Anda di halaman 1dari 11

BONUS DEMOGRAFI DAN LUAPAN PENDUDUK USIA KERJA:

SEBUAH PELUANG DAN TANTANGAN

Axellina Muara Setyanti


Email: axellinamuara@gmail.com
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Abstrak

Indonesia diproyeksikan mengalami fenomena unik bonus demografi pada


tahun 2012 hingga 2035 sebagai akibat dari lebih besarnya jumlah penduduk
usia produktif dibandingkan dengan usia nonproduktif. Hal ini menawarkan
peluang sekaligus tantangan yang sangat besar. Belajar dari banyak negara
yang telah mengalaminya, terbukti hanya negara yang penduduk dan
pemerintahnya siap yang mampu meraih keuntungan besar dari bonus
demografi. Maka kondisi tersebut telah menjadi windows of opportunity.
Sebaliknya, negara yang tidak mengantisipasinya dengan baik, pada akhirnya
akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan menjadi windows of
disaster. Tulisan ini ingin mengkaji peluang dan tantangan yang akan dihadapi
Indonesia dari perspektif tenaga kerja dengan pendidikan sebagai kunci
kebijakan pembangunan.

Kata Kunci: Bonus Demografi, Tenaga Kerja, Pendidikan

Pendahuluan

Bonus demografi merupakan fenomena kependudukan yang unik karena hanya


terjadi satu kali dan tidak dialami semua negara di dunia. Struktur umur penduduk yang
terus bergerak dinamis menyebabkan bonus demografi hanya terjadi pada satu periode
tertentu dan akan berlalu setelah itu. Kini Indonesia tengah bersiap menghadapi sejarah
baru itu. Fenomena ini terus dikaji agar bonus demografi menjadi momentum yang tepat
untuk dijadikan mesin pemacu perekonomian.
Bonus demografi (demographic bonus) atau juga sering disebut dalam literatur
sebagai demographic divident adalah suatu kondisi dimana rasio ketergantungan
kelompok usia non produktif (anak-anak 0-14 tahun dan lansia >65 tahun) dengan
kelompok usia produktif (usia 15-64 tahun) mencapai angka terendah. Dalam definisi
yang lain, bonus demografi juga diartikan sebagai perubahan struktur kependudukan
akibat tingkat kelahiran dan kematian yang rendah, sebagaimana yang diungkapkan
Gribble dan Bemmer.
The demographic dividend refers to the accelerated economic growth that
begins with changes in the age structure of a countrys population as its
transitions from high to low birth and death rates. (Gribble and Bremner
2012)
Pada sensus penduduk 2000, transisi demografi pada proporsi penduduk berdasarkan
usia mulai terlihat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, penduduk di bawah usia 15
jumlahnya tumbuh sangat sedikit dari tahun 1970-1980an yakni sekitar 60 juta jiwa dan

1
hingga tiga dekade berikutnya pada akhir tahun 2000 jumlahnya hanya sekitar 63-65 juta
jiwa. Sebaliknya, penduduk usia 1564 tahun yang pada1970 berjumlah sekitar 63-65
juta dan telah berkembang menjadi sekitar 133135 juta pada akhir tahun 2000, atau
mengalami kenaikan dua kali lipat selama 30 tahun. Hasilnya, angka beban
ketergantungan yang diukur dari rasio penduduk usia anak-anak dan tua per penduduk
usia kerja (15-64 tahun) telah menurun tajam dari sekitar 85-90 per 100 tahun 1970
menjadi sekitar 54-55 per 100 tahun 2000. Angka beban ketergantungan menggambarkan
berapa banyak penduduk usia non produktif yang hidupnya harus ditanggung oleh
kelompok penduduk usia produktif. Semakin rendah angka rasio ketergantungan suatu
Negara, maka Negara tersebut semakin berpeluang mendapatkan bonus demografi.

Gambar 1: Dependency Ratio Provinsi di Indonesia

Sumber: Kominfo, 2014

Dalam perkembangannya, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus 2010


adalah 238,5 juta jiwa. Dari jumlah itu, 157,05 juta jiwa berada di usia produktif yaitu 15-
64 tahun. Artinya jumlah penduduk usia produktif mencapai 2/3 dari total jumlah
penduduk. Maka dalam hal beban ketergantungan, kini 100 penduduk usia produktif
diperkirakan menanggung sekitar 51 orang penduduk tidak produktif.

