PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Impentigo
A. Definisi
Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis.
Impetigo terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo
bulosa. Organism penyebab dari penyakit ini adalah Staphylococcus
aureus koagulase positif dan Streptococcus betahemolyticus. Sebuah
penelitian di Jepang menyatakan peningkatan insiden impetigo yang
disebabkan oleh kuman Streptococcus grup A sebesar 71% dari kasus, dan
72% dari kasus tersebut ditemukan pula Staphylococcus aureus pada saat
isolasi kuman. 5 Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika
kedua kuman ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus
merupakan infeksi penyerta. Kuman S. pyogenes menular ke individu
yang sehat melalui kulit, lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran
napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi kuman
pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit
pada sekitar 11 hari kemudian.1
B. Patogenesis
Semua orang dapat terkena impetigo terutama anak-anak 2-5 tahun
dan infant paling sering terinfeksi oleh penyakit ini. Anak-anak rentan
sekali terhadap infeksi Streptococcus betahemolyticus dan Staphylococcus
aureus dalam hal penyebaran penyakit karena mereka merupakan
kelompok yang berkontak erat dengan penderita ketika di sekolah dan juga
tergantung dari perawatan kebersihan terhadap anak-anak. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan meningkatnya risiko impetigo :1
1. Kontak langsung dengan penderita impetigo atau melalui kontaminasi
bendabenda seperti handuk, kasur atau pakaian.
2. Lingkungan yang lembab
3. Mempunyai riwayat dermatitis kronik
2
Pada impetigo vesikobulosa (impetigo staphylococcal)
disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang menghasilkan racun
eksfoliatif serta mengandung protease serin yang berkerja pada
desmoglein 1, yaitu suatu ikan peptide penting yang terikat pada
molekul yang menahan sel epidermal secara bersamaan. Proses 6
ini memungkinkan bakteri Staphylococcus aureus untuk menyebar
dibawah stratum korneum dan kemudian mengeluarkan toksin
yang akan menyebabkan epidermis terpisah dari stratum
granulosum. Lesi yang besar kemudian terbentuk pada bagian
epidermis dengan sebukan neutrofil dan sering terjadi migrasi
bakteri pada rongga bulosa. Pada impetigo krustosa non bullous,
infeksi ditemukan pada bagian minor dari trauma (misalnya :
gigitan serangga, abrasi, cacar ayam, pembakaran). Trauma
membuka protein-protein di kulit sehingga bakteri mudah melekat,
menyerang dan membentuk infeksi di kulit. Pada epidermis
muncul neutrophilic vesicopustules. Pada bagian atas kulit terdapat
sebuah infiltrate yang hebat yakni netrofil dan limfosit. Bakteri
gram-positif juga ada dalam lesi ini. Eksotoksin Streptococcus
pyrogenic diyakini menyebabkan ruam pada daerah berbintik
merah, dan diduga berperan pada saat kritis dari Streptococcal
toxic shock syndrome. 1
3
C. Gejala Klinis
4
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium rutin. Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis
ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo.
Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
telah terjadi glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS),
yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria.
b. Pemeriksaan imunologis. Pada impetigo yang disebabkan oleh
streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti
deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.
c. Pemeriksaan mikrobiologis. Eksudat yang diambil di bagian bawah
krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan
dilakukan tes sensititas. Hasil kultur bisa memperlihatkan S.
pyogenes, S. aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotic
dilakukan untuk mengisolasi metisilin resistar. S. aureus (MRSA)
serta membantu dalam pemberian antibiotic yang sesuai.
Pewarnaan gram pada eksudat memberikan hasil gram positif.
Pada blood agar koloni kuman mengalami hemolisis dan
memperlihatkan daerah yang hemolisis di sekitarnya meskipun
dengan blood agar telah cukup untuk isolasi kuman, manitol salt
agar atau medium Baierd-Parker egg Yolktellurite
direkomendasikan jika lesi juga terkontaminasi oleh organisme
lain. Kemampuan untuk mengkoagulasi plasma adalah tes paling
penting dalam mengidentifikasi S. aureus. Pada sheep blood agar,
S. pyogenes membentuk koloni kecil dengan daerah hemolisis
disekelilingnya. Streptococcus dapat dibedakan dari
Staphylokokkus dengan tes katalase. Streptococcus memberikan
hasil yang negativ.
E. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari
lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan
terapi standar, biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari
5
impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun
demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes
mikrobiologi pasti akan sangat menolong.
