ABSTRAKSI
Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara juga dapat
menciptakan peluang untuk melakukan transaksi penghindaran pajak dalam
rangka mengurangi beban pajak, apalagi jika terjadi kekosongan peraturan
perundang-undangan terhadap penghindaran pajak tersebut. Penghindaran
pajak dapat dilakukan selama transaksi tersebut sah menurut undang-undang.
Ada dua (2) bentuk penghindaran pajak yaitu acceptable tax avoidance
contohnya tax planning dan unacceptable tax avoidance contohnya tax
evasion.
Pencegahan praktik-praktik penghindaran pajak ini dapat dicegah
salah satunya adalah dengan melakukan perjanjian pajak antar dua negara
dalam upaya menghindari pajak berganda (tax treaty).
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah bagian dari dunia internasional, setiap negara saling
membutuhkan antara yang satu dan yang lain dalam memenuhi kebutuhan
sumberdayanya sehingga diperlukan adanya transaksi antar negara (Transaksi
Internasional). Transaksi internasional berupa impor barang dari luar negeri,
ekspor barang ke luar negeri, merupakan bagian transaksi perdagangan
internasional. Transaksi tersebut tentu mengakibatkan salah seorang
penduduk dari salah satu negara memperoleh penghasilan. Penduduk yang
memperoleh penghasilan disebut subjek pajak, sedangkan hasil yang
diperoleh adalah obyek pajak.
Kerjasama antar negara yang dilakukan selain bidang ekonomi berupa
perdagangan, juga menyangkut kejasama lainnya seperti kerjasama
keamanan dan kerjasama dibidang sosial budaya.
Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara guna
mencapai komitmen bersama, dalam bentuk perjanjian internasional yang
Halaman | 60
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus 2014
menyangkut kepentingan antar negara, tidak terkecuali yang terkait aspek
perpajakan.
Setiap penduduk asing di seluruh dunia, tidak ada larangan jika
mereka ingin melakukan usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau
menanamkan modal di Indonesia, atas hasil yang diterima penduduk asing
tersebut, dapat dikenakan pajak di negara Indonesia. Pengenaan pajak yang
dilakukan di Negara Indonesia dapat dilakukan dengan kewenangan yang
dimiliki Negara Indonesia sebagai pemegang kedaulatan hukum dan wilayah,
namun demikian juga harus mempertimbangkan aspek perekonomian
nasional dan hubungan kerjasama antar negara yang telah dijalinnya.
Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan
aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau
seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua
negara, agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat
pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua
negara yang mengadakan transaksi tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk
mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap
negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara
tersebut. Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak
untuk badan/warga negara lain? Pajak internasional merupakan salah satu
bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk
pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.
Namun yang menjadi permasalahan adalah transaksi antar ke dua
negara atau beberapa negara juga dapat menciptakan peluang untuk melakukan
transaksi penghindaran pajak dalam rangka mengurangi beban pajak, apalagi
jika terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan terhadap
penghindaran pajak tersebut. Penghindaran pajak lebih terbuka lagi dengan cara
memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (international tax
avoidance).
Sebagai contoh, kita dapat melihat ke salah satu wajib pajak yakni
perusahaan multinasional (PMA). Dalam tahun 2005 saja, di Indonesia,
realisasi investasi yang berasal dari PMA diperkirakan mencapai USD 8.68
miliar Jumlah tersebut meningkat dua kalinya dari tahun sebelumnya. Seiring
dengan besarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia, pendapatan
pemerintah yang berasal dari pajak perusahaan multinasional seharusnya
tinggi. Akan tetapi, kita pernah dikejutkan dengan pernyataan mantan
Menteri Keuangan RI Jusuf Anwar pada akhir November 2005, yang
menyatakan bahwa 750 PMA tidak pernah membayar pajak. Hal serupa juga
pernah diungkapkan di tahun 2002 oleh pejabat pajak yang menangani
Halaman | 61
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
perusahaan multinasional yang pernah mengindikasikan kemungkinan
adanya praktik ilegal dari kalangan perusahaan PMA, antara lain melalui
transfer pricing, sehingga 70% perusahaan PMA yang terdaftar sebagai
Wajib Pajak laporan keuangannya terlihat merugi dan akhirnya tidak
mempunyai kewajiban membayar pajak. Di balik pernyataan tersebut tentu kita
bertanya, apakah perusahaan multinasional tersebut benar-benar rugi atau
melakukan penghindaran pajak, sehingga tidak membayar pajak? Dan
bagaimana pula peraturan perundang-undangan anti penghindaran pajak (anti
avoidance) negara kita dalam menangkal skema penghindaran pajak
tersebut?