2
Saat ini Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah
Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah
penduduk Indonesia sejumlah 238,5 juta jiwa dan jumlah tersebut diestimasikan
meningkat menjadi 305,6 juta jiwa pada tahun 2035. Dalam proyeksi tersebut, jumlah
penduduk Indonesia 24 tahun mendatang diasumsikan meningkat sebesar 28,14 % dari
perhitungan tahun 2010. Walaupun demikian, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk
Indonesia selama periode 2010-2035 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam
periode 2010-2015 dan 2030-2035 laju pertumbuhan penduduk turun dari 1,38 persen
menjadi 0,62 persen per tahun (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035: 2013).
Tren penduduk Indonesia yang diproyeksikan terus meningkat hingga tahun 2035
banyak diharapkan membawa dampak positif. Pasalnya peningkatan tersebut
diproyeksikan akan banyak disumbang oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang
tentu akan mempengaruhi rasio ketergantungan. Idealnya, pertumbuhan ekonomi secara
maksimal dapat terjadi ketika rasio ketergantungan berada di bawah angka 50. Kondisi
ini juga disebut sebagai the window of opportunity atau jendela kesempatan (Kominfo,
2014)
Berdasarkan hasil proyeksi 2010-2035, sembilan provinsi yang akan mengalami
periode bonus demografi paling lama yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI
Jakarta, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi
Utara (BKKBN Jatim, 2016). Namun ada beberapa provinsi yang disebut sudah alami
bonus demografi yaitu DKI Jakarta, Jogjakarta, dan Jawa Timur (Aditiasari, 2012).
Karena perbedaan-perbedaan ini pula fenomena bonus demografi menjadi semakin unik
dan untuk itu kemudian transisi demografi ini penting untuk dipelajari. Tujuannya adalah
untuk mengantisipasi perubahan aspek kependudukan dan ketenagakerjaan dalam
pembangunan. Apakah mendorong perekonomian sebagai the window of opportunity,
atau justru menjadi beban (demographic burden).

Dua Sisi Bonus Demografi: Pendekatan Teoritis

Teori Hubungan Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat
dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan
per waktu unit untuk pengukuran. Sedangkan pertumbuhan ekonomi adalah proses
peningkatan pendapatan (PDB) tanpa mengaitkannya dengan tingkat pertambahan
penduduk.
Mengenai hubungan antara keduanya, setidaknya terdapat tiga aliran pemikiran
dalam beberapa periode waktu yang membahas mengenai hubungan antara pertumbuhan
penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Aliran pertama adalah aliran tradisional pesimistis yang beranggapan kalau
pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Aliran ini
dicetuskan oleh Robert Malthus, yang mengatakan bahwa pertumbuhan populasi
penduduk mengikuti deret ukur dan pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung,
sehingga dengan bertambahnya jumlah penduduk secara otomatis jumlah permintaan
terhadap barang dan jasa akan bertambah yang berimplikasi pada perlambatan ekonomi.
Aliran kedua adalah aliran revisionis yang meragukan pernyataan aliran sebelumnya
karena tidak disertai dengan cukup bukti empiris. Aliran ini membantah teori Malthus

3
dengan melihat bahwa teknologi dapat mempengaruhi pertumbuhan pangan dan
kemampuan sumber daya manusia. Teknologi dalam hal ini dapat menjadi modal besar
agar pertumbuhan penduduk tidak menjadi alasan dalam perlambatan ekonomi.
Sedangkan, aliran ketiga adalah aliran yang beranggapan bahwa pertumbuhan
penduduk memang sangat berarti bagi perkembangan ekonomi dan penurunan
kemiskinan (population does matter). Aliran ini mengatakan bahwa penurunan pesat dari
fertilitas memberikan kontribusi yang relevan terhadap penurunan kemiskinan. Dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk yang disebabkan dengan menekan mortalitas akan
memacu pertumbuhan penduduk (Birdsal et al, 2013).

