialami pasien.
3) Tanda dan gejala halusinasi.
4) Cara merawat pasien halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian obat & pemberian
aktivitas kepada pasien).
5) Sumber-sumber pelayanan kesehatan yang bisa
dijangkau.
6) Bermain peran cara merawat.
7) Rencana tindak lanjut keluarga, jadwal keluarga
untuk merawat pasien
Setelah 2x pertemuan SP 2
keluarga mampu : a. Evaluasi kemampuan keluarga (SP 1).
a. Menyelesaikan kegiatan b. Latih keluarga merawat pasien.
yang sudah dilakukan c. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat
b. Memperagakan cara pasien
merawat pasien

Setelah 3x pertemuan SP 3
keluarga mampu : a. Evaluasi kemampuan keluarga (SP 2)

15
a. Menyebutkan kegiatan b. Latih keluarga merawat pasien.
yang sudah dilakukan. c. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat
b. Memperagakan cara pasien
merawat pasien serta
mampu membuat RTL
Setelah 4 x pertemuan SP 4
keluarga mampu : a. Evaluasi kemampuan keluarga.
a. Menyebutkan kegiatan b. Evaluasi kemampuan pasien.
yang sudah dilakukan. c. RTL Keluarga:
b. Melaksanakan Follow Up Follow Up
rujukan Rujukan

B. ISOLASI SOSIAL
1. Masalah utama
a. Definisi
Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri
dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan
hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi
perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan
untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifeetasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian,
dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang,
2007). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain (Purba, 2008).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain

16
(Kelliat, 2006). Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan
hubungan interpresonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang
tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000).
b. Tanda dan Gejala
Menurut Purba (2008), tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
1) Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2) Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang
lain
4) Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5) Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6) Pasien merasa tidak berguna
7) Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
2. Proses terjadinya masalah
a. Etiologi
1) Faktor predisposisi
a) Faktor tumbuh kembang
Faktor perkembangan kemampuan membina hubungan yang sehat
tergantung dari pengalaman selama proses tumbuh kembang.
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini
tidak terpenuhi akan menghambat perkembangan selanjutnya,
kurang stimulasi kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu
(pengasuh) pada bayi akan membari rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya. Rasa ketidakpercayaan
tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain
maupun lingungan di kemudian hari.
Menurut Purba (2008), tahap-tahap perkembangan individu dalam
terdiri dari:
Masa bayi

17
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untu memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan
antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa
percaya yang mendasar. Bayi yang mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
Masa kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai
membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi
apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu di kontrol, hal ini
dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga
dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen.
Masa praremaja dan remaja
Pada praremaja individu akan mengembangkan hubungan
dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari nilai-
nilai yang ada di masyarakat. Pada masa ini hubungan individu
dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila
remaja tidak mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut,
yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan.
Masa dewasa muda
Individu meningkatkan kemandirian serta mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang
tua. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan
menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan
interpersona; pada dewasa muda adalah saling memberi dan
menerima (mutuality).
Masa dewasa tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan
anak-anak terhadap dirinya menurun. Kebahagiaan akan dapat

18
diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
Masa dewasa akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan
keadaan fisik, orang tua, pasangan hidup, teman, maupun
pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut
ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
b) Faktor biologi
Genetik adalah salah satu faktor pendukung gangguan jiwa, faktor
genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptive ada
bukri terdahulu tentang terlibatnya neurotransmitter dalam
perkembangan ganguan ini namun tahap masih diperlukan
penelitian lebih lanjut.
c) Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya
anggota keluarga, yang tidak produktif, diasingkan dari orang lain.
d) Faktor komunikasi dalam keluarga
Pola komunikasai dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang
kedalam gangguan berhubungan bila keluarga hanya
mengkomunikasikan hal-hal yang negatif akan mendorong anak
mengembangkan harga diri rendah dan gangguan tingkah laku,
seperti:
Sikap bermusuhan/hostilitas
Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan
untuk mengungkapkan pendapatnya
Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota
keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka,
terutama dalam pemecahan masalah tidak terselesaikan secara
terbuka dan musyawarah

19
Ekspresi emosi yang tinggi
Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat)

2) Faktor presipitasi
a) Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan
yang penuh stress seperti kehilangan yang mempengaruhi
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan
menyebabkan ansietas.
b) Stressor sosial budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga
dan berpisah dengan orang yang berarti dalam kehidupannya,
misalnya dirawat di rumah sakit, perceraian, berpisah dengan
orang yang dicintai, kehilangan pasangan usia tua, kesepian
karena ditinggal jauh.
c) Stressor psikologis
Ansietas berkepanjangan terjadi bersama dengan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasi tuntutan untuk berpisah dangan
orang terdekat atau kebanyakan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan ansietas
tinggi.
d) Stressor biokimia
Teori dopamine : kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, makan
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
Faktor endokrin : jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami

20
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical
seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
Viral hipotesis : beberapa jenis virus dapat menyebabkan
gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat
merubah struktur sel-sel otak.

3) Mekanisme koping
Mekanisme koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan pada menarik diri
adalah proyeksi dan represi:
Proyeksi adalah keinginan yang tidak dapat ditoleransi,
mencurahkan emosi kepada oranglain, karena kesalahan yang
dilakukan sendiri.
Regresi adalah menghindari setres, kecemasan dengan
menampilkan prilaku kembali seperti pada perkembangan anak
Represi adalah menekan perasaan atau pengalaman yang
menyakitkan atau komflik atau ingatan dari kesadaran yang
cendrung memperkuat mekanisme ego lainya

4) Perilaku
Menarik diri : kurang spontan, apatis, ekspresi wajah kurang
berseri, defisit perawatan diri, komunikasi kurang, isolasi diri, tidak
atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
aktivitas menurun, kurang berenergi, rendah diri, retensi urine dan
feces postur tubuh sikap fetus.
Curiga : tidak percaya orang lain, bermusuhan, isolasi sosial,
paranoiaisolasi
Manipulasi : kurang asertif, isolasi sosial, harga diri rendah,
tergantung pada orang lain, ekspresi perasaan tidak langsung
pada tujuan.

21
b. Rentang Respon
Manusia adalah mahluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam
kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal yang
positif, hubungan interpersonal yang sehat terjadi jika individu yang
terlibat saling merasakan kedekatan sementara identitas peribadi masih
tetap dipertahankan. Jadi perlu untuk membina perasaan saling
tergantung yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan
kemandirian dalam suatu hubungan
Perilaku yang teramati pada respon sosial maladaptif mewakili
upaya individu untuk mengatasi ansietas yang berhubungan dengan
kesepian, rasa takut, kemarahan, malu, rasa bersalah dan merasa tidak
aman. Sering kali respon yang terjadi meliputi manipulasi, anarkisme
impulsif.

Rentan Respon Isolasi Sosial

Respon adaptif Respon maladaptif

Menyendiri Merasa Sendiri Menarik Diri


Otonomi Dependensi Ketergantungan

Bekerja Sama Curiga Manipulasi


Interdependen Curiga

1) Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma-norma sosial


dan kebudayaaan yang berlaku dimana individu tersebut
menyelesaikan masalahnya masih dalam batas normal.
2) Respon maladaptive adalah respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalahnya.yang sudah menyamping dari norma-
norma sosial dan kebudayaan suatu tempat.prilaku yang berhubungan

22
dengan respon sosial maladaptive, adalah menipulasi, impulsive dan
narkisme, perilaku yang brhubungan dengan respon sosial
maladaptive, adalah menipulasi, impulsive dan narkisme prilaku yang
berhubungan dengan respon sosial mal adaptif.

c. Pohon Masalah
Pathway isolasi sosial

d. Akibat Yang Ditimbulkan


Perilaku isolasi sosial: menarik diri dapat berisiko terjadinya
perubahan persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori
halusinasi adalah persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus
eksternal) atau persepsi sensori yang tidak sesuai dengan
realita/kenyataan seperti melihat bayangan atau mendengarkan suara-
suara yang sebenarnya tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun
dari panca indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan
terbangun yang dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional,
organik atau histerik. Halusinasi merupakan pengalaman
mempersepsikan yang terjadi tanpa adanya stimulus sensori eksternal
yang meliputi 5 perasaan (penglihatan, pendengaran, pengecapan,

23
penciuman, perabaan) akan tetapi yang paling umum adalah
pendengaran.

e. Penatalaksanan
1) Terapi psikofarmaka
a) Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realistis, kesadaran terganggu, daya ingat norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental:
faham, halusinasi. Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh
atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan
otonomi (hipotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut kering,
kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intra okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra
pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk
pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
darah, epilepsi, dan kelainan jantung (Andrey, 2010).
b) Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defekasi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan infra meninggi, gangguan
irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit
darah, epilepsi, dan kelainan jantung (Andrey, 2010).
c) Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan
fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi ginjal, retensi urine. Kontraindikasi

24
terhadap hypersensitive trihexyphenidil (THP), glukoma sudut
sempit, psikosis berat, psikoneuresis (Andrey, 2010).
2) Terapi individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing SP yang berbeda.
3) Terapi kelompok
Menurut Purba (2008), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar yaitu:
a) Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu
semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan
dengan BAB dan BAK.
Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang, dan setelah makan dan minum.
Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku, dan lain-
lain.
Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauh mana pasien
mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri,
seperti tidak menggunakan/menaruh benda tajam
sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat di
tempat berbahaya tanpa tujuan yang positif.

