Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR FEMUR

1. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur
tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya. (Smeltzer, 2001).

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang


femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong
(2005) fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan
oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur
femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha,
kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka
yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf
dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan
oleh trauma langsung pada paha.

Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat


disimpulkan bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana
terjadinya kehilangan kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan
oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung disertai dengan
adanya kerusakan jaringan lunak.

1.2 Etiologi
1.2.1 Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba
berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran,
perubahan tempat. Bila tekanan kekuatan langsungan, tulang
dapat pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti
akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
1.2.2 Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan
benda lain akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada
atlet, penari atau calon tentara yang berbaris atau berjalan dalam
jarak jauh.
1.2.3 Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang
tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat
rapuh.

1.3 Tanda Dan Gejala


1.3.1 Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang
atau kerusakan jaringan sekitarnya.
1.3.2 Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
1.3.3 Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
1.3.4 Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
1.3.5 Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau
spasme otot, paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
1.3.6 Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan.
1.3.7 Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
1.3.8 Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke
posisi abnormal, dan menyebabkan tulang kehilangan bentuk
normalnya.

1.4 Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang
patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah
fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh
darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah
ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di
namakan sindrom compartment. (Brunner & Suddarth, 2002)

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
1.5.2 Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
1.5.3 Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
1.5.4 Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multipel.
1.5.5 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klien ginjal.
1.5.6 Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan
sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang
bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.

1.6 Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48
jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan
fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Adapun
beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
1.6.1 Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur
ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah
dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur pelvis.
1.6.2 Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau
cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria
dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di
lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak
dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya
yang sangat cepat dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu
minggu setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardi dan pireksia.
1.6.3 Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup.
Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan,
sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam
ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-
otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom
kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis,
pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian
besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering
disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai
bawah dan tungkai atas.
1.6.4 Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan
iskemia tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis
avaskuler ini sering dijumpai pada kaput femoris, bagian
proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus
(Suratum, 2008).

1.6.5 Atropi Otot


Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai
ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel
spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi otot
tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot
yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot,
aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum, dkk, 2008).

1.7 Penatalaksanaan
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi
serta usia. Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita
fraktur :
1.7.1 Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma
yang terjadi karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras
yang menjadi alasan kuat pasien mengalami fraktur.
1.7.2 Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik
dan bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
1.7.3 Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi
hal ini tidak boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya
dilakukan oleh para ahli dengan cara operasi oleh ahli bedah
untuk mengembalikan tulang pada posisi semula.
1.7.4 Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai
atau papan dari kedua posisi tulang yang patah untuk
menyangga agar posisi tetap stabil.
1.7.5 Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar
perlukaan.
1.7.6 Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun
post operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan


tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu
selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat
& Jong, 2005)
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
1.7.1 Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan :
pembersihan luka, exici, hecting situasi, antibiotik.
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
a. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
c. Pemberian antibiotika.
d. Debridement dan irigasi sempurna.
e. Stabilisasi.
f. Penutup luka.
g. Rehabilitasi.
h. Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera
ditempat lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat
bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya
yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total,
tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar
yaitu : airway, breath and circulation.
i. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi
masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena
itu penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum
golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah
tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas
penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan
prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
j. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian
antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai
pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas
untuk kuman gram positif maupun negatif.

k. Debridemen dan irigasi


Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal
yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah
banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
l. Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan
stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung
pada derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada.
Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi
dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan
fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera
dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
m. Seluruh Fraktur
a) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
b) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
c) Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan
Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
d) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III
yaitu dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal
(open reduction and external fixation=OREF) sehingga
diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi
eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus
menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan
fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan
pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta
rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap
sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa
tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara
sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik
organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara
fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam
melakukan gerakan).
e) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar
tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal
fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan
untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
f) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi
fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
g) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan
tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis.
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler.
1.7 Pathway
2. Rencana Asuhan Klien Dengan Fraktur Femur
2.1 Pengkajian
2.1.1 Pemeriksaan fisik: data focus
2.1.1.1 Primery survey
a. Airway: Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya
sumbatan atau obstruksi,
b. Breathing: memastikan irama napas normal atau cepat, pola
napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada napas cuping
hidung,dan suara napas vesikuler,
c. Circulation: nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt,
tekanan darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh
karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan
lokasi, capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.
d. Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil
anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang
berdampak pada medulla spinalis.
e. Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur dekstra,
luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen,
perut semakin menegang.
2.1.1.2 Secondary survey
a. Fokus Asesment
1. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata,
telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis: Pupil
tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap
cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi,
terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebro spinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
2. Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-
otot leher bagian belakang. Temuan yang dianggap
kritis: Distensi vena jugularis, deviasi trakea atau
tugging, emfisema kulit
3. Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan
otot-otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan
yang dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest
wound, Flail chest dengan gerakan dada para doksikal,
suara paru hilang atau melemah, gerakan dada sangat
lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai
dengan penggunaaan otot-otot asesoris).
4. Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin
tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada
abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya
penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi
dullness.
5. Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan
nyeri tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang
lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan
di daerah pubik
6. Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra
dan luka laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan
bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi
sensorik.Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah
atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau
menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
7. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi,
pernafasan dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS
(Glasgow Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran
pada pasien.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Nyeri akut (NANDA NIC-NOC, 2015: 317 [45])
2.1.1 Definisi : Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International
Association for the study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat
dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.

