Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu sindrom(kumpulan


gejala) akut yang mengenai kulit serta selaput lendir di orifisium dan mata
dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Sindrom
Steven-Johnson adalahbentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang parah berupa erupsi kulit,vesikel,bula,danpurpura yang tersebar
luas terutama pada rangka tubuh, serta melibatkan membran mukosa dan
terdapat lesi pada mata. Klasifikasi SSJ adalah sebagai berikut (French, 2006):
1. Stevens-Johnson Syndrome
Ditandai dengan toxic epidermal necrolysisyang minimal dan
pengelupasan kulit <10% dari body surface area (BSA).
2. Overlapping Stevens-Jonhson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis
Ditandai dengan pengelupasan kulit 10-30% dari BSA.
3. Toxic Epidermal Necrolysis
Ditandai dengan pengelupasan kulit>30% dari BSA.

B. Etiologi

Etiologi SSJ bersifat multifaktorial, sedangkan etiologi pasti belum


diketahui.Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema
multiform yang berat dan disebut Eritema Multiform Mayor sehingga
dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Pada sebagian penderita tidak
diketahui penyebabnya. Yang diduga sebagai penyebab tersering ialah alergi
sistematik terhadap obat dan infeksi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya sindrom ini antara lain (Monica, 2011):
1. Infeksi
a. Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan
dari infeksi saluran napas atas oleh Virus Pneumonia. Hal ini dapat
terjadi pada Asian Flu, Lympho Granuloma Venereum,
Measles,Mumps, dan vaksinasi Smallpox virus. Virus-virus
2

Coxsackie, Echovirus, dan Poliomyelitis juga dapat menyebabkan


SSJ.
b. Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan SSJ ialah
Brucellosis,Dyptheria, Erysipeloid, Glanders,
Pneumonia,Psittacosis, Tuberculosis,Tularemia,Lepromatous
Leprosy, atau Typhoid Fever.
c. Jamur
Coccidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan
Eritema Multiform Bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan
sebagai SSJ.
d. Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen
penyebab.
2. Alergi Sistemik
a. Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SSJ antara lain:
Penisilin dan derivatnya, Streptomisin, Sulfonamida, Tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya derivat
Salisilat,Pirazolon,Metamizol,Metampiron, danParacetamol),
Digitalis, Hidralazin, Barbiturat(Fenobarbital),Kinin
Antipirin,Chlorpromazin,Karbamazepin, dan jamu-jamuan.
b. Zat tambahan dan pewarna pada makanan
c. Kontaktan sepertiBromofluorene, (Tedania Ignis) dan Rhus(3-
Pentadecylcatechol).
d. Faktor fisik seperti sinar X, sinar matahari, cuaca, dan lain-lain.
3. Penyakit -penyakit kolagen vaskuler.
4. Pasca vaksinasi BCG, Smallpox, dan Poliomielitis.
5. Penyakit-penyakit keganasan sepertiKarsinoma Penyakit Hodgkins,
Limfoma, Mieloma, dan Polisitemia.
6. Kehamilan dan Menstruasi.
7. Neoplasma
3

8. Radioterapi

C. Epidemiologi

Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan dewasa, jarang dijumpai


pada anak di bawah usia 3 tahun. Perbandingan antara pria dan wanita tidak
berbeda jauh. Di RS Cipto Mangunkusumo, setiap tahun kira-kira ditemukan
sebanyak 10 kasus. Pada cuaca yang dingin, penyakit ini sering ditemukan.
Adanya faktor fisik pada lingkungan seperti sinar matahari dan sinar X akan
mempengaruhi timbulnya sindrom ini (Monica, 2011).