25
Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku
pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan
gejala primer yang muncul pada gangguan jiwa. Dalam hal
ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
bagaimana pasien mengawali tidur.
b) Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan
sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien
untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien,
misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawan dan
sebagainya.
Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien
untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas,
misalnya tegur sapa, menjawab pertanyaan ketika di tanya,
bertanya jika ada kesulitan, dan sebagainya.
Kontak mata saat berbicara, yaitu sikap pasien ketika
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan
saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
komunikasi.
Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok
(lebih dari dua orang).
Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan
rumah sakit.
Sopan santun, tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap teman dan petugas
maupun orang lain.
Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien
yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori

26
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak
membuang puntung rokok sembarangan, dan sebagainya.

f. Data Yang Perlu Dikaji


Masalah Data yang perlu dikaji
keperawatan
Isolasi sosial Subjektif:
a. Pasien mengatakan malas bergaul denga orang
lain
b. Pasien mengatakan dirinya tidak ingn ditemani
perawat dan meminta untuk sendiri
c. Pasien mengatakan tidak mau berbicara
dengan oran lain.
d. Tidak mau berkomunikasi

Objektif:
a. Kurang spontan
b. Apatis ( acuh terhadap lingkungan)
c. Ekspresi wajah kurang berseri
d. Tidak merawat diri sendiridan tidak
memperhatikan kebersihan
e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
f. Mengisolasi diri
g. Asupan makanan dan minuman terganggu
h. Retensi urin dan feses
i. Aktivitas menurun
j. Kurang berenergi atau bertenaga
k. Rendah diri
l. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus
atau janin (khususnya pada posisi tidur)

27
g. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, tanggal MRS, informan, tanggal pengkajian, alamat
pasien
b) Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam diri di kamar, menolak
interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari,
dependen.
c) Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua
yang tidak realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari
kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang
tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami,
putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi
(korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakukan
orang lain yang tidak menghargai pasien/perasaan negatif
terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
d) Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital, TB, BB, dan keluhan fisik
yang dialami pasien.
e) Aspek psikososial
Genogram yang menggambarkan tiga generasi
Konsep diri
- Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau

28
yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh,
persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian
tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
- Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan
keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan
- Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan
penyakit, proses menua, putus sekolah, dan PHK.
- Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya:
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi
- Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap
diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan
martabat, mencedarai diri dan kurang percaya diri.
Pasien mempunyai gangguan/hambatan dalam
melakukan hubungan sosial dengan orang terdekat dalam
kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat
Keyakinan pasien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk
ibadah terhambat.
- Status mental
Kontak mata pasien kurang/tidak dapat mempertahankan
kontak mata, kurang dapat memulai pembicaraan, pasien
suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan
orang lain, adanya perasaan keputusasaan dan kurang
berharga dalam hidup
- Kebutuhan persiapan pulang
Pasien mampu menyiapkan dan membersihkan alat
makan

29
Pasien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan WC, membersihkan dan merapikan
pakaian.
Pada observasi mandi dan cara berpakaian pasien terlihat
rapi
Pasien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat
beraktivitas di dalam dan di luar rumah.
Pasien dapat menjalankan program pengobatan dengan
benar
- Mekanisme koping
Pasien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau
menceritakannya pada orang lain (lebih sering
menggunakan koping menarik diri)
- Aspek medik
Terapi yang diterima pasien bisa berupa therapi farmakologi,
psikomotor, terapi okupasional, TAK dan rehabilitas.

f) Masalah yang mungkin muncul


Isolasi sosial
Harga diri rendah kronis
Perubahan persepsi sensori : halusinasi
Koping invidu tidak efektif
Koping keluarga tidak efektif
Intoleransi aktivitas
Defisit perawatan diri
Risiko tinggi mencederai diri sendri, orang lain, dan lingkungan.

g) Rencana tindakan keperawatan


Diagnosa: isolasi sosial
Tujuan Kriteria hasil Intervensi
Setelah dilakukan a. Pasien dapat Pasien
tindakan membina hubungan SP 1

30
keperawatan saling percaya. a. Bina hubungan saling percaya
selama 3 x 24 jam, b. Dapat menyebutkan b. Identifikasi penyebab isolasi sosial
pasien dapat penyebab isolasi
berinteraksi dengan sosial. SP 2
orang lain baik c. Dapat menyebutkan a. Diskusikan bersama Klien
secara individu keuntungan keuntungan berinteraksi dengan
maupun secara berhubungan orang lain dan kerugian tidak
berkelompok. dengan orang lain. berinteraksi dengan orang lain
d. Dapat menyebutkan b. Ajarkan kepada Klien cara
kerugian tidak berkenalan dengan satu orang
berhubungan c. Anjurkan kepada Klien untuk
dengan orang lain. memasukan kegiatan berkenalan
e. Dapat berkenalan dengan orang lain
dan bercakap- dalam jadwal kegiatan harian
cakap dengan dirumah
orang lain secara
bertahap. SP 3
f. Terlibat dalam a. Evaluasi pelaksanaan dari jadwal
aktivitas sehari-hari kegiatan harian pasien
b. Beri kesempatan pada pasien
mempraktekan cara berkenalan
dengan dua orang
c. Ajarkan pasien berbincang-bincang
dengan dua orang tetang topik
tertentu
d. Anjurkan kepada pasien untuk
memasukan kegiatan berbincang-
bincang dengan orang lain
dalam jadwal kegiatan harian
dirumah

SP 4
a. Evaluasi pelaksanaan dari jadwal

31
kegiatan harian pasien
b. Jelaskan tentang obat yang
diberikan (Jenis, dosis, waktu,
manfaat dan efek samping obat)
c. Anjurkan pasien memasukan
kegiatan
bersosialisasi dalam jadwalkegiatan
harian dirumah
d. Anjurkan pasien untuk bersosialisasi
dengan orang lain

Keluraga
a. Diskusikan masalah yang dirasakan
kelura dalam merawat pasien
b. Jelaskan pengertian, tanda dan
gejala isolasi sosial yang dialami
pasien dan proses terjadinya
c. Jelaskan dan latih keluarga cara-
cara merawat pasien
Tindakan psikofarmaka
a. Beri obat-obatan sesuai program
b. Pantau keefektifan dan efek sampig
obat yang diminum
c. Ukur vital sign secara periodik

Tindakan manipulasi lingkungan


a. Libatkan dalam makan bersama
b. Perlihatkan sikap menerima dengan
cara melakukan kontak singkat tapi
sering
c. Berikan reinforcement positif setiap
Klien berhasil melakukan suatu
tindakan

32
d. Orientasikan pasien pada waktu,
tempat, dan orang sesuai
kebutuhannya

C. PERILAKU KEKERASAN
1. Masalah utama
a. Pengertian
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasanatau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan
campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasarkan
keadaan emosi yang mendalam dari setiap orang sebagai bagian
penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke
lingkungan, kedalam diri atau destruktif (Yoseph, 2010). Perilaku
kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko
menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain
(Carpenito, 2000). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan ketika
individu mengalami perilaku yang secara fisik dapat membahayakan
bagi diri sendiri atau pun orang lain (Sheila L. Videbeck, 2008).
b. Manifestasi Klinis
Menurut Keliat (2006) adalah:
1) Pasien mengatakan benci / kesal dengan seseorang
2) Suka membentak
3) Menyerang orang yang sedang mengusiknya jika sedang kesal atau
kesal
4) Mata merah dan wajah agak merah
5) Nada suara tinggi dan keras
6) Bicara menguasai
7) Pandangan tajam
8) Suka merampas barang milik orang lain

