Anda di halaman 1dari 20

PENCEGAHAN PRAKTIK-PRAKTIK PENGHINDARAN

PAJAK DALAM PERPAJAKAN INTERNASIONAL


BERDASARKAN UU PPH NO.36 PASAL 18 TAHUN 2008
Rafiudin Hanafiah
Dosen Tetap FE UNTAG Cirebon

ABSTRAKSI
Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara juga dapat
menciptakan peluang untuk melakukan transaksi penghindaran pajak dalam
rangka mengurangi beban pajak, apalagi jika terjadi kekosongan peraturan
perundang-undangan terhadap penghindaran pajak tersebut. Penghindaran
pajak dapat dilakukan selama transaksi tersebut sah menurut undang-undang.
Ada dua (2) bentuk penghindaran pajak yaitu acceptable tax avoidance
contohnya tax planning dan unacceptable tax avoidance contohnya tax
evasion.
Pencegahan praktik-praktik penghindaran pajak ini dapat dicegah
salah satunya adalah dengan melakukan perjanjian pajak antar dua negara
dalam upaya menghindari pajak berganda (tax treaty).

Kata Kunci: Penghindaran Pajak, Acceptable Tax Avoidance,


Unacceptable Tax Avoidance

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah bagian dari dunia internasional, setiap negara saling
membutuhkan antara yang satu dan yang lain dalam memenuhi kebutuhan
sumberdayanya sehingga diperlukan adanya transaksi antar negara (Transaksi
Internasional). Transaksi internasional berupa impor barang dari luar negeri,
ekspor barang ke luar negeri, merupakan bagian transaksi perdagangan
internasional. Transaksi tersebut tentu mengakibatkan salah seorang
penduduk dari salah satu negara memperoleh penghasilan. Penduduk yang
memperoleh penghasilan disebut subjek pajak, sedangkan hasil yang
diperoleh adalah obyek pajak.
Kerjasama antar negara yang dilakukan selain bidang ekonomi berupa
perdagangan, juga menyangkut kejasama lainnya seperti kerjasama
keamanan dan kerjasama dibidang sosial budaya.
Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara guna
mencapai komitmen bersama, dalam bentuk perjanjian internasional yang

Halaman | 60
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus 2014
menyangkut kepentingan antar negara, tidak terkecuali yang terkait aspek
perpajakan.
Setiap penduduk asing di seluruh dunia, tidak ada larangan jika
mereka ingin melakukan usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau
menanamkan modal di Indonesia, atas hasil yang diterima penduduk asing
tersebut, dapat dikenakan pajak di negara Indonesia. Pengenaan pajak yang
dilakukan di Negara Indonesia dapat dilakukan dengan kewenangan yang
dimiliki Negara Indonesia sebagai pemegang kedaulatan hukum dan wilayah,
namun demikian juga harus mempertimbangkan aspek perekonomian
nasional dan hubungan kerjasama antar negara yang telah dijalinnya.
Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan
aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau
seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua
negara, agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat
pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua
negara yang mengadakan transaksi tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk
mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap
negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara
tersebut. Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak
untuk badan/warga negara lain? Pajak internasional merupakan salah satu
bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk
pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.
Namun yang menjadi permasalahan adalah transaksi antar ke dua
negara atau beberapa negara juga dapat menciptakan peluang untuk melakukan
transaksi penghindaran pajak dalam rangka mengurangi beban pajak, apalagi
jika terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan terhadap
penghindaran pajak tersebut. Penghindaran pajak lebih terbuka lagi dengan cara
memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (international tax
avoidance).
Sebagai contoh, kita dapat melihat ke salah satu wajib pajak yakni
perusahaan multinasional (PMA). Dalam tahun 2005 saja, di Indonesia,
realisasi investasi yang berasal dari PMA diperkirakan mencapai USD 8.68
miliar Jumlah tersebut meningkat dua kalinya dari tahun sebelumnya. Seiring
dengan besarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia, pendapatan
pemerintah yang berasal dari pajak perusahaan multinasional seharusnya
tinggi. Akan tetapi, kita pernah dikejutkan dengan pernyataan mantan
Menteri Keuangan RI Jusuf Anwar pada akhir November 2005, yang
menyatakan bahwa 750 PMA tidak pernah membayar pajak. Hal serupa juga
pernah diungkapkan di tahun 2002 oleh pejabat pajak yang menangani

