Anda di halaman 1dari 20

A.

Definisi
Osteoporosis dicirikan oleh rendahnya massa tulang dan rendahnya kualitas
jaringan tulang menyebabkan fragilitas tulang dan peningkatan resiko patah.
WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan skor T. Skor T adalah jumlah
standar deviasi dari rerata kerapatan massa tulang (bone mass density, BMD)
untuk populasi normal muda. Massa tulang normal adalah mereka dengan skor T
lebih besar dari 1, osteopenia 1 sampai 2,5 dan osteoporosis kurang dari
2,5 (DiPiro, et al., 2006).
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga
tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti
kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk
mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan persediaan kalsium dan
mineral lainnya yang memadai, dan harus menghasilkan hormon dalam jumlah
yang mencukupi (hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen
pada wanita dan testosteron pada pria). Juga persediaan vitamin D yang adekuat,
yang diperlukan untuk menyerap kalsium dari makanan dan memasukkan ke
dalam tulang. Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai
tercapai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang
akan berkurang secara perlahan. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan
mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh,
sehingga terjadilah osteoporosis (www.medicastore.com, 2013).
Terdapat beberapa jenis osteoporosis, yaitu:
1. Osteoporosis postmenopause (tipe I):
Bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia.
Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resorpsi tulang yang
berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi estrogen di masa menopause
(Dambro, 2006). Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang
pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75
tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak
semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopause (www.medicastore.com, 2009).
2. Osteoporosis involutional (tipe II) / senilis:
Terjadi pada kedua jenis kelamin yang berusia di atas 75 tahun. Tipe ini
diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan
resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang (Dambro, 2006).
Kemungkinan juga diakibatkan dari kekurangan kalsium yang berhubungan
dengan usia. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis
dan postmenopause(www.medicastore.com, 2013).
3. Osteoporosis idiopatik:
Tipe osteoporosis primer jarang yang terjadi pada wanita premenopause dan
pada laki-laki yang berusia di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan
dengan penyebab sekunder atau faktor risiko yang mempermudah timbulnya
penurunan densitas tulang. Penyebabnya tidak diketahui (Dambro, 2006).
4. Osteoporosis juvenil:
Bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas yang memiliki
kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. Bentuk ini jarang
dijumpai (Dambro, 2006).
5. Osteoporosis sekunder:
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur
atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan obat-obatan
(kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan),
artritis reumatoid, kelainan hati/ginjal kronis, sindrom malabsorbsi,
mastositosis sistemik, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, varian status
hipogonadisme, dan lain-lain (Dambro, 2006). Dialami kurang dari 5%
penderita osteoporosis. Penyakit ini bisa disebabkan pemakaian alkohol yang
berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini
(www.medicastore.com, 2013).
B. Fisiologi-Patofisiologi
Tulang normal terdiri dari komposisi yang kompak dan padat, berbentuk bulat
dan batang padat serta terdapat jaringan berongga yang diisi oleh sumsum tulang.
Tulang ini merupakan jaringan yang terus berubah secara konstan, dan terus
diperbaharui. Jaringan yang tua akan digantikan dengan jaringan tulang yang
baru. Proses ini terjadi pada permukaan tulang dan disebut sebagai remodelling.
Dalam remodeling ini melibatkan osteoclast sebagai perusak jaringan tulang
dan osteoblast sebagai pembentuk sel sel tulang baru.
Menjelang usia tua proses remodeling ini berubah.
Aktivitas osteoclast menjadi lebih dominan dibandingkan dengan
aktifitas osteoblast sehingga menyebabkan osteoporosis. Separuh perjalanan hidup
manusia, tulang yang tua akan diresorpsi dan terbentuk serta bertambahnya
pembentukan tulang baru (formasi). Pada saat kanak-kanak dan menjelang
dewasa, pembentukan tulang terjadi percepatan dibandingkan dengan proses
resorpsi tulang, yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar, berat dan padat.
Proses pembentukan tulang ini terus berlanjut dan lebih besar dibandingkan
dengan resorpsi tulang sampai mencapai titik puncak massa tulang (peak bone
mass), yaitu keadaan tulang sudah mencapai densitas dan kekuatan yang
maksimum. Peak bone mass ini tercapai pada umumnya pada usia menjelang 30
tahun. Setelah usia 30 tahun secara perlahan proses resorpsi tulang mulai
meningkat dan melebihi proses formasi tulang. Kehilangan massa tulang terjadi
sangat cepat pada tahun-tahun pertama masa menopause, osteoporosis-pun
berkembang akibat proses resorpsi yang sangat cepat atau proses penggantian
terjadi sangat lambat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami perubahan
selama kehidupan melalui tiga fase yaitu fase pertumbuhan, fase konsolidasi dan