33
9) Ekspresi marah saat memnicarakan orang
Menurut Fitria, (2006), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, adalah
sebagai berikut:
1. Fisik : pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara
dengan nada keras dan kasar, sikap ketus.
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,
merusak lingkungan, sikap menentang, dan amuk/agresif.
4. Emosi : jengkel, selalu menyalahkan, menuntut, perasaan
terganggu, dan ingin berkelahi.
5. Intelektual: mendominasi, cerewet atau bawel, meremehkan, suka
berdebat, dan mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Sosial : penolakan untuk didekati, mengasingkan diri, melakukan
kekerasan, suka mengejek, dan mengkritik.
7. Spiritual: merasa diri berkuasa, tidak realistik, kreatifitas terlambat,
ingin orang lain memenuhi keinginannya, dan merasa diri tidak
berdosa.
2. Proses terjadinya masalah
a. Etiologi
1) Faktor Predisposisi
a) Faktor Psikologis
Psiconalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instructual drives. Freud
berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
insting, pertama insting hidup yang diekspresikan dengan
seksualitas ; dan kedua : insting kematian yang diekspresikan
dengan agresifitas. Teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan
arti dalam kehidupannya.

34
Teori Pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku
yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik
terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi
oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa
faktor predisposisi biologik
b) Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-
respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin
besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon
terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan
respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku
kekerasan, adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi
agresif mana yang diterima atau tidak dapat diterima sehingga dapat
membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang
asertif. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan
menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah
dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan.
c) Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif
mempunyai dasar biologis, penelitian neurobiologis mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus
(yang berada ditengah sistem limbik). Berdasarkan teori biologis, ada
beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan
perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut.
Pengaruh Neurofisiologik, beragam komponen neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sengat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respon agresif.
Pengaruh Biokimia, menurut Goldsten dalam Townsend
menyatakan bahwa berbagai neurotransmiter (epinefrin,
norepinefrin, dopamin, asetilkolin dan serotonin) sangat berperan

35
dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan
hormon androgen dan norepinefrin serta penurunan serotinin dan
GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor
predisposisi penting yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku
agresif pada seseorang.
Pengaruh Genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY,
yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak
kriminal (narapidana).
Gangguan Otak, sindrom otak organik berhubungan dengan
bernagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik
dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi
(epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
2) Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila
merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury
secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap
konsep diri seseorang, ketika sesorang merasa terancam, mungkin
dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal,
contoh stressor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan
hubungan yang dianggap bermakna dan adanya kritikan dari orang
lain, sedangkan contoh dari stressor internal : merasa gagal dalam
bekerja, merasa kehilangan seseoranga yang dicintai, dan ketakutan
terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut pandang
perawat- pasien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku
kekerasan terbagi dua yaitu :
a) Pasien (internal) : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak
berdayaan, kurang percaya diri, hilang kontrol, rasa takut sakit.
b) Lingkungan (eksternal) : ribut, kehilangan orang atau objek yang
berharga, konflik interaksi social. Hal-hal yang dapat menimbulkan
perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut:

36
kesulitan kondisi sosial ekonomi.
kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya
danketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang
yang dewasa.
Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menhadapi rasa frustasi.
kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan perubahan tahap perkembangan keluarga.
b. Fase-fase Perilaku Kekerasan
1) Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien.
Beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu agresi antara laian:
provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi
yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap jarak
personal, dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini pasien dan
keluarga baru datang.
2) Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan
dengan respon fight or flight. Pada fase escalasi kemarahan pasien
memuncak, dan belum terjadi tindakan kekerasan. Pemicu dari
perilaku agresif pasien gangguan psikiatrik bervariasi misalnya:
halusinasi, gangguan kognitif, gangguan penggunaan zat, kerusakan
neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak efektif.
3) Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de
escalation gagal mencapai tujuannya. Pada fase ini pasien sudah
melakukan tindakan kekerasan.
4) Settling phase
Pasien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi
marahnya. Mungkin masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko
kembali ke fase awal.

37
5) Post crisis depression
Pasien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan
berfokus pada kemarahan dan kelelahan.
6) Return to normal functioning
Pasien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas,
depresi, dan kelelahan.
c. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1) Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf
otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan
tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar,
sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine
dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat
diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal,
tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat
2) Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif.
Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan
marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa
menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu
perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri pasien.
3) Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku acting
out untuk menarik perhatian orang lain.
4) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.
d. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping pasien,
sehingga dapat membantu pasien untuk mengembangkan mekanisme
koping yang kontruktif dalam mengekspresikan kemarahannya.

38
Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi,
represif, denial dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang
dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut
tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga
diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan
memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang
meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan
berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal
ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau
menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal
(regimen terapeutik inefektif.
e. Rentang Respon
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon
pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon
melawan dan menetang merupakan respon maladaptive, yaitu agresif-
kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang rendah sampai
yang tinggi, yaitu:

Rentang respon perilaku kekerasan

Respon adaptif Respon mal adaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

39
1) Asertif: mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain
dan merasa lega jarak bicara tepat, kontak mata tapi tidak
mengancam, sikap serius tapi tidak mengancam, tubuh lurus dan
santai, pembicaraan penuh percaya diri, bebas untuk menolak
permintaan, bebas mengungkapkan alasan pribadi kepada orang lain,
bisa menerima penolakan orang lain, mampu menyatakan perasaan
pada orang lain, mampu menyatakan cinta orang terdekat, mampu
menerima masukan/kritik dari orang lain. Jadi bila orang asertif marah,
dia akan menyatakan rasa marah dengan cara dan situasi yang tepat,
menyatakan ketidakpuasannya dengan memberi alasan yang tepat.
2) Frustasi: merasa gagal mencpai tujuan disebabkan karena tujuan
yang tidak realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.
3) Pasif: diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang sedang dialami
4) Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati
orang lain mengancam, member kata-kata ancaman tanpa niat
menyakiti. Bila marah, orang ini akan menyembunyikan marahnya
sehingga menimbulkan ketegangan bagi dirinya. Bila ada orang mulai
memperhatikan non verbal marahnya, orang ini akan menolak
dikonfrontasi sehingga semakin menimbulkan ketegangan bagi
dirinya. Sering berperilaku seperti memperhatikan, tertarik, dan
simpati walau dalam dirinya sangat berbeda. Kadang-kadang
bersuara pelan, lemah, seperti anak kecil, menghindar kontak mata,
jarak bicara jauh dan mengingkari kenyataan. Ucapan sering
menyindir atau bercanda yang keterlaluan.
5) Kekerasan: sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain dengan
menakutkan, member kata kata ancaman, disertai melukai pada
tingkat ringan, danyang paling berat adalah merusak secara serius.
Klien tidak mampu mengendalikan diri.
Menurut Fitria (2006), adapun perbedaan perilaku pasif, asertif dan
agresif, seperti pada tabel berikut:
Tabel: Perbandingan Antara Perilaku Pasif, Asertif, Dan Agresif

40
Pasif Asertif Agresif

Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan


pembicaraan merendahkan menawarkan diri, merendahkan
diri,contohnya diri,contohnya orang
perkataan:Dapatkah perkataan: Saya lain,contohnya
saya dapat. perkataan:Kamu
selalu
Dapatkah kamu Saya akan
Kamu tidak
pernah.