F. Pengobatan
Pengobatan pada impetigo dilakukan secara medikamentosa dan
nonmedikamentosa, yaitu:
1. Terapi medikamentosa:
Antibiotik Dosis dan Durasi Terapi
Topikal Oleskan pada lesi 3 kali sehari
Mupirocin 2% ointment selama 3 -5 hari
Oral Dewasa: 250-500 mg 2 kali
Amoxicilin/clavulanate sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2 dosis
Cefuroxime Dewasa: 250-500 mg 2 kali
sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2 dosis
Cephalexin Dewasa: 250-500 mg 4 kali
sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2-4 dosis
Dicloxacillin Dewasa: 250-500 mg 4 kali
sehari selama 10 hari
Anak: 90 mg/KgBB per hari
dibagi dalam 2-4 dosis
Erythromicin Dewasa: 250-500 mg 4 kali
sehari selama 10 hari Anak: 90
mg/KgBB per hari dibagi
dalam 2-4 dosis
6
2. Terapi nonmedikamentosa
a) Mencegah untuk menggaruk daerah lesi. Dapat dengan menutup
daerah yang lecet dengan perban dan memotong kuku penderita.
b) Lanjutkan pengobatan sampai semua lesi sembuh
c) Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan
jarum suntik untuk mencegah penyebaran lokal.
d) Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%
pada lesi yang basah.
e) Menjaga hyegenitas dengan mandi
2.2 Selulitis
A. Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah
Staphylococcus aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A
sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Haemophilus influenza tipe
b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus.
Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang jarang
pada selulitis. Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus
sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya
disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan gram
negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur
eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan
barrier kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran
darah (buku kuning). Onset timbulnya penyakit ini pada semua usia.1
B. Patogenesis
Bakteri patogen yang menembus lapisan epidermis kulit
7
luka bakar, atau infeksi kulit lainnya, terutama oleh Streptococcus grup A
dan Staphylococcus aureus, tetapi dapat pula timbul pada pejamu (host)
memecahkan zat dasar polisakarida. Selain itu juga terjadi fibrinolitik yang
orang tua dan pada orang dengan diabetes mellitus yang pengobatannya
C. Gambaran Klinis
Lapisan kulit yang diserang adalah epidermis dan dermis. Penyakit ini
bawah. Gambaran klinis eritema lokal berwarna merah cerah pada kulit
dan sistem vena serta limfatik pada kedua ekstremitas atas dan bawah,
batas lesi tegas, dan pinggirannya meninggi dengan tanda tanda radang
akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula. Pada pemeriksaan ditemukan
8
ke proksimal. Dan jika sering residif di tempat yang sama, dapat terjadi
elephantiasis.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
bakteri,
2. Kadar BUN dan Kreatinin, untuk menilai fungsi ginjal, karena bakteri
daerah penampakan luka namun sangat membantu pada area abses atau
terdapat bula,
memenuhi beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil, tidak
9
terasa sakit, tidak ada tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi, takipnea,
E. Diagnosa
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan Fisik
- Pada lokasi yang terkena tampak eritem, edema, teraba hangat, dan
nyeri tekan.
- Dapat ditemui limfangtis, limfadenopati regional, atau keduanya.
- Suhu tubuh meningkat / demam.
- Pada kasus yang berat, pasien dapat mengalami hipotensi.
- Bisa tampak supurasi lokal jika terlambat ditangani.
- Pada selulitis perianal, yang lebih umum terjadi pada anak, didapatkan
eritema dan pruritus pada fisura perianal, juga ditemukan sekresi
purulen, nyeri saat defekasi, dan terdapat darah pada feses.
F. Pengobatan
10
Perawatan luka dengan kompres basah dengan saline atau antiseptik
krim).
Golongan penisilin dosis tinggi (Penisilin G 1,2 2,4 juta unit i.m. 2
2) Non - Medikamentosa
keluhan.
pemberian antibiotik intravena pada kasus yang berat, pada bayi, pasien
c) Pada kondisi yang sangat parah dengan nekrosis luas disertai supurasi,
bedah.
11
d) Memberikan edukasi kepada penderita yaitu diberikan informasi
mengenai perawatan kulit dan higiene kulit yang benar, misalnya mandi
teratur, minimal 2 kali sehari, jika terdapat luka hindari kontaminasi
dengan kotoran.
G. Prognosis
Pada kasus selulitis tanpa komplikasi akan memberikan prognosis baik
secara umum, dengan terapi yang cepat dan tepat. 1
2.3 Folikulitis
A. Definisi
B. Etiologi
Folikulitis dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang dapat
menyebabkan folikulitis yaitu bakteri, virus dan jamur. Folikulitis bakteri
dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus (S.aureus), Pseudomonos
aeruginosa (P.aeruginosa), dan bakteri gram negarif. Folikulitis fungal
disebabkan oleh Dermatophyta, Pityrosporum, dan Candida sp. Folikulitis
virus disebabkan oleh virus Molluscum contangiosum dan virus Herpes
simplex. Penyebab folikulitis yang paling umum menyebabkan folikulitis
adalah S.aureus. Tempat predileksi penyakit ini yang paling sering terjadi
12
pada kulit kepala anak-anak, leher, daerah janggut, aksila, ekstremitas dan
bokong pada dewasa.3,4
C. Patogenesis
Kolonisasi oleh S. Aureus mungkin terjadi secara berkepanjangan.