Halaman | 61
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
perusahaan multinasional yang pernah mengindikasikan kemungkinan
adanya praktik ilegal dari kalangan perusahaan PMA, antara lain melalui
transfer pricing, sehingga 70% perusahaan PMA yang terdaftar sebagai
Wajib Pajak laporan keuangannya terlihat merugi dan akhirnya tidak
mempunyai kewajiban membayar pajak. Di balik pernyataan tersebut tentu kita
bertanya, apakah perusahaan multinasional tersebut benar-benar rugi atau
melakukan penghindaran pajak, sehingga tidak membayar pajak? Dan
bagaimana pula peraturan perundang-undangan anti penghindaran pajak (anti
avoidance) negara kita dalam menangkal skema penghindaran pajak
tersebut?
Dari pembahasan diatas maka kami mengambil judul Pencegahan
Praktik-Praktik Penghindaran Pajak Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008
Pasal 18 tentang PPh.
1.2. Rumusan Masalah
Dari pembahasan diatas maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk praktik penghindaran pajak
2. Bagaimana pencegahan terhadap praktik penghindaran pajak
1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai:
1. Praktek penghindaran pajak yang terjadi:
Memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kemungkinan
dilakukannya penghindaran pajak oleh wajib pajak.
2. Pencegahan terhadap pratek penghindaran pajak:
Memberikan pemahaman bagaimana pencegahan terhadap praktek-
praktek penghindaran pajak tersebut dilakukan.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Hukum Internasional
Sebelum memahami tentang pengertian pajak internasional, maka
sebaiknya kita harus mengerti tentang pengertian hukum internasional,
karena pemberlakuan pajak tidak lepas dari ketentuan hukum formal negara
tersebut.
Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah internasional
adalah:
a. perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus;
b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum
yang telah diterima sebagai hukum;
c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

Halaman | 62
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
d. keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
kaidah hukum.
Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian
hukum bangsa-bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antar
negara-negara. Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum
yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran
masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional.
Dengan demikian sebelum kita memahami pengertian pajak
internasional, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui kaedah hukum
internasional, karena perpajakan merupakan bagian aturan negara nasional
dan untuk menerapkan ke masyarakat internasional harus mengikuti hukum
internasional yang berlaku antar negara.
Negara Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena ia
telah mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina.
Konvensi internasional memilki kekuatan hukum yang mengikat
antarnegara yang ikut menandatangani tersebut, hal ini karena:
a. hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi
dari pada hukum nasional, karena menyangkut kepentingan lebih
banyak masyarakat internasional.
b. hukum internasional merupakan kehendak negara itu sendiri pada hukum
internasional, dan juga merupakan kehendak bersama;
c. kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak untuk dapat
terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, jika Negara Indonesia mengadakan tax treaty
(perjanjian penghindaran pajak berganda) bukanlah semata-mata keinginan
dari negara kita, namun juga karena ada asas timbal balik dan keinginan yang
sama dengan negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional tidak bisa
menghindari pelaksanaan tax treaty, manakala masyarakat Indonesia telah
berhubungan dan memperoleh penghasilan di negara lain tersebut. Atau
Indonesia juga tidak dapat menerapkan perpajakan terhadap kedutaan karena
terikat dengan konvensi internasional, meskipun belum mengadakan tax treaty,
asalkan ada asas timbal balik. Oleh karena itu, hukum internasional, baik diatur
secara khusus atau tidak, jika telah disepakati dalam dunia internasional mau
tidak mau, Indonesia harus tunduk dan patuh akan hal tersebut, tidak terkecuali
dalam hal perpajakan.

2.1.2. Hukum Pajak Internasional


Setelah memahami hukum internasional, maka diperlukan
pemahaman berikutnya mengenai definisi pajak dan hukum pajak. Menurut
Halaman | 63
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Seligman, pajak adalah suatu sumbangan paksaan dari perorangan kepada
pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang bertalian dengan kepentingan
orang banyak (umum), tanpa dapat ditunjukkan adanya keuntungan khusus
terhadapnya.
a. Pengertian Hukum Pajak Internasional
Ottman Buhler membagi hukum pajak internasional dalam arti sempit
dan hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum pajak internasional
dalam arti sempit adalah kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang
didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional), sedangkan
hukum pajak internasional dalam arti luas ialah kaedah-kaedah hukum antar
bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum
perselisihan, khususnya tentang perpajakan.
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak
internasional dalam arti luas termasuk sebagai berikut:
a. hukum pajak internasional;
b. hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda
dan lain-lain perjanjian internasional;
c. bagian dari hukum antar bangsa yaitu:
i). Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam
hukum internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
ii). Keputusan pengadilan internasional Den Haag yang memuat
soal-soal perpajakan;
iii). Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada
masyarakat internasional (tertentu) supranationales
steuerrecht.

