Anda di halaman 1dari 40

Perang Dingin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Untuk kegunaan lain, lihat Perang Dingin (disambiguasi).

Presiden AS Ronald Reagan (kiri) dan Sekretaris Jenderal Soviet Mikhail Gorbachev, bertemu di Jenewa pada
tahun 1985.

Bagian dari seri tentang

Sejarah Perang Dingin

Asal Perang Dingin

Perang Dunia II
Konferensi perang
Blok Timur
Tirai Besi

Perang Dingin (19471953)

Perang Dingin (19531962)

Perang Dingin (19621979)

Perang Dingin (19791985)

Perang Dingin (19851991)

Garis waktu Konflik


Historiografi
Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War, bahasa Rusia: , kholodnaya voyna,
19471991) adalah sebutan bagi suatu periode terjadinya
ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan
sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu negara-
negara satelitnya. Peristiwa ini dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman
Nazi di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai
dua negara adidayadi dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar. Uni
Soviet, bersama dengan negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya, membentuk Blok Timur.
Proses pemulihan pasca-perang di Eropa Baratdifasilitasi oleh program Rencana Marshall Amerika
Serikat, dan untuk menandinginya, Uni Soviet kemudian juga membentuk COMECON bersama
sekutu Timurnya. Amerika Serikat membentuk aliansi militer NATO pada tahun 1949, sedangkan
Uni Soviet juga membentuk Pakta Warsawa pada tahun 1955. Beberapa negara memilih untuk
memihak salah satu dari dua negara adidaya ini, sedangkan yang lainnya memilih untuk tetap netral
dengan mendirikan Gerakan Non-Blok
Peristiwa ini dinamakan Perang Dingin karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat dalam aksi
militer secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang dapat
menyebabkan kehancuran besar. Perang Dingin juga mengakibatkan ketegangan tinggi yang pada
akhirnya memicu konflik militer regional seperti Blokade Berlin (19481949), Perang Korea (1950
1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin 1961, Krisis Rudal Kuba (1962), Perang Vietnam (1959
1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang Afganistan (19791989), dan penembakan Korean Air
Penerbangan 007 oleh Soviet (1983). Alih-alih terlibat dalam konflik secara langsung, kedua belah
pihak berkompetisi melalui koalisi militer, penyebaran ideologi dan pengaruh, memberikan bantuan
kepada negara klien, spionase, kampanye propaganda secara besar-besaran, perlombaan nuklir,
menarik negara-negara netral, bersaing di ajang olahraga internasional, dan kompetisi teknologi
seperti Perlombaan Angkasa. AS dan Uni Soviet juga bersaing dalam berbagai perang proksi;
di Amerika Latin dan Asia Tenggara, Uni Soviet membantu revolusi komunis yang ditentang oleh
beberapa negara-negara Barat, Amerika Serikat berusaha untuk mencegahnya melalui pengiriman
tentara dan peperangan. Dalam rangka meminimalkan risiko perang nuklir, kedua belah pihak
sepakat melakukan pendekatan dtente pada tahun 1970-an untuk meredakan ketegangan politik.
Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan diplomatik, militer, dan
ekonomi terhadap Uni Soviet di saat negara komunis itu sedang menderita stagnasi perekonomian.
Pada pertengahan 1980-an, Presiden Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev, memperkenalkan
kebijakan reformasi liberalisasi perestroika ("rekonstruksi, reorganisasi", 1987)
dan glasnost("keterbukaan", ca. 1985). Kebijakan ini menyebabkan Soviet dan negara-negara
satelitnya dilanda oleh gelombang revolusi damai yang berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada
tahun 1991, dan pada akhirnya menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan militer
yang dominan di dunia. Perang Dingin dan berbagai peristiwa yang menyertainya telah
menimbulkan dampak besar terhadap dunia dan sering disebutkan dalam budaya populer,
khususnya dalam media yang menampilkan tema spionase dan ancaman perang nuklir.

Daftar isi
[sembunyikan]

1Asal istilah
2Latar belakang
3Akhir Perang Dunia II (19451947)
o 3.1Konferensi pasca-perang di Eropa
o 3.2Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang
o 3.3Awal Blok Timur
o 3.4Persiapan untuk "perang baru"
4Permulaan Perang Dingin (19471953)
o 4.1Kominform dan perpecahan TitoStalin
o 4.2Kontainmen dan Doktrin Truman
o 4.3Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia
o 4.4Blokade Berlin
o 4.5Awal NATO dan Radio Free Europe
o 4.6Perang Saudara Cina dan SEATO
o 4.7Perang Korea
5Krisis dan peningkatan (1953-1962)
o 5.1Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi
o 5.2Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria
o 5.3Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa
o 5.4Persaingan di Dunia Ketiga
o 5.5Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa
o 5.6Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi
o 5.7Krisis Berlin 1961
o 5.8Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev
6Konfrontasi melalui dtente (19621979)
o 6.1Pengunduran diri Perancis dari NATO
o 6.2Invasi Cekoslowakia
o 6.3Doktrin Brezhnev
o 6.4Krisis di Dunia Ketiga
o 6.5Perbaikan hubungan Cina-Amerika
o 6.6Nixon, Brezhnev, dtente, dan Penembakan Pesawat Korean Air Lines Penerbangan 902
o 6.7Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an
7"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)
o 7.1Perang Soviet-Afganistan
o 7.2Reagan dan Thatcher
o 7.3Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia
o 7.4Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS
8Tahun-tahun terakhir (19851991)
o 8.1Reformasi Gorbachev
o 8.2Perbaikan hubungan
o 8.3Goyahnya sistem Soviet
o 8.4Pembubaran Uni Soviet
9Dampak
10Historiografi
11Lihat juga
12Catatan kaki
13Referensi dan bacaan lanjutan
o 13.1Historiografi dan memori
o 13.2Sumber primer
14Pranala luar

Asal istilah[sunting | sunting sumber]


Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah perang
dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul "You and the Atomic Bomb" (Anda dan
Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada tanggal 19 Oktober 1945. Esai
tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir. Orwell menulis:
"Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya telah
memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan dirinya
dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies lainnya
untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan
berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat dunia secara
keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade terakhir tidak menuju ke arah anarki,
namun ke arah pemberlakuan kembali perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah
pengrusakan umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James
Burnham telah banyak dibahas, namun sebagian kecil orang belum menganggapnya
sebagai implikasi ideologi. Jenis pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur
sosial mungkin akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan menegakkannya dalam
"perang dingin" permanen dengan tetangganya."[1]
Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi Moskow
Desember lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin' terhadap Britaniadan Imperium
Britania."[2]
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni
Soviet dan negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-
Perang Dunia II dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika
dan penasihat presiden.[3] Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16 April
1947,[4] Baruch menyatakan bahwa: "Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah
perang dingin."[5] Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter
Lippmann menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang
berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah "perang
dingin", ia menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Perancis dari tahun 1930-
an, la guerre froide.[6]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Awal Perang Dingin

Informasi lebih lanjut: Ketakutan Merah dan Permainan Besar

Pasukan Amerika di Vladivostok, Agustus 1918, selama intervensi Sekutu dalam Perang Saudara
Rusia.

Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian
besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II
berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang
akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa
lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19.[7]
Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya
dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi
internasional.[8] Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para
kapitalis yang bermusuhan", dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan
Soviet dari musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan
pergolakan revolusioner di luar Soviet.[9]
Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan
sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus
digantikan oleh dominasi sosialis."[10] Pada awal 1925, Stalinmenyatakan bahwa ia memandang
politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-
negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-
negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode "stabilisasi
sementara kapitalisme" menjelang keruntuhannya.[11]
Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling
ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi
umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.[12] Ada dukungan dari
Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia,[7] pemberian dana
oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania
Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,[13] deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup
berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan,[14] tuduhan adanya
konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Perancis
memicu kudeta,[15] penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun
1933,[16]dan Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta
tuduhan atas adanya spionase dari Britania, Perancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-
peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.[17]
Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil
keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania
menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal
dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat
program Lend-Lease nya.[18]
Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania
dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban
terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu
Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk
beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian,
persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan
dengan pihak Sekutu.[19]

Akhir Perang Dunia II (19451947)[sunting | sunting sumber]


Konferensi pasca-perang di Eropa[sunting | sunting sumber]

"Tiga Besar" di Konferensi Yalta: Winston Churchill, Franklin D. Roosevelt dan Joseph Stalin, 1945.
Informasi lebih lanjut: Konferensi Teheran dan Konferensi Yalta
Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan
perbatasan di Eropa.[20] Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai
pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pasca-perang.[20]Sekutu Barat menginginkan
sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang
memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi
internasional.[21]
Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia,[22] serta besarnya jumlah
korban tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama
Perang Dunia II,[23] Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi
urusan dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.[20][24]
Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia
pasca-perang. Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi
ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah
organisasi perdamaian dunia - lebih bersifat global dibandingkan dengan Churcill, yang visinya
berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan keberlangsungan
Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk menjadikannya
sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.[25]
Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk
mencapai tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai
ancaman terbesar dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar
negara-negara Eropa Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua
pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi antara
Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak melakukan negosiasi secara terpisah
dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churcill melakukan perjalanan ke Moskow dan
sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama
kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin
mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churcill dalam isu dan
Reparasi Polandia.[25]

Zona pendudukan Sekutu di Jerman pasca-perang.

Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pasca-
perang berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun konferensi ini
juga gagal mencapai konsesus mengenai kerangka kerja pasca-perang di Eropa.[26] Pada bulan
April 1945, Churcill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk
menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin,
saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol oleh Soviet.[27]
Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki
Eropa Timur,[26] sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa
Barat. Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya
dan Perancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi
wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.[28]
Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai
pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas
penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan
anggotanya untuk menggunakan hak veto.[29] Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah
menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara
eksklusif sebagai tribun propaganda.[30]
Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang[sunting | sunting sumber]
Winston Churchill, Harry S. Trumandan Joseph Stalin di Konferensi Potsdam, 1945.

Informasi lebih lanjut: Konferensi Potsdam dan Menyerahnya Jepang


Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman,
perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa
Timur.[31] Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh
satu sama lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan
mempertahankan kubu mereka masing-masing.[32] Dalam konferensi ini, Truman memberitahu
Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.[33]
Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat
bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin
menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan
menyatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan
Jepang.[33]Satu minggu setelah berakhirnya Konferensi Potsdam, Amerika Serikat membom
Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi
Amerika Serikat karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh
Presiden Truman kepada Soviet.[34]
Awal Blok Timur[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Blok Timur
Perubahan wilayah pasca-perang di Eropa Timur dan pembentukan Blok Timur, yang dijuluki "Tirai
Besi".

Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur dengan
mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya
diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini
termasuk Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang
berbeda),[35][36] Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia),[37] Latvia (menjadi RSS
Latvia),[35][36] Lithuania (menjadi RSS Lithuania),[35][36] bagian timur Finlandia (menjadi RSS
Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).[38][39]
Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya
juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit,[40] negara-
negara ini di antaranya Jerman Timur,[41] Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat
Bulgaria, Republik Rakyat Hongaria,[42] Republik Sosialis Cekoslowakia,[43] Republik Rakyat
Romania, dan Republik Rakyat Albania.[44]
Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi
sistem ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan
oleh Joseph Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan
potensial.[45] Di Asia, Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir
perang, dan melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.[46]
Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin
oleh Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di
Blok Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.[47] Jika muncul sedikit saja semangat
kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari
kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.[48]
Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan Soviet
yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet Joseph
Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat.[49] Pada bulan
April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk
"memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada Rusia".[50] Namun
rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber daya militer.[49]
Persiapan untuk "perang baru"[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Artikel X dan Tirai Besi
Pada bulan Februari 1946, laporan "Telegram Panjang" George F. Kennan dari Moskow
membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam
melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama
Perang Dingin.[51] Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov, yang dikirim
oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini ditugaskan dan
juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS "berada dalam
cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer dalam rangka
mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah perang baru".[52]
Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang
menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di
Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk
mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa.[53] Sebulan kemudian, Byrnes
mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk memenangkan
hati warga Jerman [...] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan Rusia [...]"[54]
Beberapa minggu setelah dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania
Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi", dalam sebuah pidato
di Fulton, Missouri.[55] Dalam pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika
bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai besi" dari
"Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik".[40][56]
Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur
dan Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang
diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi militer
Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan
kesungguhan usulan ini.[57]

Permulaan Perang Dingin (19471953)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (19471953)
Kominform dan perpecahan TitoStalin[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Kominform dan Perpecahan TitoStalin
Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Kominform, yang tujuannya adalah untuk
menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik
atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok
Timur.[58] Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan
TitoStalin, yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi
negara komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.
Kontainmen dan Doktrin Truman[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kontainmen dan Doktrin Truman
Aliansi militer Eropa.

Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil
langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya Stalin
(ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika Serikat
melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang lain.[59] Bulan
Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak sanggup lagi
membiayai rezim militer monarki Yunanidalam Perang Saudara Yunani untuk melawan
pemberontak komunis.
Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan
mengadopsi kebijakan kontainmen,[60] yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan
penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar
$ 400 untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan
meluncurkan Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes
antara masyarakat bebas dan rezim totaliter.[60] Meskipun kenyataannya para pemberontak
komunis mendapat bantuan dari pemimpin Yogoslavia Josip Broz Tito,[16] AS menuduh bahwa
Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan royalis dalam upayanya untuk
memperluas pengaruh Soviet.[61]
Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus
kebijakan luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada
kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang
Vietnam.[62][63] Partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai
memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat,[64]sedangkan Komunis
Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, telibat dalam operasi intelijen,[65] operasi ini
tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini
mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal
dari aktivis anti-Perang Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir.[66]
Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia[sunting | sunting sumber]
Peta era Perang Dingin di Eropa dan Timur Dekat, menunjukkan negara-negara yang menerima
bantuan Rencana Marshall. Kolum merah menunjukkan jumlah relatif bantuan yang diterima per
negara.

Aliansi perekonomian Eropa.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rencana Marshall dan Kudeta Cekoslowakia 1948
Pada awal 1947, Britania, Perancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan
dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk
jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah
dihancurkan oleh Sekutu selama perang.[67] Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman,
Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan
ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni Soviet.[67]
Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian
Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa.[68] Rencana ini juga menyatakan
bahwa kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman.[69] Satu bulan
kemudian, Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947,
membentuk Departemen Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal
ini selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.[70]
Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok
Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS berusaha untuk
membeli Eropa agar berpihak kepada AS.[58] Oleh sebab itu, Stalin melarang negara-
negara Blok Timur menerima bantuan Marshall.[58] Alternatif Uni Soviet dalam menandingi
Rencana Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa
Timur, adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian dilembagakan pada bulan
Januari 1949 dengan nama Comecon).[16] Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS untuk
merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap Jerman tidak mencakup hal ini, karena
Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan
menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni Soviet.[71]
Pada awal 1948, menyusul laporan yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia,
Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok
Timur yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya.[72][73] Kebrutalan
publik dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres
Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet untuk
menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.[74]
Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan
ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS, militer
Yunani berhasil memenangkan perang saudara.[70] Partai Demokrasi Kristen Italia juga sukses
mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948.[75] Pada saat yang
bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok Timur, dan
pengusiran diplomatik.[76]
Blokade Berlin[sunting | sunting sumber]

C-47s melakukan pembongkaran di Bandar Udara Tempelhof di Berlin selama berlangsungnya


Blokade Berlin.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Blokade Berlin


Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi
Bizonia (1 Januari 1947, kemudian menjadi Trizonia setelah zona pendudukan Perancis juga
digabungkan pada bulan April 1949).[77] Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali
perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat dan
Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah pendudukan
Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal.[78] Selain itu, sesuai dengan Rencana
Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali perekonomian Jerman
bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark untuk menggantikan
mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh Soviet.[79]
Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 - 12 Mei 1949), salah
satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus
akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin
Barat.[80] Amerika Serikat, Britania, Perancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa
negara lainnya memulai bantuan udara besar-besaran untuk memasok Berlin Barat dengan
makanan dan perlengkapan lainnya.[81]
Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat.
Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal
di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946),[77] yang diselenggarakan pada
tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus kemenangan besar bagi
partai non-Komunis.[82] Hasil ini secara efektif membagi Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin
Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjukrasa dan mendesak agar bantuan udara
internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan,[83] dan pilot US Air Force Gail Halvorsenkemudian
menanggapinya dengan membentuk Operasi Permen untuk memasok permen bagi anak-anak
Jerman.[84] Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin.[47][85]
Awal NATO dan Radio Free Europe[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: NATO, Radio Free Europe/Radio Liberty,
dan Penyebaran informasi Blok Timur

Presiden Truman menandatangani Amendemen Undang-Undang Keamanan Nasional 1949 dengan


para tamu di Oval Office.

