Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang


utama. Banyak pasien yang mengalami kematian akibat penyakit
jantung. Penanganan yang salah dan kurang cepat serta cermat adalah
salah satu penyebab kematian.

Infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama bagi


laki-laki dan perempuan di USA. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang
menderita infark miokard setiap tuhannya dan lebih dari 600 orang
meninggal akibat penyakit ini.

Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah membuat


mereka salah untuk pengambilan keputusan penanganan utama.
Sehingga menyebabkan keterlambatan untuk ditangani. Hal ini sering
menyebabkan kematian.

Berbagai penelitian standart terapi trombolitik secara besar-


besaran telah dipublikasikan untuk infark miokard akut (IMA) dengan
harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun
stabilisasi koroner setelah iskemia.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial


Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri
atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Infark miokardium menunjukkan terbentuknya suatu daerah nekrosis
miokardium akibat iskemia total. Infark miokardium akut dikenal sebagai
serangan jantung, merupakan penyebab tunggal tersering kematian di industri
dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju.

2.2 Epidemiologi

Infark miokard akut merupakan penyebab tunggal tersering kematian di


negara industri. Di Amerika Serikat, diperkirakan 1,5 juta orang menderita MI
setiap tahunnya dengan kematian sekitar 500.000. Pada kasus yang fatal hampir
dari setengah pasien yang meninggal sebelum sampai ke rumah sakit. Resiko MI
akut meningkat secara progresif seumur hidup. Antara usia 45 dan 54, laki-laki
memiliki kemungkinan terkena MI 4-5x dibandingkan dengan perempuan.

2.3 Patofisiologi

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika


aliran darah koroner menurun scara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

2
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakitbatkan oklusi arteri koroner.

Selanjutnya, pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis ( kolagen, ADP,


epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptop glikoprotein
IIb/Iia. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptop mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multtivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

2.4 Diagnosis

a. Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan


anamnesis secara cermat, apakah nyeri dada nya berasal dari jantung atau
dari luar jantung.Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta
faktor faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia,
merokok, stress, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.

3
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi atau penyakit
medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang malam, variasi
sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun
tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
1. Lokasi : substernal, retrosternal dan prekordinal
2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir.
3. Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/ interscapula, perut dan dapat juga kelengan
kanan
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5. Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan
sesudah makan.
6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas.
b. Pemeriksaan fisik
Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan atau
hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan
hiperaktivitas parasimpatis ( bradikardia dan atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparats katup mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai
dalam mingggu pertama pasca STEMI.
c. EKG
Jika pada EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien
tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan
interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST.

4
d. Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CKMB) dan
cardiac spesific troponin T dan dilakukan secara serial.
Pemeriksaan enzim jantung lainnya adalah :
1. Mioglobulin
Dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8jam
2. Creatinin kinse
Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari
3. Lactic dehidrogenase
Meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai
puncak 3-6 har dan kembali normal dalam 8-14 hari.
2.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang
ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada.

2.5.1 Tatalaksana awal


2.5.1.1 Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen
utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain :
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi

5
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk
meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik prehospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG
dan managemen STEMI serta ada kendali komando medis online yang
bertanggung jawab pada pemberian terapi.

2.5.1.2 Tatalaksana di ruang emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

2.5.1.3 Tatalaksana umum


1) Oksigen: suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval
5 menit.
3) Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada
- Morfin: sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin: merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi

6
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
- Penyekat Beta: Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.

Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark
miokard dan menurunkan angka kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada
pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin
tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan
untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis
harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi
intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.

7
Obat fibrinolitik
1. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan
dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selaanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Manfaat mencakup harganya yang murah dan
insidensi perdarahan intrakranial yang rendah, manfaat pertama
diperlihatkan pada GISSI-1 trial.

2. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)


Global Use of Strategies to Open Coronary Arteries-1 (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang
mendapat tPA dibanding SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada
SK dan resiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.

3. Reteplase (Retavase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan
sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah
karena waktu paruh yang lebih panjang.

4. Tenekteplase (TNKase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesititas fibrin dan resistensi
tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PA-1). Laporan awal dari
TIMI 10 B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan
komplikasi perdarahan yang sebanding dengan tPA.

