Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrate supuratif disertai defek
kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel
sampai stroma (Ilyas, 2011). Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak
ditemukan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel
radang. Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea yaitu ulkus kornea sentral dan ulkus
kornea marginal atau perifer (Mills, 2011).
Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk
mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa descematokel,
perforasi, endoflatmitis, bahkan kebutaan. (Farida, 2015). Pembentukan jaringan
parut akibat ulserasi kornea merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan
penglihatan di seluruh dunia dan merupakan penyebab kebutaan nomer dua di
dunia. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila
diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai
(Vaughan, 2010).
Penyebab ulkus kornea adalah bakteri, jamur, akantamuba dan herpes simpleks
(Mills, 2011). Ulkus kornea biasanya terjadi setelah terdapatnya trauma yang
merusak epitel kornea. Riwayat trauma bisa saja hanya berupa trauma kecil seperti
abrasi oleh karena benda asing atau oleh karena insufisiensi air mata, malnutrisi
ataupun penggunaan lensa kontak (Biswell, 2008).
Dikarenakan banyaknya kasus ulkus kornea dan komplikasi dari ulkus kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan, maka perlu adanya perhatian khusus oleh
tenaga medis mengenai diagnosis dini dan terapi yang cepat dan tepat mengenai
ulkus kornea agar dapat menghindari komplikasi dan menurunkan insiden kebutaan
di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah definisi dari ulkus kornea?
1.2.2 Bagaimana cara mendiagnosis ulkus kornea?
1.2.3 Apa saja tipe tipe ulkus kornea?
1.2.4 Bagaimana penatalaksanaan ulkus kornea?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi dan klasifikasi ulkus kornea.
1.3.2 Mengetahui penegakan diagnosis ulkus kornea.
1.3.3 Mengetahui penatalaksanaan ulkus kornea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11 12 mm horizontal dan 10 -11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74% atau setara dengan 43,25 dioptri dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan,
kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus (AAO, 2011).
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, di mana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya
dan deturgensinya (Louis dkk, 2014).

Gambar 2.1 Anatomi Kornea

Kornea memiliki tiga fungsi utama, yaitu


1 Sebagai media refraksi cahaya, terutama antara udara dan lapisan air mata
prekornea.
2 Sebagai struktur penyokong dan proteksi bola mata tanpa menganggu
penampilan optikal.
3 Transmisi cahaya dengan minimal distorsi, penghamburan dan absorbsi (Biswell,
2008).
Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel,
membrana bowman, stroma, membrana descement dan endotel. Epitel kornea
merupakan bagian terluar dari kornea. Epitel kornea memiliki ketebalan 550 m,
terdiri dari 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel basal,
sel polygonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel ini
mudah terdorong ke depan menjadi lapis sel poligonal dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
polygonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden. Ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier (Riordan,
2010).
Membrana bowman terletak di bawah membrana basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma. Lapisan ini avaskular dan tidak mempunyai daya regenerasi.
Stroma menyusun 90% ketebalan kornea. Terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma (Ilyas, 2011).
Membran descement merupakan membran aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea, dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup (Ilyas, 2007). Endotel
berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar 20 40 m.
Mengatur degenerasi kornea dengan cara memompa keluar cairan yang berlebihan
dari stroma. Selnya tidak dapat beregenerasi (Riordan, 2010).
Gambar 2.2 Lapisan Kornea (AAO, 2011)

Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh - pembuluh darah limbus, humor


aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus. Saraf trigeminus ini memberikan
sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh (Perdami, 2002).

Secara klinis, kornea dibagi dalam beberapa zona yang mengelilingi dan
menyatu satu dengan yang lain, seperti pada gambar di bawah ini (Louis dkk, 2014).

Gambar 2.3 Topografi Kornea (Louis dkk, 2014)


2.2 Ulkus Kornea
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek
kornea, dan robeknya jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.
Terbentuknya ulkus pada kornea banyak ditemukan oleh adanya kolagenase yang
dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea
yaitu sentral dan marginal atau perifer (Ilyas, 2011).

Gambar 2.4 Ulkus Kornea

2.3 Epidemiologi
Insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di
Indonesia, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain terjadi karena
trauma, pemakaian lensa kontak, dan kadang-kadang tidak di ketahui penyebabnya.
Di Indonesia ulkus kornea masih merupakan masalah kesehatan mata sebab
kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan (Suharjo,
2007). Penyebab yang paling banyak adalah dari golongan bakteri penyebab
terbanyaknya adalah Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus epidermidis. Sedangkan dari golongan jamur yaitu Fusarium dan
Aspergillus (WHO, 2004).