Menurut Rosendorff, hukum pajak internasional sebagai keseluruhan


hukum pajak nasional dari semua negara yang ada di dunia.
Menurut PJA Adriani, hukum pajak internasional ialah keseluruhan
peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan
daya beli itu dimasing masing negara. Pengertian hukum pajak internasional
itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas daripada pengertian pajak
ganda dan hukum pajak nasional itu termasuk didalam hukum pajak
internasional. Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan hukum
yang mengupas suatu persoalan yang di atur dalam Undang- undang nasional
mengenai:
a. pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b. peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda;
c. traktat-traktat.
Menurut Negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional
dibagi sebagai berikut:
Halaman | 64
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
1. hukum pajak nasional mengatur hukum pajak luar negeri (national
external law)
National external Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak
nasional yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan
pajak yang mempunyai daya kerja sampai diluar batas-batas Negara
karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber
ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek ada di luar
negeri).
2. hukum pajak luar negeri (foreign tax law)
Foreign tax law ialah keseluruhan perundang-undangan dan
peraturan-peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
3. hukum pajak internasional (international tax law)
Internasional tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum
pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah
pajak yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat- traktat,
konvensi, dan lain sebagainya, dan berdasarkan prinsip- prinsip
hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh negara- negara di
dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang
saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah
keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi,
dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di dunia,
maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai objeknya
pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing,
hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara
atau lebih.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
i). Hukum pajak internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas
baik ruang lingkup, kewenangan, dan kedudukannya;
ii). Hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama
lain dengan negara domisili;
iii). Hukum pajak nasional adalah merupakan bagian dari hukum pajak
internasional, dimana ketentuan hukum pajak nasional bila telah diatur
dalam hukum pajak internasional tentang hal tersebut, maka ketentuan
hukum pajak internasional yang digunakan;
iv). Hukum pajak internasional merupakan keseluruhan hukum pajak
nasional di berbagai negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan
pada hukum pajak nasional;
v). Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah hukum pajak
internasional yang mengatur kedua negara yang saling berkepentingan,

Halaman | 65
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah hukum
pajak intenasional yang berlaku bagi seluruh negara.

b. Sumber-Sumber Hukum Pajak Internasional


Sumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin kita
kaji, sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-
sumber hukum tesebut antara lain:
1. Kaedah hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing,
antara lain:
a) Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU
PPh) tentang pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Subjek
Pajak Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
c) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subjek Pajak
d) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5(2) UU PPh) tentang:
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subjek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal
3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap
e) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan
Istimewa, Bilamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan
f) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit
Pajak Luar Negeri
g) Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang:
Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
2. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
a. Perjanjian bilateral
b. Perjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B), yang hingga saat ini sudah ada 56 P3B
c. Perjanjian multilateral
Perjanjian ini seperti Konvensi Wina
3.Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak
internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
meyangkut tentang perpajakan internasional atau Keputusan Pengadilan
Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undang Pajak Penghasilan, pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah
Halaman | 66
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam
rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdangan dengan negara lain
diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang
mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna
memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda
serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada
konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan
nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia
mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty
berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam hukum pajak internasional
mencakup juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah
traktat antar negara untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana
dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjeknya maupun
mengenai objeknya.
Kekuasaan negara itu hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD
1945, namun kekuasaan ini juga tercermin dalam mana negara
mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak ada hukum internasional
mana atau oleh siapa yang membatasi wewenang ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum
internasional, maka negara kita akan diberi sanksi secara bersama oleh negara
yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan
dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian
negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia
harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.