D. Patogenesis dan Patofisiologi

Patofisiologi SSJ sampai saat ini belum jelas, mungkin disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh
kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibodi IgM dan IgG
serta reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed-type hypersensitivity reactions
atau reaksi hipersensitivitas lambat) yang merupakan reaksi yang dimediasi
oleh limfosit T yang spesifik (Monica, 2008).
Kompleks imun dalam sirkulasi pada keadaan normal akan diikat dan
diangkut eritrosit ke hati, limpa, kemudian dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuklear.Permasalahan timbul jika kompleks imun mengendap di
jaringan, sebagai akibat dari akumulasi gangguan dari fungsi fagosit. Reaksi
hipersensitivitas tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ)
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
4

Gambar 2.1ReaksiHipersensitivitas Tipe III


(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Reaksi hipersenstivitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi


berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang. Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi
hipersenstivititas tipe IV (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Gambar 2.2 Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV


(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
5

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor
penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat
infeksi, inflamasi, atau proses metabolik) (French, 2006; Thaha, 2009).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,
serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis (French, 2006; Thaha, 2009).
Proses hipersensitivitas mengakibatkan kerusakan kulit danpenurunan
fungsi kulit, sehingga menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria,
kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.Perjalanan
penyakit yang timbul dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu.
Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa
atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia. Gejala prodormal tidak
spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh
dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata
permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan.
Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat
makan dan minum (French, 2006; Thaha, 2009).

E. Manifestasi Klinis

Sindrom Stevens-Johnsonmemiliki fase perjalanan penyakit yang sangat


akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk
6

berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung
selama 1-14 hari(Monica, 2008). Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai
gejala awal (Foster, 2016). Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi
gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut
nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran(Monica,
2008). Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SSJ, yaitu:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita SSJ, yaitu timbulnya
ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula
(Monica, 2008). Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah
adanya lesi target atau targetoid lesions. Berbeda dengan lesi target pada
eritema multiform, lesi target pada SSJ merupakan lesi atipikal datar yang
hanya memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu,
makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh
penderita SSJ (Mockenhaupt, 2011). Lesi yang muncul dapat pecah dan
meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi sekunder (Foster, 2016). Pengelupasan kulit umum terjadi
pada sindrom ini, ditandai dengan Tanda Nikolsky positif. Pengelupasan
paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan, seperti pada bagian
punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10%
area tubuh, maka termasuk SSJ. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson
SyndromeToxic Epidermal Necrolysis(SJS-TEN) dan jika lebih dari 30%
area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
(Mockenhaupt, 2011).
b. Kelainan pada Mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru dan bagian
genital (Harr, 2010). Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan
eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis (Foster,
2016). Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir,
lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan
timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
7

menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita


(Monica, 2008). Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring,
percabangan bronkotrakeal, dan esofagus sehingga menyebabkan
penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan,serta pada saluran
genital urinaria yang menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil
(Mockenhaupt, 2011).
c. Kelainan pada Mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka
dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga
dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak
mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea
mata (Harr, 2010).

F. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena
imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan
nyeri tenggorokan (Djuanda, 2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan, yaitu (Djuanda, 2013):
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga terdapat purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya
generalisata.
8

Gambar 2.3 Kelainan Kulit (Croom, 2015)

b. Kelainan Selaput Lendir di Orifisium


Kelainan selaput yang tersering adalah pada mukosa mulut,
kemudian diikuti oleh kelainan dilubang alat genital, sedangkan
lubang hidung dan anus jarang. Kelainannya berupa vesikel dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi, ekskoriasi, dan krusta
kehitaman. Di mukosa mulut juga terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan
pasien sukar atau tidak dapat menelan. Adanya psedomembran di
faring dapat menyebabka keluhan sukar bernapas.
9

Gambar 2.4 Kelainan pada Mukosa Mulut (Croom, 2015)

Gambar 2.5 Kelainan pada Wajah (Croom, 2015)

c. Kelainan pada Mata


Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang
tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat berupa
konjungtivitis purulen, perdarahan, semblefaron, ulkus kornea, iritis,
dan iridosiklitis.Disamping trias kelainan tersebut dapat juga terdapat
kelainan lain, misalnya nefritis dan onkolitis.
10

Gambar 2.6 Konjungtivitis Kataralis (Croom, 2015)