Pasar Tenaga Kerja


Penduduk yang memasuki usia kerja (15-64 tahun) merupakan sumber daya dalam
menghasilkan output. Dalam ekonomi, tenaga kerja termasuk dalam input yang memiliki
pasar. Pasar Tenaga Kerja adalah seluruh aktivitas dari pelaku-pelaku untuk
mempertemukan pencari kerja dengan lowongan kerja, atau proses terjadinya
penempatan dan atau hubungan kerja melalui penyediaan dan penempatan tenaga kerja.
Pelaku-pelaku yang dimaksud di sini adalah pengusaha, pencari kerja dan pihak ketiga
yang membantu pengusaha dan pencari kerja untuk dapat saling berhubungan.
Sederhananya, pasar tenaga kerja adalah pasar yang mempertemukan penjual dan
pembeli tenaga kerja. Pasar Tenaga Kerja dapat digambarkan dalam kurva berikut,
dimana yang menjadi hargaadalah gaji (W):

Gambar 2: Kurva Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja

4
Pasar tenaga kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor dari penawaran dan permintaannya.
Faktor penawaran tenaga kerja meliputi jumlah penduduk (makin besar jumlah penduduk,
makin banyak tenaga kerja yang tersedia) struktur umur, produktivitas, tingkat upah,
kebijaksanaan pemerintah, dan wanita yang mengurus rumah. Sedangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi permintaan tenaga kerja adalah tingkat upah, penggunaan teknologi,
dan produktivitas tenaga kerja. Faktor yang mempengaruhi penawaran salah satunya
adalah jumlah penduduk, dimana saat bonus demografi jumlah penduduk usia kerja akan
meningkat dan menaikan sisi penawaran dari pasar tenaga kerja.

Bercermin dari yang Sukses, Belajar dari yang Gagal

Beberapa Negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi untuk meningkatkan


pertumbuhan ekonominya, yakni Tiongkok yang pertumbuhan ekonominya setelah bonus
demografi menjadi 9,2 persen, Korsel dari 7,3 menjadi 13,2 persen, Singapura dari 8,2
meningkat menjadi 13,6 persen dan Thailand dari 6,6 meningkat tajam menjadi 15,5
persen (Anonim, 2013).
Untuk Indonesia yang sekarang pertumbuhan ekonominya sekitar 5 atau 6 persen
saja, bisa terus meningkat apabila mampu memanfaatkan bonus demografi. Sudah tentu
ada prasyarat untuk bisa memanfaatkan bonus demografi tersebut antara lain bidang