2.1.3. Pajak Internasional


Definisi pajak internasional dalam undang-undang Pajak Penghasilan
sampai detik ini belum ada. Agus Setiawan bersama dengan Bapak Sriadi
Kepala Seksi Perjanjian Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak,
memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian pajak
internasional berdasarkan uraian sebelumnya.
Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di
antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan
Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).
Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminsai gejala
pajak ganda, hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara :

Halaman | 67
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
1) Dengan cara unilateral, dimana negara yang bersangkuatan memasukkan
dalam perundang-undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak
berganda seperti :
a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau
restricted terrirorial Principle
b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax
credit, dan fictious tax credit/tax sparing
2) Dengan cara bilateral, dilakukan denga melakukan perjanjian pajak antar
negara yang dikenal dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran
pajak berganda (P3B). Untuk negara Indonesia telah memiliki Tax Treaty
dengan 57 negara.
3) Perjanjian multilateral, misalnya Igeneral Agreement Tariffs and Trade
(GATT) yang mengatut tarif douane secara multilateral.
Subjek dan objek pajak dalam pajak internasional:
a. Subjek pajak dibagi menjadi 2:
1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-
sumber di luar negeri
2. Subjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-
sumber di dalam negeri
b. Sedangkan objek pajak dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Objek pajak dengan sumber di dalam negeri
2. Objek pajak dengan sumber di luar negeri

2.2. Objek dan Metode Penelitian


2.2.1. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah masalah
praktik-praktik penghindaran pajak dan penanganannya.
Objek ini dipilih karena penulis berpendapat bahwa banyaknya
transaksi-transaksi penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan
multinasional, dengan mengurangi beban pajak mereka, padahal perusahaan
tersebut merupakan penyumbang pajak terbesar di banyak negara, tak
terkecuali indonesia.

2.2.2. Metode Penelitian


Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah
ini adalah metode deskriptif analisis. Nazir (2003) menjelaskan metode
deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk memberikan
gambaran objek penelitian yang sebenarnya, dengan cara mengumpulkan
bukti, keterangan, dan data yang aktual dan faktual kemudian disusun,
diolah, dan dianalisis guna menghasilkan suatu kesimpulan akhir yang sesuai
dengan identifikasi masalah yang telah ditetapkan.
Halaman | 68
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
2.2.3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam makalah ini, penulis menggunakan jenis dan sumber data, yaitu:
1). Data Sekunder
Ialah data yang berfungsi sebagai pendukung atau pelengkap dari data
primer. Data tersebut dapat diperoleh melalui media-media, baik itu
media cetak maupun elektronik.
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penulis memanfaatkan sarana perpustakaan sebagai sarana untuk
memperoleh keterangan melalui buku dan literatur lainnya yang
berhubungan dengan judul yang diteliti.

PEMBAHASAN HASIL ANALISA


3.1. Praktik Penghindaran Pajak
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu
perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional berusaha
meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem
ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, bentuk penghindaran
pajak dapat dibedakan menjadi:
a. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
b. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax
avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda
pandangannya tentang bentuk apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan
demikian, bisa saja suatu bentuk penghindaran pajak tertentu di suatu negara
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (aggressive
tax planning), tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak
yang diperkenankan (defensive tax planning).
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan
sebagai suatu bentuk transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban
pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan
perpajakan suatu negara. Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan
bentuk tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan
perpajakan.

Halaman | 69
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip
oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya
menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan
bonafide dan adequate consideration,atau berlawanan dengan maksud dari
pembuat undang-undang (the intention of parliament).
Lantas apa yang dimaksud dengan tax planning itu sendiri? Tax
planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang
melalui bentuk yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib
Pajak dan otoritas pajak. Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu
bentuk memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan
perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan
atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan
adalah apakah suatu bentuk transaksi yang tujuannya semata-mata untuk
penghindaran pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan
kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan?
Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai bentuk yang
biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak, yaitu:
(i) Transfer pricing,
The setting of the amount of related party charges is commonly referred
to as transfer pricing. Many jurisdictions have become sensitive to the
potential for shifting profits with transfer pricing, and have adopted
rules regulating setting or testing of prices or allowance of
deductions or inclusion of income for related party transactions. Many
jurisdictions have adopted broadly similar transfer pricing rules.
The OECD has adopted (subject to specific country reservations) fairly
comprehensive guidelines.
Arms length principle: a key concept of most transfer pricing rules is
that prices charged between related enterprises should be those which
would be charged between unrelated parties dealing at arms length.
Most sets of rules prescribe methods for testing whether prices charged
should be considered to meet this standard. Such rules generally involve
comparison of related party transactions to similar transactions of
unrelated parties (comparable prices or transactions). Various
surrogates for such transactions may be allowed. Most guidelines
allow the following methods for testing prices: Comparable
uncontrolled transaction prices, resale prices based on comparable
markups, cost plus a markup, and an enterprise profitability method
(International Taxation-Wikipedia).