Britania, Perancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat
menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan North
Atlantic Treaty Organization (NATO).[47] Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama
diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhtan.[16] Setelah Soviet menolak untuk berpartisipasi
dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa
Barat pada tahun 1948,[78][86]AS, Britania, dan Perancis mempelopori pembentukan Jerman
Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan April 1949.[31][87] Soviet
kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian Republik Demokratik Jerman di
zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober.[31]
Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung
dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan
usaha milik negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian
besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal.[88] Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis
untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang terhadap
imperialisme.[89]
Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America ke
Eropa Timur,[90] upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan
dibentuknya Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan
mengenai era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.[91] Radio Free Europe berusaha
untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio pengganti, serta
menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi oleh partai.[91] Radio
Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling menonjol dari strategi
Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa Perang Dingin pada
akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti George F. Kennan.[92]
Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa
Perang Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan.[92]Amerika Serikat,
dibantu oleh CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis
bagi kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain,
mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya.[93] CIA diam-diam juga
mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk
Kebebasan.[94]
Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun
1955, AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO.[31]Sebelumnya, bulan Mei
1953, Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.[95]
Perang Saudara Cina dan SEATO[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Perang Saudara Cina dan Pakta Pertahanan Asia Tenggara

Mao Zedong dan Joseph Stalin di Moskow, Desember 1949

Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan
Pemerintahan Nasionalis Kuomintang(KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika
Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat
Tiongkok yang baru terbentuk.[96] Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke
kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkok dan akhir dari
monopoli atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas
dan meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.[16] Dalam NSC-68, sebuah
dokumen rahasia pada tahun 1950,[97] disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional
mengusulkan untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran
pertahanan.[16]
Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia,
Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya
dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang
dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.[98] Pada awal 1950-an (periode
ini kadang dikenal dengan Pactomania), AS membentuk serangkaian aliansi dengan Jepang,
Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina (terutama ANZUS pada tahun 1951
dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer
jangka panjang di negara-negara tersebut.[31]
Perang Korea[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Korea
Jenderal Douglas MacArthur, Komandan CiC PBB (duduk), mengamati penembakan
laut Incheondari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.

Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah
pecahnya Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan
dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan.[99] Joseph Stalin merencanakan, mempersiapkan,
dan memulai invasi tersebut,[100] menyusun rencana [perang] dengan rinci yang kemudian
dikirimkan kepada Korea Utara.[101][102][103][104] Untuk mengejutkan Stalin,[16] Dewan Keamanan
PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian
memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di dewan,
bukannya Komunis Cina.[105] Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari Korea Selatan, AS,
Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Perancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda, Belgia,
Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.[106]
Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur
militer.[107] Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar
menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi
perang besar dengan Komunis Cina, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang
berbeda mengenai perang ini seringkali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania
Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik dengan
mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan penarikan
semua pasukan asing.[108]
Meskipun Cina dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk
mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang,
dan gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.[31] Pemimpin
Korea Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di
Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus
kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya.[109][110] Di Korea Selatan,
pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem
pemerintahan totaliter.[111] Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di
bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem multi-
partai pada tahun 1987.

Krisis dan peningkatan (1953-1962)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (19531962)
Kekuatan tentara NATO dan Pakta Warsawa di Eropa pada tahun 1959.

Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser
dinamika Perang Dingin.[112]Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada
bulan Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan Amerika
Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga
dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.[16]
Setelah kematian Joseph Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi
dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy
Malenkov dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan
delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan
Stalin.[113] Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya
cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan
yang dilakukannya pada masa lalu.[70]
Pada tanggal 18 November 1956, saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah
resepsi di kedutaan Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya:
"Entah kalian suka atau tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur kalian",
pernyataannya ini mengejutkan semua tamu yang hadir.[114] Khrushchev kemudian mengklaim
bahwa ia tidak membicarakan mengenai perang nuklir, melainkan mengenai kemenangan
komunisme atas kapitalisme.[115] Tahun 1961, Khrushchev menyatakan: "bahkan jika Uni Soviet
berada di belakang Barat, dalam satu dekade kekurangan perumahan akan lenyap, barang-
barang konsumsi akan melimpah, dan dalam dua dekade, pembangunan masyarakat komunis
di Uni Soviet akan selesai".[116]
Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan "New Look"
sebagai strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih mengandalkan
senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya pada masa perang.[70] Dulles juga menyerukan
doktrin "pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi
Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah
ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur
Tengah pada tahun 1956.[16]
Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pakta Warsawa dan Revolusi Hongaria
Peta negara-negara Pakta Warsawa.

Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai,
meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif.[117] Soviet, yang sudah membentuk jaringan
perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949,[118] juga membentuk suatu
aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.[31]
Revolusi Hongaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan
pemimpin Stalinis Hongaria Mtys Rkosi.[119] Sebagai tanggapan terhadap
pemberontakan,[120] rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan
niatnya untuk menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan
umum yang bebas. Tentara Soviet mulai menyerbu.[121] Ribuan warga Hongaria ditangkap,
dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet,[122]dan lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar
Hongaria.[123] Pemimpin Hongaria Imre Nagy dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses
dalam sebuah persidangan rahasia.[124]
Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat
dengan pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul
daripada Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun,
Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan bahwa
tujuan barunya adalah untuk "hidup berdampingan secara damai".[125] Kebijakan ini berbeda
dengan Soviet pada era Stalin, di mana perjuangan kelas internasional berarti bahwa kedua
kubu yang berlawanan berada pada konflik tak terelakkan dengan komunisme yang akan
menang melalui perang global. Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk
menghadapi keruntuhannya sendiri,[126] dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk
meningkatkan kemampuan militer mereka,[127] yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai
munculnya era "pemikiran baru" Gorbachev.[128]
Peristiwa di Hongaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa
Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara
Barat dan komunis merasa kecewa dengan respon brutal Soviet.[129] Partai komunis di Barat
tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hongaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang
segera diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang menyatakan
bahwa: "luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hongaria terhadap komunisme tidak pernah benar-
benar sembuh".[129]
Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa[sunting | sunting sumber]
Wilayah-wilayah di dunia yang berada di bawah pengaruh Soviet setelah Revolusi Kuba tahun 1959
dan sebelum perpecahan Sino-Soviettahun 1961.

Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi "kota
yang independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini membuat Amerika Serikat, Britania, dan
Perancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih
diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman
Timur. Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong bahwa "Berlin adalah
testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat Barat menjerit, maka saya akan meremas
Berlin."[130] NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan Desember dan
Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.[131]
Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang
merupakan produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi, dan militer
Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu,
takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan dtente terpisah dari Uni Soviet, yang
bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan Barat.[132]
Persaingan di Dunia Ketiga[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kudeta Iran 1953, Kudeta Guatemala 1954, Krisis
Kongo, Dekolonisasi, dan Gerakan Non-Blok

Perangko Soviet tahun 1961 yang menuntut kebebasan bagi negara-negara Afrika.
Perangko Soviet tahun 1961 intuk memperingati Patrice Lumumba, perdana menteri Republik Kongo.