5
kesehatan masyarakat harus memadai, penanganan kependudukan dan KB harus optimal,
pendidikan harus baik dan bidang-bidang ekonomi penyerap tenaga kerja harus tersedia
dengan cukup. Yang tidak kalah penting adalah masalah pendidikan yang seharusnya tak
ada isu dana, karena sudah tersedia 20 persen dari APBN. Harus benar-benar dapat
mengangkat kualitas tenaga kerja, karena saat ini setengah dari tenaga kerja dalam negeri
hanya lulusan SD.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan, tidak semua negara yang memiliki potensi
bonus demografi berhasil memanfaatkan bonus tersebut. Beberapa negara di kawasan
Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang dan Korea tergolong negara yang berhasil
mengkonversi bonus demografi tersebut. Sementara Pakistan dan India tidak berhasil
menangkap peluang bonus demografi itu (Bloom et. Al, 1999) dan Bloom dan Finlay
(2009). Dengan kata lain, dari seluruh negara-negara di Asia yang membangun sejak
tahun 1950,tidak semua berhasil memanfaatkan bonus demografi yang mereka miliki.
Mengambil satu contoh yang memiliki kedekatan karakteristik dengan Indonesia,
yakni Korea Selatan. Korea Selatan memiliki sejarah yang hampir sama dengan
Indonesia, bahkan hanya berbeda dua hari di deklarasi kemerdekaannya. Negara ini
sempat terpuruk dalam kemiskinan akibat Perang Korea pada rentang tahun 1950 hingga
1953. Sebagai negara yang baru berdiri, peristiwa tersebut menghancurkan perekonomian
dan stabilitas negara. Hebatnya, saat ini Korsel mampu menjadi negara dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi, yakni peringkat 12 dari 187 negara pada 2013.
Dalam kurun waktu sekitar 46 tahun sejak 1962 hingga 2008, negara ini berhasil
mengalami kenaikan PDB sebesar 400 kali lipat. Pendapatan perkapitanya mencapai
22.489 USD pada 2011. Indonesia dan Korsel sempat mengalami periode pendapatan
perkapita yang sama di era 1960-an, namun kini dalam perkembangannya PDB nasional
baru mencapai 3.600 USD di 2011 (Kominfo, 2014)
Pada dasarnya, bonus demografi memicu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
produktivitas melalui pemanfaatan SDM usia produktif yang melimpah. Saat tingkat
fertilitas turun, pertumbuhan pendapatan per kapita untuk memenuhi kebutuhan dasar
penduduk usia anak-anak dapat dialihkan untuk peningkatan mutu manusia sebagai
modal pembangunan. Di saat yang sama, jumlah anak yang sedikit akan memberikan
peluang bagi kaum perempuan untuk masuk pasar kerja sehingga lebih berkesempatan
untuk meningkatkan tabungan keluarga.
Dengan demikian, pada periode 2025 - 2035, Indonesia memiliki kesempatan besar
memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi akan menjadi
windows of opportunity bila disokong oleh SDM yang berkualitas. Jika jumlah penduduk
produktif yang lebih besar dapat dioptimalkan untuk mengakumulasi pertumbuhan dan
perkembangan kesejahteraan secara ekonomi, maka hasil yang diperoleh dapat
dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa di masa depan. Sebaliknya, bonus demografi bisa
menjadi windows of disaster jika ternyata sebagian besar penduduk usia produktif
berpendidikan rendah atau bahkan tak lulus pendidikan SMP. Usia produktif ini akan
menjadi boomerang ketika SDM tidak dibekali kemampuan untuk bisa bertahan hidup
dan mengembangkan diri yang pada akhirnya hanya akan menjadi beban pemerintah
dalam menyediakan lapangan kerja dan terciptanya angka pengangguran yang tinggi,
sehingga menimbulkan efek sosial yang buruk dan hilangnya momentum untuk
mengumpulkan kesejahteraan.
Maka bonus demografi memberikan makna ganda. Di satu sisi bonus demografi yang

6
terdiri dari golongan usia produktif yang berkualitas dapat dimanfaatkan sebagai sumber
daya dalam pembangunan. Di sisi lain, golongan usia produktif yang tidak memiliki
kualifikasi untuk berkontribusi dalam pembangunan justru menjadi petaka dan beban
negara.
Belajar dari Tiongkok, Korea Selatan, dan Singapura, ada beberapa hal yang dapat
dipelajari sebagai bekal menghadapi periode bonus demografi (Kominfo, 2014). Di
antaranya:
1. Investasi di bidang pendidikan. Negara-negara yang disebutkan di atas menaruh
perhatian yang sangat besar pada aspek pendidikan. Kaisar Hirohito menanyakan berapa
jumlah guru yang tersisa setelah berakhirnya perang dunia kedua. Pendidikanlah yang
membuat Jepang bangkit dari kehancuran dan kini berdiri menjadi salah satu raksasa
dunia. Kunci faktor pendidikan akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini.
2. Perhatian pada bidang kesehatan, mulai dari menurunkan kematian bayi dan ibu
melahirkan, risiko kekurangan gizi, sampai menyediakan asupan gizi yang baik selama
masa pertumbuhan. Semuanya akan mendorong daya tahan tubuh yang mendukung
kesiapan diri dalam menghadapi persaingan.
3. Perbaikan angka partisipasi kerja, terkait dengan pendayagunaan penduduk usia
produktif yang melimpah dengan penyediaan lapangan kerja, yang berujung pada
peningkatan jumlah tabungan.
4. Mengantisipasi penuaan. Penduduk usia tua tentu tidak terlalu produktif lagi dalam
menghasilkan penerimaan pajak bagi negara, justru mereka cenderung membutuhkan
bantuan sosial. Oleh karena itu penduduk usia lanjut perlu disiapkan agar tidak menjadi
beban pembangunan, bahkan jika perlu dapat menjadi bonus demograf kedua.
5. Antisipasi pemupukan konsentrasi penduduk pada daerah-daerah tertentu saja. Hal
ini sedikit terlambat untuk terjadi di Indonesia. Kini 58 persen penduduk kita
terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan luas daratan Pulau Jawa hanyalah 7 persen dari
total luas daratan di Indonesia. Lebih spesifik, kita ambil contoh Jakarta. Wilayah DKI
Jakarta yang hanya memiliki luas lahan 740,3 km2 ditempati oleh 10.187.595 jiwa.
Dengan kata lain, DKI Jakarta memiliki kepadatan penduduk 14.000 jiwa/km 2. Bahkan
jumlah penduduk DKI Jakarta pada siang hari bisa lebih dari 12 juta jiwa (Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, 2011). Maka yang dapat dilakukan bukan
lagi mengantisipasi konsentrasi penduduk, melainkan mengatasi konsentrasi tersebut.