Halaman | 70
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Peyalahgunaan Transfer Pricing dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (related parties). Dimana terjadi
harga transfer tidak wajar dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut dalam melakukan transaksi .
(ii) Thin capitalization,
Most jurisdictions provide that taxable income may be reduced by
amounts expended as interest on loans. By contrast, most do not provide
tax relief for distributions to owners. Thus, an enterprise is motivated
to finance its subsidiary enterprises through loans rather than capital.
Many jurisdictions have adopted "thin capitalization" rules to limit such
charges. Various approaches include limiting deductibility of interest
expense to a portion of cash flow, disallowing interest expense on debt
in excess of a certain ratio, and other mechanisms (International
Taxation-Wikipedia).
(iii) Treaty shopping,
An anlisys of tax treaty provisions to structure as international
transaction or operation so as to take advantage of a particular (Treaty
Shopping and Benefeficial Ownership, Mr David Partington, OECD
Secretariat).
Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan
dengan menggunakan struktur sedemikian rupa dengan maksud semata-
mata untuk memperoleh manfaat P3B (Peraturan Dirjen Pajak No PER-
62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran pajak Berganda).
(iv) controlled foreign corporation (CFC).
Adalah badan usaha yang didirikan diluar indonesia yang modal
disetornya:
Sekurang-kurangnya 50% dimiliki oleh WP dalam negri, baik secara
sendiri maupun bersama-sama denngan WP dalam negri lainnya dan
badan usaha diluar negri tersebut sahamnya tidak terdaftar
(diperdagangkan) di bursa efek.

Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak


dapat menjalankan dalam bentuk:
1 . Substantive tax planning, yang terdiri atas:
a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-
negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang
memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu
jenis penghasilan.
b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax object) ke negara-negara
yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan
Halaman | 71
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis
penghasilan.
c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject
and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus
(keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
2 . Formal tax planning
Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan
substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk
formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu
ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau
aggressive tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan
karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak lagi bersifat
defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan
membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya
atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat
dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation
Office (ATO) adalah sebagai berikut:
a. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak.
Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis,
kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
b. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas
pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.
c. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi
tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
d. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan
yang besar di masa yang akan datang.
e. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima
oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
f. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven countries

3.2. Pencegahan Terhadap Praktik Penghindaran Pajak


A. Metode Penghindaran Pajak Berganda (Method for Elimination of
Double Taxation)
Dalam rangka mengurangi atau menetralisir dari kemungkinan
pengenaan pajak berganda beberapa metode yang bisa dilakukan antara lain
(P3B, John Hutagaol; Manajemen Perpajakan, Moh. Zain):
1. Metode Pembebasan (Exemption)
Halaman | 72
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Dikatakan metode pembebasan apabila negara itu tidak memajaki
penghasilan yang berasal dari luar wilayah juridiksinya yang
diperoleh atau diterima oleh penduduknya. Metode Pembebasan terbagi
menjadi 2, yaitu:
a. Metode Pembebasan Penuh (Full Exemption)
Dikatakan metode pembebasan penuh apabila seluruh
penghasilan yang berasal dari luar negri yang diperoleh
penduduk dari suatu negara tidak dikenakan pajak negara itu.
b. Metode Pembebasan (Exemption with Progression)
Dikatakan metode pembebasan progrssif apbila penghasilan
yang berasal dari luar negri turut di perhitungkan dengan
penghasilan dari dalam negri hanya untuk tujuan penentuan
tarif pajak dalam rangka menentukan besarnya pajak yang
tehutang atas penghasilan dari dalam negri.
2. Metode Kredit (Credit Method)
Dibedakan atas 2, yaitu:
a. Metode Pengkreditan Penuh (Full Credit)
Dikatakan metode pengkreditan penuh apabila atas seluruh
pajak yang terhutang atau dibayar di luarnegri sehubungan
dengan penghasilan yang diperolehnya dari luar negri dapat
diperhitungkan dengan pajak yang terhutang diakhir tahun.
b. Metode Pengkreditan Pembatasan (Ordinary Credit) Dikatakan
metode pengkreditan pembatasan apabila pajak yang
terhutang atau dibayar di luar negri yang dapat
diperhitungkan sebagai kredit pajak dibatasi tidak boleh
melebihi batas maksimum yang diperkenankan oleh UU
domestik dari suatu negara.
3. Metode Fiktif (Fictious Method)
Yang disebut metode fiktif (tax sparing method) adalah insentif pajak
yang diperoleh dari luar negri oleh penduduk dari suatu negara yang
dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak atas pajak yang terhutng di
negara itu.