2.4 Etiologi
2.4.1 Infeksi
Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies
Moraxella merupakan penyebab paling sering.
Infeksi virus : virus herpes simplex (bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh
vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan
ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami
nekrosis di bagian sentral). Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola,
vacinia (jarang).
Infeksi Jamur : Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan
spesies mikosis fungoides.
Acanthamoeba : pada pengguna lensa kontak lunak,
khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga
biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air
atau tanah yang tercemar.

2.4.2 Non infeksi


Bahan kimia
Bahan Asam
Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan
protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak
bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja.
Sebagian besar bahan asam hanya akan mengadakan penetrasi terbatas
pada permukaan mata, namun bila penetrasi lebih dalam dapat
membahayakan visus. Asam sulfat merupakan penyebab paling sering dari
seluruh trauma kimia asam. Asam bereaksi dengan air mata yang melapisi
kornea dan mengakibatkan temperatur meningkat (panas) dan terbakarnya
epitel kornea. Semua asam cenderung untuk mengkoagulasi dan
mengendapkan protein. Sel-sel terkoagulasi pada permukaan berfungsi
sebagai penghalang relatif pada penetrasi asam yang lebih parah.

Bahan Basa

Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena


bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana
dapat secara cepat penetrasi ke sel membran dan masuk ke bilik mata
depan, bahkan sampai retina. Bahan alkali antara lain amonia, cairan
pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium
karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea. Bahan ammonium
hidroksida dan akustik soda dapat menyebabkan kerusakan yang berat
karena mereka dapat penetrasi secara cepat, dan dilaporkan bahwa bahan
akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7
detik. Kornea, pada organ ini dapat terjadi edema kornea karena adanya
kerusakan dari epitel, glikosaminoglikan, keratosit, dan endotel, sehingga
aquos humor dari bilik mata anterior dapat masuk kedalam kornea. Selain
itu karena adanya iskemia limbus suplai nutrisi berkurang sehingga
menyebabkan tidak terjadinya reepitelisai kornea dan pada akhirnya dapat
timbul sikatrik pada kornea.

Radiasi atau suhu


Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.

Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A
dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun
pemanfaatan oleh tubuh.

Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca
yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan
defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan
palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik
kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada
kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.

Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid,
IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.

Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.


Pajanan (exposure)
Dapat timbul pada situasi apapun dengan kornea yang tidak cukup dibasahi
dan dilindung oleh palpebra.

Neurotropik
Ulkus yang terjadi akibat gangguan saraf ke V atau ganglion Gaseri. Pada
keadaan ini kornea atau mata menjadi anestetik dan reflek mengedip
hilang. Benda asing pada kornea bertahan tanpa memberikan keluhan
selain daripada itu kuman dapat berkembang biak tanpa ditahan daya tahan
tubuh. Terjadi pengelupasan epitel dan stroma kornea sehingga menjadi
ulkus kornea.

2.4.3 Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)


SLE : gangguan autoimun multisistem dengan komplikasi ocular di segmen
anterior dan posterior, termasuk keratitis sicca, episkleritis, ulkuskornea,
uveitis, dan vasculitis retina.
Rheumathoid arthritis : gangguan vaskulitis sistemik yang paling sering
melibatkan permukaan okular. Pasien dengan RA berat sering hadir dengan
ulserasi progresif indolen dari kornea perifer atau pericentral dengan
peradangan minimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perforasi
kornea.

2.5 Tipe Ulkus Kornea


Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea yaitu sentral dan perifer atau
marginal.

2.5.1 Ulkus Kornea Sentral


Ulkus kornea tipe sentral biasanya merupakan ulkus infeksi akibat kerusakan
pada epitel. Lesi terletak di sentral, jauh dari limbus vaskuler. Penyebab ulkus
kornea sentral adalah bakteri (Pseudomonas, Pneumokokus, Moraxela liquefaciens,
Streptokokus hemolitik, Klebsiela pneumoni, E. coli, Proteus), virus (herpes
simpleks, herpes zoster), jamur (kandida albikan, fusarium solani, spesies nokardia,
sefalosporium dan aspergilus) (Biswell, 2008).
Mikroorganisme ini tidak mudah masuk ke dalam kornea dengan epitel yang
sehat. Terdapat faktor predisposisi untuk terjadinya ulkus kornea seperti erosi pada
kornea, keratitis neurotrofik, pemakaian kortikosteroid atau imunosupresif,
pemakaian obat anestetika lokal, pemakaian Idoxyuridine (IDU), pasien diabetes
melitus dan penyakit tua (Biswell, 2008).
1. Ulkus Kornea Bakterialis (Vaughan,2000 dan Wijaya,1989)