Pendidikan, Akar Daya Saing Bangsa

Global Economics Forum (Schwab, 2013), menyatakan bahwa daya saing


dipengaruhi oleh 12 pilar yang meliputi factordriven economies (kelembagaan,
infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan), factor-efficiency economies
(pendidikan yang lebih tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga
kerja, perkembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukuran pasar, dan innovation-
driven economies (kecanggihan bisnis, inovasi).
Kedua belas pilar tersebut menempatkan ranking daya saing perekonomian suatu
negara. Semakin tinggi ranking daya saing, maka sumber daya ekonomi yang dimiliki
oleh negara tersebut memiliki tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas akan
menjadi penentu bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan tingkat pengembalian

7
investasi melalui pertumbuhan ekonomi berkesinambungan.
Penelitian daya saing yang Delgado et al (2012) menggunakan definisi daya saing
adalah output per usia kerja. Delgado et al mengasumsikan bahwa daya saing tenaga
kerja didukung oleh kualitas infrastruktur lembaga sosial dan politik, kebijakan moneter
dan fiskal, dan lingkungan ekonomi mikro. Lingkungan ekonomi mikro terdiri dari
kualitas lingkungan bisnis, pembangunan cluster, dan kecanggihan strategi dan
operasional perusahaan. Infrastruktur lembaga sosial dan politik (SIPI) meliputi
kesehatan dan pendidikan dasar, kualitas lembaga politik, dan aturan hukum.
Menurut survey The McKinsey Global Institute (2012), Indonesia akan menempati
posisi ke tujuh ekonomi dunia setelah Tiongkok, Amerika Serikat, India, Jepang, Brazil,
dan Rusia pada 2030 mendatang. Pada saat itulah perekonomian akan ditopang oleh
empat sektor utama, yakni bidang jasa, pertanian, perikanan, dan energi. Diperkirakan
kebutuhan tenaga kerja mencapai 133 juta orang pada periode tersebut. Kondisi ini tentu
menuntut pemenuhan sumber daya manusia yang terampil dan berkualitas yang dapat
dicapai melalui bidang pendidikan.
Di kutub yang lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Februari
2012 mencatat rendahnya kualitas angkatan kerja yang terindikasi dari komposisi
angkatan kerja di mana sebagian besar berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah yakni
47,8 persen, sekolah menengah pertama (SMP) 18,28%, dan yang berpendidikan lebih
tinggi, termasuk perguruan tinggi hanya 9,72%. Hal ini berdampak pada daya saing dan
kompetensi dalam memperoleh kesempatan kerja, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pemerintah menerapkan tiga langkah integratif dalam bidang pendidikan, yaitu start
earlier (pendidikan usia dini), stay longer (sekolah setinggi mungkin) dan reach wider
(pemerataan kesempatan pendidikan). Beberapa tahun belakangan, pemerintah
menggalakkan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Program ini untuk
menunjang persiapan generasi baru menyongsong usia produktifnya. PAUD bertujuan
mengoptimalkan segala aspek perkembangan anak seperti kognitif, bahasa, fisik, sosial
dan emosional sedini mungkin sejak usia prasekolah. Sehingga usia produktif setelah kita
nanti adalah mereka yang benar-benar siap menyongsong tantangan jamannya dengan
kualitas dan keterampilan yang cukup baik.
Dalam strategi stay longer, setidaknya telah ada 100 Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
dan 3.078 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia. Jenjang Perguruan Tinggi
menjadi fase tengah bagi usia produktif untuk mempersiapkan tidak hanya pengetahuan,
tetapi juga karakter, mental, sosial dan budaya yang kuat. Di bidang pendidikan tinggi,
pemerintah menjalankan program BOPTN atau Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Negeri, yang merupakan amanat UU No. 12 tahun 2012 tentang upaya pengendalian
biaya pendidikan tinggi. Apabila pendidikan yang meliputi lembaga pendidikan dan biaya
makin aksesibel, generasi usia produktif seharusnya bisa lebih bersemangat untuk belajar
dan berpendidikan formal lebih lama.
Terakhir, dalam menjangkau masyarakat secara lebih luas, pemerintah terus
menggulirkan kebijakan untuk menekan biaya untuk mengakses pendidikan. Salah
satunya yang masih berlangsung hingga saat ini adalah Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) yang pada 2013 dialokasikan sebesar Rp 20 triliun lebih. Selain itu dari sisi
kualitas juga terus ditingkatkan. Kurikulum 2013 yang diluncurkan sebagai
pengembangan kurikulum sebelumnya, menitikberatkan pada pendidikan karakter dan
budi pekerti. Dalam kurikulum baru ini, aspek pengetahuan bukan lagi menjadi aspek