fase involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak 90% dari massa tulang dan akan
berakhir pada saat epifise tertutup. Sedangkan pada tahap konsolidasi yang terjadi
usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa tulang bertambah dan mencapai puncak
pada umur tiga puluhan. Serta terdapat dugaan bahwa pada fase involusi massa
tulang berkurang ( bone loss ) sebanyak 35-50 tahun.
Aktifitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan faktor lokal.
Faktor sistemik adalah hormonal yang berkainan dengan metabolisme Kalsium,
seperti hormon paratiroid, Vitamin D, kalsitonin, estrogen, androgen, hormon
pertumbuhan, dan hormon tiroid. Sedangkan faktor lokal adalah Sitokin dan
faktor pertumbuhan lain (IGF). (Permana, 2008)
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan oleh
pemberian steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan tulang (bone
formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone resorption). Steroid
menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan mencegah
transformasi sel-sel prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi dengan
baik. Di samping itu, steroid juga sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran
histomorfometrik menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan penipisan
dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek. Efek
steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons osteoblast terhadap
hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan 1,25-
dihidroksi vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor parakrin lokal mungkin
juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan tulang dalam
osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena permukaan-permukaan yang
mengalami resorpsi dan hambatan formasi tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian mengenai
gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh steroid terhadap
resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid. Penelitian pada hewan
percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar paratiroid, respons
osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga disimpulkan bahwa
resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid. Namun,
kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar hormon
paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan
peningkatan fragmen-fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh
tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di setiap
segmen-segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil, tetapi
absorpsi di kolon meningkat. Di samping penurunan absorpsi kalsium, steroid
dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urin. Pada pasien dengan pemberian
steroid jangka panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat mobilisasi
kalsium di tulang-tulang dan penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli renal. Steroid
mungkin mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini belum
didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihidroksi vitamin D dalam serum menurun akibat
pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hidroksi vitamin D menjadi 1,25
dihidroksi vitamin D tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari hipofisis,
sehingga fungsi gonadterganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan testosteron
menurun. Steroid menghambat sekresi LH dan menurunkan produksi estrogen
yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan sekresi
hormon seks adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling
memperkuat efek terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone thinning terjadi,
bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal. Dengan
demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12 bulan
setelah pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan tulang melambat
hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal. Resiko osteoporosis akibat
steroid juga meningkat ketika dosis yang diberikan lebih tinggi. Belum jelas,
apakah risiko timbul akibat pemberian dosis steroid yang lebih tinggi (prednison >
7,5 mg/dl atau yang setara dan dosis yang dihirup lebih besar dari 800-1200 g
beclomethasone, 800-1000 g budesonide, 750 g fluticasone, dan 1000 g
flunisolide) dalam jangka waktu pendek ( 6 bulan), atau dosis yang rendah
(prednison 7,5 mg/dl) tetapi dalam waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas,
risiko osteoporosis meningkat dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi dengan
ditandai kehilangan massa tulang yang signifikan. Secara umum, dosis yang
rendah lebih aman dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang
benar-benar aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian
5-10 mg prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi.
Pemberian steroid dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko
osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat
digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan
pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid secara kronik
menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga
meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik
secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan
hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid
seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan
resorpsi tulang (Wachjudi, 2008).

