Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit, yang meliputi dan melindungi tubuh, merupakan garis pertahanan


tubuh pertama terhadap patogen. Sebagai barier fisik, hampir tidak mungkin suatu
patogen dapat menembus kulit yang utuh. Namun demikian mikroba dapat masuk
melalui lesi kulit yang tidak nampak, sehingga beberapa mikroba dapat
menembus kulit utuh.
Kulit adalah tempat yang tidak ramah bagi kebanyakan mikroorganisme
karena sekresi kulit bersifat asam dan sebagian besar kulit kelembabannya sangat
rendah. Beberapa bagian dari tubuh, seperti aksila dan daerah sela-sela kaki,
memiliki kelembaban yang cukup tinggi untuk memberi kesempatan populasi
bakteri relatif besar berada pada daerah-daerah tersebut. Di area yang lebih kering
seperti kulit kepala, biasanya jumlah mikroorganisme ditemukan dalam jumlah
yang kecil. Beberapa mikroba yang berkolonisasi pada kulit dapat menyebabkan
penyakit.
Infeksi mikroba pada kulit biasanya ditularkan melalui kontak dengan
individu yang terinfeksi dan apabila kulit ditembus oleh mikroorganisme maka
dapat terjadi infeksi. Infeksi kulit dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan
parasit. Pada makalah ini akan dibahas infeksi-infeksi bakteri pada kulit.
Rintangan utama terhadap invasi mikroba adalah kulit yang dapat juga
disebut sebagai flora normal yang patogen maupun non patogen. Mikroba tersebut
terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan eksternal dan mendiami di suatu
tempat tertentu dengan populasi yang beragam. Sebagian besar flora yang
mendiami suatu tempat tertentu adalah terdiri dari bakteri. Organisme khas yang
mendiami pada permukaan kulit biasanya spesies Gram-positif seperti
Staphylococcus epidermidis, spesies Corynebacterium, Staphylococcus aureus
dan Streptococcus pyogenes. Tambahan, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes adalah spesies yang sangat signifikan karena
mengkontribusi secara mayoritas. ( Vincent et al, 2008)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Impentigo
A. Definisi
Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis.
Impetigo terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo
bulosa. Organism penyebab dari penyakit ini adalah Staphylococcus
aureus koagulase positif dan Streptococcus betahemolyticus. Sebuah
penelitian di Jepang menyatakan peningkatan insiden impetigo yang
disebabkan oleh kuman Streptococcus grup A sebesar 71% dari kasus, dan
72% dari kasus tersebut ditemukan pula Staphylococcus aureus pada saat
isolasi kuman. 5 Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika
kedua kuman ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus
merupakan infeksi penyerta. Kuman S. pyogenes menular ke individu
yang sehat melalui kulit, lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran
napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi kuman
pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit
pada sekitar 11 hari kemudian.1
B. Patogenesis
Semua orang dapat terkena impetigo terutama anak-anak 2-5 tahun
dan infant paling sering terinfeksi oleh penyakit ini. Anak-anak rentan
sekali terhadap infeksi Streptococcus betahemolyticus dan Staphylococcus
aureus dalam hal penyebaran penyakit karena mereka merupakan
kelompok yang berkontak erat dengan penderita ketika di sekolah dan juga
tergantung dari perawatan kebersihan terhadap anak-anak. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan meningkatnya risiko impetigo :1
1. Kontak langsung dengan penderita impetigo atau melalui kontaminasi
bendabenda seperti handuk, kasur atau pakaian.
2. Lingkungan yang lembab
3. Mempunyai riwayat dermatitis kronik

2
Pada impetigo vesikobulosa (impetigo staphylococcal)
disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang menghasilkan racun
eksfoliatif serta mengandung protease serin yang berkerja pada
desmoglein 1, yaitu suatu ikan peptide penting yang terikat pada
molekul yang menahan sel epidermal secara bersamaan. Proses 6
ini memungkinkan bakteri Staphylococcus aureus untuk menyebar
dibawah stratum korneum dan kemudian mengeluarkan toksin
yang akan menyebabkan epidermis terpisah dari stratum
granulosum. Lesi yang besar kemudian terbentuk pada bagian
epidermis dengan sebukan neutrofil dan sering terjadi migrasi
bakteri pada rongga bulosa. Pada impetigo krustosa non bullous,
infeksi ditemukan pada bagian minor dari trauma (misalnya :
gigitan serangga, abrasi, cacar ayam, pembakaran). Trauma
membuka protein-protein di kulit sehingga bakteri mudah melekat,
menyerang dan membentuk infeksi di kulit. Pada epidermis
muncul neutrophilic vesicopustules. Pada bagian atas kulit terdapat
sebuah infiltrate yang hebat yakni netrofil dan limfosit. Bakteri
gram-positif juga ada dalam lesi ini. Eksotoksin Streptococcus
pyrogenic diyakini menyebabkan ruam pada daerah berbintik
merah, dan diduga berperan pada saat kritis dari Streptococcal
toxic shock syndrome. 1

Sekitar 30% dari populasi bakteri ini berkoloni di daerah


nares anterior. Bakteri dapat menyebar dari hidung ke kulit yang
normal di dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo yang muncul 7-14
hari kemudian.Mekanisme terbentuknya lesi dapat menjelaskan
bagaimana tubuh mampu menahan masuknya benda asing melalui
permukaan epidermis. Pada impetigo vesikobulosa pecahnya bula
dapat terjadi secara cepat menyababkan erosi dangkal dan krusta
kuning.1

3
C. Gejala Klinis

Bentuk pioderma Impetigo krustosa Impetigo bulosa


Etiologi Streptococcus Staphylococcus
hemolyticus aureus
Gejala klinis Gejala prodromal (-) Gejala prodromal(-)
Lesi awal makula Sering didahului
eritematosa -> makula eritema-
vesikel/bula->pecah- >bula->bula
>sekret dan kering-> hipopion->pecah-
krusta berlapis- >koleret->dasarnya
>diangkat->erosi masih eritematosa
mengekuarkan sekret
Krusta tebal dan kuning
seperti madu
Lokalisasi Wajah Ketiak, dada,
(hidung&mulut),leher, punggung dan
tangan dan ekstrimitas ekstremitas
Epidemiologi Terutama pada anak- Pada semua umur
anak
Diagnosis banding Varicella: Lesi > kecil, Pemfigus : dinding
batas tegas, umbilikasi bula tebal, dikelilingi
vesikel eritem, KU buruk
Ektima: Lesi > besar Impetigenisasi:
& dalam, krusta susah penyakit primer &
diangkat -> berdarah konstitusi(+)
jika diangkat Dermatofitosis
Impetigenisasi :
pioderma
sekunder,menahun, msh
tampak penyakit dasar

4
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium rutin. Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis
ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo.
Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
telah terjadi glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS),
yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria.
b. Pemeriksaan imunologis. Pada impetigo yang disebabkan oleh
streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti
deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.
c. Pemeriksaan mikrobiologis. Eksudat yang diambil di bagian bawah
krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan
dilakukan tes sensititas. Hasil kultur bisa memperlihatkan S.
pyogenes, S. aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotic
dilakukan untuk mengisolasi metisilin resistar. S. aureus (MRSA)
serta membantu dalam pemberian antibiotic yang sesuai.
Pewarnaan gram pada eksudat memberikan hasil gram positif.
Pada blood agar koloni kuman mengalami hemolisis dan
memperlihatkan daerah yang hemolisis di sekitarnya meskipun
dengan blood agar telah cukup untuk isolasi kuman, manitol salt
agar atau medium Baierd-Parker egg Yolktellurite
direkomendasikan jika lesi juga terkontaminasi oleh organisme
lain. Kemampuan untuk mengkoagulasi plasma adalah tes paling
penting dalam mengidentifikasi S. aureus. Pada sheep blood agar,
S. pyogenes membentuk koloni kecil dengan daerah hemolisis
disekelilingnya. Streptococcus dapat dibedakan dari
Staphylokokkus dengan tes katalase. Streptococcus memberikan
hasil yang negativ.

E. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari
lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan
terapi standar, biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari

5
impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun
demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes
mikrobiologi pasti akan sangat menolong.
F. Pengobatan
Pengobatan pada impetigo dilakukan secara medikamentosa dan
nonmedikamentosa, yaitu:
1. Terapi medikamentosa:
Antibiotik Dosis dan Durasi Terapi
Topikal Oleskan pada lesi 3 kali sehari
Mupirocin 2% ointment selama 3 -5 hari
Oral Dewasa: 250-500 mg 2 kali
Amoxicilin/clavulanate sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2 dosis
Cefuroxime Dewasa: 250-500 mg 2 kali
sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2 dosis
Cephalexin Dewasa: 250-500 mg 4 kali
sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2-4 dosis
Dicloxacillin Dewasa: 250-500 mg 4 kali
sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/KgBB per hari
dibagi dalam 2-4 dosis
Erythromicin Dewasa: 250-500 mg 4 kali
sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2-4 dosis

6
2. Terapi nonmedikamentosa
a) Mencegah untuk menggaruk daerah lesi. Dapat dengan menutup
daerah yang lecet dengan perban dan memotong kuku penderita.
b) Lanjutkan pengobatan sampai semua lesi sembuh
c) Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan
jarum suntik untuk mencegah penyebaran lokal.
d) Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%
pada lesi yang basah.
e) Menjaga hyegenitas dengan mandi

2.2 Selulitis
A. Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah
Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A
sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza tipe
b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus.
Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang jarang
pada selulitis. Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus
sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya
disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan gram
negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur
eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan
barrier kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran
darah (buku kuning). Onset timbulnya penyakit ini pada semua usia.1

B. Patogenesis
Bakteri patogen yang menembus lapisan epidermis kulit

menimbulkan infeksi pada permukaan kulit atau menimbulkan

peradangan. Selulitis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri pada luka,

7
luka bakar, atau infeksi kulit lainnya, terutama oleh Streptococcus grup A

dan Staphylococcus aureus, tetapi dapat pula timbul pada pejamu (host)

dengan tanggap imun yang lemah (immunodeficiency) atau menyertai

erisipelas. Penyakit ini cenderung menyebar ke rongga jaringan dan

dataran cekung karena pelepasan sejumlah besar hialuronidase yang

memecahkan zat dasar polisakarida. Selain itu juga terjadi fibrinolitik yang

mencernakan barier fibrin dan lesitinase yang menghancurkan membran

sel oleh bakteri.1

Penyakit infeksi sering berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi,

orang tua dan pada orang dengan diabetes mellitus yang pengobatannya

tidak adekuat. Selulitis yang tidak berkomplikasi paling sering disebabkan

oleh streptokokus grup A, streptokokus lain atau Stafilokokus aureus.2

C. Gambaran Klinis

Terdapat gejala prodromal yaitu berupa demam dan malaise.

Lapisan kulit yang diserang adalah epidermis dan dermis. Penyakit ini

didahului dengan terjadinya trauma, karena itu tempat predileksinya

adalah daerah daerah yang mudah terjadi trauma, terutama di tungkai

bawah. Gambaran klinis eritema lokal berwarna merah cerah pada kulit

dan sistem vena serta limfatik pada kedua ekstremitas atas dan bawah,

batas lesi tegas, dan pinggirannya meninggi dengan tanda tanda radang

akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula. Pada pemeriksaan ditemukan

hangat, nyeri tekan, demam dan didapatkan leukositosis sebagai tanda

bakterimia. Jika tidak segera diobati akan menjalar ke sekitarnya terutama

8
ke proksimal. Dan jika sering residif di tempat yang sama, dapat terjadi

elephantiasis.

Gambar. Gambaran klinis penyakit selulitis dengan warna merah cerah


berbatas tegas pada daerah tungkai bawah.

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium :

1. CBC (Complete Blood Count), menunjukkan kenaikan jumlah leukosit dan

rata - rata sedimentasi eritrosit. Sehingga mengindikasikan adanya infeksi

bakteri,

2. Kadar BUN dan Kreatinin, untuk menilai fungsi ginjal, karena bakteri

Streptokokkus Betahemolitikus grup A lebih sering bermetastasis ke ginjal

dan menyebabkan infeksi sekunder, seperti glomerulonefritis.

3. Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga,

4. Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas pada

daerah penampakan luka namun sangat membantu pada area abses atau

terdapat bula,

5. Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum

memenuhi beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil, tidak

9
terasa sakit, tidak ada tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi, takipnea,

takikardia, hipotensi), dan tidak ada faktor resiko.

E. Diagnosa

1) Anamnesis

- Identitas pasien, terutama pekerjaan, karena beberapa jenis pekerjaan


memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya penyakit selulitis ini,
misalnya tukang kebun, petani, dll.
- Adanya keluhan nyeri dan pembengkakan lokal pada lokasi selulitis,
- Dijumpai riwayat trauma (kecelakaan, gigitan hewan / serangga,
garukan, goresan, suntikan, dll), atau riwayat tindakan operasi.
Hambatan drainase limfe juga diketahui sebagai faktor predisposisi.
- Muncul gejala gejala prodromal berupa demam, menggigil (terutama
jika terjadi supurasi), kadang dikeluhkan pula malaise.

2) Pemeriksaan Fisik

- Pada lokasi yang terkena tampak eritem, edema, teraba hangat, dan
nyeri tekan.
- Dapat ditemui limfangtis, limfadenopati regional, atau keduanya.
- Suhu tubuh meningkat / demam.
- Pada kasus yang berat, pasien dapat mengalami hipotensi.
- Bisa tampak supurasi lokal jika terlambat ditangani.
- Pada selulitis perianal, yang lebih umum terjadi pada anak, didapatkan
eritema dan pruritus pada fisura perianal, juga ditemukan sekresi
purulen, nyeri saat defekasi, dan terdapat darah pada feses.

F. Pengobatan

Pengobatan dapat berupa medikamentosa dan non - medikamentosa.


Pengobatan secara medikamentosa dapat diberikan secara topikal atau
sistemik.1
1) Medikamentosa
a) Secara topikal, dapat berupa :

10
Perawatan luka dengan kompres basah dengan saline atau antiseptik

seperti povidon yodium 5 10% pada area lesi yang mengalami

ulserasi dan diganti setiap 2 12 jam, tergantung keparahan infeksi.

Jika diduga terdapat rekurensi yang disebabkan oleh tinea pedis,

maka perlu diberikan antifungal topikal (misalnya ketokonazole

krim).

b) Secara sistemik (oral)

Golongan penisilin dosis tinggi (Penisilin G 1,2 2,4 juta unit i.m. 2

kali sehari) selama 10 - 20 hari, atau Golongan sefalosporin,

misalnya sefalosporin generasi pertama.

Golongan makrolid (jika pasien alergi penisilin), misalnya

Eritromisin 250 mg 1 gr per oral 4 kali sehari selama 14 21 hari.

Dapat diberikan antibiotik golongan metronidazol yang berkhasiat

terhadap kuman-kuman anaerob.

2) Non - Medikamentosa

a) Untuk mengurangi edema dan nyeri, direkomendasikan untuk elevasi /

meninggikan dan mengistirahatkan ekstremitas yang mengalami

keluhan.

b) Perlu dipertimbangkan hospitalisasi untuk monitoring ketat dan

pemberian antibiotik intravena pada kasus yang berat, pada bayi, pasien

usia lanjut, dan pasien dengan imunokompromis.

c) Pada kondisi yang sangat parah dengan nekrosis luas disertai supurasi,

perlu dipertimbangkan dilakukan debridement insisi dan drainase secara

bedah.

11
d) Memberikan edukasi kepada penderita yaitu diberikan informasi
mengenai perawatan kulit dan higiene kulit yang benar, misalnya mandi
teratur, minimal 2 kali sehari, jika terdapat luka hindari kontaminasi
dengan kotoran.