8
utama, tapi harus didampingi oleh aspek keterampilan yang nanti jauh setelahnya akan
sangat dibuthkan di dunia kerja. Singkatnya, kurikulum 2013 menekankan pendidikan
berbasis karakter. Sementara itu, bagi pendidik ada program yang juga bagus, yaitu
SM3T atau Sarjana Mendidik di daerah 3 T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Pada
program SM3T, para sarjana yang menjadi relawan ditempatkan sebagai tenaga pendidik
di remote area atau daerah yang sulit dijangkau dan jauh dari pusat kota.
Maka dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, tampak bahwa pendidikan menjadi
determinan kunci dalam mencapai daya saing perekonomian suatu negara (secara
agregat) serta daya saing tenaga kerja (secara individu) yang paling mendasar. Aspek-
aspek lain seperti infrastruktur dan kelembagaan tentu sangat diperlukan pula dalam
mendukung upaya peningkatan kualitas SDM. Jumlah tenaga kerja produktif yang
melimpah ketika terjadi bonus demografi, apalah jadinya jika tidak dibarengi dengan
kualifikasi yang memadai untuk bersaing dan memasuki pasar tenaga kerja.

Persiapan Apa yang Telah Dilakukan?

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bonus demografi tidak serta-


merta menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Ada sejumlah prasyarat bagi bonus
demografi agar mampu membuat kontribusi yang positif bagi pembangunan ekonomi
maupun pembangunan sosial. Salah satu syarat tersebut adalah investment in human
capital atau investasi dalam sektor pembangunan sumber daya manusia (van der Ven dan
Smith, 2011).
Manifestasi dari pembangunan sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan.
Dalam konteks ini berlaku adagium, makin tinggi tingat pendidikan seseorang, makin
tinggi pula level pencapaian seseorang itu dalam hal karier, pekerjaan dan
kesejahteraannya. Sebaliknya, jika level pendidikan masyarakat di sebuah wilayah masih
di bawah rata-rata, maka kualitas sumber daya di wilayah tersebut masih di bawah
standar.
Sebagai contoh kecil, dimulai sejak tahun 2014 Pemprov Jatim dibawah pimpinan
Gubernur Jawa Timur Dr. H Soekarwo melakukan kebijakan dibidang pendidikan yang
dikenal dengan istilah moratorium pendidikan. UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah
memberikan wewenang pada provinsi tentang pengeluaran izin pendirian lembaga
SMA/SMK, sehingga momentum ini kemudian akan digunakan sebagai moratorium
pendirian SMA.
Moratorium pendidikan mempunyai arti mengembangkan pendidikan vokasional
atau pendidikan ketrampilan. Yang semula perbandingan antara sekolah umum dan
sekolah vokasional (SMK) adalah 60 persen : 40 persen diatur menjadi 30 persen : 70
persen, dengan 9 bidang keterampilan (Anonim, 2016).
Kebijakan itu ditujukan untuk melahirkan generasi terampil serta mempersiapkan
menghadapi bonus demografi yang akan terjadi di tahun 20202030. Selain itu, Gubernur
Jawa Timur juga melihat kenyataan bahwa 36,57 persen penduduk Jawa Timur
berkecimpung di bidang pertanian, tetapi hanya memberikan kontrubusi sebesar 14,72
persen pada PDRB Jawa Timur. Dengan pendidikan vokasional yang melahirkan tenaga
terampil, diharapkan hasil-hasil petanian dapat dikelola menjadi aneka olahan hasil
pertanian setengah jadi hingga produk siap kosumsi yang bernilai tinggi. Dengan
demikian jumlah UMKM di Jawa Timur yang saat ini sebanyak 6,8 juta akan terus