Dari pembahasan diatas maka kami mengambil judul Pencegahan
Praktik-Praktik Penghindaran Pajak Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008
Pasal 18 tentang PPh.
1.2. Rumusan Masalah
Dari pembahasan diatas maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk praktik penghindaran pajak
2. Bagaimana pencegahan terhadap praktik penghindaran pajak
1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai:
1. Praktek penghindaran pajak yang terjadi:
Memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kemungkinan
dilakukannya penghindaran pajak oleh wajib pajak.
2. Pencegahan terhadap pratek penghindaran pajak:
Memberikan pemahaman bagaimana pencegahan terhadap praktek-
praktek penghindaran pajak tersebut dilakukan.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Hukum Internasional
Sebelum memahami tentang pengertian pajak internasional, maka
sebaiknya kita harus mengerti tentang pengertian hukum internasional,
karena pemberlakuan pajak tidak lepas dari ketentuan hukum formal negara
tersebut.
Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah internasional
adalah:
a. perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus;
b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum
yang telah diterima sebagai hukum;
c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
Halaman | 62
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
d. keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
kaidah hukum.
Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian
hukum bangsa-bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antar
negara-negara. Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum
yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran
masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional.
Dengan demikian sebelum kita memahami pengertian pajak
internasional, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui kaedah hukum
internasional, karena perpajakan merupakan bagian aturan negara nasional
dan untuk menerapkan ke masyarakat internasional harus mengikuti hukum
internasional yang berlaku antar negara.
Negara Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena ia
telah mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina.
Konvensi internasional memilki kekuatan hukum yang mengikat
antarnegara yang ikut menandatangani tersebut, hal ini karena:
a. hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi
dari pada hukum nasional, karena menyangkut kepentingan lebih
banyak masyarakat internasional.
b. hukum internasional merupakan kehendak negara itu sendiri pada hukum
internasional, dan juga merupakan kehendak bersama;
c. kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak untuk dapat
terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, jika Negara Indonesia mengadakan tax treaty
(perjanjian penghindaran pajak berganda) bukanlah semata-mata keinginan
dari negara kita, namun juga karena ada asas timbal balik dan keinginan yang
sama dengan negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional tidak bisa
menghindari pelaksanaan tax treaty, manakala masyarakat Indonesia telah
berhubungan dan memperoleh penghasilan di negara lain tersebut. Atau
Indonesia juga tidak dapat menerapkan perpajakan terhadap kedutaan karena
terikat dengan konvensi internasional, meskipun belum mengadakan tax treaty,
asalkan ada asas timbal balik. Oleh karena itu, hukum internasional, baik diatur
secara khusus atau tidak, jika telah disepakati dalam dunia internasional mau
tidak mau, Indonesia harus tunduk dan patuh akan hal tersebut, tidak terkecuali
dalam hal perpajakan.
Halaman | 65
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah hukum
pajak intenasional yang berlaku bagi seluruh negara.
Halaman | 67
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
1) Dengan cara unilateral, dimana negara yang bersangkuatan memasukkan
dalam perundang-undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak
berganda seperti :
a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau
restricted terrirorial Principle
b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax
credit, dan fictious tax credit/tax sparing
2) Dengan cara bilateral, dilakukan denga melakukan perjanjian pajak antar
negara yang dikenal dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran
pajak berganda (P3B). Untuk negara Indonesia telah memiliki Tax Treaty
dengan 57 negara.
3) Perjanjian multilateral, misalnya Igeneral Agreement Tariffs and Trade
(GATT) yang mengatut tarif douane secara multilateral.
Subjek dan objek pajak dalam pajak internasional:
a. Subjek pajak dibagi menjadi 2:
1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-
sumber di luar negeri
2. Subjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-
sumber di dalam negeri
b. Sedangkan objek pajak dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Objek pajak dengan sumber di dalam negeri
2. Objek pajak dengan sumber di luar negeri
Halaman | 69
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip
oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya
menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan
bonafide dan adequate consideration,atau berlawanan dengan maksud dari
pembuat undang-undang (the intention of parliament).