G. Prognosis
Pada kasus selulitis tanpa komplikasi akan memberikan prognosis baik
secara umum, dengan terapi yang cepat dan tepat. 1

2.3 Folikulitis

A. Definisi

Folikulitis didefinisikan sebagai adanya sel-sel radang di dalam


dinding dan ostia folikel rambut, menyebabkan folikel berisi pustul.
Folikulitis dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang dapat
menyebabkan folikulitis yaitu bakteri, virus dan jamur. Ketiga etiologi
folikulitis ini dapat menyebabkan folikulitis superfisialis dan folikulitis
profunda. Folikulitis superfisial merupakan inflamasi yang terjadi pada
infundibulum folikel rambut. Folikulitis profunda adalah peradangan yang
sudah melewati infundibulum melibatkan perifolikel. Folikulitis profunda
ini merupakan kelanjutan dari folikulitis superfisial yang telah menjadi
kronis. 3,4,5

B. Etiologi
Folikulitis dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang dapat
menyebabkan folikulitis yaitu bakteri, virus dan jamur. Folikulitis bakteri
dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus (S.aureus), Pseudomonos
aeruginosa (P.aeruginosa), dan bakteri gram negarif. Folikulitis fungal
disebabkan oleh Dermatophyta, Pityrosporum, dan Candida sp. Folikulitis
virus disebabkan oleh virus Molluscum contangiosum dan virus Herpes
simplex. Penyebab folikulitis yang paling umum menyebabkan folikulitis
adalah S.aureus. Tempat predileksi penyakit ini yang paling sering terjadi

12
pada kulit kepala anak-anak, leher, daerah janggut, aksila, ekstremitas dan
bokong pada dewasa.3,4

C. Patogenesis
Kolonisasi oleh S. Aureus mungkin terjadi secara berkepanjangan.
Staphylococuus aureus memproduksi berbagai macam komponen dan
produk ekstraselular yang dapat berkontribusi terhadap tingkat
patogenitasnya. Faktor inang seperti imunosupresi, terapi glukokortikoid
dan atopi memiliki peran besar pada patogenesis dari infeksi
staphylococcal. Adanya kerusakan jaringan sebelumnya atau inflamasi
(karena minyak ataupun pelumas dan keringat berlebihan yang menutupi
dan menyumbat saluran folikel rambut, gesekan saat bercukur atau
gesekan pakaian pada folikel rambut maupun trauma atau luka pada kulit)
adalah hal yang terpenting dalam patogenesis folikulitis karena ini
merupakan port de entry dari berbagai mikroorganisme terutama S. aureus
sebagai penyebab folikulitis. Beberapa strain S. aureus memproduksi
beberapa toksin seperti staphylococcal enterotoxins (SEA, SEB, SECn,
SED, SEE, SEG, SEH, dan SEI), toxin exfoliative (ETA dan ETB), TSS
toxin-1 (TSST-1), dan leukocidin. Toxsin ini memiliki keunikan efek yang
potent pada sel imun dan efek biologis lainnya, yang mana secara luar
biasa menginhibisi respon imun inang. TSST-1 dan enterotoxin
staphylococcal juga diketahui sebagai pyrogenic toxin superantigens.
Molekul ini bereaksi dengan berikatan secara langsung untuk secara
kontitusif mengepresikan molekul HLA-DR (sebuah komplek
histocompatibility mayor type II) pada sel presenting-antigen tanpa
pemrosesan antigen. Meskipun antigen konvesional memerlukan
pengenalan oleh kelima elemen dari kompleks reseptor sel T, super
antigen hanya membutuhkan region variable dari rantai beta.
Mengakibatkan, 5% sampai 30% T sel yang istirahat mungkin diaktivasi,
dimana pada antigen normal respon hanya 0,0001 sampai 0,01 persen T
sel. Aktivasi T sel non spesifik menyebabkan pelepsasan sitokin besar-
besaran, terutama interlukin 2, interferon gamma, dan tumor necrosis

13
factor beta dari sel T dan interlukin 1 dan tumor necrosis factor alpha dari
makrofag. Stimulasi superantigen dari sel T juga menghasilkan aktivasi
dan ekpansi dari limfosit ekspressing sepesifik sel T reseptor pada rantai
beta. Mereka mungkin mengaktifkan sel B, menyebabkan peningkatan
level dari IgE atau autoantibody. Juga terdapat kejadian dimana
superantigen secara selektif menginduksi limfosit kutaneus antigen pada
sel T yang membuat mereka berkumpul dikulit. Terdapat beberapa
mekainsme lain dimana S.Aureus lolos dari pembersihan system imun.
Sekitar 60% dari S. aureus strin, mensekresikan sekret yang merupakan
inhibitor kemotaksis protein dari staphylococci, dimana menginhibisi
kemotaksis neutrofil. Sebagai tambahan, protein A, staphylokinase,
capsular polysaccaharide, pengikat fibrinogen protein, dan clumping A
factor, semua beraksi untuk menghindari dari fagositosis dan oponiosis.
Hal tersebut yang dapat meningkatkan kontribusi untuk invasi dan
membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam jaringan.
Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan
berbagai efek pada sistem kekebalan tubuh penderita.3,6
Produk-produk yang dihasilkan pada dinding sel ini adalah asam
teichoic, peptidoglikan dan protein A. Protein A ini membantu pelekatan
bakteri pada sel inang. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc dari
IgG sebagai tambahan pada fragmen Fab pada IgE. Pada folikulitis
superfisial, populasi sel neutrofil dapat memfiltrasi pada bagian
infundibulum pada folikel rambut dan mencetuskan suatu infeksi. Ini
merupakan satu contoh yang disebut sebagai suatu invasi secara langsung.6
Selain bakteri jamur juga mempunyai jalur untuk menyebabkan
folikulitis. Jamur ini ditemukan pada stratum korneum dan folikel pilar
dimana jamur ini menggunakan lipase dan fosfolipase jamur itu sendiri
untuk menghidrolisis trigleserida dari sebum menjadi asam lemak bebas
sebagai sumber nutrisi lipid untuk metabolismenya yang akan
menyebabkan prolifesasi jamur tersebut. Jamur merupakan organisme
oportunistik yang dapat mengalami perubahan dari fase safrofit menjadi

14
fase patogen meselial dalam kondisi tertentu seperti peningkatan
temperatur, kulit yang berminyak, berkeringat dan imunosupresan.3
Komponen peradangan dari Malassezia furfur memiliki banyak
kemungkinan mekanisme. Salah satu kemungkinannya adalah Malassezia
menginduksi sitokin peradangan melalui Toll-like receptor 2 (TLR 2).
Sitokin-sitokin peradangan ini diantaranya interleukin (IL) 1, IL-6, IL-8,
IL-12, dan tumor necrosis factor (TNF) sementara itu terdapat sitokin
anti peradangan yaitu IL-4 dan IL-10. Malassezia mengaktivasi kaskade
komplemen baik dengan jalur klasik dan jalur alternatif. Mekanisme
patogenesis lainnya adalah peradangan menyebabkan kerusakan fungsi
barrier epitel oleh karena aktivitas lipase dan fosfolipase Malassezia,
sensitasi terhadap reaksi silang alergen yang diproduksi oleh Malassezia
dan faktor iritan merupakan stimulasi non immunogenic dari sistem imun.
Mekaninsme ini didukung oleh adannya peningkatan jumlah sel natural
killer (NK)1+ dan CD16+ yang ditemukan pada biopsi dari lesi-lesi di
kulit.7

D. Tipe Folikulitis
1. Folikulitis bakteri
Folikulitis bakteri dapat disebabkan oleh bakteri S.aureus ataupun
P.aeruginosa. Folikulitis yang disebabkan oleh S. aureus terjadi akibat
trauma yang berulang seperti mencukur dan waxing. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh pakaian yang ketat dan keringat yang berlebihan.
Folikulitis yang disebabkan oleh P. aeruginosa berasal didapatkan dari hot
tub tempat umum ataupun kolam renang umum.8

Gambar. Folikulitis yang terjadi setelah melakukan waxing.