Gerakan nasionalis di beberapa negara seperti Guatemala, Indonesia dan Indocina seringkali
bersekutu dengan kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat dibantu oleh
komunis.[70] Dalam konteks ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin meningkatkan
persaingan mereka untuk menyebarkan pengaruh dengan cara mencari proksi di Dunia Ketiga,
dan ini bertepatan dengan momentum dekolonisasi pada tahun 1950-an dan awal 1960-
an.[133] Selain itu, Soviet terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.[134] Kedua belah
pihak mulai melakukan pengiriman dan penjualan senjata kepada negara-negara Dunia Ketiga
untuk mendapatkan pengaruh.[135]
Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency (CIA) untuk menyusup ke dalam
pergolakan politik di Dunia Ketiga dan juga untuk mendukung sekutu mereka.[70] Pada tahun
1953, CIA melaksanakan Operasi Ajax, sebuah operasi rahasia yang bertujuan untuk
menggulingkan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh yang menganut
prinsip Non-Blok telah menjadi nemesis Timur Tengah bagi Britania sejak ia menasionalisasi
perusahaan minyak Anglo-Iranian Oil Company milik Britania pada tahun 1951. Winston
Churchill mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh "semakin beralih ke
komunisme".[136][137][138][139] Shah yang pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian naik
jabatan sebagai monarki otokratik.[140] Kebijakan Shah yang baru ini di antaranya melarang
aktivitas partai komunis Tudeh dan penekanan perbedaan pendapat politik oleh SAVAK, badan
keamanan dan intelijen dalam negeri Shah.
Di Guatemala, sebuah kudeta militer yang didukung CIA berhasil menggulingkan presiden
sayap kiri Jacobo Arbenz Guzmn pada tahun 1954.[141] Pemerintah pasca-Arbenz yang
dipimpin oleh Carlos Castillo Armas mengembalikan semua properti milik AS yang
dinasionalisasi, membentuk Komite Nasional Pertahanan Melawan Komunisme, dan
mendekritkan Hukum Pidana Pencegahan Terhadap Komunisme atas permintaan Amerika
Serikat.[142]
Presiden Indonesia, Soekarno, yang menganut prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada
ancaman besar pada awal tahun 1956, ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut
otonomi dari Jakarta. Setelah proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk
menyingkirkan mereka yang membangkang. Pada bulan Februari 1958, komandan militer
di Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Husein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual)
mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang
bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya
dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pertumbuhan pengaruh
dari Partai Komunis Indonesia. Karena retorika anti-komunis mereka, pemberontakan mereka
mendapat bantuan senjata, dana, dan bantuan lainnya dari CIA. Hal ini terbukti saat pesawat
Amerika yang dipiloti oleh Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di Ambon pada bulan April
1958. Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi militer lewat laut dan udara
melalui Padang dan Manado. Pada akhir 1958, para pemberontak berhasil dikalahkan, dan
pemberontak yang tersisa menyerahkan diri pada bulan Agustus 1961.[143]
Di Irak, Abd al-Karim Qasim menggulingkan monarki Hashemite pada tahun 1958 dan
membangun aliansi dengan Partai Komunis Irak dan Uni Soviet.[144] Meskipun Partai
Ba'ath yang anti-komunis adalah faksi dominan dalam kabinet Qasim,[145] AS mulai khawatir
bahwa pemberontakan mungkin akan menginspirasi "reaksi berantai" di seluruh Timur
Tengah.[146] Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk alasan mereka
sendiri,[147] CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan beracun kepada Qasim
(meskipun masih diperdebatkan).[148] Setelah serangkaian kudeta, Ba'athist berhasil merebut
kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB,[149] meskipun militer
Irak juga melakukan kudeta.[150]
Di Republik Kongo, yang baru merdeka dari Belgia pada bulan Juni 1960, CIA menghasut
presiden Joseph Kasa-Vubu untuk memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumba dan
membubarkan kabinet Lumumba pada bulan September.[151] Dalam Krisis Kongo yang terjadi
setelahnya, CIA mendukung Kolonel Mobutu dengan cara memobilisasi pasukannya untuk
merebut kekuasaan melalui kudeta militer.[151]
Di Guiana Britania, kandidat Partai Progresif Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi Jagan,
memenangkan posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang diselenggarakan pada
tahun 1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya setelah
adanya suspensi dari Britania Raya yang masih memiliki kewenangan terhadap konstitusi
negara tersebut.[152] Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang diduga Marxis, Britania
memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan merekayasa perpecahan antara Jagan dengan
rekan PPP nya.[153] Jagan lagi-lagi memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961.
Amerika Serikat menekan Britania untuk menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana
sampai haluan politik Jagan telah teridentifikasi.[154]
Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut kemerdekaan Vietnam, Perancis
setuju untuk melakukan negosiasi dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi Jenewa,
perjanjian damai ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara yang pro-Soviet
dan Vietnam Selatan yang pro-Barat. Antara tahun 1954 dan 1961, Amerika Serikat
mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat militer untuk memperkuat rezim pro-Barat
Vietnam Selatan dalam menghalangi upaya komunis yang berniat untuk mengacaukannya.[16]
Banyak negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak tekanan
untuk memihak salah satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di Indonesia,
puluhan negara Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang Dingin.[155] Konsesus yang
ditetapkan di Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan Non-Blok yang
bermarkas di Belgrade pada tahun 1961.[70] Sementara itu, Khrushchev memperluas kebijakan
Moskow dengan menjalin hubungan dengan India dan negara-negara netral lainnya. Gerakan
kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah tatanan dunia pasca-perang menjadi lebih pluralistik
dengan diterapkannya dekolonisasi bagi negara-negara Afrika dan Timur Tengah dan semangat
nasionalisme juga meningkat di Asia dan Amerika Latin.[16]
Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa
Diagram perkembangan Perlombaan Angkasa pada tahun 19571975.

Periode setelah 1956 ditandai dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet, terutama pecahnya
aliansi Cina-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao membela Stalin ketika
Khrushchev mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun 1956, dan menganggap pemimpin
Soviet yang baru sebagai "pemula yang dangkal", Mao juga menuduhnya telah kehilangan sisi
revolusioner.[156] Sementara itu, Khrushchev, yang merasa terganggu atas sikap Mao yang anti-
perang nuklir, menyebut pemimpin Cina sebagai "orang yang gila takhta".[157]
Setelah hal itu terjadi, Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun kembali
aliansi dengan Cina, namun Mao menolak setiap usulannya.[156] Permusuhan Cina-Soviet ini
akhirnya tumpah dalam perang propaganda intra-komunis.[158]Selanjutnya, Soviet mulai
berfokus pada persaingan sengit dengan Cina untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin
gerakan komunis dunia.[159]
Dilatardepani oleh senjata nuklir, Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk
membangun persenjataan nuklir dan mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa
mereka pergunakan untuk menyerang satu sama lain.[31] Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil
meluncurkan peluru kendali balistik antar benua pertama (ICBM),[160] dan pada bulan
Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi pertama, Sputnik.[161] Peluncuran Sputnik ini
menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika Serikat. Persaingan ini
memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh astronot Frank
Borman sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".[162]
Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi

Fidel Castro (kanan) dan Che Guevara, 1961.


Di Kuba, Gerakan 26 Juli berhasil merebut kekuasaan pada bulan Januari 1959, menjatuhkan
Presiden Fulgencio Batista, yang rezimnya tidak populer dan tidak direstui oleh pemerintahan
Eisenhower.[163]
Hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat terus berlanjut selama beberapa waktu
setelah kejatuhan Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja meninggalkan ibu kota untuk
menghindari pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner Kuba Fidel Castro pada bulan
April, dan memerintahkan Wakil Presiden Richard Nixon untuk mengadakan pertemuan dengan
Castro di kediamannya.[164] Eisenhower tidak yakin, apakah Castro seorang komunis atau
bukan. Eisenhower juga menentang upaya Kuba untuk mengurangi ketergantungan ekonomi
mereka pada Amerika Serikat.[165] Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan
Eropa Timur pada bulan Maret 1960.[166]
Bulan Januari 1961, sesaat sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara resmi
memutuskan hubungan dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961, Presiden Amerika
yang baru terpilih, John F. Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi pulau-pulau di
Playa Girn dan Playa Larga di Provinsi Las Villas kegagalan yang mempermalukan Amerika
Serikat di mata dunia.[165] Castro menanggapinya dengan mengadopsi paham Marxisme-
Leninisme, dan Soviet berjanji untuk memberikan dukungan lebih lanjut kepada Kuba.[165]
Krisis Berlin 1961[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Krisis Berlin 1961, Tembok Berlin, dan Pembelotan
dan emigrasi Blok Timur

Tank Soviet berhadapan dengan tank Amerika Serikat di Checkpoint Charlie, 27 Oktober, selama
berlangsungnya Krisis Berlin 1961

Krisis Berlin 1961 adalah insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin terkait
dengan status Berlin dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-
an, pendekatan Soviet mengenai kebijakan pembatasan emigrasiditiru oleh sebagian besar
negara Blok Timur lainnya.[167] Namun, ratusan ribu warga Jerman Timur beremigrasi ke Jerman
Barat setiap tahunnya melalui "celah" yang terdapat dalam sistem antara Berlin Timur dan Berlin
Barat dan dengan bantuan dari pasukan Sekutu di Jerman Barat.[168]
Emigrasi menyebabkan berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi seperti kalangan
profesional terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir 20% penduduk Jerman Timur
telah bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961.[169] Pada bulan Juni, Uni Soviet
mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut penarikan pasukan Sekutu dari Berlin
Barat.[170]Permintaan tersebut ditolak, dan pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur mendirikan
penghalang kawat berduri yang kemudian konstruksinya diperluas hingga kelak
membentuk Tembok Berlin, yang secara efektif menutup "celah" antara kedua wilayah
tersebut.[171]
Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Proyek Kuba dan Krisis Rudal Kuba

Kapal P-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang di atas sebuah kapal barang Soviet selama
Krisis Rudal Kuba.