Gambar 2.5 Ulkus Kornea Bakterialis

Ulkus Streptokokus : Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk
cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam
dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh
streptokok pneumonia.
Ulkus Stafilokokus : Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putih
kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel.
Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai
edema stroma dan infiltrasi sel leukosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus
seringkali indolen yaitu reaksi radangnya minimal.
Ulkus Pseudomonas : Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral
kornea. ulkus sentral ini dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea.
Gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang
dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti
cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak.
Gambar 2.6 Ulkus Kornea Pseudomonas

Ulkus Pneumokokus : Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang


dalam. Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga
memberikan gambaran karakteristik yang disebut Ulkus Serpen. Ulkus
terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan.
Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung
dan di daerah ini terdapat banyak kuman. Ulkus ini selalu di temukan
hipopion yang tidak selamanya sebanding dengan beratnya ulkus.

Gambar 2.7 Ulkus Kornea Pneumokokus

1. Ulkus Kornea Fungi (Vaughan,2000 dan Wijaya,1989)


Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-
abuan yang agak kering. Tepi lesi berbatas tegas iregular dan terlihat
penyebaran seperti bulu pada bagian epitel yang baik. Terlihat suatu daerah
tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit
disekitarnya..Tukak kadang-kadang dalam, seperti tukak yang disebabkan
bakteri. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik.
Dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang. Terdapat injeksi
siliar disertai hipopion.
Gambar 2.8 Ulkus Kornea Fungi

2. Ulkus Kornea Virus (Vaughan,2000 dan Wijaya,1989)


Ulkus Kornea Herpes Zoster : Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem
palpebra, konjungtiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat
subepitel dan stroma. Infiltrat dapat berbentuk dendrit yang bentuknya
berbeda dengan dendrit herpes simpleks. Dendrit herpes zoster berwarna
abu-abu kotor dengan fluoresin yang lemah. Kornea hipestesi tetapi dengan
rasa sakit keadaan yang berat pada kornea biasanya disertai dengan infeksi
sekunder.
Ulkus Kornea Herpes simpleks : Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda
injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan
epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit atau bintang infiltrasi. terdapat
hipertesi pada kornea secara lokal kemudian menyeluruh. Terdapat
pembesaran kelenjar preaurikel. Bentuk dendrit herpes simpleks kecil,
ulceratif, jelas diwarnai dengan fluoresin dengan benjolan di ujungnya

Gambar 2.9 a. Ulkus Kornea Dendritik b. Ulkus Kornea Herpetik

2.5.2 Ulkus Kornea Perifer


2.5.2.1 Ulkus Marginal
Ulkus kornea marginal merupakan peradangan kornea bagian perifer
berbentuk khas yang biasanya terdapat daerah jernih antara limbus kornea dengan
tempat kelainannya. Sumbu memanjang daerah peradangan biasanya sejajar
dengan limbus kornea. Diduga 50% dasar kelainannya ialah suatu reaksi
hipersensitivitas terhadap eksotoksin stafilokokus. Ulkus yang terdapat terutama
dibagian perifer kornea yang biasanya terjadi akibat alergi, toksik, infeksi dan
penyakit kolagen vaskuler (Biswell, 2008).

Gambar 2.10 Ulkus Kornea Marginal

Penglihatan pada pasien dengan ulkus marginal akan menurun disertai


dengan rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, terdapat pada satu mata blefarospasme,
injeksi konjungtiva, infiltrate atau ulkus yang memanjang, dan dangkal. Pengobatan
ulkus marginal ini adalah antibiotic dengan steroid lokal dapat diberikan sesudah
kemungkinan infeksi virus herpes simpleks di singkirkan. Pemberian steroid
sebaiknya dalam waktu singkat disertai dengan pemberian vitamin B dan C dosis
tinggi (Ilyas, 2011).

2.5.2.2 Ulkus Mooren


Ulkus mooren adalah suatu ulkus menahun superfisial yang dimulai dari tepi
kornea dengan bagian tepinya tergaung dan berjalan progresif tanpa kecenderungan
perforasi ataupun hipopion. Lambat laun ulkus ini mengenai seluruh kornea.
Penyebab ulkus mooren sampai sekarang belum diketahui. Banyak teori yang
diajukan dan diduga penyebabnya hipersensitivitas terhadap protein tuberculosis,
virus, autoimun dan alergi terhadap toksin ankilostoma (Biswell, 2008).
Merupakan ulkus kornea idiopatik unilateral maupun bilateral. Penyakit ini
lebih sering terdapat pada wanita usia pertengahan dan usia lanjut biasanya
unilateral dengan rasa sakit dan merah. Tukak ini menghancurkan membrane
bowman dan stroma kornea. Neovaskularisasi tidak terlihat pada bagian yang
sedang aktif, bila kronik akan terlihat jaringan parut dengan jaringan vaskularisasi
(Ilyas, 2011).