Staphylococuus aureus memproduksi berbagai macam komponen dan
produk ekstraselular yang dapat berkontribusi terhadap tingkat
patogenitasnya. Faktor inang seperti imunosupresi, terapi glukokortikoid
dan atopi memiliki peran besar pada patogenesis dari infeksi
staphylococcal. Adanya kerusakan jaringan sebelumnya atau inflamasi
(karena minyak ataupun pelumas dan keringat berlebihan yang menutupi
dan menyumbat saluran folikel rambut, gesekan saat bercukur atau
gesekan pakaian pada folikel rambut maupun trauma atau luka pada kulit)
adalah hal yang terpenting dalam patogenesis folikulitis karena ini
merupakan port de entry dari berbagai mikroorganisme terutama S. aureus
sebagai penyebab folikulitis. Beberapa strain S. aureus memproduksi
beberapa toksin seperti staphylococcal enterotoxins (SEA, SEB, SECn,
SED, SEE, SEG, SEH, dan SEI), toxin exfoliative (ETA dan ETB), TSS
toxin-1 (TSST-1), dan leukocidin. Toxsin ini memiliki keunikan efek yang
potent pada sel imun dan efek biologis lainnya, yang mana secara luar
biasa menginhibisi respon imun inang. TSST-1 dan enterotoxin
staphylococcal juga diketahui sebagai pyrogenic toxin superantigens.
Molekul ini bereaksi dengan berikatan secara langsung untuk secara
kontitusif mengepresikan molekul HLA-DR (sebuah komplek
histocompatibility mayor type II) pada sel presenting-antigen tanpa
pemrosesan antigen. Meskipun antigen konvesional memerlukan
pengenalan oleh kelima elemen dari kompleks reseptor sel T, super
antigen hanya membutuhkan region variable dari rantai beta.
Mengakibatkan, 5% sampai 30% T sel yang istirahat mungkin diaktivasi,
dimana pada antigen normal respon hanya 0,0001 sampai 0,01 persen T
sel. Aktivasi T sel non spesifik menyebabkan pelepsasan sitokin besar-
besaran, terutama interlukin 2, interferon gamma, dan tumor necrosis
13
factor beta dari sel T dan interlukin 1 dan tumor necrosis factor alpha dari
makrofag. Stimulasi superantigen dari sel T juga menghasilkan aktivasi
dan ekpansi dari limfosit ekspressing sepesifik sel T reseptor pada rantai
beta. Mereka mungkin mengaktifkan sel B, menyebabkan peningkatan
level dari IgE atau autoantibody. Juga terdapat kejadian dimana
superantigen secara selektif menginduksi limfosit kutaneus antigen pada
sel T yang membuat mereka berkumpul dikulit. Terdapat beberapa
mekainsme lain dimana S.Aureus lolos dari pembersihan system imun.
Sekitar 60% dari S. aureus strin, mensekresikan sekret yang merupakan
inhibitor kemotaksis protein dari staphylococci, dimana menginhibisi
kemotaksis neutrofil. Sebagai tambahan, protein A, staphylokinase,
capsular polysaccaharide, pengikat fibrinogen protein, dan clumping A
factor, semua beraksi untuk menghindari dari fagositosis dan oponiosis.
Hal tersebut yang dapat meningkatkan kontribusi untuk invasi dan
membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam jaringan.
Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan
berbagai efek pada sistem kekebalan tubuh penderita.3,6
Produk-produk yang dihasilkan pada dinding sel ini adalah asam
teichoic, peptidoglikan dan protein A. Protein A ini membantu pelekatan
bakteri pada sel inang. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc dari
IgG sebagai tambahan pada fragmen Fab pada IgE. Pada folikulitis
superfisial, populasi sel neutrofil dapat memfiltrasi pada bagian
infundibulum pada folikel rambut dan mencetuskan suatu infeksi. Ini
merupakan satu contoh yang disebut sebagai suatu invasi secara langsung.6
Selain bakteri jamur juga mempunyai jalur untuk menyebabkan
folikulitis. Jamur ini ditemukan pada stratum korneum dan folikel pilar
dimana jamur ini menggunakan lipase dan fosfolipase jamur itu sendiri
untuk menghidrolisis trigleserida dari sebum menjadi asam lemak bebas
sebagai sumber nutrisi lipid untuk metabolismenya yang akan
menyebabkan prolifesasi jamur tersebut. Jamur merupakan organisme
oportunistik yang dapat mengalami perubahan dari fase safrofit menjadi
14
fase patogen meselial dalam kondisi tertentu seperti peningkatan
temperatur, kulit yang berminyak, berkeringat dan imunosupresan.3
Komponen peradangan dari Malassezia furfur memiliki banyak
kemungkinan mekanisme. Salah satu kemungkinannya adalah Malassezia
menginduksi sitokin peradangan melalui Toll-like receptor 2 (TLR 2).