Setelah Invasi Teluk Babi, Kennedy terus mencari cara untuk menggulingkan Castro, Kennedy
dan pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi penggulingan
pemerintahan Kuba. Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah program rahasia
bernama Proyek Kuba, yang dirancang di bawah pemerintahan Kennedy pada tahun 1961.
Pada bulan Februari 1962, Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap Kuba: "proyek
Kuba" disetujui oleh CIA dan menetapkan penggulingan pemerintah Kuba pada bulan
Oktober, kemungkinan melibatkan militer Amerika dan Kennedy mungkin memerintahkan
operasi pembunuhan terhadap Castro.[172] Sebagai respon, Soviet mempersiapkan pemasangan
rudal nuklirnya di Kuba.[172]
Khawatir, Kennedy memutuskan berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan akhirnya
menanggapi instalasi rudal nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan blokade laut dan
memberikan ultimatum kepada Soviet. Khrushchev mundur dari konfrontasi, dan Uni Soviet
membongkar rudalnya dengan imbalan janji Amerika agar tidak lagi menyerang Kuba.[173]
Krisis Rudal Kuba (Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang
nuklir daripada sebelumnya.[174]Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep saling
meyakinkan akan bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya tidak siap untuk menggunakan
senjata nuklir mereka, takut akan adanya kehancuran global total karena saling balas
dendam.[175] Dampak dari krisis ini menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam
membatasi perlombaan senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan
hubungan,[117] meskipun upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah
ditetapkan sejak tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.[176]
Tahun 1964, rekan Kremlin Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap
mengizinkannya untuk pensiun dengan damai.[177] Khrushchev dituduh memerintah dengan
kasar dan inkompetensi, dia juga dianggap telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan
membawa dunia ke ambang perang nuklir.[177] Khrushchev juga dikatakan telah
mempermalukan dunia komunis ketika ia meresmikan pembangunan Tembok Berlin, yang
dianggap sebagai sebuah penghinaan publik untuk Marxisme-Leninisme.[177] Posisi jabatan
Nikita Khrushchev digantikan oleh Leonid Brezhnev sebagai pemimpin Partai Komunis dan
sementara Alexei Kosygin menduduki kursi Perdana Menteri.

Konfrontasi melalui dtente (19621979)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (19621979)
Kekuatan pasukan NATO dan Pakta Warsawa di Eropa tahun 1973.

Amerika Serikat mendarat untuk pertama kalinya di bulan pada tahun 1969puncak dari perlombaan
angkasa.

F-4 Phantom II milik US Navy menyadap pesawat Tupolev Tu-95 D Soviet pada awal 1970-an.

Pada periode 1960-an dan 1970-an, peserta Perang Dingin berjuang untuk menyesuaikan diri
dengan pola baru hubungan internasional yang lebih rumit, dunia tidak lagi dibagi menjadi dua
blok besar yang bertentangan.[70] Dari awal periode pasca-perang, Eropa Barat
dan Jepang dengan cepat pulih dari kehancuran Perang Dunia II dan mulai mengalami
pertumbuhan ekonomi yang kuat sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, dengan PDB per
kapita yang hampir mendekati Amerika Serikat, sedangkan perekonomian Blok
Timur mengalami stagnasi.[70][178]
Sebagai akibat dari krisis minyak 1973, dikombinasikan dengan semakin kuatnya
pengaruh Dunia Ketiga dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti Organisasi Negara-
Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Gerakan Non-Blok, negara-negara Dunia Ketiga
memiliki lebih banyak ruang untuk memproklamirkan kemerdekaan mereka dan semakin
menunjukkan bahwa mereka tahan banting terhadap tekanan dari negara
adidaya.[98] Sementara itu, Soviet dipaksa untuk mengalihkan perhatiannya pada isu-isu internal
seperti permasalahan ekonomi di dalam negeri.[70] Selama periode ini, pemimpin Soviet
seperti Leonid Brezhnev dan Alexei Kosygin mulai menerapkan pendekatan dtente.[70]
Pengunduran diri Perancis dari NATO[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: NATO#Pengunduran diri Perancis dari NATO
Keberlangsungan NATO sudah menghadapi tantangan pada awal sejarahnya, krisis terjadi
selama kepemimpinan Charles de Gaulle dari Perancis pada tahun 1958 dan seterusnya. De
Gaulle protes mengenai kuatnya peran Amerika Serikat dalam organisasi dan cemburu atas
"hubungan istimewa" antara Amerika Serikat dan Britania Raya. Dalam sebuah memo yang
dikirimkan pada Presiden Dwight D. Eisenhower dan Perdana Menteri Harold Macmillan pada
tanggal 17 September 1958, ia berpendapat untuk membentuk tiga serangkai direktorat yang
akan memposisikan Perancis pada kedudukan yang sama dengan Amerika Serikat dan Britania
Raya, dan juga perluasan cakupan NATO ke wilayah geografis yang memiliki kepentingan
dengan Perancis, seperti Aljazair Perancis, yang pemberontakannya di dukung oleh
Perancis.[179]
Karena respon yang diberikan tidak memuaskan, de Gaulle mulai mengembangkan penangkal
nuklir Perancis secara independen dan pada tahun 1966, Perancis mengundurkan diri dari
NATO, diikuti dengan pengusiran semua pasukan NATO dari daratan Perancis.[180]
Invasi Cekoslowakia[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Musim Semi Praha dan Invasi Pakta Warsawa ke
Cekoslowakia
Pada tahun 1968, periode liberalisasi politik di Cekoslowakia, yang dijuluki dengan Musim Semi
Praha, berlangsung dengan berbagai aksi, di antaranya "Program Aksi" liberalisasi, yang
menuntut perluasan kebebasan pers, kebebasan berbicara dan kebebasan bergerak, juga
penekanan ekonomi pada barang-barang konsumsi, kemungkinan sistem multi partai,
membatasi kekuasaan polisi rahasia,[181][182] dan kemungkinan Cekoslowakia untuk menarik diri
dari Pakta Warsawa.[183]
Sebagai jawaban atas aksi Musim Semi Praha, tentara Soviet bersama dengan sebagian besar
sekutu Pakta Warsawa mereka, menyerbu Cekoslowakia.[184] Invasi ini diikuti oleh gelombang
emigrasi, sekitar 70.000 warga Ceko dan Slowakia melarikan diri, dan total akhirnya mencapai
300.000 jiwa.[185] Invasi ini memicu protes keras dari Yugoslavia, Rumania, Cina, dan juga dari
partai-partai komunis di Eropa Barat.[186]
Doktrin Brezhnev[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Doktrin Brezhnev
Leonid Brezhnev dan Richard Nixonselama kunjungan Brezhnev ke Washington pada Juni 1973;
kunjungan ini adalah permulaan dtente antara Amerika Serikat dan Soviet.

Pada bulan September 1968, dalam pidatonya di Kongres Kelima Partai Persatuan Pekerja
Polandia, sebulan setelah menginvasi Cekoslowakia, Brezhnev menyampaikan Doktrin
Brezhnev; yang mengklaim bahwa "hak kami untuk melanggar kedaulatan negara manapun jika
ada yang berupaya untuk menggantikan Marxisme-Leninisme dengan kapitalisme". Dalam
pidatonya, Brezhnev menyatakan:[183]


Ketika kekuatan yang memusuhi sosialisme mencoba untuk mengubah haluan beberapa
negara sosialis menuju kapitalisme, itu bukan hanya menjadi masalah bagi negara yang
bersangkutan, namun masalah umum dan kepedulian dari semua negara-negara sosialis.
Doktrin tersebut dilatarbelakangi oleh kegagalan Marxisme-Leninisme dalam meningkatkan
kesejahteraan di negara-negara seperti Polandia, Hongaria dan Jerman Timur, yang mengalami
penurunan standar hidup yang kontras dengan kemakmuran Jerman Barat dan negara Eropa
Barat lainnya.[187]
Krisis di Dunia Ketiga[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Operasi Power Pack, Pembantaian di Indonesia 19651966, Perang
Vietnam, Kudeta Chili 1973, Operasi Burung Kondor, Perang Enam Hari, Perang Atrisi, Perang
Yom Kippur, Perang Ogaden, Perang Saudara Angola, dan Invasi Indonesia ke Timor Timur

Alexei Kosygin (kiri) di samping Presiden AS Lyndon B. Johnson(kanan) dalam Konferensi Tingkat
Tinggi Glassboro.

Mayat Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem.