Tekanan Cepat, lambat, Sedang Keras dan ngotot


suara mengeluh

Posisi badan Menundukkan Tegap dan santai Kaku, condong ke


kepala depan

Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak


dengan sikap jarak yang yang akan
mengabaikan nyaman menyerang

Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi


tenang menyerang

Kontak mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan


tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan

f. Penatalaksanaan
Seorang perawat harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan
agitasi pasien, hirarki perilaku agresif dan kekerasan. Disamping itu,
perawat harus mengkaji pula afek pasien yang berhubungan dengan
perilaku agresif. Kelengkapan pengkajian dapat membantu perawat
dalam membina hubungan terapeutik dengan pasien, mengkaji perilaku

41
yang berpontensi kekerasan, mengembangkan suatu perencanaan,
mengimplementasikan perencanaan, dan mencegah perilaku kekerasan.
(Yosep, 2010).
Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk
mencegah dan mengelola perilaku agresif. Intervensi dapat melalui
rentang intervensi keperawatan.
1) Kesadaran diri
Perawat harus menyadari bahwa stress yang dihadapi dapat
mempengaruhi komunikasinya dengan pasien. Bila perawat tersebut
merasa letih, cemas, marah, atau apatis maka akan sulit baginya
membuat pasien tertarik. Untuk mencegah semua itu, maka perawat
harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan
supervise dengan memisahkan antara masalah pribadi dan masalah
pasien.
2) Pendidikan pasien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikai dan cara
mengekpresikan marah yang tepat. Banyak pasien yang mengalami
kesulitan mengekpresikan perasaan, kebutuhan, hasrat, dan bahkan
kesulitan mengkomunikasikan semua ini pada orang lain. Jadi dengan
perawat berkomunikasi yang terapeutik diharapkan agar pasien mau
mengekpresikan perasaannya, lalu perawat menilai apakah respon
yang diberikan pasien adaptif atau maladaptif.
3) Latihan Asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat
yaitu mampu berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang,
mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan, sanggup
melakukan komplain, dan mengekpresikan penghargaan dengan
tepat.
4) Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan pasien agresif adalah bersikap
tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan menghakimi, bicara netral
dengan cara yang kongkrit, tunjukkan sikap respek, hindari kontak
mata langsung, fasilitasi pembicaraan, dengarkan pembicaraan,

42
jangan terburu-buru menginterpretasikan, dan jangan membuat janji
yang tidak dapat ditepati.
5) Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti:
membaca, kelompok program yang dapat mengurangi perilaku pasien
yang tidak sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya seperti terapi
aktivitas kelompok. Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan salah
satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok
pasien yang mempunyai masalah yang sama. Aktivitas digunakan
sebagai terapi sedangkan kelompok digunakan sebagai target
sasaran (Keliat dan Akemat, 2005). TAK yang sesuai dengan perilaku
kekerasan adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi:
perilaku kekerasan.
6) Tindakan perilaku
Tindakan perilaku pada dasarnya membuat kontrak dengan pasien
mengenai perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima,
konsekuensi yang didapat bila kontrak dilanggar.
g. Pohon Masalah

h. Data Yang Perlu dikaji


Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji
Perilaku Kekerasan Subjektif :
Pasien mengancam
Pasien mengumpat dengan kata-kata
kotor

43
Pasien mengatakan dendam dan jengkel
Pasien mengatakan ingin berkelahi
Pasien menyalahkan dan menuntut
Pasien meremehkan

Objektif :
Mata melotot
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras

i. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas pasien
b) Penanggung jawab
c) Keluhan utama: pasien mengeluh sering marah karena tidak bisa
hidup seperti orang lain yang normal, terkadang mengamuk,
mengancam hingga memukul orang
d) Alasan masuk: pasien bingung, labil, marah-marah, mengamuk
mengancam, gelisah, sulit tidur, hiperaktif, bicara kacau dan bicara
sendiri, sulit dikendalikan, memukul orang lain.
e) Faktor predisposisi
Riwayat penyakit pasien
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat masa lalu
f) Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik
g) Psikososial
Genogram
Konsep diri
- Citra tubuh: pasien mengatakan bagian tubuh yang paling
disukai adalah kaki, karena kuat.

44
- Identitas: pasien mengatakan anak ke 2 dari 7
- Peran: pasien mengatakan dirumah atau di dalam keluarga
sebagai anak.
- Ideal diri: pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan pulang,
pasien merasa bosan keluar masuk rumah sakit jiwa.
- Harga diri: pasien mengatakan orang yang paling dekat dengan
pasien adalah ibu dan ayahnya, pasien mengatakan malu
karena belum menikah dan sepertinya tidak ada harapan untuk
menikah
Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat.
Spiritual
h) Status mental
Penampilan
Pembicaraan
Aktivitas motorik
Alam perasaan
Afek
Interaksi selama wawancara
Persepsi
Pola pikir
Tingkat kesadaran
Memori
Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan penilaian
Daya tilik diri
i) Kebutuhan persiapan pulang
Makan
BAB/BAK
Mandi
Berpakaian/berhias
Istirahat dan tidur
Penggunaan obat
Pemeliharaan kesehatan

45
Kegiatan di dalam rumah
j) Mekanisme koping
Mampu berbicara dengan orang lain
Mampu menjelaskan masalah ringan
Lebih suka diam jika ada masalah
k) Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah dengan kelompok
Masalah dengan lingkungan
Masalah dengan kesehatan
Masalah dengan perumahan
Masalah dengan ekonomi
l) Aspek medik
2) Masalah keperawatan
a) Perilaku kekerasan
b) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c) Perubahan persepsi sensori: halusinasi
d) Harga diri rendah kronis
e) Isolasi sosial
f) Berduka disfungsional
g) penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
h) koping keluarga inefektif
3) Diagnosis
Perilaku kekerasan
4) Rencana tindakan
Tujuan Umum : pasien tidak melakukan tindakan kekerasan baik
kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Tujuan Khusus :
- pasien dapat membina hubungan saling percaya.
- Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
- Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
- Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.

46
- Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya
secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
Tindakan keperawatan
- SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, identifikasi
penyebab perasaan marah, tanda dan gejala yang dirasakan,
perilaku kekerasan yang dilakukan, akibatnya serta cara
mengontrol secara fisik I yaitu latihan napas dalam dan pukul
kasur dan bantal.
- SP 2 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
obat.
o Evaluasi latihan nafas dalam dan pukul kasur dan bantal
o Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima
benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara
minum obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat)
disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat.
o Susun jadual minum obat secara teratur
o Susun jadwal kegiatan harian cara kedua
- SP 3 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
sosial/verbal:
o Evaluasi jadwal harian untuk dua cara fisik
o Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik.
- SP 4 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
spiritual
o Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik dan sosial/verbal
o Latihan sholat/berdoa
o Buat jadwal latihan shoalat/berdoa

47
D. WAHAM
1. Masalah Utama
a. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat
terus-menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat,
2006). Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian
realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya klien (Aziz R, 2003).
b. Tanda Dan Gejala
1) Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat): cara berpikir magis
dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan pengorganisasian bicara
(tangensial, neologisme, sirkumtansial), isi pembicaraan tidak sesuai
dengan kenyataan, tidak bisa membedakan antara kenyataan dan
bukan kenyataan, mendominasi pembicaraan, berbicara kasar
2) Fungsi persepsi: depersonalisasi dan halusinasi
3) Fungsi emosi: afek tumpul kurang respon emosional, afek datar, afek
tidak sesuai, reaksi berlebihan, ekspresi muka sedih/ gembira/
ketakutan, mudah tersinggung ambivalen.
4) Fungsi motorik: impulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, stereotopik
gerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi
stimulus yang jelas, gerakan tidak terkontrol, katatonia.
5) Fungsi sosial: kesepian, isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri
rendah.
6) Dalam tatanan keperawatan jiwa respon neurobiologis yang sering
muncul adalah gangguan isi pikir: waham dan gangguan persepsi
sensori: halusinasi.
c. Macammacam waham
1) Waham agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, di ucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. contoh : kalau
saya mau masuk surga saya harus mengunakan pakaian putih setiap
hari , atau klien mengatakan bahwa diri nya adalah tuhan yang dapat
mengendalikan mahkluk nya.