B. Ketentuan tentang Ant i Avoidance


Dalam menghadapi bentuk unacceptable tax avoidance atau
aggressive tax planning, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan
pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan sebagai berikut ini:
1 . Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti
penghindaran pajak atas transaksi (i) transfer pricing, (ii) thin
capitalization, (iii) treaty shopping, (iv) controlled foreign
Halaman | 73
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
corporation (CFC). Berikut adalah SAAR untuk masing-masing
transaksi:
i). SAAR untuk transfer pricing :
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA)
adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal
Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya
kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
(related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah
untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer
pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara
Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat
mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang
dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan
kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus
tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan
produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam
grup yang sama.
APA bersifat unilateral: yaitu merupakan kesepakatan antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak,
Bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan
otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak
yang berada di wilayah yurisdiksinya.
ii). SAAR untuk thin capitalization
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta
menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan
harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan
kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Dari sudut pandang UU perpajakan, pinjaman pembiayaan (loan
financing) akan berdampak mengurangi dasar pengenaan
pajak karena bunga yang dibayar dibebankan sebagai biaya.
Untuk mencegahnya, ialah dengan mengatur maksimum
pinjaman yang diperbolehkan agar tidak semua biaya bunga
dapat dikurangkan.

Halaman | 74
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
Ketentuan thin capitalization diwujudkan dalam aturan
tentang penentuan batas maksimum ratio antara utang dan
modal (debt-to-equity ratio, DER). Ketentuan dalam peraturan
UU pajak yang mengatur rasio antara utang dan modal adalah
bahwa sebagian dari biaya bunga tidak dapat dibebankan
sebagai biaya, apabila utang yang berkaitan dengan
pembayaran bunga tersebut melebihi rasio yang ditentukan.
Tujuan aturan DER adalah untuk mendorong perusahaan
melakukan investasi melalui equity. Tanpa adanya ketentuan
yang mengatur DER, perusahaan cenderung untuk melakukan
investasi dengan utang karena bunga yang dibayar untuk utang
tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya.

iii). SAAR untuk treaty shopping


Pemotong/Pemungut Pajak tidak diperkenankan untuk
menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dan wajib
memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-UndangNomor
36Tahun2008; dan
WPLN yang melakukan penyalahgunaan P3B tidak dapat
mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang
tidak seharusnya terutang
Dalam hal terdapat perbedaan antara format hukum (legal
form) suatu struktur/skema dengan substansi ekonomisnya
(economic substance), maka perlakuan perpajakan diterapkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi
ekonomisnya (substance over form).

iv). SAAR untuk controlled foreign corporation (CFC)


Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva
perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk
untuk maksud demikian (special purpose company), dapat
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan
mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan
tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran
pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian
saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam
Halaman | 75
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus
untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan
modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek (Deemed Dividen).

2 . General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti


penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata
dilakukan oleh Wajib Pajak yang untuk tujuan penghindaran pajak
atau transaksi yang tidak mempunyai substans bisnis.
i

C. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty)


Adalah perjanjian pajak antar dua negara dalam upaya menghindari
pajak berganda. Hal-hal yang ada didalamnya meliputi negara mana saja
yang menjadi peserta dan terikat dalam perjanjian tersebut dan objek
pajak apa yang tercakup dalam perjanjian tersebut.
Pada dasarnya tax treaty dapat dibedakan menjadi 3 macam:
a) Menyebutkan jenis pajaknya tetapi tidak menyebutkan definisinya,
hal ini dapat menimbulkan perbedaan dalam penafsiran, sehingga sering
kali ditambahkan klausal jika terdapat keragu-raguan maka akan
dibicarakan bersama.
b) Mencantumkan definisi pajak yang diliputinya disertai dengan nama
pajaknya, yang pada waktu perjanjian dibuat telah ada dan ditambah
dengan ketentuan bahwa pada sewaktu-waktu tertentu otoritas
keuangan dari masing-masing negara akan saling memberitahukan,
pajak mana yang tunduk dalam perjanjiana tersebut.
c) Menyebutkan nama pajaknya dengan ketentuan, bahwa perjanjian
tersebut juga berlaku untuk pajak-pajak yang akan diadakan, dan pada
hakekatnya mempunyai dasar yang sama.
Objek pajak dalam tax treaty pada umumnya dibagi dalam 15 jenis
penghasilan :
a. penghasilan dari harta tetap atau barang tak bergerak (income from
immovable property)
b. penghasilan dari usaha (business income atau business profit)
c. penghasilan sari usaha perkapalan atau angkutan udara (income from
shipping and air transport)
d. deviden
e. bunga
f. royalty
g. keuntungan dari penjualan harta (capital gain)
Halaman | 76
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
h. penghasilan dari pekerjaan bebas (income from independent personal
service)
i. penghasilan dari pekerjaan (income from dependent personal service)
j. gaji untuk direktur (director fees)
k. penghasilan seniman, artis dan atlit (income earned by entertainers and
athletes)
l. uang pensiun dan jaminan social tenaga kerja (pension and social security
payment)
m. penghasilan pegawai negeri (income in respect of government service)
n. penghasilan pelajar atau mahasiswa (income received by students and
apprentices)
o. penghasilan lain-lain (other income)