Pada akhir April 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mendaratkan 22.000 tentaranya di Republik
Dominika dan kemudian mendudukinya selama satu tahun melalui invasi yang diberi
kode Operasi Power Pack. Operasi ini dilakukan untuk membendung ancaman menyebarnya
revolusi bergaya Kuba di Amerika Latin.[16] Pemilihan presiden diselenggarakan pada tahun
1966, yang menghasilkan kemenangan bagi konservatif Joaqun Balaguer. Meskipun Balaguer
mendapat dukungan dari sektor-sektor elit dan kelompok petani, lawan politiknya dari partai
PRD, mantan presiden Juan Bosch, tidak aktif berkampanye.[188] Aktivis PRD dilumpuhkan
dengan kekerasan oleh polisi Dominika dan angkatan bersenjata.[188]
Di Indonesia, anti-komunis garis keras Jenderal Soeharto meraih kendali pemerintahan dari
pendahulunya, Soekarno, dan kemudian mulai membangun "Orde Baru". Dari tahun 1965
sampai 1966, militer Indonesia melakukan pembunuhan massalterhadap sekitar setengah juta
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia serta organisasi-organisasi sayap kiri
lainnya.[189]
Meningkatnya konflik yang sedang berlangsung antara pemimpin Vietnam Selatan Ng nh
Dim dengan komunis Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) membuat
Johnson mengirimkan 575.000 tentara Amerika ke Asia Tenggara untuk melumpuhkan NLF dan
sekutu Vietnam Utara mereka dalam Perang Vietnam, namun kebijakan ini memakan banyak
biaya dan melemahkan perekonomian AS, dan pada tahun 1975, krisis ini memuncak dengan
kegagalan Amerika Serikat. Dunia memandang peristiwa ini sebagai kekalahan memalukan bagi
sebuah negara adidaya yang paling kuat di tangan salah satu negara termiskin
dunia.[16] Vietnam Utara menerima persetujuan Soviet untuk memulai perang pada tahun 1959.
Uni Soviet mengirimkan 15.000 penasihat militer dan bantuan dana sebesar $ 450 juta kepada
Vietnam Utara selama perang, sedangkan Cina mengirimkan 320.000 tentara dan bantuan dana
senilai $180 juta.[190]
Di Chili, kandidat Partai Sosialis Salvador Allende memenangkan pemilihan presiden tahun
1970, menjadi Marxis terpilih demokratis pertama yang menjadi presiden di negara-negara
Amerika.[191] Jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada tanggal
11 September 1973 dan dengan cepat mengambilalih semua kekuasaan politik menjadi
kediktatoran militer, tindakannya ini direstui oleh AS. Reformasi Allende ekonomi diurungkan
dan lawan sayap kiri tewas atau ditahan di kamp-kamp interniran di bawah arahan
dari Direccin de Inteligencia Nacional (DINA).

Henry Kissinger, Penasihat Keamanan Nasional dan Sekretaris Negara Amerika Serikat pada masa
pemerintahan Presiden Nixon dan Ford, merupakan salah satu tokoh kunci dalam Perang Dingin (1969-
1977).

Sementara itu, Operasi Burung Kondor di Amerika Selatan yang digunakan oleh para diktator
di Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Uruguay, dan Paraguay untuk menekan perbedaan pendapat
dengan sayap kiri juga mendapat dukungan dari Amerika Serikat, dan (kadang-kadang
akurat) diperkirakan juga terdapat Kuba atau Soviet di belakang gerakan oposisi tersebut.[192]
Amerika Serikat juga tidak senang saat Jamaika mulai menjalin hubungan yang lebih erat
dengan pemerintah Kuba setelah pemilihan Michael Manley pada tahun 1972.[193] Amerika
Serikat meresponnya dengan mendanai lawan-lawan politik Manley, mendorong
pemberontakan dalam tubuh tentara Jamaika, dan menyewa tentara bayaran untuk menentang
pemerintahan Manley.[153] Kekerasan pun terjadi.
Situasi di Timur Tengah terus menjadi sumber persengketaan. Mesir, yang menerima banyak
bantuan senjata dan bantuan ekonomi dari Uni Soviet, adalah klien Soviet yang merepotkan.
Dengan terpaksa, Uni Soviet berkewajiban untuk membantu Mesir dalam Perang Enam
Hari (dengan mengirimkan penasihat militer dan teknisi) dan Perang Atrisi (dengan mengirimkan
pilot dan pesawat) untuk melawan Israel yang pro-Barat.[194] Di samping pembelotan Mesir, dari
yang sebelumnya pro-Soviet menjadi pro-Amerika pada tahun 1972 (dibawah
kepemimpinan Anwar El Sadat),[195] rumor mengenai intervensi Soviet dalam Perang Yom
Kippur pada tahun 1973 menyebabkan terjadinya pengiriman tentara Amerika besar-besaran
dan mengancam akan menghancurkan dtente.[196] Meskipun pada era pra-Sadat Mesir
merupakan penerima bantuan terbesar Soviet di Timur Tengah, Soviet juga sukses menjalin
hubungan erat dengan komunis di Yaman Selatan, serta pemerintahan
nasionalis Aljazair dan Irak.[195] Soviet secara langsung memihak dan membantu Palestinadalam
menghadapi konflik dengan Israel, termasuk dukungan untuk Yasser Arafat dan Organisasi
Pembebasan Palestina.[197] Dari tahun 1973-1975, CIA berkolusi dengan pemerintah Iran untuk
membiayai dan mempersenjatai pemberontak Kurdi dalam Perang IrakKurdi Kedua dengan
tujuan untuk melumpuhkan pemimpin Irak Ahmed Hassan al-Bakr. Saat Iran dan Irak
menandatangani Perjanjian Aljazair pada tahun 1975, dukungan untuk Iran pun juga turut
berhenti.[198]

Seorang tentara Amerika dalam Perang Vietnam, 3 Agustus 1965.

Di Afrika, militer Somalia yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre melakukan kudeta tak
berdarah pada tahun 1969 dan mendirikan Republik Demokratik Somalia yang berpaham
sosialis. Uni Soviet berjanji untuk mendukung Somalia. Empat tahun kemudian, Kaisar
Ethiopia Haile Selassie yang pro-Amerika digulingkan dalam kudeta tahun 1974 oleh
kelompok Derg, sebuah kelompok militer radikal pro-Soviet yang dipimpin oleh Mengistu Haile
Mariam. Mariem menjalin hubungan dengan Kuba dan Soviet.[199] Saat peperangan antara
Somalia dan Ethiopia pecah pada tahun 1977-1978, Barre kehilangan dukungan Soviet dan
kemudian bersekutu dengan Amerika Serikat. Tentara Kuba juga berperan dalam perang ini
dengan memihak Ethiopia.[199]
Revolusi Anyelir di Portugis pada tahun 1974 yang melawan keotoriteran Estado Novo membuat
Portugis kembali ke sistem multi-partai dan sekaligus memfasilitasi kemerdekaan koloni Portugis
di Angola dan Timor Timur. Di Afrika, pemberontak Angola mengobarkan perang kemerdekaan
multi-faksi menentang kekuasaan Portugis sejak tahun 1961, setelah perang ini usai, perang
dua dasawarsa menggantikan perang anti-kolonial, yang ditandai dengan peperangan antara
komunis Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA), yang didukung oleh Kuba dan Soviet,
dengan Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA), yang didukung oleh Amerika Serikat,
Republik Rakyat Tiongkok, dan pemerintahan Mobutu di Zaire. AS, pemerintahan apartheid
Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya juga mendukung faksi ketiga, Uni Nasional
untuk Kemerdekaan Penuh Angola (UNITA). Tanpa berkonsultasi dengan Soviet, Kuba
mengirimkan tentaranya untuk berjuang bersama MPLA.[199] Pemerintah apartheid Afrika
Selatan juga mengirimkan tentara untuk membantu UNITA, namun MPLA berada di atas tangan
karena didukung oleh Kuba dan Soviet.[199]
Di Asia Tenggara, koloni Timor Timur secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya dari
Portugis di bawah sayap kiri Fretilinpada bulan November 1975. Dengan dukungan dari
Australia dan Amerika Serikat, Soeharto menginvasi Timor Timur pada bulan Desember yang
memulai pendudukan Indonesia di Timor Timur selama seperempat abad.[200]
Selama Perang Vietnam, Vietnam Utara menginvasi dan menduduki sebagian Kamboja untuk
digunakan sebagai pangkalan militer, yang juga berperan dalam memicu pecahnya Perang
Saudara Kamboja antara pemerintah pro-Amerika Lon Nol dan pemberontak Maoist Khmer
Merah. Dokumen yang ditemukan dari arsip Soviet mengungkapkan bahwa invasi Vietnam
Utara ke Kamboja pada tahun 1970 dilaksanakan atas permintaan dari Khmer Merah setelah
bernegosiasi dengan Nuon Chea.[201] AS dan Vietnam Selatan menanggapinya dengan
melancarkan kampanye pengeboman dan serangan darat, efek dari operasi ini masih
diperdebatkan oleh para sejarawan.[202] Di bawah kepemimpinan Pol Pot, Khmer Merah
membantai 1-3 juta, dari 8,4 juta total penduduk Kamboja, di ladang
pembantaian.[203][204][205]Sosiolog Martin Shaw menggambarkan kekejaman ini sebagai
"genosida paling murni dari era Perang Dingin".[206] Vietnam menggulingkan Pol Pot pada tahun
1979 dan membentuk pemerintah boneka di bawah pimpinan Heng Samrin.
Perbaikan hubungan Cina-Amerika[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kunjungan Nixon ke Tiongkok tahun 1972