Sitokin-sitokin peradangan ini diantaranya interleukin (IL) 1, IL-6, IL-8,
IL-12, dan tumor necrosis factor (TNF) sementara itu terdapat sitokin
anti peradangan yaitu IL-4 dan IL-10. Malassezia mengaktivasi kaskade
komplemen baik dengan jalur klasik dan jalur alternatif. Mekanisme
patogenesis lainnya adalah peradangan menyebabkan kerusakan fungsi
barrier epitel oleh karena aktivitas lipase dan fosfolipase Malassezia,
sensitasi terhadap reaksi silang alergen yang diproduksi oleh Malassezia
dan faktor iritan merupakan stimulasi non immunogenic dari sistem imun.
Mekaninsme ini didukung oleh adannya peningkatan jumlah sel natural
killer (NK)1+ dan CD16+ yang ditemukan pada biopsi dari lesi-lesi di
kulit.7
D. Tipe Folikulitis
1. Folikulitis bakteri
Folikulitis bakteri dapat disebabkan oleh bakteri S.aureus ataupun
P.aeruginosa. Folikulitis yang disebabkan oleh S. aureus terjadi akibat
trauma yang berulang seperti mencukur dan waxing. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh pakaian yang ketat dan keringat yang berlebihan.
Folikulitis yang disebabkan oleh P. aeruginosa berasal didapatkan dari hot
tub tempat umum ataupun kolam renang umum.8
15
2. Folikulitis fungal
Pityrosporum folliculitis merupakan kelainan kulit yang berasal dari
pertumbuhan jamur Malassezia yang berlebihan. Malassezia
merupakan flora normal kulit. Malassezia biasanya ditemukan di
infundibulum dari kelenjar minyak di mana terdapat produksi lipid.
Malassezia biasa ditemukan pada kulit remaja oleh karena
peningkatan aktivitas kelenjar sebasea. Terdapat penelitian mengenai
frekuensi dan densitas kolonisasi jamur yang berkaitan dengan umur
dan aktivitas kelejar sebasea. Malassezia juga biasa ditemukan pada
orang yang tinggal di daerah panas dengan kelembapan yang tinggi.
Pityrosporum folliculitis lebih sering terjadi pada laki-laki.7
3. Folikulitis virus
Folikulitis virus merupakan kasus yang jarang. Folikulitis virus
disebabkan oleh virus herpes simplex dan virus molluscum
contagiousum yang menginfeksi struktur pilosebasea pada area
janggut pada laki-laki, dengan manifestasi klinis membetuk kelompok
papulovesikel eritematous ataum vesikel dengan delle.4
E. Gejala Klinis
Folikulitis adalah peradangan yang disebabkan oleh proses infeksi.
Gambaran kilinis lesi folikulitis adalah pustul atau papul yang mengalami
inflamasi. Pustul berwarna kekuningan dan dikelilingi oleh eritema.
Rambut sebagai pusat lesi mungkin dapat terlihat pada bagian tengah lesi.
16
Papul dan pustul yang awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar
seiring dengan aktivitas mencukur yang terus-menerus. Folikulitis
profunda memiliki gambaran lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi
oleh eritema dan pembengkakan. Lesi folikulitis dapat ditemukan di
daerah kulit kepala, wajah, daerah janggut, aksila, badan, pantat, pubis dan
ekstremitas. Lesi berupa pustul dan papul dapat bersifat nyeri ataupun
gatal. Selain itu juga terdapat gejala sistemik seperti demam dan terdapat
limpadenopati saat melibatkan penyeberan yang luas.9,10,11
F. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis,
pemeriksaan fisik kulit. Pemeriksaan penunjang diperlukan pada kasus-
kasus yang resisten terhadap pengobatan. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan Antara lain: kultur, pewarnaan gram, preparat KOH, dan
biopsi.5
1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis akan ditemukan riwayat trauma yang berulang seperti
mencukur dan waxing. Selain itu juga dapat disebabkan oleh pakaian yang
ketat dan keringat yang berlebihan. Folikulitis yang disebabkan oleh P.
aeruginosa berasal didapatkan dari hot tub tempat umum ataupun kolam
renang umum. Pasien akan mengeluhkan rasa gatal atau nyeri pada lesi
tersebut. Pemeriksaan fisik kulit akan ditemukan lesi pada folikel rambut
di daerah kulit kepala, dagu, ketiak dan ektremitas. Kelainan kulit diawali
dengan papul atau pustul pada folikel rambut. Papul dan pustul yang
17
awalnya berukuran kecil dapat bertambah besar seiring dengan aktivitas
mencukur yang terus-menerus. Folikulitis profunda memiliki gambaran
lesi berupa pustul folikel yang dikelilingi oleh eritema dan pembengkakan.