3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, jika terdapat leukositosis,
penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan akibat alergi. Jika disangka penyebabnya karena
infeksi dapat dilakukan kultur darah (Djuanda, 2013).
4. Pemeriksaan Histopatologis
Gambaran histopatologisnya sesuai dengan eritema multiform,
bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal
yang menyeluruh. Kelainannya berupa (Djuanda, 2013):
a. Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh darah dermis superfisial.
b. Edema dan ekstravasasi del darah merah di dermis papilar.
c. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
d. Nekrosis sel epidermal dan kadang di adneksa.
e. Spongiosis dan edema intra sel di epidermis.
11

Gambar 2.7 Gambaran Histopatologik Eritema Multiform


(Hamodat, 2011)

G. Diagnosis Banding

1. Rubela
a. Etiologi : Rubivirus (fam. Togaviridae), VirusRNA
b. Masa inkubasi : 14-21 Hari
c. Masa Penularan : Sejak akhir masa inkubasi sampai 5 hari setelah
timbulnya ruam. Cara penularan melalui droplet.
d. Manifestasi Klinis
1) Masa prodromal 1-5 hari ditandai dengan demam subfebris,
malaise, anoreksia, konjungtivitis ringan,koriza, nyeri
tenggorokan, batuk, danlimfdenopati.
2) Gejala cepat menurun setelah hari pertama timbulnya ruam.
3) Demam berkisar 38-38,7o C. Biasanya timbul dan menghilang
bersamaan dengan ruam kulit.
4) Enantema pada Rubela (Forschheimer Spots)ditemukan pada
periode prodrodromal sampai satu hari setelah timbulnya ruam,
berupa bercak pinpoint atau lebih besar, warna merah muda,
tampak pada palatum mole sampai uvula. Bercak Forschheimer
bukan tanda patognomonik.
5) Terdapat limfadenopati generalisata, tapi lebih sering pada nodus
limfatikus suboksipital, retroaurikular, atau suboksipital.
6) Eksantema berupa makulopapular, eritematosa, dan diskret.
Pertama kali ruam tampak di muka dan menyebar ke bawah
12

dengan cepat (leher,badan, dan ekstremitas). Ruam pada akhir


hari pertama mulai merata di badan, kemudian pada hari ke dua
ruam di muka mulai menghilang dan pada hari ke tiga ruam
tampak lebih jelas di ekstremitas, sedangkan di tempat lain mulai
menghilang.
e. Diagnosis
1) Manifestasi klinis, yaitu prodromal ringan, ruam menghilang
dalam 3 hari, limfadenopati retroaurikular dan suboksipital.
2) Isolasi virus, virus ditemukan pada faring 7 hari sebelum dan 14
hari sesudah timbulnya ruam.
3) Serologis dapat dideteksi mulai hari ke tiga timbulnya ruam.
f. Komplikasi : Jarang pada anak. Komplikasi dapat berupa
artritis, purpura, danensefalitis.
g. Terapi : Simptomatik
h. Pencegahan : Vaksinasi MMR
2. Roseola Infantum (Exanthem Subitum)
a. Etiologi : Human Herpes Virus Tipe 6 (HHV 6)
b. Masa Inkubasi : Sulit ditentukan karena kontak tidak diketahui.
c. Manifestasi Klinis
1) Perjalanan penyakit dimulai dengan demam tinggi mendadak
mencapai 40-40,6o C, anak tampak iritabel, anoreksia, biasanya
terdapat koriza, konjungtivitis, dan batuk. Demam menetap 3-
5hari dan menurun secara mendadak ke suhu normal disertai
timbulnya ruam.
2) Ruam tampak pertama kali di punggung dan menyebar ke leher,
ekstremitas atas muka, danektremitas bawah.
3) Ruam berwarna merah muda, makulopapular, diskret, jarang
koalesen sehingga mirip dengan lesi rubela.
4) Lamanya timbul erupsi 1-2 hari, kadang dapat hilang dalam
beberapa jam. Ruam hilang tidakmeninggalkan bekas berupa
pigmentasi atau deskuamasi.
d. Diagnosis : Manifestasi klinis penurunan hitung leukosit.
13