Indikasi terapi fibrinolitik (ACCF-AHA 2013)


Klas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada
pasien STEMI dengan onset gejala iskemik <12 jam jika diantisipasi
intervensi koroner perkutan primer tidak dapat dikerjakan dalam 120
menit setelah kontak medis pertama
Klas II a
1. Jika tidak terdapat kontraindikasi dan jika intervensi koroner perkutan
tidak tersedia.
2. Terapi fibrinolitik dipertimbangkan pada pasien STEMI jika terdapat
bukti klinis dan atau EKG iskemia yang sedang berlangsung dalam
sampai 24 jam onset gejala dan area miokard luas yang berisiko atau
hemodinamik tidak stabil

8
2.5.1.4 Tatalaksana di Rumah Sakit
ICCU
Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
Diet : karena resiko meuntah dan aspirasi segera setelah infark miokard,
pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam
pertama. Diet mencakup lemak < 30% kalori total dan kandungn
kolesterol <300 mg/hari
Bowels : istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk
menghilangkan nyeri sering mengakibatkan konstipasi.
Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg,
oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5-2 mg diberikan 3 atau 4 kali
sehari.
Terapi Farmakologis
Antitrombotik
Terapi antiplatelet
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai
peran penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah ubtuk
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait
infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi psien menjadi
trombosis.

Aspirin
Merupakan antiplatelet standart pada STEMI. Data dari hampir 20.000
pasien datang dengan infark miokard yang bersal dari 15 randomised trial
menunjukkan penurunan relatif laju mortalitas sebesar 27% dari 14,2%
pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat
antiplatelet.

Klopidogrel
Harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI yang
mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing
loading 600 mg. Sedangkan yang tidak menjalani PCI dosis loading 300
mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari.

Prasugrel

9
Merupakan suatu tienopiridin alternatif, menghambat agregasi trombosit
lebih besar dibandingkan dengan klopidogrel. Pasien STEMI yang
mendapat prasugrel mempunyai mortalitas 30 hari lebih rendah pada
outcome primer. Manfaat prasugrel relatif terhadap klopidogrel pada
pasien stemi harus lebih besar daripada meningkatnya risiko perdarahan.
Prasugrel tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat stroke atau
serangan iskemik sementara dan tidak menunjukkan manfaat pada pasien
> 75 tahun atau pasien dengan berat badan > 60 kg.
Ticagrelor
Merupaka natagonis reseptor P2Y, reversible yang tidak memerlukan
konversi metabolik menjadi obat aktif. Terdapat penurunan bermakna
kejadian trombosis stent dan kematian total pada kelompok yang
mendapat ticagrelor yang menjalani intervensi koroner perkutan (PCI)
primer, walaupun lebih banyak stroke dan kejadiaan perdarahan
intrakranial pada kelompok ticagrelor.

GP IIb/IIIa inhibitor.
Penggunaan obat GP IIb/IIIa inhibitor pada waktu PCI dapat
dipertimbangkan secara individual untuk trombus yang besar atau loading
antagonis reseptor P2Y yang tidak adekuat. Pada pasien yang mendapat
bivalirudin sebagai antikoagulan primer, penggunaan inhibitor GP IIb/ IIIa
tambahan secara rutin tidak direkomendasikan, namun dapat
dipertimbangkan sebagai penunjang atau terapi bail out pada kasus
tertentu.

TERAPI ANTIKOAGULAN
Unfractionated Heparin
Penggunaan antitrombin standart yang digunakan dalam praktek klinis
adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai
tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif
(tPA, rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis bolus 60 U/kg
(maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum
1000 U/jam). Activted partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5 2 kali.

10
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Merupakan antikoagulan alternatif pada STEMI. Pasien dengan infark
anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat
emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan resiko tinggi tromboemboli paru sistemik. Pada keadaan ini
harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh selama dirawat ,
dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.

Penyekat Beta
Manfaatnya pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika
obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika
obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian
penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan menurunkan
risiko kejadian aritmia ventrikel yang srius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE. Kecuali pada
pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi
sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik
atau riwayat asma).

Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyeka beta.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilnjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung.

2.6 Komplikasi STEMI


Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk,
ukran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodeling ventrikular dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau
tahun pasca infark. Segera telah infark ventrikel mengalami dilatasi.
Progresif diltasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi
inhibitor ACE atau vasodilator lainnya.

11
Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan ( pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai
korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada
awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai
adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering di jumpai kongesti paru.

BAB III
KESIMPULAN

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Gejala klinis biasanya ditandai dengan adanya nyeri
dada, diikuti dengan peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan
EKG. Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi

12
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang.

DAFTAR PUSTAKA

1. PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 2015, Edisi


Ketiga.
2. Sudoyo W Aru, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta;
InternaPublishing
3. Kasron, 2012. Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta;
Nuha Medika

13
4. Baras, Faisal dkk, 1996. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta; Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
5. Heger, Joel W, dkk, 2003. Buku Saku Kardiologi Edisi 3. Jakarta: EGC

14

Anda mungkin juga menyukai