Selain itu, pasien mungkin merasakan gejala seperti demam dan mungkin
terdapat limpadenopati saat melibatkan penyeberan yang luas.4,9,10
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk folikulitis yang
disebabkan oleh bakteri yaitu kultur, pewarnaan Gram dan tes sensitivitas
antibiotik. Pemerikasaan preparat KOH digunakan untuk mengidentifikasi
spesies jamur.5
Pemeriksaan kultur
(a) (b)
18
Pewarnaan Gram
(a) (b)
3. Pemeriksaan Histopatologi
Secara histologis, pada kasus folikulitis superfisial terdapat
infiltrasi sel-sel inflamasi di ostium folikuler dan di daerah folikel bagian
atas. Dalam kebanyakan kasus, peradangan awalnya terdiri dari neutrofil
dan kemudian menjadi lebih beragam dengan penambahan limfosit dan
19
makrofag. Apabila infeksi adalah penyebab terjadinya folikulitis, maka
berbagai organisme dapat diidentifikasi dalam folikel.9
G. Penatalaksanaan
Folikulitis superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa
pengobatan atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan
menghindari faktor-faktor predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis.
Pada kasus yang berat, dibutuhkan penggunaan antibiotik topikal atau
sistemik.6
Folikulitis superfisial yang dapat diobati dengan antibakterial yang
mengandung chlorhexidine. Ointment antibakteri (bacitracin atau
mupirocin 2%) juga digunakan selama 7-10 hari terbatas pada daerah lesi.
Apabila terjadi kasus folikulitis stafilokokus yang menyebar luas pada
tubuh atau rekuran mupirocin ointment pada vestibulum hidung 2 kali
sehari selama 5 hari dapat mengeliminasi S. aureus carrier. Anggota
keluarga juga dapat menjadi carrier S. aureus sehingga perlu juga
pemberian ointment mupirocin atau rifampin 600 mg/hari secara oral
selama 10 hari. Jika diperlukan antibiotik, dikloksasilin atau golongan
sefalosporin merupakan antibiotik lini pertama. MRSA dapat diterapi
dengan antibiotik klindamisin, trimethoprim-sulfamethoxazole,
minocycline, atau linezolid.5,11
Folikulitis fungal dapat diobati dengan pengobatan antifungal
sistemik. Pengobatan antifungal sistemik diantaranya adalah ketokonazol
oral 200 mg perhari selama 4 minggu, flukonazol oral 150 mg per minggu
selama 2-4 minggu, dan itrakonazol 200 mg perhari selama 2 minggu.7
H. Prognosis
Folikulitis sering sembuh sendiri tanpa pengobatan atau dengan
pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor
predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Namun pada kasus yang
berat dibutuhkan penggunaan antibiotik topikal ataupun sistemik.6
20
2.4 Ektima
A. Etiologi
Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya
disebabkan oleh Streptococcus -hemolyticus grup A. Status bakteriologi
dari ektima pada dasarnya mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap
sebagai infeksi Streptococcus, karena pada banyak kasus didapatkan kultur
murni Streptococcus pyogenes. Ini didasarkan pada isolasi Streptococcus
dan Staphylococcus dan dari beberapa Staphylococcus saja.6
Streptococcus -hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau
menginfeksi secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya
kerusakan jaringan (seperti ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) dan
keadaan imunokompromis (seperti diabetes dan neutropenia) merupakan
predisposisi pada pasien untuk timbulnya ektima. Penyebaran infeksi
Streptococcus pada kulit diperbesar oleh kondisi lingkungan yang padat
dan hygiene yang buruk.6,16
B. Patogenesis
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi
kulit dan sistemik. Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus
sp. Juga terkenal sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup
A, B, C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering
ditemukan pada manusia. Kandungan M-protein pada bakteri ini
menyebabkan bakteri ini resisten terhadap fagositosis.17
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes
menghasilkan beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal
atau gejala sistemik. Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh
superantigens (SA). Antigen ini bekerja dengan cara berikatan
langsung pada molekul HLA-DR (Mayor Histocompability Complex II
(MHC II)) pada antigen-presenting cell tanpa adanya proses antigen.
Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan
kelima elemen dari kompleks reseptor sel T, superantigen hanya
memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B. Aktivasi non spesifik
21
dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor- (TNF-
), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini
menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam erythematous, hipotensi,
dan cedera jaringan.17,3
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan
atopic memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi
Staphylococcus. Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka
bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor
yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh
bakteri ini.3
C. Gambaran Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit
yang eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 3 cm) dan
beberapa hari kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar
dilepas dari dasarnya. Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul.
Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superficial dengan gambaran
punched out appearance atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan
tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi sembuh setelah beberapa minggu
dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat ditemukan pada daerah
ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.3
22
Gambar. Tahapan ektima. Lesi dimulai sebagai sebuah pustule yang kemudian
pecah membentuk ulkus.18
Gambar. Ektima. Ulkus dengan krusta tebal pada tungkai pasien yang
menderita diabetes dan gagal ginjal3
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak
bawah. Pasien biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.18
23
Anamnesis ektima, antara lain:18
2. Pemeriksaan fisis
Effloresensi ektima berupa awalnya berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta.18
Gambar. Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus
yang dangkal20
24
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan. yaitu biopsi
kulit dengan jaringan dalam untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain
itu, juda dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi.20
Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang
diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai
dari folikel pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar
dan terdapat sebukan sel PMN. Infiltrasi granulomatous perivaskuler
yang dalam dan superficial terjadi dengan edema endotel. Krusta yang
berat menutupi permukaan dari ulkus pada ektima.20
25
b. Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
c. Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari
Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
d. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg
selama 4 hari
e. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama
10 hari
f. Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7
hari. Anak : 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.
b. Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi
terlokalisir, tetapi jika luas maka digunakan pengobatan
sistemik. Neomisin, Asam fusidat 2%, Mupirosin, dan
Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan
secara topikal.18
Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan
efektif yang tidak digunakan secara sistemik, yang
menyebabkan reaksi kulit minimal, dan memiliki angka
resistensi bakteri yang rendah sehingga menjadi terapi
antibiotik lokal yang valid. Neomisin dapat larut dalam air
dan memiliki kestabilan terhadap perubahan suhu.
Neomisin memiliki efek bakterisidal secara in vitro yang
bekerja spektrum luas gram negatif dan gram positif. Efek
samping neomisin berupa kerusakan ginjal dan ketulian
timbul pada pemberian secara parenteral sehingga saat ini
penggunaannya secara topical dan oral.18
3. Edukasi
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga
kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan
penularan penyakit kulit. 18
26
F. Prognosis
Ektima sembuh secara perlahan, tetapi biasanya meninggalkan
jaringan parut (skar).1
2.5 Furunkel
A. Definisi
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
subkutan sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat.
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan yang
kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya
kejaringan sekitarnya.1,2
Gambar. Furunkel.
Gambar . Furunkulosis.
27
B. Etiologi
beberapa faktor yang lain, sehingga kerusakan dari kulit tersebut dipakai
lainnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto inokulasi dari lesi
C. Patogenesis
wajah, leher, ketiak, pantat atau paha. Bakteri tersebut masuk melalui luka,
untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi
sitokin TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang
dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal tersebut
dari sel darah putih, bakteri dan sel kulit yang mati. 2
28
Didapatkan keluhan utama dan keluhan tambahan pada perjalanan
dari penyakit furunkel. Lesi mula-mula berupa infiltrat kecil, dalam waktu
sebagai mata bisul. Nodus tadi akan melunak (supurasi) menjadi abses
keluar sebagai pus dan terbentuk fistel. Karena adanya mikrolesi baik
karena garukan atau gesekan baju, maka kuman masuk ke dalam kulit.
D. Gejala Klinis
setelah pus keluar dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga dapat berupa
berbentuk kerucut.22
29
kostitusional yang sedang, seperti panas badan, malaise, mual. Furunkel
dapat timbul di banyak tempat dan dapat sering kambuh. Predileksi dari
E. Diagnosa
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan Fisik
30
keabuan ireguler pada bagian tengah dan sembuh perlahan dengan
granulasi.23
c. Pemeriksaan Penunjang
31
F. Penatalaksanaan
Pada furunkel di bibir atas pipi dan karbunkel pada orang tua
sebaiknya dirawat inapkan. Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau
kotor dikompres dengan solusio sodium chloride 0,9%. Bila lesi telah
bersih, diberi salep natrium fusidat atau framycetine sulfat kassa steril.21,22
antibiotik.2
For 7 to 14 Days
Natural penicillins
problem
Penicillinase-resistant penicillins
32
Nafcillin 1.02.0 g IV q4h
Aminopenicillins
Amoxicillin plus clavulanic acid 875/125 mg bid; 20 mg/kg per day tid for
Cephalosporins
Erythromycin group
33
mg qd days 25
Tetracylines
Miscellaneous agents
dapat diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lain adalah
tetrasiklin, namun obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihan untuk
alergi terhadap penisilin dapat dipilih golongan eritromisin. Pada orang yang
kulit harus ditingkatkan. Jika masih berupa infiltrat, pengobatan topikal dapat
diberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibotik. Adanya penyakit yang
34
mendasari seperti diabetes mellitus, harus dilakukan pengobatan yang tepat dan
lebih komplek.21
- Proses sistemik
dari bawaan nasal bervariasi : 10%-15% pada balita 1 tahun, 38% pada
pada kulit. Perawatan kulit pada kedua tangan dan tubuh dengan air dan
digunakan dan secara hati-hari dicuci dengan air panas sebelum digunakan.