Gambar 2.1 Patofisiologi Osteoporosis Akibat Steroid (Wachjudi, 2008)


C. Gejala
Osteoporosis merupakan silent disease. Penderita osteoporosis umumnya tidak
mempunyai keluhan sama sekali sampai orang tersebut mengalami fraktur.
Komplikasi osteoporosis antara lain patah tulang terutama tulang belakang,
pangkal paha dan pergelangan tangan. Patah tulang belakang akan mengakibatkan
sakit punggung, dan penurunan tinggi badan (bongkok) dan yang paling berat
adalah terjadinya saraf terjepit sehingga me-nimbulkan keluhan neurologis. Patah
tulang pangkal paha sering kali membawa permasalahan yang besar dan meng-
akibatkan terjadinya disabilitas sehingga dalam kehidupannya memerlukan perto-
longan orang lain, sedang patah tulang pergelangan tangan sering mengakibatkan
deformitas pada tulang tersebut (Wachjudi, 2008).
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita
osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan
gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat
berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri
tulang dan kelainan bentuk. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri
punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara
spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan
dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika
penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit,
tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan
terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager),
yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang
seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh.Salah satu patah
tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Hal yang juga sering
terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan
pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita
osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara
perlahan (www.medicastore.com, 2009).
D. Diagnosis
Riwayat pasien harus didapatkan untuk mencari riwayat patah tulang sewaktu
dewasa, kondisi medis, operasi, dan kehadiran faktor resiko untuk osteoporosis.
Faktor resiko genetik termasuk etnis Asia atau Kaukasia, riwayat keluarga untuk
osteoporosis atau patah tulang, dan kerangka tubuh yang kecil (tinggi, kurus,
indeks massa tubuh kecil). Gaya hidup dan faktor diet termasuk gaya hidup
sedentary (banyak duduk) dengan latihan minimal, merokok, penggunaan alkohol
berlebih, jarang terkena matahari, asupan kalsium rendah sepanjang hidupnya,
intolerasnsi laktosa, asupan kafeine tinggi, asupan protein hewani tinggi, turunnya
berat >10% setelah usia 50 tahun, dan anorexia nervosa. Faktor ginekologi
termasuk menarche (dimulainya menstruasi) yang terlambat, operasi atau
menopause yang lebih cepat, oophorecthomy (pengangkatan ovarium) tanpa terapi
penggantian estrogen (estrogen replacement theraphy, ERT), nulliparity,
dan amenorrhea. Penyakit kronik yang bisa meningkatkan resiko termasuk
hipertiroidisme, sindroma Cushing, kanker tulang dan diabetes melitus.
Pengobatan yang meningkatkan resiko termasuk glukokortikoid, penggantian
tiroid yang berlebihan, penggunaan heparin dosis tinggi dalam waktu yang lama,
dan anti konvulsan.
Pemeriksaan fisik menyeluruh dan analisis laboratorium diperlukan untuk
mengetahui penyebab sekunder dan untuk menaksir kifosis dan sakit punggung.
Evaluasi biokimia harus memasukkancomplete blood count, panel kimia
(termasuk koreksi kalsium untuk tingkat serum albumin, fosfor, dan alkalin
fosfatase), dan konsentrasi 25-hidroksi vitamin D.
Radiograf sumsum lateral bisa dilakukan pada sakit punggung yang baru atau
yang parah untuk mendeteksi patah tulang belakang.
Pengukuran BMD pusat (pinggul dan sumsum) dengan dual-energy x-ray
absorptiometry (DXA) adalah standar tertinggi untuk diagnosa osteoporosis.
Untuk setiap 1 SD dibawah rerata BMD dewasa muda, resiko patah meningkat
dua kali. Pengukuran pada bagian tepi (lengan bawah, tumit, dan phalanges)
dengan single-energy x-ray absorptiometry (SXA), ultrasonik, atau DSA hanya
digunakan untuk skrining.; prediksi akurat untuk fraktur sudah disediakan
oleh BMD pinggul.
Biopsi tulang jarang berguna untuk osteoporosis tapi bisa digunakan untuk
mencari sebab sekunder, seperti osteomalasia.
Penanda biokimia untuk turnover tulang digunakan pada uji klinik. Penanda
untuk resorpsi tulang termasuk C-terminal atau N-terminal telopeptide dan
deoxypyridinolline. Penanda pembentukan tulang termasuk alkaline fosfat
spesifik tulang, osteokalsin, dan C-terminal dan N-terminal peptide dengan
prokolagen (DiPiro, et al., 2006)
E. Terapi
1. Terapi Non Farmakologi
a. Diet
- Semua individu dietnya harus seimbang dengan asupan kalsium dan
vitamin D yang cukup (tabel 2.1). Tabel 2.2 mencantumkan makanan
dengan konsentrasi kalsium tinggi. Jika asupan diet yang cukup tidak
bisa dicapai, suplemen kalsium bisa diberikan (DiPiro, et al., 2006).
- Diet penurun berat badan jika penderita mempunyai berat badan yang
berlebihan (Dambro, 2006).
- Masukan kalsium 1.500 mg/hari dan semua sumber, jika penderita
tidak menderita hiperkalsiuria atau tanpa riwayat baru kalsium. Hasil
penelitian menunjukkan penurunan kehilangan massa tulang pada
kelompok yang diberi kalsium (Dambro, 2006).
- Hindari masukan fosfat atau protein yang berlebihan, yaitu hindari
minuman yang mengandung asam fosfor dan masukan daging yang
berlebihan (Dambro, 2006).
b. Aktivitas
- Aktivitas jalan-jalan tetap dipertahankan. Penderita dapat melakukan
jalan-jalan sepanjang 1 mil dua kali sehari, dan jika mungkin berenang
(Dambro, 2006)
- Penderita harus menghindari latihan fisik dan manuver yang
meningkatkan gaya kompresif dan stres mekanis pada vertebra dan
tempat tulang perifer (Dambro, 2006).
- Prosedur rehabilitasi untuk spasme otot punggung dan dorongan
berjalan-ja1an (Dambro, 2006).