48
2) Waham kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa diri nya memiliki kekuatan
khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain, di ucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh : saya
ini pejabat di departemen kesehatan lhooooo......... saya punya
tambang emas !
3) Waham curiga
Keyakinan bahwa seseorang tau sekelompok orang berusaha
merugikan atau mencederai diri nya, di ucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh : saya tau ...........semua
saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka semua
iri dengan kesuksesan yang di alami saya.
4) Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh tau bagian tubuh nya terganggu
atau terserang penyakit, di ucapkan berulag-ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan. Contoh : klien selalu mengatakan bahwa diri nya
sakit kanker,namun setelah di lakukan pemeriksaa laboraturium tidak
di temuka ada nya sel kanker pada tubuh nya.
5) Waham nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa diri nya sudah meninggal dunia, di
ucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai denga kenyataan. Contoh
: ini akan alam kubur nya, semua yang ada di sini adalah roh-roh.
6) Status metal
Berdandan dengan baik dan berpakian rapi, tetapi mingkin terlihat
eksentrik dan aneh.tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan
terhadap orang lain.klien biasa cerdik ketika di lakukan pemeriksaan
sehingga dapat memanipulasi data selain itu perasaan hati nya
konsisten dengan isi waham.
7) Sensori dan kognis
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik
terhadap orang, tempat, dan waktu. Daya ingat atau kognisi lain biasa
nya akurat. Pengendaliaan implus pada klien waham perlu di

49
perhatikan bila terlihat ada nya rencana untuk bunuh diri, membunuh,
atau mealuka kekerasan pada orang lain.
2. Proses terjadinya masalah
a. Konsep dasar
1) Etiologi
a) Faktor predisposisi
Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan
interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan
ansietas yang berakir dengan gangguan presepsi, klien
menekankan perasaan nya sehingga pematangan fungsi
intelektual dan emosi tidak efektif
Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa di asingkan dan kesepian dapat
menyebabkan timbul nya waham
Faktor psikologi
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan
dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan
pengingkaran terhadap kenyataan
Faktor biologis
Waham di yakini terjadi karena ada nya atrofi otak,
pembesaran ventrikel di otak atau perubahan pada sel kortikal
dan lindik
Faktor genetik
b) Faktor presipitasi
Faktor sosial budaya
Waham dapat di picu karena ada nya perpisahan dengan orang
yang berarti atau di asingkan dari kelompok
Faktor biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lain nya di duga
dapat menjadi penyebab waham pada seseorang
Faktor psikologis

50
Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan
untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang menyenagkan.
b. Fase- fase tejadinya waham
Proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1) Fase of human needm
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik pasien dengan waham dapat
terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat
terbatas. Biasanya pasien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial
dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self
ideal sangat tinggi.
2) Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta
dorongn kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar
lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
3) Fase control internal external
Pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-
apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan
tidak sesuai dengan keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi
pasien adalah suatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk
diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan
menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar pasien
mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu
tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan
hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan
orang lain.

51
4) Fase envinment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai pasien dalam
lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama
kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah
mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
(super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat
berbohong.
5) Fase comforting
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri
dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6) Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap
waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema
waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu
atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang).
Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

c. Rentang respon

d. Pohon diagnosis

52
e. Masalah keperawatan dan data yang perlu di kaji
1) Pengkajian
a) Identitas pasien
b) Penanggung jawab
c) Keluhan utama
d) Alasan masuk.
e) Faktor predisposisi
Riwayat penyakit pasien
Riwayat pengobatan
Riwayat trauma
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat masa lalu yang tidak menyenangkan
f) Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik
g) Psikososial
Genogram

53
Konsep diri
- Citra tubuh
- Identitas
- Peran
- Ideal diri
- Harga diri
Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat,
hambatan dalam hubungan dengan orang lain.
Spiritual: nilai keyakinan, kegiatan ibadah.
h) Status mental
Penampilan
Pembicaraan
Aktivitas motorik
Alam perasaan
Afek
Interaksi selama wawancara
Persepsi
Pola pikir
Tingkat kesadaran
Memori
Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan penilaian
Daya tilik diri
i) Kebutuhan persiapan pulang
Makan
BAB/BAK
Mandi
Berpakaian/berhias
Istirahat dan tidur
Penggunaan obat
Pemeliharaan kesehatan
Kegiatan di dalam rumah
j) Mekanisme koping

54
Mampu berbicara dengan orang lain
Mampu menjelaskan masalah ringan
Lebih suka diam jika ada masalah
k) Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah dengan kelompok
Masalah dengan lingkungan
Masalah dengan kesehatan
Masalah dengan perumahan
Masalah dengan ekonomi
l) Aspek medik

3. Analisa data
Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji
Perubahan Proses Pikir : Subjektif :
waham - Klien mengatakan bahwa dirinya
adalah orang yang paling hebat.
- klien mengatakan bahwa ia memiliki
kebesaran atau kekuasaan khusus.

Objektif:
- Klien terlihat trus ngoceh tentang
kemampuan yang di milikinya
- Pembicara klien cendrung berulang .
- Isi pembicara tidak sesuai dengan
kenyataan.

4. Diagnosis Keperawatan
Perubahan proses pikir: waham
5. Rencana tindakan Keperawatan
Tujuan kriteria evaluasi Intervensi
Pasien mampu : Setelah ....x SP 1 :
Berorientasi kepada pertemuan, pasien Identifikasi kebutuhan
realitas secara bertahap. dapat memenuhi pasien.
Mampu berinteraksi kebutuhannya. Bicara konteks realita (

55
dengan orang lain dan tidak mendukung atau
lingkungan. membantah waham
Menggunakan obat dengan pasien).
prinsip 6 benar. Latih pasien untuk
memenuhi
kebutuhannya dasar
.
Masukkan dalam
jadwal harian pasien.
Setelah ....X SP 2 :
pertemuan, pasien Evaluasi kegiatan
mampu : yang lalu ( SP 1).
Menyebutkan Identifikasi potensi/
kegiatan yang sudah kemampuan yang
dilakukan. dimiliki.
Mampu menyebutkan Pilih dan latih potensi/
serta memilih kemampuan yang
kemampuan yang dimiliki.
dimiliki. Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien.
Setelah .......X SP 3 :
pertemuan pasien Evaluasi kegiatan
dapat meneybutkan yang lalu ( SP 1 dan
kegiatan yang sudah SP 2 ).
dilakuakn dan Pilih kemampuan yang
mampu memilih dapat dilakukan.
kemampuan
lain Pilih dan latih potensi
yang dimiliki kemampuan lain yang
dimiliki.
Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien.
keluarga mampu : Setelah ......X SP 1 :
Mengidetifikasi waham pertemuan, keluarga Identifikasi masalah
pasien. mampu keluarga dalam
Memfasilitasi pasien untuk mengidentifikasi merawat pasien.
memenuhi kebutuhannya. masalah dan Jelaskan proses
Mempertahankan program menjelaskan cara terjadinya waham.
pengobatan pasien secara merawat pasien. Jelaskan tentang cara
optimal. merawat pasien
waham.
Latih / simulais cara
merawat.
RTL keluarga / jadwal
merawat pasien.

56
Setelah SP 2 :
......X pertemuan Evaluasi kegiatan
keluarga mampu : yang lalu.
Menyebutkan Latih keluarga car
kegiatan yang sesuai merawat pasien (
dilakukan . langsung Pasien ).
Mampu RTL keluarga.
memperagakan cara
merawat pasien.
Setelah ....X SP 3 :
pertemuan keluarga Evaluasi kemampuan
mampu keluarga.
mengidentifikasi Evaluasi kemampuan
masalah dan mampu pasien.
menjelaskan cara RTL keluarga.
merawat pasien. Follow Up
Rujukan

DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Definisi
Defisit Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia
didalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan
hidupnya,kesehatannya dan kesejahteraannya sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan dirinya. (Aziz R., 2003) Defisit perawatan diri adalah
suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam
melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan BAB atau BAK
(toileting) (Fitria, 2009). Pengertian yang hampir sama diungkapkan oleh
Wilkinson, (2006) defisit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan
seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
perawatan diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting.
Menurut Orem 1971 dalam Kozier (2010), defisit perawatan diri terjadi bila
tindakan perawatan diri tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan perawatan
diri yang disadari. Teori deficit perawatan diri bukan hanya saat keperawatan
dibutuhkan saja, melainkan cara membantu orang lain dengan menerapkan
metode bantuan, yaitu melakukan, memandu, mengajarkan, mendukung dan

57
menyediakan lingkungan yang dapat meningkatkan kemampuan individu untuk
memenuhi tuntutan akan perawatan diri saat ini atau dimasa yang akan datang.
Orem mengidentifikasi tipe sistem keperawatan :
1. Sistem kompensasi total dibutuhkan bagi individu yang tidak mampu
mengendalikan dan memantau lingkungan mereka serta memproses
informasi.
2. Sistem kompensasi sebagian dirancang bagi individu yang tidak mampu
melakukan sebagian kegiatan perawatan diri, tetapi tidak semuanya.
3. Sistem suportif-edukatif (perkembanngan) dirancang bagi individu yang perlu
belajar melakukan tindakan perawatan diri dan memerlukan bantuan untuk
melakukannya.