15
2. Folikulitis fungal
Pityrosporum folliculitis merupakan kelainan kulit yang berasal dari
pertumbuhan jamur Malassezia yang berlebihan. Malassezia
merupakan flora normal kulit. Malassezia biasanya ditemukan di
infundibulum dari kelenjar minyak di mana terdapat produksi lipid.
Malassezia biasa ditemukan pada kulit remaja oleh karena
peningkatan aktivitas kelenjar sebasea. Terdapat penelitian mengenai
frekuensi dan densitas kolonisasi jamur yang berkaitan dengan umur
dan aktivitas kelejar sebasea. Malassezia juga biasa ditemukan pada
orang yang tinggal di daerah panas dengan kelembapan yang tinggi.
Pityrosporum folliculitis lebih sering terjadi pada laki-laki.7

Gambar. Papul dan pustul pada folikulitis fungal.7

3. Folikulitis virus
Folikulitis virus merupakan kasus yang jarang. Folikulitis virus
disebabkan oleh virus herpes simplex dan virus molluscum
contagiousum yang menginfeksi struktur pilosebasea pada area
janggut pada laki-laki, dengan manifestasi klinis membetuk kelompok
papulovesikel eritematous ataum vesikel dengan delle.4

E. Gejala Klinis
Folikulitis adalah peradangan yang disebabkan oleh proses infeksi.
Gambaran kilinis lesi folikulitis adalah pustul atau papul yang mengalami
inflamasi. Pustul berwarna kekuningan dan dikelilingi oleh eritema.
Rambut sebagai pusat lesi mungkin dapat terlihat pada bagian tengah lesi.

16
Papul dan pustul yang awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar
seiring dengan aktivitas mencukur yang terus-menerus. Folikulitis
profunda memiliki gambaran lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi
oleh eritema dan pembengkakan. Lesi folikulitis dapat ditemukan di
daerah kulit kepala, wajah, daerah janggut, aksila, badan, pantat, pubis dan
ekstremitas. Lesi berupa pustul dan papul dapat bersifat nyeri ataupun
gatal. Selain itu juga terdapat gejala sistemik seperti demam dan terdapat
limpadenopati saat melibatkan penyeberan yang luas.9,10,11

Gambar. Folikulitis di daerah leher

F. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis,
pemeriksaan fisik kulit. Pemeriksaan penunjang diperlukan pada kasus-
kasus yang resisten terhadap pengobatan. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan Antara lain: kultur, pewarnaan gram, preparat KOH, dan
biopsi.5
1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis akan ditemukan riwayat trauma yang berulang seperti
mencukur dan waxing. Selain itu juga dapat disebabkan oleh pakaian yang
ketat dan keringat yang berlebihan. Folikulitis yang disebabkan oleh P.
aeruginosa berasal didapatkan dari hot tub tempat umum ataupun kolam
renang umum. Pasien akan mengeluhkan rasa gatal atau nyeri pada lesi
tersebut. Pemeriksaan fisik kulit akan ditemukan lesi pada folikel rambut
di daerah kulit kepala, dagu, ketiak dan ektremitas. Kelainan kulit diawali
dengan papul atau pustul pada folikel rambut. Papul dan pustul yang

17
awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar seiring dengan aktivitas
mencukur yang terus-menerus. Folikulitis profunda memiliki gambaran
lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi oleh eritema dan pembengkakan.
Selain itu, pasien mungkin merasakan gejala seperti demam dan mungkin
terdapat limpadenopati saat melibatkan penyeberan yang luas.4,9,10

Gambar. Papul-papul eritematosa, diskret,diatasnya terdapat pustul.12

2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk folikulitis yang
disebabkan oleh bakteri yaitu kultur, pewarnaan Gram dan tes sensitivitas
antibiotik. Pemerikasaan preparat KOH digunakan untuk mengidentifikasi
spesies jamur.5
Pemeriksaan kultur

(a) (b)

Gambar. Kultur (a) P. aeruginosa dan (b) S. aureus

18
Pewarnaan Gram

(a) (b)

Gambar. Gram Staining (a) S. aureus dan (b) P .aeruginosa.1314


Pemeriksaan preparat KOH

Gambar. preparat KOH Malassezia menunjukkan gambaran meat ball and


spagetty.15

Pemeriksaan kultur nasal anggota keluarga diperlukan untuk


mencari kolonisasi S. aureus pada kasus-kasus kronik folikulitis. Kultur
virus atau biopsi dilakukan untuk mengindentifikasi folikulitis yang
disebabkan oleh virus herpes simplex. Biopsi lesi yang aktif perlu
dilakukan pada kasus folikulitis yang atipikal atau pada pasien-pasien
dengan pengobatan standard yang resisten.5

3. Pemeriksaan Histopatologi
Secara histologis, pada kasus folikulitis superfisial terdapat
infiltrasi sel-sel inflamasi di ostium folikuler dan di daerah folikel bagian
atas. Dalam kebanyakan kasus, peradangan awalnya terdiri dari neutrofil
dan kemudian menjadi lebih beragam dengan penambahan limfosit dan

19
makrofag. Apabila infeksi adalah penyebab terjadinya folikulitis, maka
berbagai organisme dapat diidentifikasi dalam folikel.9

G. Penatalaksanaan
Folikulitis superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa
pengobatan atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan
menghindari faktor-faktor predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis.
Pada kasus yang berat, dibutuhkan penggunaan antibiotik topikal atau
sistemik.6
Folikulitis superfisial yang dapat diobati dengan antibakterial yang
mengandung chlorhexidine. Ointment antibakteri (bacitracin atau
mupirocin 2%) juga digunakan selama 7-10 hari terbatas pada daerah lesi.
Apabila terjadi kasus folikulitis stafilokokus yang menyebar luas pada
tubuh atau rekuran mupirocin ointment pada vestibulum hidung 2 kali
sehari selama 5 hari dapat mengeliminasi S. aureus carrier. Anggota
keluarga juga dapat menjadi carrier S. aureus sehingga perlu juga
pemberian ointment mupirocin atau rifampin 600 mg/hari secara oral
selama 10 hari. Jika diperlukan antibiotik, dikloksasilin atau golongan
sefalosporin merupakan antibiotik lini pertama. MRSA dapat diterapi
dengan antibiotik klindamisin, trimethoprim-sulfamethoxazole,
minocycline, atau linezolid.5,11
Folikulitis fungal dapat diobati dengan pengobatan antifungal
sistemik. Pengobatan antifungal sistemik diantaranya adalah ketokonazol
oral 200 mg perhari selama 4 minggu, flukonazol oral 150 mg per minggu
selama 2-4 minggu, dan itrakonazol 200 mg perhari selama 2 minggu.7

H. Prognosis
Folikulitis sering sembuh sendiri tanpa pengobatan atau dengan
pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor
predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Namun pada kasus yang
berat dibutuhkan penggunaan antibiotik topikal ataupun sistemik.6

20
2.4 Ektima
A. Etiologi
Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya
disebabkan oleh Streptococcus -hemolyticus grup A. Status bakteriologi
dari ektima pada dasarnya mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap
sebagai infeksi Streptococcus, karena pada banyak kasus didapatkan kultur
murni Streptococcus pyogenes. Ini didasarkan pada isolasi Streptococcus
dan Staphylococcus dan dari beberapa Staphylococcus saja.6
Streptococcus -hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau
menginfeksi secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya
kerusakan jaringan (seperti ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) dan
keadaan imunokompromis (seperti diabetes dan neutropenia) merupakan
predisposisi pada pasien untuk timbulnya ektima. Penyebaran infeksi
Streptococcus pada kulit diperbesar oleh kondisi lingkungan yang padat
dan hygiene yang buruk.6,16

B. Patogenesis
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi
kulit dan sistemik. Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus
sp. Juga terkenal sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup
A, B, C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering
ditemukan pada manusia. Kandungan M-protein pada bakteri ini
menyebabkan bakteri ini resisten terhadap fagositosis.17
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes
menghasilkan beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal
atau gejala sistemik. Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh
superantigens (SA). Antigen ini bekerja dengan cara berikatan
langsung pada molekul HLA-DR (Mayor Histocompability Complex II
(MHC II)) pada antigen-presenting cell tanpa adanya proses antigen.
Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan
kelima elemen dari kompleks reseptor sel T, superantigen hanya
memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B. Aktivasi non spesifik

21
dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor- (TNF-
), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini
menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam erythematous, hipotensi,
dan cedera jaringan.17,3
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan
atopic memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi
Staphylococcus. Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka
bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor
yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh
bakteri ini.3

C. Gambaran Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit
yang eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 3 cm) dan
beberapa hari kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar
dilepas dari dasarnya. Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul.
Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superficial dengan gambaran
punched out appearance atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan
tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi sembuh setelah beberapa minggu
dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat ditemukan pada daerah
ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.3

Gambar. Lesi tipikal ektima pada ektremitas bawah18

22
Gambar. Tahapan ektima. Lesi dimulai sebagai sebuah pustule yang kemudian
pecah membentuk ulkus.18

Gambar. Ektima. Ulkus dengan krusta tebal pada tungkai pasien yang
menderita diabetes dan gagal ginjal3

Gambar. Ektima pada aksila19

D. Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak
bawah. Pasien biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.18

23
Anamnesis ektima, antara lain:18

Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.


Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma
berulang, seperti gigitan serangga.
Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma
berulang, seperti tungkai bawah.
Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta
Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama.

2. Pemeriksaan fisis
Effloresensi ektima berupa awalnya berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta.18

Gambar. Krusta coklat berlapis lapis pada ektima20

Gambar. Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus
yang dangkal20

24
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan. yaitu biopsi
kulit dengan jaringan dalam untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain
itu, juda dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi.20
Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang
diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai
dari folikel pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar
dan terdapat sebukan sel PMN. Infiltrasi granulomatous perivaskuler
yang dalam dan superficial terjadi dengan edema endotel. Krusta yang
berat menutupi permukaan dari ulkus pada ektima.20

Gambar. Pioderma. Neutrofil tersebar pada dasar ulserasi (Seperti


yang ditunjukkan oleh tanda panah)20
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ektima, antara lain:
1. Nonfarmakologi
Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan
sabun antibakteri dan sering mengganti seprei, handuk, dan pakaian.18
2. Farmakologi
Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan
mencegah komplikasi18
a. Sistemik
Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas.
Pengobatan sistemik dibagi menjadi pengoatan lini pertama
dan pengobatan lini kedua.18
Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)
a. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7
hari. Anak : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.

25
b. Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
c. Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari
Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
d. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg
selama 4 hari
e. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama
10 hari
f. Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7
hari. Anak : 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.
b. Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi
terlokalisir, tetapi jika luas maka digunakan pengobatan
sistemik. Neomisin, Asam fusidat 2%, Mupirosin, dan
Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan
secara topikal.18
Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan
efektif yang tidak digunakan secara sistemik, yang
menyebabkan reaksi kulit minimal, dan memiliki angka
resistensi bakteri yang rendah sehingga menjadi terapi
antibiotik lokal yang valid. Neomisin dapat larut dalam air
dan memiliki kestabilan terhadap perubahan suhu.
Neomisin memiliki efek bakterisidal secara in vitro yang
bekerja spektrum luas gram negatif dan gram positif. Efek
samping neomisin berupa kerusakan ginjal dan ketulian
timbul pada pemberian secara parenteral sehingga saat ini
penggunaannya secara topical dan oral.18
3. Edukasi
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga
kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan
penularan penyakit kulit. 18

26
F. Prognosis
Ektima sembuh secara perlahan, tetapi biasanya meninggalkan
jaringan parut (skar).1

2.5 Furunkel
A. Definisi
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan

subkutan sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat.

Jika lebih dari satu tempat disebut furunkulosis. Furunkulosis dapat

disebabkan oleh berbagai faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang

kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya

peradangan pada folikel rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar

kejaringan sekitarnya.1,2

Gambar. Furunkel.

Gambar . Furunkulosis.

27
B. Etiologi

Permukaan kulit normal atau sehat dapat dirusak oleh karena

iritasi, tekanan, gesekan, hiperhidrosis, dermatitis, dermatofitosis, dan

beberapa faktor yang lain, sehingga kerusakan dari kulit tersebut dipakai

sebagai jalan masuknya Staphylococcus aureus maupun bakteri penyebab

lainnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto inokulasi dari lesi

penderita. Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena faktor

predisposisi antara lain, alcohol, malnutrisi, diskrasia darah, iatrogenic

atau keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes mellitus.2

C. Patogenesis

Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang

merupakan flora residen pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada

tenggorokan dan saluran hidung. Predileksi terbesar penyakit ini pada

wajah, leher, ketiak, pantat atau paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka,

goresan, robekan dan iritasi pada kulit. Selanjutnya, bakteri tersebut

berkolonisasi di jaringan kulit. Respon primer host terhadap infeksi

S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke tempat masuk kuman tersebut

untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi

oleh komponen bakteri seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan

sitokin TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang

dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal tersebut

menimbulkan inflamasi dan pada akhirnya membentuk pus yang terdiri

dari sel darah putih, bakteri dan sel kulit yang mati. 2

28
Didapatkan keluhan utama dan keluhan tambahan pada perjalanan

dari penyakit furunkel. Lesi mula-mula berupa infiltrat kecil, dalam waktu

singkat membesar kemudian membentuk nodula eritematosa berbentuk

kerucut. Kemudian pada tempat rambut keluar tampak bintik-bintik putih

sebagai mata bisul. Nodus tadi akan melunak (supurasi) menjadi abses

yang akan memecah melalui lokus minoris resistensi yaitu di muara

folikel, sehingga rambut menjadi rontok atau terlepas. Jaringan nekrotik

keluar sebagai pus dan terbentuk fistel. Karena adanya mikrolesi baik

karena garukan atau gesekan baju, maka kuman masuk ke dalam kulit.

Beberapa faktor eksogen yang mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu,

musim panas (karena produksi keringat berlebih), kebersihan dan hygiene

yang kurang, lingkungan yang kurang bersih. Sedangkan faktor endogen

yang mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu, diabetes, obesitas,

hiperhidrosis, anemia, dan stres emosional.21

D. Gejala Klinis

Mula-mula nodul kecil yang mengalami keradangan pada folikel rambut,

kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh

setelah pus keluar dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga dapat berupa

macula eritematosa lentikular setempat, kemudian menjadi nodula

lentikular setempat, kemudian menjadi nodula lentikuler-numular

berbentuk kerucut.22

Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan

lokasinya di hidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala

29
kostitusional yang sedang, seperti panas badan, malaise, mual. Furunkel

dapat timbul di banyak tempat dan dapat sering kambuh. Predileksi dari

furunkel yaitu pada muka, leher, lengan, pergelangan tangan, jari-jari

tangan, pantat, dan daerah anogenital.23

Gambar. Furunkel pada belakang telinga.

E. Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis,

pemeriksaan bakteriologi dari sekret.21

a. Anamnesa

Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri.

Ukuran nodul tersebut meningkat dalam beberapa hari. Beberapa

pasien mengeluh demam dan malaise.22

b. Pemeriksaan Fisik

Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus.

Supurasi terjadi setelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan

melalui saluran keluar tunggal (single follicular orifices). Furunkel

yang pecah dan kering kemudian membentuk lubang yang kuning

30
keabuan ireguler pada bagian tengah dan sembuh perlahan dengan

granulasi.23

c. Pemeriksaan Penunjang

Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan

histologis dari furunkel menunjukkan proses inflamasi dengan

PMN yang banyak di dermis dan lemak subkutan. Diagnosis dapat

ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang dikonfirmasi dengan

pewarnaan gram dan kultur bakteri. Pewarnaan gram S.aureus akan

menunjukkan sekelompok kokus berwarna ungu (gram positif)

bergerombol seperti anggur, dan tidak bergerak. Kultur pada

medium agar MSA (Manitot Salt Agar) selektif untuk S.aureus.

Bakteri ini dapat memfermentasikan manitol sehingga terjadi

perubahan medium agar dari warna merah menjadi kuning. Kultur

S. aureus pada agar darah menghasilkan koloni bakteri yang lebar

(6-8 mm), permukaan halus, sedikit cembung, dan warna kuning

keemasan. Uji sensitivitas antibiotik diperlukan untuk penggunaan

antibiotik secara tepat. 2

Gambar. Gambaran Mikroskopik S.aureus dengan Pengecatan Gram.