35
c. Jenis Pakaian : pakaian yang menyerap keringat, ringan dan longgar harus
seprai dan pakaian dalam pasien dengan furunkulosis atau karbunkel dan
keluarganya. Pakaian secara terpisah dicuci dalam air hangat dan diganti tiap
hari.
pasien agar tidak melakukan pekerjaan rutin regular. Terutama pada individu
dengan stres emosional dan kelelahan fisik. Liburan selama beberapa minggu,
idealnya pada iklim sejuk atau kering akan membantu dengan cara
fusidat yang dioleskan pada hidung dua kali sehari setiap minggu
36
keempat pada pasien dan anggota keluarganya yang merupakan karier
G. Prognosis
37
2.6 Karbunkel
A. Definisi
B. Etiopatogenesis
Karbunkel umumnya disebabkan oleh infeksi dari bakteri
Staphylococcus aureus dari famili staphylococcus. Bakteri ini berbentuk
bulat dengan diameter 0.5-1.5 m, bergerombol seperti anggur, tidak
memiliki kapsul, nonmotil, katalase positif, dan pada perwarnaan gram
tampak berwarna ungu. Bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi dan
penyakit serius lainnya seperti pneumonia, meningitis, osteomielitis, dan
endokarditis.3
Infeksi ini bersifat menular dan dapat menyebar ke area tubuh yang
lain maupun menular ke orang lain. Karbunkel sangat mudah tertular
melalui kontak kulit ke kulit. Pada kebanyakan kasus, karbunkel terbentik
karena infeksi Staphylococcus aureus pada folikel rambut menjadi
meluas dan mendalam.3
38
Klasifikasi dari infeksi bakterial pada folikel rambut3
C. Faktor resiko
Walaupun setiap orang termasuk orang yang sehat dapat terkena
furukel atau karbunkel, beberapa faktor ini dapat meningkatkan resiko:3
1. Karier Staphylococcus aureus kronik (pada hidung, aksila, perineum, dan
vagina)
2. Menderita diabetes. Pada pasien dengan diabetes terjadi gangguan fungsi
leukosit sehingga membuat tubuh sulit untuk melawan infeksi.
3. Higienitas diri yang buruk
4. Pakaian yang terlalu ketat. Penggunaan pakaian yang terlalu ketat dapat
menyebabkan iritasi pada kulit yang menyebabkan bakteri mudah masuk
dan menginfeksi tubuh.
39
5. Kondisi kulit tertentu. Adanya kerusakkan barier protektif kulit, masalah
kulit seperti jerawat, dermatitis, scabies, atau pedukulosis membuat kulit
rentan menjadi furunkel atau karbunkel.
6. Penggunaan kortikosteroid. Hal ini terkait dengan efek kortikosteroid
berupa supresi sistem imun tubuh. Sehingga tubuh tidak dapat melindungi
diri dari infeksi bakteri.
7. Defek fungsi netrofil seperti pada pasien yang mendapatkan obat
kemoterapi ataumendapat obat omeprazole.
8. Penyakit imunodefisiensi primer seperti penyakit granulomatosa
kronik, sindrom Chediak-Higashi, defisiensi C3,
hiperkatabolisme C3, hipogammaglobulinemia transient, timoma
dengan imunodefisiensi, dan sindrom Wiskott-Aldrich.
D. Manifestasi Klinis
Terdapat papul folikuler kecil kemerahan atau pustula dan disertai
dengan indurasi. Ditandai pula dengan adanya perubahan warna kulit
menjadi kemerahan, terdapat nyeri, dan sensasi panas yang bersifat lokal
di daerah lesi. Pustula ini kemudian dapat menyebabkan sumbatan
(pustular plug). Indurasi dapat melunak dan kemudian menjadi abses.
Gejala inflamasi cepat mereda dan sembuh dalam 1 sampai 2 minggu
setelah telah terjadi pengeluaran atau discharge dari nanah/pus. Infeksi
awal yang telah sembuh ini akan menimbulkan bekas luka kecil. Apabila
terjadi infeksi berulang, inflamasi dapat menyebar hingga ke beberapa
folikel rambut perifer dan kemudian muncul nodul berbentuk kubah,
kemerahan atau bengkak indurasi dengan beberapa sumbatan pustular
diatasnya. Hal ini umumnya disertai pula dengan nyeri, demam dan
kelemahan sistemik.3
40
Gambar. Karbunkel. Lesi menunjukkan furunkel konfluen multipel dengan
beberapa opening yang mengeluarkan nanah (pus)3
E. Diagnosis
Pasien datang dengan keluhan berupa pembengkakkan yang
berwarna kemerahan dan nyeri. Dari pemeriksaan didapatkan lesi tersebut
terjadi pada folikel rambut. Diagnosa dapat dipastikan bila terdapat
sumbatan pustular (pustular plug) di tengah lesi. Pada pemeriksaan
laboratorium biasanya ditemukan leukositosis dengan Staphylococcus
aureus sebagai penyebab utama. Pemeriksaan histologis dari karbunkel
menunjukkan proses inflamasi dengan PMN yang banyak di dermis dan
lemak subkutan. Pada karbunkel, abses multiple yang dipisahkan oleh
trabekula jaringan ikat menyusup dermis dann melewati sepanjang
pinggiran folikel rambut, mencapai permukaan melalui lubang pada
epidermis yang terkikis. Diagnosa dapat d itegakkan berdasarkan
gambaran klinis yang dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan
kultur bakteri. Pewarnaan gram akan menunjukkan sekelompok kokus
berwarna ungu (gram positif) dan kultur bakteri pada medium agar
darah domba memberikan gambarankoloni yang lebar (6 -8 mm),
permukaan halus, sedikit cembung, dan warna kuning keemasan.3
F. Penatalaksanaan
Pengobatan karbunkel sama saja dengan pengobatan furunkel.