Sebagai akibat dari perpecahan Sino-Soviet, ketegangan yang berlangsung di sepanjang


perbatasan Cina-Soviet mencapai puncaknya pada tahun 1969, dan Presiden Amerika
Serikat Richard Nixon memutuskan untuk memanfaatkan konflik tersebut sebagai alat untuk
menggeser keseimbangan kekuasaan ke arah Barat dalam Perang Dingin.[207] Cina juga
berusaha meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat dalam upayanya untuk mengambil
keuntungan dari Soviet.
Pada bulan Februari 1972, Nixon mengumumkan pemulihan hubungan dengan Cina.[208] Ia
melakukan kunjungan ke Beijing dan bertemu dengan Mao Zedong dan Zhou Enlai. Pada saat
itu, sumber daya nuklir Uni Soviet telah setara dengan Amerika Serikat, Perang Vietnam juga
telah melemahkan pengaruh Amerika di Dunia Ketiga dan mendinginkan hubungannya dengan
Eropa Barat.[209] Meskipun konflik tak langsung antara dua adidaya dalam Perang Dingin terus
berlanjut sampai akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketegangan perlahan-lahan mulai
mereda.[117]
Nixon, Brezhnev, dtente, dan Penembakan Pesawat Korean Air Lines
Penerbangan 902[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perundingan Pembatasan Senjata
Strategis, Perjanjian Helsinki, dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa
Leonid Brezhnev dan Jimmy Cartermenandatangani traktat SALT II, 18 Juni 1979 di Wina

Setelah kunjungannya ke Tiongkok, Nixon bertemu dengan para pemimpin Soviet, termasuk
Brezhnev di Moskow.[210]Perundingan Pembatasan Senjata Strategis (SALT) antara kedua belah
pihak menghasilkan dua kesepakatan mengenai pengawasan penggunaan senjata, yaitu SALT
I, pakta pembatasan senjata komprehensif pertama yang ditandatangani oleh kedua negara
adidaya,[211] dan Traktat Peluru Kendali Anti-Balistik, yang mengatur mengenai pembatasan
sistem peluru kendali anti-balistik yang digunakan untuk mempertahankan wilayah terhadap
senjata nuklir yang dibawa misil. Ini bertujuan untuk membatasi pengembangan peluru kendali
anti-balistik dan rudal nuklir berbiaya mahal.[70]
Nixon dan Brezhnev mengumumkan era baru "hidup berdampingan secara damai" dan
membangun pendekatan hubungan baru yang disebut dtente (peredaan ketegangan) antara
dua negara adidaya. Sementara itu, Brezhnev berusaha untuk memperbaiki kembali
perekonomian Soviet yang mengalami penurunan akibat besarnya pengeluaran
militer.[16] Antara tahun 1972 dan 1974, kedua belah pihak juga sepakat untuk memperkuat
hubungan ekonomi mereka,[16] di antaranya dengan melakukan perjanjian dalam rangka
peningkatan aktivitas perdagangan. Sebagai hasil dari perundingan
mereka, dtentemenggantikan era permusuhan dari Perang Dingin dan kedua negara bisa
hidup secara berdampingan.[210]
Sementara itu, perkembangan hubungan AS dan Soviet juga bertepatan dengan "Ostpolitik"
Kanselir Jerman Barat Willy Brandt.[186] Perjanjian lainnya yang disahkan untuk menstabilkan
situasi di Eropa adalah Perjanjian Helsinki, yang ditandatangani dalam Konferensi Keamanan
dan Kerjasama di Eropa pada tahun 1975.[212]
Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1970-an, KGB, yang dikepalai oleh Yuri Andropov, terus menekan kritikus-kritikus
terkenal yang mengkritik kepemimpinan Soviet seperti Aleksandr Solzhenitsyn dan Andrei
Sakharov.[213] Selama periode dtente ini, konflik tak langsung antara kedua negara adidaya
masih terus terjadi di Dunia Ketiga, khususnya dalam krisis politik di Timur Tengah, Chili,
Ethiopia, dan Angola.[214]
Presiden Jimmy Carter berusaha untuk menetapkan pembatasan perlombaan persenjataan
lebih lanjut dengan mengesahkan SALT II pada tahun 1979,[215] namun upayanya ini dirusak
oleh peristiwa lainnya pada tahun itu, yaitu Revolusi Iran yang didukung oleh KGB,[216] Revolusi
Nikaragua untuk menggulingkan rezim pro-AS, dan yang paling membuat AS berang; intervensi
Soviet dalam Perang Afganistan pada bulan Desember.[16]

"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (19791985)
Istilah "Perang Dingin Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan Perang
Dingin dan konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Ketegangan
sangat meningkat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan masing-masingnya menjadi lebih
ter-militeristik.[12] Diggins mengungkapkan: "Reagan mengerahkan segalanya untuk berjuang
dalam 'Perang Dingin Kedua' dengan mendukung kontra-pemberontakan di Dunia
Ketiga."[217] Sementara Cox menyatakan: "Intensitas 'Perang Dingin Kedua' sehebat durasinya
yang singkat."[218]
Perang Soviet-Afganistan[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Saudara Afganistan dan Perang Soviet-
Afganistan

Presiden Reagan menunjukkan dukungannya dalam pertemuan dengan para pemimpin Mujahidin
Afganistan di Gedung Putih, 1983.

Tentara Soviet di Afganistan.

Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDPA) yang berhaluan komunis
merebut kekuasaan atas Afganistan melalui Revolusi Saur. Dalam hitungan bulan, penentang
pemerintahan komunis melancarkan pemberontakan di Afganistan timur, yang dengan cepat
berkembang menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin melawan tentara pemerintah.
Pemerintah Pakistan memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat pelatihan rahasia,
sedangkan Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung pemerintahan
PDPA.[219] Sementara itu, meningkatnya gesekan antara faksi-faksi yang bersaing di PDPA
faksi Khalq yang dominan dan Parcham yang lebih moderat menyebabkan pemberhentian
anggota kabinet dan penangkapan perwira militer Parchami dengan dalih kudeta terhadap
Parchami. Pada pertengahan 1979, Amerika Serikat memulai sebuah program rahasia untuk
membantu mujahidin.[220]
Bulan September 1979, Presiden Khalqist Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah
kudeta PDPA yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin, yang
kemudian menjadi presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada bulan Desember
1979. Setelah kematiannya, sebuah pemerintahan yang diorganisir oleh Soviet, di bawah
pimpinan Babrak Karmal, mengisi kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan untuk
menstabilkan Afganistan di bawah pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka Soviet.
Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa yang kemudian menjadi perang domestik di
Afganistan.[221]
Carter menanggapi intervensi Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian
SALT II dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman gandum dan barang-barang
teknologi pada Uni Soviet, serta meningkatkan pengeluaran militer. Amerika Serikat juga
melakukan pemboikotan terhadap Olimpiade Moskow 1980. Carter menyatakan bahwa tindakan
Soviet merupakan "ancaman yang paling serius terhadap perdamaian selama Perang Dingin
Kedua".[222]
Reagan dan Thatcher[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Doktrin Reagan

Kabinet Thatcher bertemu dengan Kabinet Reagan di Gedung Putih, 1981.