2.1.2 Batasan karakteristik


2.1.2.1 Perubahan selera makan
2.1.2.2 Perubahan tekanan darah
2.1.2.3 Perubahan frekuensi jantung
2.1.2.4 Perubahan frekuensi pernapasan
2.1.2.5 Laporan isyarat
2.1.2.6 Diaforesis
2.1.2.6.1 Perilaku distraksi (mis. Berjalan mondar-mandir
mencari orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas
yang berulang)
2.1.2.6.2 Mengekspresikan perilaku (mis. Gelisah, merengek,
menangis)
2.1.2.6.3 Masker wajah (mis. Mata kurang bercahaya,
tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap
pada satu focus meringis).
2.1.2.6.4 Sikap melindungi area nyeri
2.1.2.6.5 Fokus menyempit (mis. gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berfikir, penurunan interaksi
dengan orang dan lingkungan)
2.1.2.6.6 Indikasi nyeri yang dapat diamati
2.1.2.6.7 Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
2.1.2.6.8 Sikap tubuh melindungi
2.1.2.6.9 Dilatasi pupil
2.1.2.6.10 Melaporkan nyeri secara verbal
2.1.2.6.11 Gangguan tidur
2.1.2.6.12 Faktor yang berhubungan
Agen cedera (mis. biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

Diagnosa 2 : Hambatan mobilitas fisik (NANDA NIC-NOC, 2011: 472)


2.2.1 Definisi : keterbatasan dalam, pergerakan fisik mandiri dan terarah
pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (sebutkan tingkatnya) :
Tingkat 0 : mandiri total
Tingkat 1 : memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan,
pengawasan, atau pengajaran
Tingkat 3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan peralatan atau
alat bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas

2.2.2 Batasan karaktersitik


Objektif
2.2.1.1.1 Penurunan waktu reaksi
2.2.1.1.2 Kesulitan membolak balik tubuh
2.2.1.1.3 Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(misalnya peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang
lain, perilaku mengendalikan, berfokus pada kondisi
sebelum sakit atau ketunadayaan aktivitas)
2.2.1.1.4 Dispnea saat beraktivitas
2.2.1.1.5 Perubahan cara berjalan (misalnya penurunan aktivitas dan
kecepatan berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan,
langkah kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat
berjalan badan mengayun ke samping)
2.2.1.1.6 Pergerakan menyentak
2.2.1.1.7 Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan
motorik halus
2.2.1.1.8 Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik
kasar
2.2.1.1.9 Keterbatasan rentang pergerakan sendi
2.2.1.1.10 Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
2.2.1.1.11 Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas
aktivitas kehidupan sehari-hari)
2.2.1.1.12 Melambatnya pergerakan
2.2.1.1.13 Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.1.1.14 Intoleransi aktivitas
2.2.1.1.15 Perubahan metabolism selular
2.2.1.1.16 Ansietas
2.2.1.1.17 Indeks masa tubuh di atas perentil ke 75 sesuai usia
2.2.1.1.18 Gangguan kognitif
2.2.1.1.19 Konstraktur
2.2.1.1.20 Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai usia
2.2.1.1.21 Fisik tidak bugar
2.2.1.1.22 Penurunan ketahanan tubuh
2.2.1.1.23 Penurunan kendali otot
2.2.1.1.24 Penurunan massa otot
2.2.1.1.25 Malnutrisi
2.2.1.1.26 Gangguan muskuloskeletal
2.2.1.1.27 Gangguan neuromuskular, nyeri
2.2.1.1.28 Agens obat
2.2.1.1.29 Penurunan kekuatan otot
2.2.1.1.30 Kurang pengetahuan tentang aktivitas fisik
2.2.1.1.31 Keadaan mood depresif
2.2.1.1.32 Keterlambatan perkembangan
2.2.1.1.33 Ketidaknyamanan
2.2.1.1.34 Disuse, kaku sendi
2.2.1.1.35 Kurang dukungan lingkungan (misal fisik atau sosial)
2.2.1.1.36 Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler
2.2.1.1.37 Kerusakan integritas struktur tulang
2.2.1.1.38 Program pembatasan gerak
2.2.1.1.39 Keengganan memulai pergerakan
2.2.1.1.40 Gaya hidup monoton
2.2.1.1.41 Gangguan sensori perseptual