B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Defisit perawatan diri seringkali disebabkan oleh intoleransi aktivitas,
hambatan mobilitas fisik, nyeri, ansietas, atau gangguan kognitif atau
persepsi (misalnya defisit perawatan diri : makan yang berhubungan dengan
disorientasi). Sebagai etiologi, deficit perawatan diri dapat menyebabkan
depresi, ketakutan terhadap ketergantungan dan ketidakberdayaan
(misalnya, ketakutan menjadi ketergantungan total yang berhubungan
dengan deficit perawatan diri akibat kelemahan residual karena penyakit
stroke) (Wilkinson dan Ahern 2012).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2003) faktor predisposisi defisit perawatan
diri adalah:
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri

58
c. Kemampuan Psikologis menurun
Pasien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri. Masalah psikologi tersebut contohnya harga diri rendah :
klien tidak mempunyai motivasi untuk merawat diri, body image:
gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri,
misalnya individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkngan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.

Menurut Wilkinson dan Ahern (2012) deficit perawatan diri berhubungan


dengan:
a. Defisit perawatan diri mandi / hygiene berhubungan dengan:
Penurunan motivasi, kendala lingkungan, ketidakmampuan untuk
merasakan bagian tubuh, ketidakmampuan untuk merasakan hubungan
spasial, gangguan musculoskeletal, kerusakan neuromuscular, nyeri,
gangguan persepsi atau kognitif, ansietas hebat, kelemahan dan
kelelahan (NANDA). Faktor lain yang berhubungan (non NANDA
international) depresi, ketunadayaan perkembangan, intoleran aktivitas,
pembatasan karena pengobatan, gangguan psikologis.
b. Defisit perawatan diri berpakaian / berhias berhubungan dengan
penurunan motivasi, ketidaknyamanan, hambatan lingkungan, keletihan,
gangguan musculoskeletal, gangguan neuromuscular, nyeri, gangguan
kognitif atau persepsi, ansietas berat, kelemahan / kelelahan.
c. Defisit perawatan diri makan berhubungan dengan penurunan motivasi,
hambatan lingkungan, keletihan, hambatan mobilitas, hambatan
kemampuan berpindah, gangguan musculoskeletal, gangguan
neuromuscular, nyeri, gangguan kognitif atau persepsi, ansietas berat,
kelemahan.
d. Defisit perawatan diri eliminasi (BAB / BAK) berhubungan dengan
penurunan motivasi, ketidaknyamanan, kendala lingkungan, keletihan,

59
gangguan musculoskeletal, gangguan neuromuscular, nyeri, gangguan
kognitif atau persepsi, ansietas berat, kelemahan.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi,
gangguan kognitif atau perseptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik, individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan.
e. Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampoo dan lain-lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit, kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.

3. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene:


a. Dampak fisik

60
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang
terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membrane mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah yang berhubungan dengan kebersihan diri / personal hygiene
adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial
(Tarwoto dan Wartonah, 2003).

C. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perawatan Diri Kurang


1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif dan keterampilan.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
3. Kemampuan Realitas turun
Pasien dengan dengan gangguan jiwa, dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya.

D. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri


Menurut Nanda-I (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri

61
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
makan secara mandiri
4. Defisit perawatan diri : eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri

E. Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah
sebagai berikut :
1. Mandi/Hygiene
Pasien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan
badan,memperoleh atau mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran
air mandi,mendapatkan perlengkapan mandi,mengeringkan tubuh,serta
masuk dan keluar kamar mandi.
2. Berpakaian/berhias
Pasien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar
pakaian.Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian
dalam,memilih pakaian,mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.
3. Makan
Pasien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan
makanan,mempersiapkan makanan,melengkapi makanan,mencerna
makanan menurut cara yang diterima masyarakat,serta mencerna cukup
makanan dengan aman.
4. Eliminasi
Pasien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi
pakaian untuk toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat,dan menyiram toilet atau kamar kecil

F. Rentang Respon

62
Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri kadang perawatan diri Tidak melakukan
Seimbang kadang tidak perawatan diri

a. Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak. Saat klien mendapatkan stressor
kadang-kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri. Klien mengatakan tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat menghadapi stressor.

G. Pohon Masalah

H. Tindakan Keperawatan Pada Pasien Defisit Perawatan Diri


Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012) tindakan mandiri keperawatan pada
pasien dengan defisit perawatan diri yaitu:
1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri.
2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri.
3. Membantu pasien mempraktikan cara menjaga kebersihan diri.
4. Menjelaskan cara makan yang baik.

63
5. Membantu pasien mempraktikan cara makan yang baik.
6. Menjelaskan cara eliminasi yang baik.
7. Membantu pasien mempraktikan cara eliminasi yang baik.
8. Menjelaskan cara berdandan.
9. Membantu pasien mempraktikan cara berdandan.
10. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Fokus intervensi keperawatan dalam hal ini terdiri dari dua, yaitu:
1. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pasien melakukan perawatan
diri.
2. Membantu pasien dengan keterbatasan dan melakukan perawatan yang
tidak dapat dilakukan pasien.
Kemampuan perawatan diri pasien skizofrenia mengalami penurunan yang
disebabkan karena gangguan kemauan pada pasien. Pasien banyak
mengalami kelemahan kemauan dan tidak dapat mengambil keputusan
perawatan diri.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
m)Identitas pasien
n) Penanggung jawab
o) Keluhan utama
p) Alasan masuk.
q) Faktor predisposisi
Riwayat penyakit pasien
Riwayat pengobatan
Riwayat trauma
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat masa lalu yang tidak menyenangkan
r) Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik
s) Psikososial
Genogram
Konsep diri

64
- Citra tubuh
- Identitas
- Peran
- Ideal diri
- Harga diri
Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat,
hambatan dalam hubungan dengan orang lain.
Spiritual: nilai keyakinan, kegiatan ibadah.
t) Status mental
Penampilan
Pembicaraan
Aktivitas motorik
Alam perasaan
Afek
Interaksi selama wawancara
Persepsi
Pola pikir
Tingkat kesadaran
Memori
Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan penilaian
Daya tilik diri
u) Kebutuhan persiapan pulang
Makan
BAB/BAK
Mandi
Berpakaian/berhias
Istirahat dan tidur
Penggunaan obat
Pemeliharaan kesehatan
Kegiatan di dalam rumah
v) Mekanisme koping
Mampu berbicara dengan orang lain

65
Mampu menjelaskan masalah ringan
Lebih suka diam jika ada masalah
w) Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah dengan kelompok
Masalah dengan lingkungan
Masalah dengan kesehatan
Masalah dengan perumahan
Masalah dengan ekonomi
x) Aspek medik
y) Data yang perlu dikaji
Data subyektif:
Klien mengatakan dirinya malas mandi
Klien mengatakan malas makan
Klien mengatakan tidak tahu cara membersihkan WC setelah bab/bak

Data Obyektif:
Ketidakmampuan mandi dan membersihkan diri ; kotor, berbau
Ketidakmampuan berpakaian; pakaian sembarangan
Ketidakmampuan bab/bak secara mandiri : bab/bak sembarangan

2. Diagnosa perawatan
Defisit perawatan diri

3. Tindakan keperawatan
Tujuan:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
Tindakan
a. Membantu pasien dalam perawatan kebersihan diri
Untuk membantu pasien dalam menjaga kebersihan diri dapat melakukan
tahapan tindakan yang meliputi:
1) Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri.

66
2) Menyiapkan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
3) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4) Membimbing pasien dalam kebersihan diri

b. Membantu pasien berdandan/berhias


Untuk pasien laki-laki membantu meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur

Untuk pasien wanita, membantu meliputi :


1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias

c. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri


1) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
2) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
3) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

RESIKO BUNUH DIRI

A. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh
diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu
gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi
masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal
melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri

67
dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri
keputusasaan (Stuart, 2006).

B. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
1. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin
bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan
berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non
verbal.
2. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan
oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
1. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang
untuk bunuh diri.

2. Bunuh diri altruistic


Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam
diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

C. Etiologi
1. Faktor predisposisi

68
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang
perilaku resiko bunuh diri meliputi:
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang
dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko untuk perilaku resiko bunuh diri
e. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat
menimbulkan perilaku resiko bunuh diri.
2. Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadia yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum,
kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui
seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau terpengaruh
media untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan untuk
melakukan perilaku bunuh diri.
3. Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh
karena itu, perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien
4. Sumber koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara
sadar memilih untuk bunuh diri.
5. Mekanisme koping

69
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang
berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah
penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.

D. Tanda dan Gejala


1. Mempunyai ide untuk bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan unutk mati
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4. Impulsif
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (menjadi sangat patuh)
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian)
8. Menanyakan tentang obat dosis mematikan
9. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah,
mengasingkan diri)
10. Kesehatan mental (secara klinis klien terlihat sangat depresi, psikosis, dam
menyalahgunakan alkohol)
11. Kesehatan fisik (biasanya pada pasien dengan penyakit kronis atau
terminal)
12. Pengangguran
13. Kehilangan pekerjaan atau kegagagalan dalam karir
14. Umur 15- 19 tahun atau di atas 45 tahun
15. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)
16. Pekerjaan
17. Konflik interpersonal
18. Latar belakang keluarga
19. Orientasi seksual
20. Sumber-sumber personal
21. Sumber-sumber sosial
22. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil
23. Mandi / hygiene

E. Rentang Respon

70
RENTANG RESPON RESIKO BUNUH DIRI
Respon adaptif respon maladaptif
peningkatan pengambilan perilaku pencederaan bunuh
diri resiko yang destruktif- diri diri
meningkatkan diri tidak
pertumbuhan langsung

1. Peningkatan diri
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar
terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh
seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda
mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
2. Beresiko destruktif
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku
destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya
dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat
bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap
situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya,
karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka
seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan
tidak optimal.
4. Pencederaan diri
Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat
hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri
Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya
hilang.

F. Asuhan Keperawatan

71
4. Pengkajian
z) Identitas pasien
aa) Penanggung jawab
bb) Keluhan utama
cc) Alasan masuk.
dd) Faktor predisposisi
Riwayat penyakit pasien
Riwayat pengobatan
Riwayat trauma
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat masa lalu yang tidak menyenangkan
ee) Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik
ff) Psikososial
Genogram
Konsep diri
- Citra tubuh
- Identitas
- Peran
- Ideal diri
- Harga diri
Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat,
hambatan dalam hubungan dengan orang lain.
Spiritual: nilai keyakinan, kegiatan ibadah.
gg) Status mental
Penampilan
Pembicaraan
Aktivitas motorik
Alam perasaan
Afek
Interaksi selama wawancara
Persepsi
Pola pikir
Tingkat kesadaran

72
Memori
Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan penilaian
Daya tilik diri
hh) Kebutuhan persiapan pulang
Makan
BAB/BAK
Mandi
Berpakaian/berhias
Istirahat dan tidur
Penggunaan obat
Pemeliharaan kesehatan
Kegiatan di dalam rumah
ii) Mekanisme koping
Mampu berbicara dengan orang lain
Mampu menjelaskan masalah ringan
Lebih suka diam jika ada masalah
jj) Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah dengan kelompok
Masalah dengan lingkungan
Masalah dengan kesehatan
Masalah dengan perumahan
Masalah dengan ekonomi
kk) Aspek medik

ll) Data yang harus dikaji


Masalah Data yang perlu dikaji
Keperawatan

73
Resiko bunuh diri Subjektif :
a. Mengungkapkan keinginan bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d. Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri
sebelumnya dari keluarga
e. Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
dosis obat yang mematikan.
f. Mengungkapkan adanya konflik interpersonal.
g. Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku
kekeasan saat kecil.

Objektif :
a. Impulsif.
b. Menunujukkan perilaku yang mencurigakan
(biasanya menjadi sangat patuh).
c. Ada riwayat panyakit mental (depesi, psikosis, dan
penyalahgunaan alcohol).
d. Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau
penyakit terminal).
e. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan
pekerjaan, atau kegagalan dalam karier).
f. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
g. Status perkawinan yang tidak harmonis

5. Masalah keperawatan yang mungkin muncul


a. Risiko bunuh diri
b. bunuh diri
c. isolasi sosial
d. harga diri rendah kronis.

6. Diagnosis keperawatan
Risiko bunuh diri

74
7. Rencana tindakan keperawatan
Kriteria hasil: Pasien tidak akan membahayakan dirinya sendiri secara fisik

Tujuan Intervensi Rasional


pasien tidak melakukan pindahkan benda yang prioritaskan tertinggi
aktivitas yang membahayakan diberikan pada aktivitas
mencederai dirinya penyelamatan hidup
pasien
observasi dengan ketat perilaku pasien harus
diawasi sampai kendali
diri memadai untuk
keamanan
siapkan lingkungan yang memberikan
aman kenyamanan pada
pasien
pasien dapat identifikasi kekuatan perilaku bunuh diri
mengidentifikasi aspek pasien mencerminkan depresi
positif pada dirinya yang mendasar dan
terkait dengan harga diri
rendah serta kemarahan
terhadap diri sendiri
ajak pasien untuk dijadikan sebagai salah
berperan serta dalam satu cara
aktivitas yang disukai mengendalikan perilaku
dan dapat dilakukannya ingin bunuh diri
pasien akan bantu pasien mengenal mekanisme koping
mengimplementasikan mekanisme koping yang maladaptive harus
respons protektif-diri tidak adaptif diganti dengan
yang adaptif mekanisme koping yang
sehat untuk mengatasi
stress dan ansietas

75
identifikasi alternatif cara untuk menumbuhkan
koping dan meningkatkan
mekanisme koping
pasien
pasien akan bantu orang terdekat isolasi sosial
mengidentifikasi sumber untuk berkomunikasi menyebabkan harga diri
dukungan sosial yang secara konstruktif rendah dan depresi,
bermanfaat dengan pasien mencetuskan perilaku
destruktif-diri
tingkatkan hubungan meningkatkan
keluarga yang sehat kepercayaan diri pasien
dan mencegah perilaku
destruktif-diri
pasien akan mampu libatkan pasien dan pemahaman dan peran
menjelaskan rencana orang terdekat dalam serta dalam
pengobatan dan perencanaan asuhan perencanaan pelayanan
rasionalnya kesehatan
meningkatkan
kepatuhan
jelaskan karakteristik pemahaman dalam
dari kebutuhan proses perawatan dan
pelayanan kesehatan pengobatan
yang telah diidentifikasi, meningkatkan
kebutuhan asuhan kepatuhan dan
keperawatan, diagnosis mendukung proses
medis, pengobatan, dan penyembuhan
medikasi yang
direkomendasikan

HARGA DIRI RENDAH

A. Pengertian

76
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, dalam
Fitria, 2009). Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya tidak
diterima lingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya (Barry,
dalam Yosep, 2009). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan
tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan dapat secara langsung atau
tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).

B. Klasifikasi
Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan,
perubahan).
2. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami
evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu
lama.

C. Etiologi
Harga diri rendah dapat terjadi secara :
1. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan
malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh korupsi, dipenjara tiba-
tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
a. Privacy yang harus diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis,
pemasangan kateter, pemeriksaan perineal).
b. Harapan akan struktur bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena
dirawat/sakit/penyakit.
c. Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa
persetujuan.

77
2. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptif.

D. Proses terjadinya
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan
kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart & Sunden, 1995).
Konsep diri terdiri atas komponen : citra diri, ideal diri, harga diri, penampilan
peran dan identitas personal. Respons individu terhadap konsep dirinya
berfluktuasi sepanjang rentang konsep diri yaitu dari adaptif sampai maladatif.
Salah satu komponen konsep diri yaitu harga diri dimana harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri (Keliat, 2006). Sedangkan harga diri rendah
adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak bertanggung
jawab atas kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal maka cenderung
harga diri rendah. Harga diri rendah jika kehilangan kasih sayang dan
penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain,
aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan dari orang lain.
Harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatifterhadap
diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal
mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruktif
yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung
dan menarik diri secara sosial.
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan
ideal diri yang tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin ditimbulkan
dari sumber internal dan eksternal seperti :
1. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksirkan
kejadian yang mengancam.