31
F. Penatalaksanaan

Pada furunkel di bibir atas pipi dan karbunkel pada orang tua

sebaiknya dirawat inapkan. Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau

kotor dikompres dengan solusio sodium chloride 0,9%. Bila lesi telah

bersih, diberi salep natrium fusidat atau framycetine sulfat kassa steril.21,22

Antibiotik sistemik mempercepat resolusi penyembuhan dan wajib

diberikan pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik

diberikan selama tujuh sampai sepuluh hari. Lebih baiknya, antibiotik

diberikan sesuai dengan hasil kultur bakteri terhadap sensitivitas

antibiotik.2

Tabel. Antibiotik Sistemik

Antimicrobial Agent Dosing (PO Unless Indicated), Usually

For 7 to 14 Days

Natural penicillins

Penicillin V 250500 mg tid/qid for 10 days

Penicillin G 600,0001.2 million U IM qd for 7 days

Benzathine penicillin G 600,000 U IM in children 6 years, 1.2

million units if 7 years, if compliance is a

problem

Penicillinase-resistant penicillins

Cloxacillin 250500 mg (adults) qid for 10 days

Dicloxacillin (drug of choice) 250500 mg (adults) qid for 10 days

32
Nafcillin 1.02.0 g IV q4h

Oxacillin 1.02.0 g IV q4h

Aminopenicillins

Amoxicillin 500 mg tid or 875 mg q12h

Amoxicillin plus clavulanic acid 875/125 mg bid; 20 mg/kg per day tid for

(Betha-lactamase inhibitor) 10 days

Ampicillin 250500 mg qid for 710 days

Cephalosporins

Cephalexin (drug of choice) 250-500 mg (adults) qid for 10 days; 4050

mg/kg per day (children) for 10 days

Cephradine 250500 mg (adults) qid for 10 days; 4050

mg/kg per day (children) for 10 days

Cefaclor 250500 mg q8h

Cefprozil 250500 mg q12h

Cefuroxime axetil 125500 mg q12h

Cefixime 200400 mg q1224h

Erythromycin group

Erythromycin ethylsuccinate 250500 mg (adults) qid for 10 days; 40

mg/kg per day (children) qid for 10 days

Clarithromycin 500 mg bid for 10 days

Azithromycin Azithromycin: 500 mg on day 1, then 250

33
mg qd days 25

Clindamycin 150-300 mg (adults) qid for 10 days; 15

mg/kg per day (children) qid for 10 days

Tetracylines

Minocycline 100 mg bid for 10 days

Doxycycline 100 mg bid

Tetracycline 250500 mg qid

Miscellaneous agents

Trimethoprim-sulfamethoxazole 160 mg TMP + 800 mg SMX bid

Metronidazole 500 mg qid

Ciprofloxacin 500 mg bid for 7 days

Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus (MRSA)

dapat diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lain adalah

tetrasiklin, namun obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihan untuk

golongan penicilinase-resistant penicillin adalah dicloxacilin Pada penderita yang

alergi terhadap penisilin dapat dipilih golongan eritromisin. Pada orang yang

alergi terhadap -lactam antibiotic dapat diberikan vancomisin.2

Tindakan insisi dapat dilakukan apabila telah terjadi supurasi. Higiene

kulit harus ditingkatkan. Jika masih berupa infiltrat, pengobatan topikal dapat

diberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibotik. Adanya penyakit yang

34
mendasari seperti diabetes mellitus, harus dilakukan pengobatan yang tepat dan

adekuat untuk mencegah terjadinya rekurensi.21,22

Terapi antimikrobial harus dilanjutkan sampai semua bukti inflamasi

berkurang. Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk mencegah autoinokulasi.

Pasien dengan furunkel yang berulang memerlukan evaluasi dan penanganan

lebih komplek.21

Manajemen furunkulosis atau karbunkel rekuren

a. Evaluasi penyebab yang mendasari dengan teliti

- Proses sistemik

- Faktor-faktor predisposisi yang terlokalisasi spesifik: paparan zat

industri (zat kimia, minyak).

- Higiene yang buruk.

- Sumber kontak Staphylococcus: infeksi piogenik dalam keluarga,

olahraga kontak seperti gulat, autoinokulasi.

- Stahphylococcus aureus dari hidung : disini tempat dimana

penyebaran organisme ke tempat tubuh yang lain.terjadi. Frekuensi

dari bawaan nasal bervariasi : 10%-15% pada balita 1 tahun, 38% pada

mahasiswa, 50% pada dokter RS dan siswa militer.

b. Perawatan kulit secara umum: tujuannya adalah mengurangi jumlah S.aureus

pada kulit. Perawatan kulit pada kedua tangan dan tubuh dengan air dan

sabun adalah penting. Sabun antimikrobial yang mengandung providone

iodine atau benzoyl peroxide atau klorheksidin 4% dapat digunakan untuk

mengurangi kolonisasi stafilokokus pada kulit.. Handuk yang terpisah harus

digunakan dan secara hati-hari dicuci dengan air panas sebelum digunakan.

35
c. Jenis Pakaian : pakaian yang menyerap keringat, ringan dan longgar harus

digunakan sesering mungkin. Sejumlah besar stafilokokus sering berada pada

seprai dan pakaian dalam pasien dengan furunkulosis atau karbunkel dan

dapat menyebabkan reinfeksi pada pasien dan infeksi pada anggota

keluarganya. Pakaian secara terpisah dicuci dalam air hangat dan diganti tiap

hari.

d. Pertimbangan umum: beberapa pasien tetap memiliki siklus lesi rekuren.

Kadang-kadang, masalah dapat diperbaiki atau dihilangkan dengan menyuruh

pasien agar tidak melakukan pekerjaan rutin regular. Terutama pada individu

dengan stres emosional dan kelelahan fisik. Liburan selama beberapa minggu,

idealnya pada iklim sejuk atau kering akan membantu dengan cara

menyediakan istirahat dan juga menyisihkan waktu yang dibutuhkan untuk

melaksanakan program perawatan kulit.

e. Pertimbangkan hal yang bertujuan eliminasi S.aureus (yang `peka methicillin

maupun yang resisten methicillin) dari hidung (dan kulit) :

- Penggunaan salep lokal pada vestibulum nasalis mengurangi S.aureus

pada hidung dan secara sekunder mengurangi sekelompok organisme

pada kulit, sebuah proses yang menyebabkan furunkulosis rekuren.

Pemakaian secara intranasal dari salep mupirocin calcium 2% dalam

base paraffin yang putih dan lembut selama 5 hari dapat

mengeliminasi S.aureus pada hidung sekitar 70% pada individu yang

sehat selama 3 bulan. Resistensi stafilokokus terhadap mupirocin

hanya didapatkan pada 1 dari 17 pasien. Profilaksis dengan salep asam

fusidat yang dioleskan pada hidung dua kali sehari setiap minggu

36
keempat pada pasien dan anggota keluarganya yang merupakan karier

strain infeksius S.aureus pada hidung (bersamaan dengan pemberian

antibiotik anti-stafilokokus peroral selama 10-14 hari pada pasien)

telah terbukti dengan beberapa keberhasilan.

- Antibiotik oral (misalnya rifampin 600 mg PO tiap hari selama 10

hari) efektif dalam mengeradikasi S.aureus untuk kebanyakan nasal

carrier selama periode lebih dari 12 minggu. Penggunaan rifampin

dalam jangka waktu tertentu untuk mengeradikasi S.aureus pada

hidung dan menghentikan siklus berkelanjutan dari furunkulosis

rekuren adalah beralasan pada pasien yang dengan pengobatan lain

gagal. Namun, strain yang resisten rifampin dapat muncul dengan

cepat pada terapi seperti itu. Penambahan obat kedua (dikloxacillin

bagi S.aureus yang peka methicillin; trimethoprim-sulfametaxole,

siprofloksasin, atau minoksiklin bagi S.aureus yang resisten

methicillin) telah digunakan untuk mengurangi resistensi rifampin dan

untuk mengobati furunkulosis rekuren.