2.3 Perencanaan
No. Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi (NIC) Rasional
Dx (NOC)
1. Setelah dilakukan asuhan 1. Pemberian analgesik 1. Menggunakan agen-agen
keperawatan selama x farmakologi untuk mengurangi
24 jam diharapkan pasien atau menghilangkan nyeri
tidak mengalami nyeri 2. Manajemen medikasi 2. Memfasilitasi penggunaan obat
dengan kriteria hasil : resep atau obat bebas secara
1. Memperlihatkan teknik aman dan efektif
relaksasi secara 3. Manajemen nyeri 3. Meringankan atau mengurangi
individual yang efektif nyeri sampai pada tingkat
untuk mencapai kenyamanan yang dapat
keamanan diterima oleh pasien
2. Mempertahankan 4. Manajemen sedasi 4. Memberikan sedative,
tingkat nyeri pada __ memantau respon pasien, dan
atau kurang memberikan dukungan
3. Melaporkan nyeri pada fisiologis yang dibutuhkan
penyedia layanan selama prosedur diagnostic
kesehatan atau terapeutik
4. Tidak mengalami
gangguan dalam
frekuensi pernapasan,
frekuensi jantung atau
tekanan darah
2. Setelah dilakukan asuhan Exercice therapy : ambulation
keperawatan selama x 1. Monitoring vital sign 1. Mencegah terjadinya
24 jam diharapkan pasien sebelum/sesudah latihan penurunan kondisi atau cedera
tidak mengalami hambatan dan lihat respon pasien pada pasien saat dilakukan
mobilitas fisik dengan saat latihan tindakan.
kriteria hasil : 2. Konsultasikan dengan 2. Meningkatkan mobilitas pasien
1. Klien meningkat dalam terapi fisik tentang rencana sesuai kondisi pasien
aktivitas fisik ambulasi sesuai dengan
2. Mengerti tujuan dari kebutuhan.
3. Membantu meningkatkan
peningkatan mobilitas 3. Bantu pasien untuk
kekuatan dan ketahanan otot.
3. Memverbalisasikan menggunakan tongkat saat
perasaan dalam berjalan dan cegah
meningkatkan kekuatan terhadap cedera 4. Mampu melakukan tindakan
dan kemampuan 4. Ajarkan pasien atau tenaga secara mandiri dan termotivasi
berpindah kesehatan lain tentang untuk meningkatkan mobilitas
4. Memperagakan teknik ambulasi 5. Mengetahui sejauh mana
kemampuan alat 5. Kaji kemampuan pasien peningkatan mobilisasi.
5. Bantu untuk mobilisasi dalam mobilisasi 6. Agar pasien mampu
(walker) 6. Latih pasien dalam melakukan aktivitas secara
pemenuhan kebutuhan mandiri.
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan 7. Meningkatkan motivasi pasien
7. Dampingi dan bantu pasien dalam melakukan aktivitas
saat mobilisasi dan bantu sehari-hari
pemenuhan kebutuhan
8. Mampu melakukan aktivitas
ADLs pasien
8. Berikan alat bantu jika secara mandiri guna
pasien memerlukan meningkatkan mobilitas
9. Meningkatkan kesejahteraan
9. Ajarkan pasien bagaimana fisologis dam psikologis
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

3. Daftar Pustaka
Ahern, N. R & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan
Edisi 9 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

M a n s j o e r, A . ( 2 0 0 0 ) . Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2.


Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nurarif, A. H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Penerbit Mediaction.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta:
EGC.
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR
DIRUANG ORTOPEDI RSUD ULIN BANJARMASIN

Nama : Hero Akhbar


NPM : 1614901210685
Program Studi : S1 Keperawatan Profesi Ners B
Fakultas Keperawatan Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin Tahun 2017

Banjarmasin, Juni 2017

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( Hanura Aprilia,NS.,M.Kep ) ( )

Anda mungkin juga menyukai