Gambar 2.11 Ulkus Mooren (Louis dkk, 2014)

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan

adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang

bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering

kambuh. Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien

seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus

terutama keratitis herpes simplex (Biswell, 2008).


Gejala dari ulkus kornea yaitu nyeri, berair, fotofobia, blefarospasme, dan

biasanya disertai riwayat trauma pada mata (Farida, 2015). Beberapa gejala

subjektif yang dapat dirasakan penderita antara lain (Ilyas & Yulianti, 2012):

Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva;

Sekret mukopurulen;

Merasa ada benda asing di mata;

Pandangan kabur;

Mata berair;
Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus;

Silau

Nyeri

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi oleh

karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi cahaya yang

masuk ke dalam media refraksi. Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gejala

berupa adanya injeksi siliar, edema kornea, terdapat infiltrat, serta hilangnya

jaringan kornea disertai adanya jaringan nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi

iritis yang disertai dengan hipopion (Ilyas & Yulianti, 2012).

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Tes fluoresin

Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya sebagian permukaan kornea. Untuk


melihat adanya daerah yang defek pada kornea. (warna hijau menunjukkan daerah
yang defek pada kornea, sedangkan warna biru menunjukkan daerah yang intak).

2. Pewarnaan gram dan KOH

Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus, oleh jamur.

3. Kultur

Kadangkala dibutuhkan untuk mengisolasi organisme kausatif pada


beberapa kasus.

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding ulkus kornea akan dijelaskan pada tabel berikut.


Tabel 1.1 Diagnosis Banding Ulkus Kornea

Konjungtivitis Keratitis / Iritis Akut Glaukoma


Ulkus Kornea Akut
Sakit Kesat sedang Sedang-berat Berat
menyebar
Kotoran Purulen Refleks Ringan -
epifora
Fotofobia Ringan - Hebat Sedang
Kornea Jernih Flourescin + Presipitat Edema
Iris N muddy Abu-abu
kehijauan
Pengelihatan N <N <N <N
Sekret + - - -
Tekanan N N <N >N
Injeksi Konjungtival Siliar Siliar Episklera
Uji Bakteri Sensibilitas Infeksi lokal Tonometri

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ulkus kornea terbagi menjadi penatalaksanaan pada


fasilitas kesehatan primer, sekunder dan tersier.

2.8.1 Penatalaksanaan pada Fasilitas Kesehatan Primer (WHO, 2004)


Chloramphenicol eye ointment 0,5-1% 3 kali sehari selama 3 hari. Hindari
penggunaan steroid dan pengobatan tradisional.
Rujuk jika nyeri dan kemerahan bertahan selama 3 hari atau terdapat bercak
putih pada kornea dan mata yang merah (lokasi ulkus).

2.8.2 Penatalaksanaan pada Fasilitas Kesehatan Sekunder (WHO, 2004)

o Pikirkan kemungkinan untuk merujuk secara cepat ke layanan tersier jika :


Pasien anak-anak
Terdapat impending perforation atau actual perforation
Suspek fungal ulcer pada klinis namun tidak dapat dilakukan pengecatan
o Ambil sampel corneal smear untuk dicat KOH (untuk melihat adanya fungal
hyphae).
o Indikasi rawat inap jika terdapat penurunan mendadak tajam pengelihatan,
memastikan kepatuhan pengobatan tiap jam dan follow up
o Cek hasil pengecatan KOH, jika
Ditemukan fungal hyphae : Natamycin 5% atau Amphotericin 0,15% tetes
mata per jam. Lakukan pemeriksaan tiap hari sampai perbaikan. Jika
tidak ada perbaikan dalam 7 hari, rujuk ke layanan tersier.
Tidak ditemukan fungal hyphae : Cefazolin 5% dan Gentamycin 1,4%
tetes mata per jam. Lakukan pemeriksaan tiap hari sampai perbaikan.
Jika tidak ada perbaikan dalam 7 hari, rujuk ke layanan tersier.