Tabel 2.1 Asupan Kalsium dan Vitamin D yang dianjurkan (Phillips, 2008)

Kalsium (mg) Vitamin D (IU)


Remaja/ anak muda Umur 50 200
Umur 11-24 1200-1500 Umur 51-70 400
Umur 70 600
Pria Orang dengan800
Umur 25-65 1000 resiko tinggi (orang
Umur 65 1500 tua,sakit kronis,
dipasung)
Wanita
Umur 25-50 1000
Umur 51-65
(postmenopause)
Dengan Estrogen 1000
Tanpa Estrogen 1500
Umur 65 1500
Hamil dan perawatan 1200-1500

Tabel 2.2 Makanan Kaya Kalsium (Phillips, 2008)

No. Nama Makanan


1. 1 cangkir susu skim
2. 1 cangkir susu kedelai (+ Kalsium)
3. 1 cangkir yoghurt
4. 1,5 ons keju cheddar
5. 1,5 ons keju jack
6. 1,5 ons keju Swiss
7. 1,5 ons skim mozzarella
8. 4 sdm keju Parmesan parut
9. 8 ons tofu
10. 1 cangkir greens (collards, kale)
11. 2 cangkir brokoli
12. 4 ons almond
13. 2 cangkir keju cottage rendah lemak
14. 3 ons ikan sarden dengan tulang
15. 5 ons ikan salmon kalengan
16. 1 cangkir jus jeruk (+Kalsium)
*)Makanan di atas mengandung 300 mg kalsium dasar
2. Terapi Farmakologi
a. Pengobatan Antiresoptif
1) Kalsium
Kalsium harus diberikan dalam jumlah yang cukup untuk mencegah
hipertiroidisme sekunder dan perusakan tulang. Asupan kalsium lebih
tinggi telah menunjukkan mencegah atau mengurangi hilangnya massa
tulang pada dewasa. Efeknya diperkuat ketika dikombinasikan dengan
terapi antiresoptif lain atau latihan fisik. Kombinasi kalsium dan vitamin D
menurunkan fraktur vertebral, non-vertebral dan pinggul.
Kalsium karbonat adalah garam pilihan karena mengandung konsentrasi
tertinggi kalsium (40%) dan paling murah. Kalsium karbonat sebaiknya
diberikan dengan makanan untuk meningkatkan absorpsi dengan
peningkatan sekresi asam. Absorpsi kalsium sitrat tergantung asam dan
tidak diberikan bersama makanan. Karena fraksi kalsium terabsorbsi
menurun dengan peningkatan dosis, dosis terbagi (500-600 mg atau
kurang) disarankan.
Efek samping paling umum adalah konstipasi dan flatulen; batu ginjal
jarang terjadi (DiPiro, et al., 2006).
2) Diuretik
Thiazide meningkatkan reabsorpsi kalsium urin, tapi meresepkannya
tunggal hanya untuk osteoporosis tidak dianjurkan (DiPiro, et al., 2006).