9
bertambah.

Kesimpulan

Bonus demografi adalah bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya
proporsi penduduk produktif dengan rentang usia 15-64 tahun dalam evolusi
kependudukan yang dialaminya. Proses transisi demografi ini telah berkembang sejak
beberapa tahun yang lalu. Bagai dua sisi mata uang, jika tidak dimaknai dengan baik,
pasca fenomena bonus demografi justru akan terjadi tekanan penduduk usia tua yang
menjadi beban. Pendidikan adalah faktor kunci, maka kebijakan terintegrasi di bidang
pendidikan dilakukan dengan strategi start earlier (pendidikan usia dini), stay longer
(sekolah setinggi mungkin) dan reach wider (pemerataan kesempatan pendidikan).
Harapannya, dengan pendidikan yang mencukupi, akan tercipta tenaga kerja yang
berkualitas dan berdaya saing tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Aditiasari, Dana. 2015. 3 Provinsi Ini Sudah Dulu Nikmati Bonus Demografi. Diakses
dari http://finance.detik.com/read/2015/06/25/115704/2951932/4/3-provinsi-ini-sud
ah-dulu-nikmati-bonus-demografi)
Anonim. 2013. Manfaatkan Bonus Demografi : Pilar Produktivitas dan Pertumbuhan
Ekonomi. Diakses dari
http://www.disnakertransduk.jatimprov.go.id/disnaker-lama/index.php?
option=com_content&view=article&id=903:manfaatkan-bonus-demografi--pilar-
produktivitas-dan-pertumbuhan-ekonomi&catid=37:ketenagakerjaan&Itemid=174)
Anonim. 2016. Moratorium Pendidikan Siapkan Bonus Demografi. Diakses dari
http://dinamika-jatim.com/moratorium-pendidikan-siapkan-bonus-demografi/
BKKBN Jatim. 2016. Jawa Timur Menjadi Salah Satu Provinsi yang Akan Terima Bonus
Demografi Terlama. Diakses dari
http://jatim.bkkbn.go.id/jawa-timur-menjadi-salah-satu-provinsi-yang-akan-terima-
bonus-demografi-terlama/)
BPS. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik
(BPS)
Birdsal N., C. Kelley, A., & W. Sinding, S. 2003. Population Matters. New York: Oxford
University Press.
Bloom, D. E., D. Canning, dan P.N. Malaney, 1999. Demographic Change and Economic
Growth in Asia. CID Working Paper No. 15, Mei 1999
Bloom, D.E. and J.E. Finlay, 2009. Demographic Change and Economic Growth in Asia.
Asian Economic Policy Review Vol.4, Hlm.45-64.
Delgado, Mercedes., Christian Ketels, Michael E. Porter, and Scott Stern. 2012. The
Determinants of National Competitivesness. Working Paper 18249. Cambridge, MA:
National Buueau of Economics Research
Gribble, N James dan Jason Bremner. 2012. Achieving A Demographic Dividend.

10
Population Bulletin Vol. 67 No.2
Kominfo. 2014. Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia. Jakarta: Kementerian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
McKinsey Global Institute. 2012. The Archipelago Economy: Unleashing Indonesias
Potential. McKinsey&Company
Schwab, Klaus., Xavier Sala-i-Martn, dan Brge Brende. 2013. The Global
Competitiveness Report 2013-2014. Geneva: World Economic Forum.
Ven, Rutger van der dan Jeroen Smith. 2011. The Demographic Windows of Opportunity:
Age Structure and Sub-National Economic Growth in Developing Countries. NiCE
Working Paper 11-102

11

Anda mungkin juga menyukai