G. Prognosis

Prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan

prognosis menjadi kurang baik apabila terjadi rekurensi. Umumnya

pasien mengalami resolusi, setelah mendapatkan terapi yang tepat dan

adekuat. Beberapa pasien mengalami komplikasi bakteremia dan

bermetastasis ke organ lain. Beberapa pasien mengalami rekurensi,

terutama pada penderita dengan penurunan kekebalan tubuh.21

37
2.6 Karbunkel

A. Definisi

Karbunkel merupakan infeksi dalam terdiri dari abses yang


berinterkoneksi yang berasal dari folikel-folikel rambut yang berdekatan.
Karbunkel merupakan nodul inflamasi pada daerah folikel rambut yang
lebih luas dan dasarnya lebih dalam daripada furunkel dimana furunkel
sendiri merupakan nodul atau abses yang bersifat akut, dalam, merah,
panas, dan nyeri ketika ditekan. 3
Karbunkel adalah infeksi yang dalam oleh Staphylococcus
aureus pada sekelompok folikel rambut yang berdekatan. Karbunkel
merupakan gabungan beberapa furunkel yang dibatasi oleh
trabekula fibrosa yang berasal dari jaringan subkutan yang padat.
Perkembangan dari furunkel menjadi karbunkel bergantung pada status
imunologis penderita.20

B. Etiopatogenesis
Karbunkel umumnya disebabkan oleh infeksi dari bakteri
Staphylococcus aureus dari famili staphylococcus. Bakteri ini berbentuk
bulat dengan diameter 0.5-1.5 m, bergerombol seperti anggur, tidak
memiliki kapsul, nonmotil, katalase positif, dan pada perwarnaan gram
tampak berwarna ungu. Bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi dan
penyakit serius lainnya seperti pneumonia, meningitis, osteomielitis, dan
endokarditis.3
Infeksi ini bersifat menular dan dapat menyebar ke area tubuh yang
lain maupun menular ke orang lain. Karbunkel sangat mudah tertular
melalui kontak kulit ke kulit. Pada kebanyakan kasus, karbunkel terbentik
karena infeksi Staphylococcus aureus pada folikel rambut menjadi
meluas dan mendalam.3

38
Klasifikasi dari infeksi bakterial pada folikel rambut3

Bakteri stafilokokus yang menyebabkan karbunkel umumnya masuk melalui


luka, goresan, dan robekan pada kulit. Respon primer tubuh terhadap infeksi
tersebut adalah pengerahan sel polimorphonuclear (PMN) ke tempat
masuknya kuman untuk melawan infeksi. Sel ini ditarik ke dalam tempat
infeksi oleh komponen bakteri seperti formylated peptides atau peptidoglikan
dan sitokin TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin 1 dan 6 yang
dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang teraktivasi hingga
menimbulkan inflamasi dan menghasilkan pus sebagai gabungan dari sel
darah putih, bakteri, dan sel kulit yang mati.3

C. Faktor resiko
Walaupun setiap orang termasuk orang yang sehat dapat terkena
furukel atau karbunkel, beberapa faktor ini dapat meningkatkan resiko:3
1. Karier Staphylococcus aureus kronik (pada hidung, aksila, perineum, dan
vagina)
2. Menderita diabetes. Pada pasien dengan diabetes terjadi gangguan fungsi
leukosit sehingga membuat tubuh sulit untuk melawan infeksi.
3. Higienitas diri yang buruk
4. Pakaian yang terlalu ketat. Penggunaan pakaian yang terlalu ketat dapat
menyebabkan iritasi pada kulit yang menyebabkan bakteri mudah masuk
dan menginfeksi tubuh.

39
5. Kondisi kulit tertentu. Adanya kerusakkan barier protektif kulit, masalah
kulit seperti jerawat, dermatitis, scabies, atau pedukulosis membuat kulit
rentan menjadi furunkel atau karbunkel.
6. Penggunaan kortikosteroid. Hal ini terkait dengan efek kortikosteroid
berupa supresi sistem imun tubuh. Sehingga tubuh tidak dapat melindungi
diri dari infeksi bakteri.
7. Defek fungsi netrofil seperti pada pasien yang mendapatkan obat
kemoterapi ataumendapat obat omeprazole.
8. Penyakit imunodefisiensi primer seperti penyakit granulomatosa
kronik, sindrom Chediak-Higashi, defisiensi C3,
hiperkatabolisme C3, hipogammaglobulinemia transient, timoma
dengan imunodefisiensi, dan sindrom Wiskott-Aldrich.

D. Manifestasi Klinis
Terdapat papul folikuler kecil kemerahan atau pustula dan disertai
dengan indurasi. Ditandai pula dengan adanya perubahan warna kulit
menjadi kemerahan, terdapat nyeri, dan sensasi panas yang bersifat lokal
di daerah lesi. Pustula ini kemudian dapat menyebabkan sumbatan
(pustular plug). Indurasi dapat melunak dan kemudian menjadi abses.
Gejala inflamasi cepat mereda dan sembuh dalam 1 sampai 2 minggu
setelah telah terjadi pengeluaran atau discharge dari nanah/pus. Infeksi
awal yang telah sembuh ini akan menimbulkan bekas luka kecil. Apabila
terjadi infeksi berulang, inflamasi dapat menyebar hingga ke beberapa
folikel rambut perifer dan kemudian muncul nodul berbentuk kubah,
kemerahan atau bengkak indurasi dengan beberapa sumbatan pustular
diatasnya. Hal ini umumnya disertai pula dengan nyeri, demam dan
kelemahan sistemik.3

40
Gambar. Karbunkel. Lesi menunjukkan furunkel konfluen multipel dengan
beberapa opening yang mengeluarkan nanah (pus)3

E. Diagnosis
Pasien datang dengan keluhan berupa pembengkakkan yang
berwarna kemerahan dan nyeri. Dari pemeriksaan didapatkan lesi tersebut
terjadi pada folikel rambut. Diagnosa dapat dipastikan bila terdapat
sumbatan pustular (pustular plug) di tengah lesi. Pada pemeriksaan
laboratorium biasanya ditemukan leukositosis dengan Staphylococcus
aureus sebagai penyebab utama. Pemeriksaan histologis dari karbunkel
menunjukkan proses inflamasi dengan PMN yang banyak di dermis dan
lemak subkutan. Pada karbunkel, abses multiple yang dipisahkan oleh
trabekula jaringan ikat menyusup dermis dann melewati sepanjang
pinggiran folikel rambut, mencapai permukaan melalui lubang pada
epidermis yang terkikis. Diagnosa dapat d itegakkan berdasarkan
gambaran klinis yang dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan
kultur bakteri. Pewarnaan gram akan menunjukkan sekelompok kokus
berwarna ungu (gram positif) dan kultur bakteri pada medium agar
darah domba memberikan gambarankoloni yang lebar (6 -8 mm),
permukaan halus, sedikit cembung, dan warna kuning keemasan.3

F. Penatalaksanaan
Pengobatan karbunkel sama saja dengan pengobatan furunkel.
Karbunkel atau furunkel dengan selulitis disekitarnya atau yang disertai

41
demam, harus diobati dengan antibiotik sistemik (lihat tabel 1). Untuk
infeksi berat atau infeksi pada area yang berbahaya, dosis
antibiotik maksimal harus diberikan dalam bentuk perenteral.
Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus
(MRSA) atau dicurigai infeksi serius, dapat diberikan vankomisin
(1 sampai 2 gram IV setiap hari dalam dosis terbagi). Pengobatan
antibiotik harus berlanjut paling tidak selama 1 minggu.3

Tabel Pengobatan karbunkel


Jenis Topikal Sistemik
Dikloxacillin 250-500 mg PO 4x1
selama 5-7 hari
Lini pertama
Amoksisilin + Asam Klavulanat
(cepjalexin) 25 mg/kgBB 3x1; 250-
Mupirocin 2x1 500 mg 4x1
Asam Fusidat 2x1 Azitromisin 500 mg x 1, kemudian
250 mg sehari selama 4 hari
Lini kedua (bila
Klindamisin 14 mg/kgBB/hari 3x1
alergi penisilin)
Ezitromisin 250-500 mg PO 4x1
selama 5-7 hari

Bila lesi besar, nyeri dan fluktuasi, insisi dan drainase diperlukan. Bila
infeksi terjadi berulang atau memiliki komplikasi dengan komorbiditas,
kultur dapat dilakukan. Terapi antimikrobial harus dilanjutkan sampai semua
bukti inflamasi berkurang dan berubah apalagi ketika hasil kultur tersedia.
Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk mencegah autoinokulasi dan
mencuci tangan harus sering dilakukan. Pasien dengan furunkulosis atau
karbunkel berulang harus dimanajemen secara khusus.3