3) Vitamin D dan Metabolit


Defisiensi vitamin D muncul karena asupan yang kurang, kurang terkena
sinar matahari, atau penurunan produksi di kulit. Lebih jarang, penurunan
sintesis calcitriol di ginjal terjadi karena usia atau disfungsi liver atau
ginjal. Suplemen vitamin D telah menunjukkan meningkatkan BMD, dan
bisa mengurangi fraktur. Kebanyakan tablet multivitamin mengandung
400 IU vitamin D, dan produk kombinasi kalsium-vitamin D mengandung
100-200 IU per dosis. Untuk manula, satu tablet multivitamin sehari (dua
tablet sehari untuk yang berusia di atas 70 tahun) cukup untuk asupan
vitamin D harian. Vitamin D dosis tinggi bisa menyebabkan hiperkalsimea
dan hiperkalsiuria (DiPiro, et al., 2006).
4) Bifosfonat
Bifosfonat terserap ke apatite (grup kalsium fosfat pada tulang) tulang dan
menyatu permanen dengan tulang. Osteoklast tidak mampu menempel
pada permukaan tulang yang mengandung bifosfonat. Perkiraan waktu
paruh terminal bifosfonat serupa dengan turnover tulang (1-10 tahun).
Alendronate (Fosamax) diindikasikan untuk pencegahan (5 mg/hari) dan
perawatan (10 mg.hari) osteoporosis pada wanita postmenopause.
Pemberian sekali seminggu (70 mg) memberikan hasilBMD yang serupa,
juga mengurangi paparan obat kepada pasien.
Risedronate (Actonel: 5 mg/hari) diindikasikan untuk perawatan dan
pencegahan osteoporosis pada wanita postmenopause serta pria dan wanita
yang menerima glukokortikoid sistemik (prednisone setara 7,5 mg/hari
atau lebih besar) untuk penyakit kronik. Pemberian risendronate sekali
seminggu (30-35 mg) masih dalam penyelidikan.
Bifosfonat memberikan peningkatan BMD tertinggi untuk agen
antiresorptif. Alendronate, 10 mg.hari, meningkatkan BMD sumsum
lumbar 5,4-6%, tulang femoral leher 2,9% dan trochanter (bagian atas
tulang femur) 4,4-4,9%. Risedronate, 5 mg/hari, memberikan hasil yang
serupa. Peningkatan BMDpaling tinggi pada tahun pertama perawatan dan
berlanjut selama 7 tahun. Setelah dihentikan, BMD dipertahankan atau
menurun perlahan tapi tetap lebih tinggi dari bukan pengguna. Terapi
kombinasi dengan estrogen atau terapi penggantian hormon
(hormon/estrogen replacement theraphy HRT/ERT) menghasilkan
peningkatan BMD yang lebih tinggi daripada pengobatan tunggal.
Pengurangan fraktur pada vertebral, non-vertebral dan pinggul telah
dibuktikan. Bifosfonat harus diberikan dengan hati-hati untuk
menghindari efek samping saluran cerna yang serius. Semua bifosfonat
sulit diabsorbsi (1-5%), dan makanan, minuman, dan kalsium menurunkan
absorbsi signifikan. Bifosfonat sebaiknya diberikan pada pagi hari 30-120
menit sebelum pemberian makanan, minuman atau obat pertama dengan
segelas penuh air (bukan kopi, jus, air mineral, atau susu). Pasien harus
tetap dalam posisi tegak selama 30 menit untuk mencegah iritasi
esophageal dan ulserasi. Kalsium dan, jika dibutuhkan, vitamin D
sebaiknya juga diberikan tapi pada waktu yang berbeda.
Efek samping paling umum untuk bifosfonat adalah nausea; rasa sakit
pada abdominal; dispepsia; diare; dan iritasi, perforasi, ulserasi atau
perdarahan esophageal, lambung atau duodenal (DiPiro, et al., 2006).
5) Estrogen dan Terapi Hormon
