Definisi
Osteoporosis dicirikan oleh rendahnya massa tulang dan rendahnya kualitas
jaringan tulang menyebabkan fragilitas tulang dan peningkatan resiko patah.
WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan skor T. Skor T adalah jumlah
standar deviasi dari rerata kerapatan massa tulang (bone mass density, BMD)
untuk populasi normal muda. Massa tulang normal adalah mereka dengan skor T
lebih besar dari 1, osteopenia 1 sampai 2,5 dan osteoporosis kurang dari
2,5 (DiPiro, et al., 2006).
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga
tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti
kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk
mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan persediaan kalsium dan
mineral lainnya yang memadai, dan harus menghasilkan hormon dalam jumlah
yang mencukupi (hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen
pada wanita dan testosteron pada pria). Juga persediaan vitamin D yang adekuat,
yang diperlukan untuk menyerap kalsium dari makanan dan memasukkan ke
dalam tulang. Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai
tercapai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang
akan berkurang secara perlahan. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan
mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh,
sehingga terjadilah osteoporosis (www.medicastore.com, 2013).
Terdapat beberapa jenis osteoporosis, yaitu:
1. Osteoporosis postmenopause (tipe I):
Bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia.
Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resorpsi tulang yang
berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi estrogen di masa menopause
(Dambro, 2006). Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang
pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75
tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak
semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita
osteoporosis postmenopause (www.medicastore.com, 2009).
2. Osteoporosis involutional (tipe II) / senilis:
Terjadi pada kedua jenis kelamin yang berusia di atas 75 tahun. Tipe ini
diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan
resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang (Dambro, 2006).
Kemungkinan juga diakibatkan dari kekurangan kalsium yang berhubungan
dengan usia. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis
dan postmenopause(www.medicastore.com, 2013).
3. Osteoporosis idiopatik:
Tipe osteoporosis primer jarang yang terjadi pada wanita premenopause dan
pada laki-laki yang berusia di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan
dengan penyebab sekunder atau faktor risiko yang mempermudah timbulnya
penurunan densitas tulang. Penyebabnya tidak diketahui (Dambro, 2006).
4. Osteoporosis juvenil:
Bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas yang memiliki
kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. Bentuk ini jarang
dijumpai (Dambro, 2006).
5. Osteoporosis sekunder:
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur
atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan obat-obatan
(kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan),
artritis reumatoid, kelainan hati/ginjal kronis, sindrom malabsorbsi,
mastositosis sistemik, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, varian status
hipogonadisme, dan lain-lain (Dambro, 2006). Dialami kurang dari 5%
penderita osteoporosis. Penyakit ini bisa disebabkan pemakaian alkohol yang
berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini
(www.medicastore.com, 2013).
B. Fisiologi-Patofisiologi
Tulang normal terdiri dari komposisi yang kompak dan padat, berbentuk bulat
dan batang padat serta terdapat jaringan berongga yang diisi oleh sumsum tulang.
Tulang ini merupakan jaringan yang terus berubah secara konstan, dan terus
diperbaharui. Jaringan yang tua akan digantikan dengan jaringan tulang yang
baru. Proses ini terjadi pada permukaan tulang dan disebut sebagai remodelling.
Dalam remodeling ini melibatkan osteoclast sebagai perusak jaringan tulang
dan osteoblast sebagai pembentuk sel sel tulang baru.
Menjelang usia tua proses remodeling ini berubah.
Aktivitas osteoclast menjadi lebih dominan dibandingkan dengan
aktifitas osteoblast sehingga menyebabkan osteoporosis. Separuh perjalanan hidup
manusia, tulang yang tua akan diresorpsi dan terbentuk serta bertambahnya
pembentukan tulang baru (formasi). Pada saat kanak-kanak dan menjelang
dewasa, pembentukan tulang terjadi percepatan dibandingkan dengan proses
resorpsi tulang, yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar, berat dan padat.
