SSJ Fenitoin
SSJ Fenitoin
A. Definisi
B. Etiologi
8. Radioterapi
C. Epidemiologi
Patofisiologi SSJ sampai saat ini belum jelas, mungkin disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh
kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibodi IgM dan IgG
serta reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed-type hypersensitivity reactions
atau reaksi hipersensitivitas lambat) yang merupakan reaksi yang dimediasi
oleh limfosit T yang spesifik (Monica, 2008).
Kompleks imun dalam sirkulasi pada keadaan normal akan diikat dan
diangkut eritrosit ke hati, limpa, kemudian dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuklear.Permasalahan timbul jika kompleks imun mengendap di
jaringan, sebagai akibat dari akumulasi gangguan dari fungsi fagosit. Reaksi
hipersensitivitas tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ)
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
4
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor
penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat
infeksi, inflamasi, atau proses metabolik) (French, 2006; Thaha, 2009).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,
serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis (French, 2006; Thaha, 2009).
Proses hipersensitivitas mengakibatkan kerusakan kulit danpenurunan
fungsi kulit, sehingga menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria,
kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.Perjalanan
penyakit yang timbul dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu.
Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa
atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia. Gejala prodormal tidak
spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh
dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata
permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan.
Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat
makan dan minum (French, 2006; Thaha, 2009).
E. Manifestasi Klinis
berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung
selama 1-14 hari(Monica, 2008). Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai
gejala awal (Foster, 2016). Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi
gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut
nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran(Monica,
2008). Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SSJ, yaitu:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita SSJ, yaitu timbulnya
ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula
(Monica, 2008). Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah
adanya lesi target atau targetoid lesions. Berbeda dengan lesi target pada
eritema multiform, lesi target pada SSJ merupakan lesi atipikal datar yang
hanya memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk. Selain itu,
makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada bagian tubuh
penderita SSJ (Mockenhaupt, 2011). Lesi yang muncul dapat pecah dan
meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi sekunder (Foster, 2016). Pengelupasan kulit umum terjadi
pada sindrom ini, ditandai dengan Tanda Nikolsky positif. Pengelupasan
paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan, seperti pada bagian
punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10%
area tubuh, maka termasuk SSJ. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson
SyndromeToxic Epidermal Necrolysis(SJS-TEN) dan jika lebih dari 30%
area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
(Mockenhaupt, 2011).
b. Kelainan pada Mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru dan bagian
genital (Harr, 2010). Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan
eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis (Foster,
2016). Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir,
lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan
timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
7
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena
imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan
nyeri tenggorokan (Djuanda, 2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan, yaitu (Djuanda, 2013):
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga terdapat purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya
generalisata.
8
3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, jika terdapat leukositosis,
penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan akibat alergi. Jika disangka penyebabnya karena
infeksi dapat dilakukan kultur darah (Djuanda, 2013).
4. Pemeriksaan Histopatologis
Gambaran histopatologisnya sesuai dengan eritema multiform,
bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal
yang menyeluruh. Kelainannya berupa (Djuanda, 2013):
a. Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh darah dermis superfisial.
b. Edema dan ekstravasasi del darah merah di dermis papilar.
c. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
d. Nekrosis sel epidermal dan kadang di adneksa.
e. Spongiosis dan edema intra sel di epidermis.
11
G. Diagnosis Banding
1. Rubela
a. Etiologi : Rubivirus (fam. Togaviridae), VirusRNA
b. Masa inkubasi : 14-21 Hari
c. Masa Penularan : Sejak akhir masa inkubasi sampai 5 hari setelah
timbulnya ruam. Cara penularan melalui droplet.
d. Manifestasi Klinis
1) Masa prodromal 1-5 hari ditandai dengan demam subfebris,
malaise, anoreksia, konjungtivitis ringan,koriza, nyeri
tenggorokan, batuk, danlimfdenopati.
2) Gejala cepat menurun setelah hari pertama timbulnya ruam.
3) Demam berkisar 38-38,7o C. Biasanya timbul dan menghilang
bersamaan dengan ruam kulit.
4) Enantema pada Rubela (Forschheimer Spots)ditemukan pada
periode prodrodromal sampai satu hari setelah timbulnya ruam,
berupa bercak pinpoint atau lebih besar, warna merah muda,
tampak pada palatum mole sampai uvula. Bercak Forschheimer
bukan tanda patognomonik.
5) Terdapat limfadenopati generalisata, tapi lebih sering pada nodus
limfatikus suboksipital, retroaurikular, atau suboksipital.
6) Eksantema berupa makulopapular, eritematosa, dan diskret.
Pertama kali ruam tampak di muka dan menyebar ke bawah
12
e. Terapi : Simptomatis
H. Tata Laksana
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan napas dan
stabilitas hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol
nyeri. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal
itu adalah hal yang paling penting dalam mengobati SSJ. Karena sulit untuk
menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut (Sharma,
2006).
Perawatan Suportif
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SSJ. Perawatan
suportif mungkin dapat diterima saat dirawat di rumah sakit meliputi (Sharma,
2006):
1. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat
mengakibatkan kerugian yang signifikan dari cairan dari tubuh,
menggantikan cairan merupakan bagian penting dari pengobatan.
2. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat
mereka sembuh. Tim medisakan mengeliminasi kulit mati dan kemudian
menempatkan krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika
diperlukan.
3. Perawatan mata karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus
mencakup konsultasi dengan seorang spesialis mata (oftalmologis).
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi (Sharma,
2006):
1. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan.
2. Antihistamin untuk meredakan gatal.
3. Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan.
4. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.
Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari
dalam pengobatan SJS:
1. Kortikosteroid Intravena
14
Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan
mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari
ketika gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat
meningkatkan risiko komplikasi.
I. Prognosis
Jika mendapat tindakan cepat dan tepat, maka prognosisnya cukup
memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia, prognosisnya
lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia,
penyakit ini dapat mendatangkan kematian (Djuanda & Hamzah, 2011).
Pada umumnya lesi membutuhkan waktu untuk sembuh sekitar 1-2
minggu, kecuali jika terjadi infeksi sekunder. Umumnya pasien sembuh tanpa
sekuel. Kematian terutama ditentukan dengan banyaknya kulit yang meluruh.
Jika luas permukaan tubuh yang mengalami peluruhan kulit sebesar <10%,
maka angka kematian mencapai 1-5%. Akan tetapi, jika peluruhan kulit terjadi
pada >30% luas permukaan tubuh, maka angka kematian 25-35% dan dapat
pula mencapai 50% (Fernando & Broadfoot, 2010). Bakteremia dan sepsis
dapat berperan sebagai faktor pemicu kematian pada kasus SSJ.Skor
SCORTEN (Severity of Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis) menilai
resiko kematian pada kasus SSJ maupun NET yang meliputi variabel-variabel
berikut (Prost et al., 2010):
15
J. Komplikasi
III. KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18
Djuanda, A. 2013. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens Johnson Syndrome: our
current Understanding. Allegrol Int. 55(1):9-16.
Prost N, Ingen House, Oro S, Duong T, et al. 2010. Bacteremia in Steven Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Epidemiology, Risk Factors, and
Predictive Value of Skin Cultures. Medicine:89(1):28-36
Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, Herry Garna, et al. 2012. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Thaha, M.A. . 2009. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik di
RSUP MH Palembang Periode 2006-2008. Media Medika Indonesina. Vol
19
43(5): 234-9.