Estrogen menurunkan aktivitas dan recruitment
osteoklast menginhibisi parathyroid hormone (PTH), meningkatkan
konsentrasi calcitriol dan absorbsi kalsium intestinal, dan menurunkan
ekskresi kalsium ginjal.
ERT dan kombinasi terapi penggantian estrogen-progestin
meningkatkan BMD, tapi datanya kurang untuk pencegahan fraktur.
Peningkatan BMD kebanyakan terlihat pada tahun pertama perawatan,
dengan sedikit peningkatan atau plato setelahnya. Progestin yang
ditambahkan ke ERT tidak memberikan perubahan atau sedikit
meningkatkan BMD. Estrogen oral dan transdermal pada dosis yang sama
dan berlanjut atau siklus ERT/HRT mempunyai efek BMD yang serupa.
Efek pada BMDadalah meningkat ketika ERT/HRT dikombinasikan
dengan alendronate. Percepatan hilangnya massa tulang terjadi dengan
penghentian ERT/HRT. Agen ini telah disetujui oleh FDA untuk
pencegahan osteoporosis tapi bukan untuk perawatan.
Karena bukti yang bertentangan mengenai penggunaan ERT/HRT untuk
pencegahan penyakit kardiovaskular dan potensi terjadinya kanker
payudara tergantung-estrogen, penggunaan ERT/HRTuntuk pencegahan
dan perawatan osteoporosis berlanjut dalam kontroversi.
ERT/HRT menurunkan fraktur vertebral dan non-vertebral secara
signifikan pada beberapa ujicoba pada tidak di uji coba lain. Efek
bervariasi oleh tipe tulang, usia pasien, onset terapi, dan durasi ERT.
Proteksi dikurangi setelah HRT telah dihentikan selama paling tidak 5
tahun.
Dosis harian ERT yang disarankan untuk pencegahan osteoporosis
adalah conjugated equine estrogen 0,625 mg, ethinyl estradiol 0,02
mg, estropipate 0,625 mg, esterified estrogen 0,625 mg,micronized
estradiol 1 mg, 17--estradiol 2 mg, estrone sulfat 1,5 mg, dan estradiol
transdermal 0,05 mg/hari.
ERT biasanya diberikan berkelanjutan dengan pemberian berkelanjutan
atau siklus progestin. HRTberkelanjutan paling umum digunakan karena
60-80% wanita akan mengalami amenorrheic dalam 6-12 bulan setelah
memulai terapi dan lebih sedikit wanita yang mengalami endometrial
hiperplasia. Sampai waktu itu, perdarahan bisa terjadi tanpa terdeteksi.
Jika amenorrhea tidak terjadi setelah 10-12 bulan, pola perdarahan yang
bisa diprediksi dengan terapi siklus lebih disukai.
Pemberian ERT tunggal berkelanjutan untuk wanita yang sudah
mendapat hysterectomy (pengangkatan uterus). ERT meningkatkan resiko
endometrial karsinoma pada wanita dengan uterus yang intact (belum
rusak). Terapi progestin untuk palin tidak 12-14 hari sebulan biasanya
menghilangkan resiko ini dan bahkan bisa protektif. Conterone
medroxyprogesterone acetate 2,5-5 mg, micronized progesterone 100 mg
per hari, norethindrone acetate 5-10 mg selama 12-14 hari setiap bulan
bisa digunakan. Pemberian harian meningkatkan adherence dan
merangsangamenorrhea.
Nilai resiko relatif untuk kanker payudara pada wanita yang
menjalani ERT/HRT antara 1,1-1,5, dengan resiko sedikit meningkat
dengan terapi lebih lama ( paling tidak 5-20 tahun) dan penambahan
progestin.
Efek samping dari HRT termasuk perdarahan vagina, melunaknya
payudara, migrain, perubahan mood, cholelithiasis (membentuk batu
kandung empedu), dan tromboemboli vena.