78
2. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dimana individu mengalami frustrasi. Ada tiga jenis transisi peran, yaitu :
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan
dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-
nilai tekanan untuk peyesuaian diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat
ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian
tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh,
perubahan fisik, prosedur medis dan keperawatan.
Sedangkan menurut hasil riset Malhi (2008, dalam Yosep, 2009),
menyimpulkan bahwa harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya cita-cita
seseorang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai
tujuan. Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang rendah. Selanjutnya
hal ini menyebabkan penampilan seseorang yang tidak optimal. Dalam tinjauan
Life Span Teori (Yosep, 2009), penyebab terjadinya harga diri rendah adalah
pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya.
Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak
diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal
sekolah, pekerjaan dan pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan
cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya.

E. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronik adalah penolakan
orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak
realistis (Fitria, 2009).

F. Faktor presipitasi

79
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya
sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh,
mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas (Fitria, 2009).

G. Penatalaksanaan Medis
Terapi pada gangguan jiwa, khususnya skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga klien tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya
lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Penatalaksanaan medis pada
gangguan konsep diri yang mengarah pada diagnosa medis skizofrenia,
khususnya dengan perilaku harga diri rendah, yaitu:
1. Psikofarmakologi
Menurut Hawari (2003), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2 golongan
yaitu:
a. Golongan generasi pertama (typical)
Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya:
Chorpromazine HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil), Trifluoperazine
HCL (Stelazine), Thioridazine HCL (Melleril), dan Haloperidol (Haldol,
Govotil, Serenace).
b. Golongan kedua (atypical)
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone (Risperdal,
Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine (Seroquel), dan
Clozapine (Clozaril).
2. Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan apabila
klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana
kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah
baik. Psikotherapi pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi
aktivitas kelompok (TAK).
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas kelompok
stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi sensori,
therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas kelompok

80
sosialisasi (Keliat dan Akemat,2005,hal.13). Dari empat jenis therapy
aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu
dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas
kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK) stimulasi
persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan
terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam
kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau
alternatif penyelesaian masalah.(Keliat dan Akemat,2005,hal.49).

3. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)


ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial
dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau
dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik
4-5 joule/detik. (Maramis, 2005)
4. Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien. Teknik
perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis
dalam komunikasi interpersonal. Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya
memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang
nyata. (Kaplan dan Sadock,1998,hal.728).
5. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto,
2009).
6. Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
a. Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik pasien

81
b. Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan
khusus
c. Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan
dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar
ruangan)
d. ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik..
e. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana terjadi
interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih (sosialisasi).

H. Rentang Respon
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon individu terhadap konsep dirinya
sepanjang rentang respon konsep diri, yaitu adaptif dan maladaptif.

Rentang Respon Konsep Diri

Respon adaptif Respon maladaptif


Aktualisasi Konsep diri Harga
diri Kerancuan Depersonalisasi
Diri positif rendah identitas

Keterangan:
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang
pengalaman nyata yang sukses diterima.
2. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri.
3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep
diri maladaptif.

82
4. Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.

I. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan harga diri
rendah (Fitria, 2009), adalah:
1. Harga diri rendah kronik
2. Koping individu tidak efektif
3. Isolasi sosial
4. Gangguan sensori persepsi: halusinasi
5. Risiko perilaku kekerasan

Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan harga diri rendah (Fitria,
2009 dan Yosep, 2009), adalah:
1. Data subyektif
a. Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna.
b. Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
c. Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau bekerja.
d. Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias,
makan atau toileting).
2. Data obyektif
a. Mengkritik diri sendiri
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimistis
d. Tidak menerima pujian
e. Penurunan produktivitas
f. Penolakan terhadap kemampuan diri
g. Kurang memperhatikan perawatan diri
h. Berpakaian tidak rapi
i. Berkurang selera makan

83
j. Tidak berani menatap lawan bicara
k. Lebih banyak menunduk
l. Bicara lambat dengan nada suara lemah.

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
mm) Identitas pasien
nn) Penanggung jawab
oo) Keluhan utama
pp) Alasan masuk.
qq) Faktor predisposisi
Riwayat penyakit pasien
Riwayat pengobatan
Riwayat trauma
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat masa lalu yang tidak menyenangkan
rr) Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik
ss) Psikososial
Genogram
Konsep diri
- Citra tubuh
- Identitas
- Peran
- Ideal diri
- Harga diri
Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat,
hambatan dalam hubungan dengan orang lain.
Spiritual: nilai keyakinan, kegiatan ibadah.
tt) Status mental
Penampilan
Pembicaraan
Aktivitas motorik
Alam perasaan

84
Afek
Interaksi selama wawancara
Persepsi
Pola pikir
Tingkat kesadaran
Memori
Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kemampuan penilaian
Daya tilik diri
uu) Kebutuhan persiapan pulang
Makan
BAB/BAK
Mandi
Berpakaian/berhias
Istirahat dan tidur
Penggunaan obat
Pemeliharaan kesehatan
Kegiatan di dalam rumah
vv) Mekanisme koping
Mampu berbicara dengan orang lain
Mampu menjelaskan masalah ringan
Lebih suka diam jika ada masalah
ww) Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah dengan kelompok
Masalah dengan lingkungan
Masalah dengan kesehatan
Masalah dengan perumahan
Masalah dengan ekonomi
xx) Aspek medik

2. Diagnosa keperawatan: harga diri rendah


3. Rencana tindakan keperawatan
Tujuan

85
a. Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
c. Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
d. Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
e. Pasien dapat menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan yang sudah
dilatih
Tindakan Keperawatan
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien
Untuk membantu pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek
positif yang masih dimilikinya, perawat dapat :
1) Mendiskusikan bahwa sejumlah kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki pasien seperti kegiatan pasien di rumah sakit, di rumah,
dalam keluarga dan lingkungan adanya keluarga dan lingkungan
terdekat pasien.
2) Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali bertemu
dengan pasien penilaian yang negatif.

b. Membantu pasien menilai kemampuan yang dapat digunakan


Untuk tindakan tersebut, dapat :
1) Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini.
2) Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
3) Perlihatkan respon yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif
c. Membantu pasien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah :
1) Mendiskusikan dengan pasien beberapa kegiatan yang dapat dilakukan
dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan sehari-hari.
2) Bantu pasien menetapkan kegiatan mana yang dapat pasien lakukan
secara mandiri, mana kegiatan yang memerlukan bantuan minimal dari
keluarga dan kegiatan apa saja yang perlu batuan penuh dari keluarga
atau lingkungan terdekat pasien. Berikan contoh cara pelaksanaan

86
kegiatan yang dapat dilakukan pasien. Susun bersama pasien dan buat
daftar kegiatan sehari-hari pasien.
d. Melatih kemampuan yang dipilih pasien
Untuk tindakan keperawatan tersebut saudara dapat melakukan:
1) Mendiskusikan dengan pasien untuk melatih kemampuan yang dipilih
2) Bersama pasien memperagakan kegiatan yang ditetapkan
3) Berikan dukungan dan pujian pada setiap kegiatan yang dapat
dilakukan pasien.
e. Membantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih
Untuk mencapai tujuan tindakan keperawatan tersebut, saudara dapat
melakukan hal-hal berikut :
1) Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan
2) Beri pujian atas kegiatan/kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap
hari
3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap kegiatan
4) Susun jadwal untuk melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
5) Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan
kegiata

87
Daftar Pustaka

Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa Teori
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia

Hawari, Dadang. (2001). Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia.


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Keliat, Budi Anna. (2006). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga


University Press.

Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care.


Edisi 3. Philadelphia: F. A. Davis Company

Stuart dan Laraia. (2007). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6.
St. Louis: Mosby Year Book.

Kusumawati., Hartono. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba


Medika

Nita, Fitria. (2009). Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika

88
Rasmun. (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan Dan Analisa Proses Interaksi
(API). Jakarta: Fajar Interpratama

89

Anda mungkin juga menyukai