D. Kedudukan Pajak Penghasilan dan Kaitannya Dengan Tax Treaty


Tax treaty hanya mencakup pada Undang-Undang Pajak Penghasilan
(UU PPh) dan tidak berlaku untuk Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Ketentuan-ketentuan dalam UU PPh yang terkait dengan
perpajakan internasional adalah sebagai berikut:
1. Pasal 18 UU PPh
a.Pembelian saham atau aset perusahaan WP dalam negeri melalui
Special Purpose Company (SPC).
b.Penjualan saham SPC di tax haven country yang memiliki saham
WP dalam negeri.
c.Pembayaran gaji ekspatriat yang ditempatkan oleh perusahaan
induk di luar negeri untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan/WP
dalam negeri yang merupakan anak perusahaannya.

PASAL18AYAT(3b)
Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva
perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk
maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan
sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut
sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan
istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat
ketidakwajaran penetapan harga.

PASAL18AYAT(3c)
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company
atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven
Country) yang mempunya i hubungan istimewa dengan badan
Halaman | 77
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk
usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau
pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

PASAL18AYAT(3d)
Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa
dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi
kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau
pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
1. Penghindaran pajak dapat dilakukan selama transaksi tersebut sah
menurut undang-undang. Ada dua (2) bentuk penghindaran pajak
yaitu acceptable tax avoidance contohnya tax planning dan
unacceptable tax avoidance contohnya tax evasion.
2. Pencegahan praktik-praktik penghindaran pajak ini dapat dicegah
salah satunya adalah dengan melakukan perjanjian pajak antar dua
negara dalam upaya menghindari pajak berganda (tax treaty).

B. Saran
1. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak
maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax
avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti
Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule
(GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya
yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.

Halaman | 78
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014
DAFTAR PUSTAKA

Agus Setiawan. 2006. Perpajakan Internasional. Badan Pendidikan Dan


Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Jakarta
Danny Darussalam Tax Center. 14 Januari 2009. Tax Avoidance, Tax
Planning,TaxEvasion,danAntiAvoidanceRule. www.ortax.org
Gunadi. 2007. Pajak Internasional. Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
IAI. 2008. Sanding Pajak Penghasilan 2008.
John Hutagaol. 2000. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia
dengan Nrgara-negara di Kawasan Asia Pasifik, Amerika dan Afrika.
Jakarta: Salemba Empat.
John Hutagaol, Darussalam, Danny Septriadi 2007. Kapita Selekta
Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
Kusumaatmadja, Mochtar, Etty, R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum
Internasional. Bandung: PT. Alumni.
Mohammad Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Moh.
Zain. 2007. Manajemen Perpajakan ed. 3. Jakarta: Salemba Empat. Peraturan
Direktur Jendral Pajak Nomor Per-62/PJ./2009 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
Pricewaterhouse Coopers. 2008. Indonesi Pocket Tax Book 2008. Jakarta: PT.
Prima Wahana Caraka.
Rachmanto Surahmat, 2006, Mendorong Investasi Lewat Thin Capitalization,
Tax Partner Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult.
Rudi. 10 Oktober 2008. Pokok-Pokok Perubahan UU PPh Nomor 36 Tahun
2008. http://www.klinik-pajak.com/pokok-pokok-perubahan-undang-
undang-pph-baru.html.

Halaman | 79
JURNAL EKONOMI ISSN: 2302-7169 Vol. 2 No. 3 Mei-Agustus
2014

Anda mungkin juga menyukai