Kontraindikasi untuk ERT/HRT termasuk kanker aktif atau dicurigai
tergantung estrogen, perdarahan vagina abnormal, penyakit liver yang
parah, dan trombosis vaskular aktif. Kontraindikasi relatif termasuk
migrain, riwayat pemyakit tromboemboli (terutama dengan kehamilan atau
setelah penggunaan kontrasepsi oral), hipergliceridemia, fibroid uterine,
endometriosis, penyakit kandung empedu, riwayat keluarga untuk kanker
payudara, dan disfungsi hepatik kronik (DiPiro, et al., 2006).
6) Selective Estrogen Modulator (SERM)
Ralofexine (Evista) 60 mg sehari diterima untuk pencegahan dan
perawatan osteoporosispostmenopause. BMD pinggul dan spinal
meningkat dari 2-3 % dan menurunkan fraktur vertebral tapi belum
dibuktikan menurunkan fraktur pinggul. Ini pilihan yang baik untuk wanita
yang tidak bisa atau tidak boleh menerima estrogen. Bifosfonat mungkin
merupakan pilihan yang lebih baik pada osteoprosis parah ketika reduksi
resiko fraktur diinginkan.
Ralofexine merupakan antagonis estrogen di jaringan uterine dan payudara
sehingga tidak meningkatkan resiko endometrial carcinoma, seperti pada
estrogen dan tamoxifen.
Ralofexine dihubungkan dengan peningkatan resiko tiga kali lipat
trombemboli vena, serupa dengan resiko pada estrogen. Ralofexine
dikontraindikasikan pada wanita dengan penyakit tromboemboli aktif.
Efek samping lain termasuk kaki kaku (DiPiro, et al., 2006).
7) Testosteron dan Anabolik Steroid
Metil testosteron (1,25 atau 2,5 mg) dan testosteron yang ditanam (50 mg
tiap 3 bulan) dan patchtransdermal terkadang diberikan bersama
dengan ERT/HRT pada wanita dengan depresi atau libido yang menurun,
fungsi seksual, atau tingkat energi setelah oophorectomy (pengangkatan
ovarium). Terapi bersama umumnya memberikan efek BMD yang lebih
bak daripada ERT tunggal.
Meski anabolik steroid merangsang aktivitas osteoblast, efek
predominannya adalah mengurangi resorpsi tulang, yang mungkin
sekunder setelah peningkatan massa otot dan kekuatan.
PerubahanBMD relatif kecil, dan kebanyakan wanita mendapat efek
samping (efek virilizing seperti hirsutisme, jerawat, dan suara yang
berat). (DiPiro, et al., 2006)
8) Calcitonin
Semprotan nasal Calcitonin (Mialcacin) diindikasikan untuk perawatan
osteoporosis untuk wanita paling tidak 5 tahun setelah menopause. Karena
kurang efektif jika dibandingkan dengan pengobatan osteporosis lainnya,
calcitonin lebih sering digunakan untuk pasien dengan rasa sakit akibat
fraktur atau untuk mereka yang tidak sesuai dengan terapi lainnya.
Regimen 200 IU calcitonin nasal meningkatkan BMD spinal dan
mengurangi fraktur vertebral baru sebesar 36%. BMD pinggul tidak selalu
dipengaruhi dan tidak menurunkan fraktur pinggul.
Calcitonin salmon digunakan secara klinik karena lebih poten dan efeknya
lebih lama daripada calcitonin mamalia. Dosis intranasalnya 200 IU sehari,
bergantian di tiap nares (lubang hidung). Pemberian subkutan (injeksi
Miacalcin) 100 IU/hari tersedia tapi jarang digunakan.
Calcitonin nasal bisa menyebabkan rhinitis, epistaksis, dan iritasi nasal.
Pemberian subkutan bisa menyebabkan simtom saluran cerna, rasa sakit di
tempat injeksi, dan wajah memerah (DiPiro, et al., 2006).