Lantas apa yang dimaksud dengan tax planning itu sendiri? Tax
planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang
melalui bentuk yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib
Pajak dan otoritas pajak. Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu
bentuk memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan
perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan
atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan
adalah apakah suatu bentuk transaksi yang tujuannya semata-mata untuk
penghindaran pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan
kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan?
Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai bentuk yang
biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak, yaitu:
(i) Transfer pricing,
The setting of the amount of related party charges is commonly referred
to as transfer pricing. Many jurisdictions have become sensitive to the
potential for shifting profits with transfer pricing, and have adopted
rules regulating setting or testing of prices or allowance of
deductions or inclusion of income for related party transactions. Many
jurisdictions have adopted broadly similar transfer pricing rules.
The OECD has adopted (subject to specific country reservations) fairly
comprehensive guidelines.
Arms length principle: a key concept of most transfer pricing rules is
that prices charged between related enterprises should be those which
would be charged between unrelated parties dealing at arms length.
Most sets of rules prescribe methods for testing whether prices charged
should be considered to meet this standard. Such rules generally involve
comparison of related party transactions to similar transactions of
unrelated parties (comparable prices or transactions). Various
surrogates for such transactions may be allowed. Most guidelines
allow the following methods for testing prices: Comparable
uncontrolled transaction prices, resale prices based on comparable
markups, cost plus a markup, and an enterprise profitability method
(International Taxation-Wikipedia).
Halaman | 70
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Peyalahgunaan Transfer Pricing dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (related parties). Dimana terjadi
harga transfer tidak wajar dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut dalam melakukan transaksi .
(ii) Thin capitalization,
Most jurisdictions provide that taxable income may be reduced by
amounts expended as interest on loans. By contrast, most do not provide
tax relief for distributions to owners. Thus, an enterprise is motivated
to finance its subsidiary enterprises through loans rather than capital.
Many jurisdictions have adopted "thin capitalization" rules to limit such
charges. Various approaches include limiting deductibility of interest
expense to a portion of cash flow, disallowing interest expense on debt
in excess of a certain ratio, and other mechanisms (International
Taxation-Wikipedia).
(iii) Treaty shopping,
An anlisys of tax treaty provisions to structure as international
transaction or operation so as to take advantage of a particular (Treaty
Shopping and Benefeficial Ownership, Mr David Partington, OECD
Secretariat).
Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan
dengan menggunakan struktur sedemikian rupa dengan maksud semata-
mata untuk memperoleh manfaat P3B (Peraturan Dirjen Pajak No PER-
62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran pajak Berganda).
(iv) controlled foreign corporation (CFC).
Adalah badan usaha yang didirikan diluar indonesia yang modal
disetornya:
Sekurang-kurangnya 50% dimiliki oleh WP dalam negri, baik secara
sendiri maupun bersama-sama denngan WP dalam negri lainnya dan
badan usaha diluar negri tersebut sahamnya tidak terdaftar
(diperdagangkan) di bursa efek.
Halaman | 74
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Ketentuan thin capitalization diwujudkan dalam aturan
tentang penentuan batas maksimum ratio antara utang dan
modal (debt-to-equity ratio, DER). Ketentuan dalam peraturan
UU pajak yang mengatur rasio antara utang dan modal adalah
bahwa sebagian dari biaya bunga tidak dapat dibebankan
sebagai biaya, apabila utang yang berkaitan dengan
pembayaran bunga tersebut melebihi rasio yang ditentukan.
Tujuan aturan DER adalah untuk mendorong perusahaan
melakukan investasi melalui equity. Tanpa adanya ketentuan
yang mengatur DER, perusahaan cenderung untuk melakukan
investasi dengan utang karena bunga yang dibayar untuk utang
tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya.
PASAL18AYAT(3b)
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva
perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk
maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan
sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan
istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat
ketidakwajaran penetapan harga.
PASAL18AYAT(3c)
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company
atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven
Country) yang mempunya i hubungan istimewa dengan badan
Halaman | 77
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk
usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau
pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
PASAL18AYAT(3d)
Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa
dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi
kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau
pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
B. Saran
1. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak
maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax
avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti
Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule
(GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya
yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.
Halaman | 78
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
DAFTAR PUSTAKA
Halaman | 79
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014