e. Terapi : Simptomatis

H. Tata Laksana

Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan napas dan
stabilitas hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol
nyeri. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal
itu adalah hal yang paling penting dalam mengobati SSJ. Karena sulit untuk
menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut (Sharma,
2006).
Perawatan Suportif
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SSJ. Perawatan
suportif mungkin dapat diterima saat dirawat di rumah sakit meliputi (Sharma,
2006):
1. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat
mengakibatkan kerugian yang signifikan dari cairan dari tubuh,
menggantikan cairan merupakan bagian penting dari pengobatan.
2. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat
mereka sembuh. Tim medisakan mengeliminasi kulit mati dan kemudian
menempatkan krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika
diperlukan.
3. Perawatan mata karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus
mencakup konsultasi dengan seorang spesialis mata (oftalmologis).
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi (Sharma,
2006):
1. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan.
2. Antihistamin untuk meredakan gatal.
3. Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan.
4. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.
Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari
dalam pengobatan SJS:
1. Kortikosteroid Intravena
14

Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan
mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari
ketika gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat
meningkatkan risiko komplikasi.

2. Imunoglobulin Intravena (IVIG)


Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem
kekebalan tubuh dalam menghentikan proses SSJ.
3. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu
menghilangkan kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau
menggunakan pengganti kulit sintetis mungkin diperlukan untuk
membantu penyembuhan. Perawatan ini jarang diperlukan.
Jika penyebab SSJ dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda
mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah,
pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.

I. Prognosis
Jika mendapat tindakan cepat dan tepat, maka prognosisnya cukup
memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia, prognosisnya
lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia,
penyakit ini dapat mendatangkan kematian (Djuanda & Hamzah, 2011).
Pada umumnya lesi membutuhkan waktu untuk sembuh sekitar 1-2
minggu, kecuali jika terjadi infeksi sekunder. Umumnya pasien sembuh tanpa
sekuel. Kematian terutama ditentukan dengan banyaknya kulit yang meluruh.
Jika luas permukaan tubuh yang mengalami peluruhan kulit sebesar <10%,
maka angka kematian mencapai 1-5%. Akan tetapi, jika peluruhan kulit terjadi
pada >30% luas permukaan tubuh, maka angka kematian 25-35% dan dapat
pula mencapai 50% (Fernando & Broadfoot, 2010). Bakteremia dan sepsis
dapat berperan sebagai faktor pemicu kematian pada kasus SSJ.Skor
SCORTEN (Severity of Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis) menilai
resiko kematian pada kasus SSJ maupun NET yang meliputi variabel-variabel
berikut (Prost et al., 2010):
15

1. Usia >40 tahun


2. Keganasan
3. Nadi >120 kali/menit
4. Persentasi Awal Kerusakan Epidermis 10%
5. BUN (Blood Urea Nitrogen) > 10 mmol/L
6. Serum Glukosa >14 mmol/L
7. Bikarbonat <20 mmol/L
Setiap variabel diatas memiliki nilai 1 dan angka kematian dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Skor 0-1 poin, 3.2%
2. Skor 2 poin, 12.1%
3. Skor 3 poin, 35.3%
4. Skor 4 poin, 58.3%
5. Skor 5 atau lebih, 90%
Faktor negatif lain yang mempengaruhi prognosis ialah neutropenia
persisten, yaitu neutropenia yang terjadi lebih dari 5 hari, hipoalbuminemia,
yaitu < 2 g/dL, serta azotemia persisten. Walaupun pada beberapa pasien terjadi
penyembuhan luka yang cepat, namun proses reepitelisasi tetap terjadi
beberapa hari kemudian. Reepitelisasi umumnya selesai dalam waktu 3
minggu, namun akibat tekanan, area mukosa tetap akan terkikis dan menjadi
krusta selama 2 minggu atau lebih. Beberapa sekuel yang terjadi pada penderita
SSJ merupakan sekuel jangka panjang dan umumnya mengenai mata. Sebagai
contoh ialah jika terjadi erosi konjungtiva, maka dapat terjadi fotofobia, rasa
terbakar di mata, air mata terus keluar, neovaskularisasi kornea, dan
konjungtiva (Sekula et al., 2013).