b. Terapi Pembentukan Tulang Investagisional


1) Hormon paratiroid
Meski PTH bisa meningkatkan resportion tulang, PTH (1-84) dan fragmen
N-terminalnya (1-34) (teriparatide, masih dalam penyelidikan ketika
tulisan ini dibuat) adalah anabolik jika digunakan sekali sehari. Aktivitas
anabolik bisa timbul dari menurunnya apoptosis osteoblas dan peningkatan
pembentukan tulang dari osteoblas yang hidup lebih lama.
Pada uji klinik fase III kontrol-plasebo pada 1637
wanita postmenopause yang sudah mengalami fraktur vertebral, 14% yang
menerima plasebo mendapatkan fraktur vertebral baru jika dibandingkan
5% dan 4% yang menerima teriparatide subkutan 20 dan 40 g sehari.
BMD juga naik pada spinal lumbar dan femur lebih tinggi pada pasien
yang menerima dua dosis teriparatide. Efek samping minor (nausea dan
sakit kepala) tapi terjadi lebh sering dengan naiknya dosis (DiPiro, et al.,
2006).
2) Fluorida
Fluorida meningkatkan aktivitas osteblas dan pembentukan tulang. Tetapi,
meski dengan studi bertahun-tahun, efek anti fraktur dari fluoridse masih
diragukan, dan fluoride bisa meningkatkan kerapuhan tulang.
Pada satu studi, pria dan wanita yang diberikan fluoride monofosfat dan
wanita yang menerima dosis kecil lepas lambat natrium fluoride
mengalami fraktur vertebral yang lebih sedikit. Tetapi, hasil ini belum
divalidasi pada studi lain. Fluoride saat ini tidak direkomendasikan untuk
terapi, tapi produk lepas lambat sedang diuji oleh FDA (DiPiro, et al.,
2006).
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada algoritma pencegahan osteoporosis
di bawah ini :
Gambar 2.4 Algoritma Pencegahan Osteoporosis (Phillips, 2008)
DAFTAR PUSTAKA

Cipolle, R. J., L.M. Strand, and P. C. Morley, 2007. Pharmaceutical Care Practice, The
Clinicians Guide. 2nd edition. New York. Mc Graw Hill Medical

Dambro, M. R., 2006. Osteoporosis, in : Griffiths 5- Minutes Clinical Consult. M. R.


Dambro (Eds). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins

Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L. Michael Posey.
2006.Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh edition. New
York. Mc Graw Hill Medical

ISFI (ikatan Sajana Farmasi Indonesia), 2005. ISO: Informasi Spesialite Obat volume
40- 2005. Jakarta. PT. Anem Kosong Anem (AKA)

Medicastore. 2009. Osteporosis. www.medicastore.com, diakses tanggal 27 Agustus


2013

Permana, H., 2008. Patomekanisme Osteoporosis Sekunder Akibat Steroid dan


Kondisi Lainnya. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung

Phillips, B. B., 2008. Osteoporosis, in : Pharmacotherapy A Pathophysiologic


Approach, 7th edition. J. T. DiPiro, et. al.(Eds). New York. Mc Graw Hill
Medical. pp. 853-866

Product Information Flamar emulgel, diakses tanggal 27 Agustus 2013

Product Information Ossopan, diakses pada tanggal 27 Agustus 2013

Wachjudi, R. G., 2008. Osteoporosis Akibat Pemakaian Steroid. Fakultas Kedokteran


Universitas Padjajaran Bandung

Anda mungkin juga menyukai