Proses pembentukan tulang ini terus berlanjut dan lebih besar dibandingkan
dengan resorpsi tulang sampai mencapai titik puncak massa tulang (peak bone
mass), yaitu keadaan tulang sudah mencapai densitas dan kekuatan yang
maksimum. Peak bone mass ini tercapai pada umumnya pada usia menjelang 30
tahun. Setelah usia 30 tahun secara perlahan proses resorpsi tulang mulai
meningkat dan melebihi proses formasi tulang. Kehilangan massa tulang terjadi
sangat cepat pada tahun-tahun pertama masa menopause, osteoporosis-pun
berkembang akibat proses resorpsi yang sangat cepat atau proses penggantian
terjadi sangat lambat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami perubahan
selama kehidupan melalui tiga fase yaitu fase pertumbuhan, fase konsolidasi dan
fase involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak 90% dari massa tulang dan akan
berakhir pada saat epifise tertutup. Sedangkan pada tahap konsolidasi yang terjadi
usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa tulang bertambah dan mencapai puncak
pada umur tiga puluhan. Serta terdapat dugaan bahwa pada fase involusi massa
tulang berkurang ( bone loss ) sebanyak 35-50 tahun.
Aktifitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan faktor lokal.
Faktor sistemik adalah hormonal yang berkainan dengan metabolisme Kalsium,
seperti hormon paratiroid, Vitamin D, kalsitonin, estrogen, androgen, hormon
pertumbuhan, dan hormon tiroid. Sedangkan faktor lokal adalah Sitokin dan
faktor pertumbuhan lain (IGF). (Permana, 2008)
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan oleh
pemberian steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan tulang (bone
formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone resorption). Steroid
menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan mencegah
transformasi sel-sel prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi dengan
baik. Di samping itu, steroid juga sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran
histomorfometrik menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan penipisan
dinding tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek. Efek
steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons osteoblast terhadap
hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan 1,25-
dihidroksi vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor parakrin lokal mungkin
juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan, penipisan tulang dalam
osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena permukaan-permukaan yang
mengalami resorpsi dan hambatan formasi tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian mengenai
gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh steroid terhadap
resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid. Penelitian pada hewan
percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar paratiroid, respons
osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga disimpulkan bahwa
resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid. Namun,
kebanyakan penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar hormon
paratiroid setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan
peningkatan fragmen-fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh
tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di setiap
segmen-segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil, tetapi
absorpsi di kolon meningkat. Di samping penurunan absorpsi kalsium, steroid
dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urin. Pada pasien dengan pemberian
steroid jangka panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat mobilisasi
kalsium di tulang-tulang dan penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli renal. Steroid
mungkin mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini belum
didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihidroksi vitamin D dalam serum menurun akibat
pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hidroksi vitamin D menjadi 1,25
dihidroksi vitamin D tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari hipofisis,
sehingga fungsi gonadterganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan testosteron
menurun. Steroid menghambat sekresi LH dan menurunkan produksi estrogen
yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan sekresi
hormon seks adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling
memperkuat efek terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone thinning terjadi,
bagian trabekular lebih dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal. Dengan
demikian fraktur lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12 bulan
setelah pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan tulang melambat
hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal. Resiko osteoporosis akibat
steroid juga meningkat ketika dosis yang diberikan lebih tinggi. Belum jelas,
apakah risiko timbul akibat pemberian dosis steroid yang lebih tinggi (prednison >
7,5 mg/dl atau yang setara dan dosis yang dihirup lebih besar dari 800-1200 g
beclomethasone, 800-1000 g budesonide, 750 g fluticasone, dan 1000 g
flunisolide) dalam jangka waktu pendek ( 6 bulan), atau dosis yang rendah
(prednison 7,5 mg/dl) tetapi dalam waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas,
risiko osteoporosis meningkat dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi dengan
ditandai kehilangan massa tulang yang signifikan. Secara umum, dosis yang
rendah lebih aman dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang
benar-benar aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian
5-10 mg prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi.
Pemberian steroid dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko
osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat
digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan
pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid secara kronik
menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga
meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik
secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan
hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid
seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan
resorpsi tulang (Wachjudi, 2008).
Tabel 2.1 Asupan Kalsium dan Vitamin D yang dianjurkan (Phillips, 2008)
Cipolle, R. J., L.M. Strand, and P. C. Morley, 2007. Pharmaceutical Care Practice, The
Clinicians Guide. 2nd edition. New York. Mc Graw Hill Medical
Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L. Michael Posey.
2006.Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh edition. New
York. Mc Graw Hill Medical
ISFI (ikatan Sajana Farmasi Indonesia), 2005. ISO: Informasi Spesialite Obat volume
40- 2005. Jakarta. PT. Anem Kosong Anem (AKA)