Gambar 2.12 Penatalaksanaan Keratitis Supuratif pada Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Sekunder (WHO, 2004)

2.8.3 Penatalaksanaan Fasilitas Kesehatan Tersier


Pada layanan tersier, tindakan yang dilakukan meliputi pengecatan KOH,
Gram, dan kultur sensitivitas jika pada layanan sekunder tidak disertakan hasil tes
tersebut. Lanjutkan pengobatan yang dianjurkan pada layanan sekunder seperti
disebutkan di atas sambil menunggu hasil. Selain itu diberikan pula terapi adjuvan
berupa sikloplegik, analgesik, anti glaucoma jika terindikasi (WHO, 2004).

Gambar 2.13 Penatalaksanaan pada Fasilitas Kesehatan Tersier (WHO,


2004)

Terapi kortikosteroid pada peradangan kornea masih kontroversi. Telah


diketahui bahwa pada keratitis telah terjadi kerusakan jaringan baik oleh karena efek
langsung enzim litik dan toksin yang dihasilkan oleh organisme pathogen serta
kerusakan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi oleh karena mikroorganisme.
Reaksi inflamasi supuratif terutama banyak sel polimorfonuklear leukosit. Neutrofil
mampu menyebabkan destruksi jaringan oleh metabolit radikal bebasnya maupun
enzim proteolitiknya. Alasan yang masuk akal penggunaan kortikosteroid yaitu untuk
mencegah destruksi jaringan yang disebabkan oleh neutrofil tersebut.

Pembedahan dilakukan pada ulkus kornea yang tidak sembuh-sembuh


meskipun sudah diterapi obat-obatan, atau terdapat perforasi atau berpotensi untuk
segera perforasi. Tindakannya dapat berupa: Debridement, Superficial keratectomy,
Tarsorraphy, Tissue adhesive, Conjunctival flaps, Patch graft, dan Keratoplasti
penetrans (WHO, 2004).

2.9 Pencegahan

Antibiotik profilaksis Chloramphenicol 1% eye ointment tiga kali sehari selama


tiga hari dapat mencegah kasus-kasus abrasi kornea untuk berkembang menjadi
adverse event termasuk ulkus kornea. Pada infeksi HSV, untuk mencegah rekurensi
infeksi dapat dilakukan antara lain aspirin untuk mencegah demam, hindari paparan
sinar matahari atau ultraviolet berlebih, aspirin diminum sebelum menstruasi, serta
antiviral profilaksis dalam bentuk topikal atau oral, misalnya menjelang bedah
refraksi kornea dengan laser (Vaughan, 2000).
Penggunaan lensa kontak terlalu lama misalnya hingga 24 jam dan kurangnya
menjaga kebersihan lensa kontak, berhubungan dengan ulkus kornea
Pseudomonas aeruginosa. Begitu juga dengan larutan fluorescein dan obat tetes
mata yang terkontaminasi, dapat menimbulkan ulkus Pseudomonas ini (Vaughan,
2000).

2.10 Komplikasi
Ulkus kornea dapat berkomplikasi dengan terjadinya perforasi kornea walaupun
jarang. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis dibanding dengan normal
sehingga dapat mencetuskan terjadinya peningkatan tekanan intraokuler. Jaringan
parut kornea dapat berkembang yang pada akhirnya menyebabkan penurunan
parsial maupun kompleks juga dapat terjadi, glaukoma dan katarak. Terjadinya
neovaskularisasi dan endoftalmitis, penipisan kornea yang akan menjadi perforasi,
uveitis, sinekia anterior, sinekia posterior, glaucoma dan katarak juga bisa menjadi
salah satu komplikasi dari penyakit ini (Biswell, 2008).\

2.11 Prognosis

Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat


lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi
tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi,
maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga
dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan
penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan
resistensi (Biswell, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology, 2012. External Disease and Cornea. BCSC


Sec 8. San Fransisco : AAO.
Biswell R. 2008. Cornea In Vaughn and Asburys General Ophtalmology. 17th ed.
USA: Appleton & Lange.

Farida Y, 2015. Corneal Ulcers Treatment. Journal Majority Vol: 4 (1): 100-105.

Ilyas, Sidarta. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Louis B, Christopher J, George A, 2014. Basic and Clinical Science Course. External
Disease and Cornea., USA: American Academy of Ophthalmology.

Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PDSMI). 2002. Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. 2nd ed. Jakarta: Sagung
Seto.

Vaughan D, 2010. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Vaughan D, 2000. Opthalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika

WHO (World Health Organization), 2004. Guidelines for The Management of


Corneal Ulcer at Primary, Secondary, and Tertiary Care Health Facilities in The
South-East Asia Region. Switzerland: WHO press.
Wijaya N, 1989. Kornea dalam Ilmu Penyakit Mata, cetakan ke-4.

Anda mungkin juga menyukai