Karbunkel atau furunkel dengan selulitis disekitarnya atau yang disertai
41
demam, harus diobati dengan antibiotik sistemik (lihat tabel 1). Untuk
infeksi berat atau infeksi pada area yang berbahaya, dosis
antibiotik maksimal harus diberikan dalam bentuk perenteral.
Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus
(MRSA) atau dicurigai infeksi serius, dapat diberikan vankomisin
(1 sampai 2 gram IV setiap hari dalam dosis terbagi). Pengobatan
antibiotik harus berlanjut paling tidak selama 1 minggu.3
Bila lesi besar, nyeri dan fluktuasi, insisi dan drainase diperlukan. Bila
infeksi terjadi berulang atau memiliki komplikasi dengan komorbiditas,
kultur dapat dilakukan. Terapi antimikrobial harus dilanjutkan sampai semua
bukti inflamasi berkurang dan berubah apalagi ketika hasil kultur tersedia.
Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk mencegah autoinokulasi dan
mencuci tangan harus sering dilakukan. Pasien dengan furunkulosis atau
karbunkel berulang harus dimanajemen secara khusus.3
42
Tabel. Manajemen tatalaksana karbunkel berulang
43
purulen pada pakaian tersebut, pakaian tersebut harus dibuang dengan
hati-hati ke dalam kantong tertutup dan dibuang secepatnya.
5. Manajemen masalah umum
Untuk mengurangi kemungkinan siklus lesi rekuren. Terkadang dapat
dihindari dengan menyuruh pasien agar tidak melakukan pekerjaan rutin
mereka. Hal ini terutama dikhususkan pada individu dengan stress
emosional yang tinggi dan kelelahan fisik. Liburan selama beberapa
minggu, idelanya pada iklim sejuk atau kering dapat membantu.
6. Pertimbangkan hal yang bertujuan untuk mengeliminasi Staphylococcus
aureus (baik yang peka maupun resisten methicillin) dari hidung (dan
kulit):
a. Penggunaan salep lokal pada vestibulum nasalis dapat
mengurangi Staphylococcus aureus pada hidung dan secara
sekunder mengurangi sekelompok organism pada kulit, sebuah
proses yang dapat menyebabkan rekurensi. Pemakaian secara
intranasal dari salep mupirocin calcium 2% dalam base paraffin
yang lembut selama 5 hari dapat membantu mengeliminasi
Staphylococcus aureus pada hidung sekitar 70%.
b. Antibiotik oral (misalnya rifampisin 600 mg PO tiap hari selama
10 hari) efektif dalam mengeradikasi Staphylococcus aureus
pada kebanyakan nasal carrier. Penggunaan rifampisin untuk
mengeradikasi Staphylococcus aureus pada hidung dan
menghentikan rekurensi merupakan alasan utama bila bentuk
pengobatan lain gagal. Walau begitu, strain yang resisten
rifampisin dapat munvul kembali. Hal ini dapat diatasi dengan
penambahan obat kedua (seperti dikloxacillin untuk
Staphylococcus aureus yang peka methicillin; dan
trimethoprimsulfametaxole, siprofloksasin, atau minosiklin bagi
Staphylococcus aureus yang resisten methicillin) telah digunakan
untuk mengurangi resistensi rfampisin dan menurunkan resiko
rekurensi.
44
BAB III
KESIMPULAN
45
DAFTAR PUSTAKA
2008.
3. Craft N, Lee kp, Zipli TM, Weinberg NA, Swartz NM JA. Superficial
Croat; 2011.
Aesthetic.
States of America
10. Falco B PG. Dermatology and Venerologie. 4th ed. New York: Spinger
11. Fred FF. Bacterial Skin Infection In Fems Color Atlas and Text of Clinical
46
12. Joe L, Sarah F AJ. Attenuated Virulence and Bioflm Formation in
13. Jeanne MM, Jenna MR, Lucas CR, Steven R, Weishalla MM. A
Bacteria.; 2009.
14. Hossain MG, Saha S, Rahman MM, Singha JK MA. Isolation Identification
Bangladesh.; 2013.
17. Ciller Katarina SB and MG. Skin Microflora and Bacterioal Infection of
20. Siregar R.S ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Di Rumah Sakit. Surabaya: SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU
Haji; 2009.
22. Sunarso S. Furunkel. In: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Penyakit
47
23. Al CP. et. Bacterial Infection. In: Harry L.A et Al, Editor . Andrews
Disease of The Skin: Clinical Dermatology. 10th ed. (Harry L.A et, ed.).
48