J. Komplikasi

Komplikasi yang tesering ialah bronkopneumonia dengan komplikasi


lainnya yang meliputi kehilangan darah atau cairan, gangguan keseimbangan
elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi (Djuanda & Hamzah, 2011). Komplikasi lain yang tersering pada
setiap organ meliputi (Mansjoer, 2002):
16

1. Mata berupa ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtahlmitis, dan


kebutaan.
2. Gastrointestinal berupa striktur esophageal
3. Genitourinaria berupa nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile
scarring, dan stenosis vagina
4. Paru berupa pneumonia.
5. Kutaneus berupa timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen
serta infeksi kulit sekunder.
6. Infeksi sistemik berupa sepsis.
7. Kehilangan cairan tubuh, yaitu syok.

III. KESIMPULAN
17

1. Pasien Ny. E usia 72 tahun mengeluhkan kulit melepuh hampir di seluruh


bagian tubuh setelah menggunakan obat antikejang (Fenitoin) selama 5 hari.
2. Pasien Ny. E menderita Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) yang merupakan
penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa
erupsi kulit,vesikel,bula,danpurpura yang tersebar luas terutama pada rangka
tubuh, serta melibatkan membran mukosa dan terdapat lesi pada mata.
3. Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan napas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri, serta
yang paling utama adalah menghentikan penggunaan obat-obatan yang
mungkin menyebabkan hal SSJ.
4. Jika mendapat tindakan cepat dan tepat, maka SSJ ini memiliki prognosis yang
cukup memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA
18

Croom, D. L. 2015. Dermatologic Manifestation of Stevens-Johnson Syndrome


and Toxic Epidermal Necrolisis.
http://emedicine.medscape.com/article/1124127-overview (Diakses pada 29
Maret 2016).

Djuanda, A. 2013. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Foster, C. S. 2016. Stevens-Johnson Syndrome. Harvard Medical School:


Department of Ophthalmology

French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens Johnson Syndrome: our
current Understanding. Allegrol Int. 55(1):9-16.

Hamodat, M. 2011. Skin-nontumor (Clinical Dermatology) Erythema Multiforme.


http://pathologyoutlines.com/topic/skinnontumorerythemamultiforme.html
(Diakses pada 29 Maret 2016).

Harr, T. 2010. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson


Syndrome,Orphanet Journal of Rare Disease, Vol. 5, No. 39.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2002. Kapita Selekta


Volume 2, Edisi 3: Erupsi Alergi Obat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mockenhaupt, M. 2011. The Current Understanding of Stevens-Johnson


Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis,Expert Review Clinical
Immunology, Vol. 7, No. 6: 803.

Monica. 2008. Sindrom Stevens-Johnson. Surabaya: Fakultas Kedokteran


Universitas Wijaya Kusuma

Prost N, Ingen House, Oro S, Duong T, et al. 2010. Bacteremia in Steven Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Epidemiology, Risk Factors, and
Predictive Value of Skin Cultures. Medicine:89(1):28-36

Sekula P, Dunant A, Mookenhaupt M, Naldi L, Bouwes Banvick JN, Halevy S, et


al. 2013. Comprehensive Survival Analysis of a Cohort of Patients with Steven
Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Invest Dermatology

Sharma, V.K. 2006. Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management


of Stevens-Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis
(TEN). IADVL.

Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, Herry Garna, et al. 2012. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Thaha, M.A. . 2009. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik di
RSUP MH Palembang Periode 2006-2008. Media Medika Indonesina. Vol
19

43(5): 234-9.

Anda mungkin juga menyukai