42
Tabel. Manajemen tatalaksana karbunkel berulang

1. Evaluasi penyebab yang mendasari dengan teliti.


a. Proses sistemik
b. Faktor-faktor predisposisi yang terlokalisasi spesifik: paparan zat
industry (zat kimia, minyak); higienitas yang buruk; obesitas;
hiperhidrosis; rambut yang tumbuh ke dalam; tekanan dari
pakaian atau ikat pinggang yang ketat.
c. Sumber kontak Staphylococcus: infeksi piogenik dalam keluarga,
olahraga kontak seperti gulat, autoinokulasi
d. Stahphylococcus aureus dari hidung: tempat penyebaran
2. Perawatan kulit secara umum
Tujuannya adalah mengurangi jumlah Stahphylococcus aureus
pada kulit. Perawatan kulit pada kedua tangan dan tubuh
dengan air dan sabun adalah penting (solusi sabun
antimikrobial seperti solusi klorheksidin 4% dapat digunakan
untuk mengurangi kolonisasi stafilokokus pada kulit). Pasien
harus menghindari trauma pada kulit, seperti halnya iritan kulit potensial
misalnya sabun dan deodoran. Lap badan (dan handuk) yang terpisah
harus digunakan dansecara hati-hari dicuci dengan air panas sebelum
digunakan.
3. Pengurusan pakaian
Pakaian yang menyerap keringat, ringan dan longgar harus
digunakan sesering mungkin. Sejumlah besar stafilokokus
sering berada pada seprai dan pakaian dalam pasien dengan
furunkulosis atau karbunkel dan dapat menyebabkan reinfeksi
pada pasien dan infeksi pada anggota keluarganya. Dalam kasus ini,
adalah bukan tidak beralasan untuk menyarakan bahwa benda yang
dipakai bersama seperti ini harus digunakan secara hati-hati, terpisah
dari penderita, dicuci dengan air hangat dan diganti setiap harinya.
4. Perawatan cara berpakaian
Ganti pakaian harus lebih sering dilakukan dan bila terkumpul drainase

43
purulen pada pakaian tersebut, pakaian tersebut harus dibuang dengan
hati-hati ke dalam kantong tertutup dan dibuang secepatnya.
5. Manajemen masalah umum
Untuk mengurangi kemungkinan siklus lesi rekuren. Terkadang dapat
dihindari dengan menyuruh pasien agar tidak melakukan pekerjaan rutin
mereka. Hal ini terutama dikhususkan pada individu dengan stress
emosional yang tinggi dan kelelahan fisik. Liburan selama beberapa
minggu, idelanya pada iklim sejuk atau kering dapat membantu.
6. Pertimbangkan hal yang bertujuan untuk mengeliminasi Staphylococcus
aureus (baik yang peka maupun resisten methicillin) dari hidung (dan
kulit):
a. Penggunaan salep lokal pada vestibulum nasalis dapat
mengurangi Staphylococcus aureus pada hidung dan secara
sekunder mengurangi sekelompok organism pada kulit, sebuah
proses yang dapat menyebabkan rekurensi. Pemakaian secara
intranasal dari salep mupirocin calcium 2% dalam base paraffin
yang lembut selama 5 hari dapat membantu mengeliminasi
Staphylococcus aureus pada hidung sekitar 70%.
b. Antibiotik oral (misalnya rifampisin 600 mg PO tiap hari selama
10 hari) efektif dalam mengeradikasi Staphylococcus aureus
pada kebanyakan nasal carrier. Penggunaan rifampisin untuk
mengeradikasi Staphylococcus aureus pada hidung dan
menghentikan rekurensi merupakan alasan utama bila bentuk
pengobatan lain gagal. Walau begitu, strain yang resisten
rifampisin dapat munvul kembali. Hal ini dapat diatasi dengan
penambahan obat kedua (seperti dikloxacillin untuk
Staphylococcus aureus yang peka methicillin; dan
trimethoprimsulfametaxole, siprofloksasin, atau minosiklin bagi
Staphylococcus aureus yang resisten methicillin) telah digunakan
untuk mengurangi resistensi rfampisin dan menurunkan resiko
rekurensi.

44
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan bahasan diatas bahwa penyakit kulit merupakan penyakit


yang menyerang kulit permukaan tubuh. Penyakit ini juga dapat di sebabkan oleh
bakteri. Penyakit kulit juga terdiri dari berbagai macam jenis ada yang menular
dan ada juga yang tidak, tetapi kebanyakan dari penyakit kulit adalah menular.
Cara penularan penyakit kulit hampir sama satu sama lain yaitu kontak langsung
dengan penderita misalnya melalui pakaian, selimut ataupun sabun mandi. Yang
membedakan macam penyakit kulit yang satu dengan yang lainnya adalah
penyebab terjadinya penyakit tersebut.
. Infeksi bakteri pada kulit merupakan penyakit yang sering dijumpai.
Bakteri yang banyak menyebabkan infeksi di kulit yaitu bakteri Staphylococcus,
Streptococcus, atau oleh kedua-duanya. Faktor Predisposisi adalah higiene yang
kurang, menurunnya daya tahan tubuh, telah ada penyakit lain di kulit.
Karena disebabkan oleh bakteri, terapi yang diberikan menggunakan
antibiotik yang harus sesuai. Infeksi bakteri pada kulit ini erat kaitannya dengan
keadaan sosial ekonomi yang rendah dan salah satu faktor predisposisinya adalah
kurang hygiene. Ini merupakan masalah yang penting untuk Negara yang
berkembang seperti Indonesia. Sehingga diperlukan peningkatan menjaga
kebersihan untuk pencegahan terhadap penyakit pioderma.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. A D. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. keenam. Jakarta: FKUI; 2013.

2. G T. Bacterial Infection. In: Fitzpatricks Dermatology in General

Medicine. 7th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies;

2008.

3. Craft N, Lee kp, Zipli TM, Weinberg NA, Swartz NM JA. Superficial

Cutaneous Infections and Pyoderma. In Fitzpatricks Dermatology General

Medicine. 7th ed. New York: Mc-Graw-Hill; 2008.

4. Liborija L. Diferential Diagnosis Of The Scalp Hair Folliculitis. Acta Clin

Croat; 2011.

5. Craft N LP. Visual Dx: Essential Adult Dermatology. Philadelpia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2010.

6. Hay RJ. Adriaans BM. Bacterial Infection in Rookss Textbook of

Dermatology. 8th ed. London: Wiley-Blackwell

7. Richard M. Malassezia (Pityrosporom) Folliculitis in Dermatology Clinical

Aesthetic.

8. Goodheart H. Photoguide to Common Skin Disorder. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2009.

9. William RS. Inflamatory Diseases of the Dermis and Epidermis. United

States of America

10. Falco B PG. Dermatology and Venerologie. 4th ed. New York: Spinger

Verlag Berlin Heidelberg; 2000.

11. Fred FF. Bacterial Skin Infection In Fems Color Atlas and Text of Clinical

Medicine. London: Saunders Elsevier; 2009.

46
12. Joe L, Sarah F AJ. Attenuated Virulence and Bioflm Formation in

Staphylococcus Aureus Following Sublethal Exposure to Triclosan.; 2012.

13. Jeanne MM, Jenna MR, Lucas CR, Steven R, Weishalla MM. A

Comparison of Heat Versus Methanol Fixation for Gram Staining

Bacteria.; 2009.

14. Hossain MG, Saha S, Rahman MM, Singha JK MA. Isolation Identification

and Antibiogram Study of Pseudomonas Aeruginosa from Cattle in

Bangladesh.; 2013.

15. Shuaibu I, Hauwa S, Fatima UM MM. Creener Journal of Microbiology

and Antimicrbials. 2013;1.

16. Cevasco Nathaniel C. Common Skin Infection, Bacterial Infection. 2011.

17. Ciller Katarina SB and MG. Skin Microflora and Bacterioal Infection of

The Skin.; 2001.

18. Davis Loretta. Ecthyma. 2009.

19. James William E. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology.

10th ed. USA: Saunders Elsevier; 2006.

20. Siregar R.S ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.

Jakarta: EGC; 2002.

21. Abdullah B. Furunkulosis. In: Dermatologi Pengetahuan Dasar Dan Kasus

Di Rumah Sakit. Surabaya: SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU

Haji; 2009.

22. Sunarso S. Furunkel. In: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Penyakit

Kulit Dan Kelamin. ketiga. Surabaya: Fakultas Kedokteran Unair; 2005.

47
23. Al CP. et. Bacterial Infection. In: Harry L.A et Al, Editor . Andrews

Disease of The Skin: Clinical Dermatology. 10th ed. (Harry L.A et, ed.).

Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2006.

48

Anda mungkin juga menyukai