Pada bulan Januari 1977, empat tahun sebelum menjadi presiden, Ronald
Reagan mengungkapkan dalam percakapannya dengan Richard V. Allen, mengenai harapan
dasarnya terkait dengan Perang Dingin: "Ide saya mengenai kebijakan Amerika terhadap Uni
Soviet sederhana, dan beberapa orang akan menyebutnya sangat sederhana, yaitu: Kita
menang dan mereka kalah. Bagaimana menurut Anda?".[223] Tahun 1980, Ronald Reagan
mengalahkan Jimmy Carter dalam pemilu presiden 1980. Setelah kemenangannya, ia
bersumpah akan meningkatkan anggaran militer dan menghadapi Soviet di manapun.[224] Baik
Reagan maupun Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Margaret Thatcher, sama-sama
mengecam Uni Soviet dan ideologinya. Reagan menyebut Uni Soviet sebagai sebuah
"kekaisaran jahat" dan meramalkan bahwa komunisme akan hancur menjadi "tumpukan abu
sejarah".[225]
Meskipun sentimen anti-Amerika di Iran setelah Revolusi Iran meningkat, pemerintahan Reagan
tetap mengulurkan tangan kepada pemerintah anti-komunis Ayatollah Khomeini dalam
upayanya untuk merekrut teokrasi bagi Amerika pada tahun 1980-an. Direktur CIA William
Casey menggambarkan pemerintahan Khomeini sebagai pemerintahan yang "goyah dan
[mungkin] dalam pergerakan ke arah kebenaran... AS hampir tidak memiliki kartu untuk
dimainkan; sementara Uni Soviet memiliki banyak kartu."[226] Salah satu metode yang dilakukan
Amerika untuk mendukung Iran adalah dengan penjualan senjata secara rahasia. Pada tahun
1983, CIA merilis daftar panjang komunis Iran dan aktivis sayap kiri lainnya yang dicurigai
bekerja dalam pemerintahan Khomeini.[227] Sebuah komisi khusus kemudian melaporkan bahwa
daftar itu disusun untuk mengambil "langkah-langkah, termasuk eksekusi massal, untuk
mengeliminasi semua infrastruktur pro-Soviet di Iran."[227]
Pada awal 1985, prinsip anti-komunis Reagan telah berkembang menjadi sikap yang dikenal
sebagai Doktrin Reagan yang mana, selain penahanan, juga dirumuskan hak tambahan
untuk menumbangkan pemerintahan komunis yang ada.[228] Selain melanjutkan kebijakan Carter
yang mendukung penentang Islam dalam melawan Soviet dan PDPA di Afganistan, CIA juga
berusaha melemahkan Uni Soviet dengan cara mempromosikan politik Islam di mayoritas
Islam Soviet Asia Tengah.[229] Di samping itu, CIA mendorong anti-komunis ISI di Pakistan agar
bersedia melatih Muslim dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam jihad melawan Uni
Soviet.[229] A
Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Solidarno dan Darurat militer di Polandia
Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke negara kelahirannya, Polandia, pada tahun 1979 telah
mendorong kebangkitan spiritual dan nasionalis yang memicu lahirnya gerakan solidaritas dan
semangat anti-komunisme. Hal ini diperkirakan merupakan penyebab dilakukannya upaya
pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II dua tahun kemudian.[230]
Pada bulan Desember 1981, Wojciech Jaruzelski bereaksi terhadap krisis di Polandia dengan
memberlakukan masa darurat militer. Untuk menanggapinya, Reagan memberlakukan sanksi
ekonomi terhadap Polandia.[231] Mikhail Suslov, ideolog top di Kremlin, menyarankan agar
pemimpin Soviet tidak campur tangan jika Polandia jatuh di bawah kendali gerakan Solidaritas,
karena takut hal itu akan menimbulkan sanksi ekonomi yang lebih berat lagi, yang berarti akan
menjadi malapetaka bagi perekonomian Soviet.[231]
Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Era stagnasi, Strategi Inisiatif Pertahanan, RSD-10 Pioneer, MGM-31
Pershing, Kematian Leonid Brezhnev, Yuri Andropov, dan Konstantin Chernenko

Perbandingan stok senjata nuklir AS dan Soviet/Rusia, 19452006

Delta 183 diluncurkan, membawa sensor eksperimen Strategi Inisiatif Pertahanan"Delta Star".

Moskow telah membangun sumber daya militer yang menghabiskan 25 persen dari produk
nasional bruto Uni Soviet, dengan mengorbankan barang-barang konsumsi dan investasi di
sektor sipil.[232] Pengeluaran Soviet untuk perlombaan senjata dan kompetisi Perang Dingin
lainnya semakin diperparah oleh masalah struktural dalam sistem perekonomian
Soviet,[233] yang mengalami stagnasi ekonomi selama satu dekade dalam tahun-tahun terakhir
pemerintahan Brezhnev.
Pemboikotan Olimpiade Moskow 1980 (biru) dan Olimpiade Los Angeles 1984 (merah).

Investasi Soviet dalam sektor pertahanan tidak didorong oleh kepentingan militer, namun
sebagian besar untuk mendukung kepentingan partai-partai besar dan birokrasi negara, yang
bergantung pada sektor militer untuk mendukung kekuasaan dan hak istimewa
mereka.[234] Militer Uni Soviet merupakan militer terbesar di dunia dalam hal jumlah dan jenis
senjata, jumlah tentara, dan jumlah pangkalan militer yang mereka miliki.[235] Namun,
keuntungan kuantitatif yang dipegang oleh militer Soviet seringkali dirahasiakan keberadaannya,
sehingga Blok Timur secara dramatis tertinggal oleh Barat.[236]

Setelah seorang anak Amerika berusia sepuluh tahun bernama Samantha Smith mengirimkan surat
kepada Yuri Andropov, yang mengungkapkan ketakutannya atas perang nuklir, Andropov
mengundang Smith ke Uni Soviet.

Pada awal 1980-an, Uni Soviet telah membangun persenjataan dan pasukan militer yang
melebihi Amerika Serikat. Segera setelah Soviet menginvasi Afganistan, Presiden Carter
memulai pembangunan besar-besaran militer Amerika Serikat. Upaya ini semakin diintensifkan
oleh pemerintahan Reagan, yang meningkatkan pengeluaran militerdari 5,3 persen/total GNP
pada tahun 1981 menjadi 6,5 persen pada tahun 1986,[237] jumlah anggaran militer terbesar
sepanjang sejarah Amerika Serikat.[238]
Ketegangan terus meningkat pada awal 1980-an ketika Reagan mengaktifkan kembali
program B-1 Lancer yang sebelumnya dibatalkan oleh pemerintahan Carter,
memproduksi LGM-118 Peacekeeper,[239] menginstal rudal jelajah AS di Eropa, dan
mengumumkan program eksperimental Strategi Inisiatif Pertahanan, yang dijuluki "Star Wars"
oleh media, yaitu program pertahanan untuk menembak jatuh rudal musuh di tengah-tengah
penerbangannya.[240]
Dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketegangan antara Soviet dan Amerika Serikat, serta
dipasangnya rudal balistik RSD-10 Pioneermilik Soviet yang mengarah ke Eropa Barat, NATO
memutuskan di bawah dorongan dari Presiden Carter untuk menginstal rudal jelajah
dan MGM-31 Pershing milik Amerika Serikat di Eropa, terutama di Jerman Barat.[241] Rudal-rudal
ini ditempatkan dengan jarak mencolok, hanya berjarak 10 menit dari Moskow.[242]
Setelah pembangunan militer Reagan selesai, Soviet tidak menanggapinya dengan
mengembangkan sumber daya militernya lebih besar lagi karena pengeluaran militer Soviet
sudah sangat besar.[243] Besarnya anggaran militer Soviet mengakibatkan tidak efisiennya
pembangunan dalam sektor manufaktur dan pertanian, yang akhirnya menjadi beban berat
bagi perekonomian Soviet.[244] Di saat yang bersamaan, produksi minyak di Arab
Saudi meningkat,[245] bahkan produksi minyak di negara-negara non-OPEC juga meningkat
pada periode tersebut, termasuk Soviet.[246] Perkembangan ini memberikan kontribusi terhadap
fenomena banjir minyak 1980-an yang mempengaruhi Uni Soviet. Minyak mulai menjadi sumber
utama pendapatan ekspor Soviet.[232][244] Namun, permasalahan perekonomian
komando,[247] turunnya harga minyak, dan pengeluaran militer yang tetap besar secara bertahap
membawa perekonomian Soviet menuju stagnasi.[244]
Pada tanggal 1 September 1983, Uni Soviet menembak jatuh Korean Air Penerbangan 007,
pesawat Boeing 747 yang mengangkut 269 penumpang, termasuk anggota Kongres Larry
McDonald. Pesawat itu ditembak karena melanggar wilayah udara Soviet dengan melewati
pantai barat Pulau Sakhalin, di dekat Kepulauan Moneron tindakan yang oleh Reagan
dianggap sebagai "pembantaian". Tindakan Soviet ini semakin meningkatkan dukungan bagi AS
supaya segera menerjukan militernya.[248] NATO mengadakan latihan militer Able Archer
83 pada bulan November 1983, yang merupakan simulasi peluncuran nuklir secara nyata.
Peristiwa ini disebut-sebut sebagai saat yang paling berbahaya bagi dunia sejak Krisis Rudal
Kuba pada tahun 1962. Setelah pemimpin Soviet memahami maksud dari latihan militer
tersebut, maka diputuskan bahwa perang nuklir semakin dekat.[249]
Ketidaksetujuan publik AS mengenai campur tangan AS dalam konflik negara lain sudah
berlangsung sejak akhir Perang Vietnam.[250]Pemerintahan Reagan menekankan taktik kontra-
pemberontakan dan penyelesaian cepat dalam mencampuri konflik asing.[250] Pada tahun 1983,
pemerintahan Reagan ikut campur tangan dalam Perang Saudara Lebanon,
menginvasi Grenada, membom Libya, dan mendukung gerakan Contras di Amerika Tengah
paramiliter anti-komunis yang berusaha menggulingkan pemerintahan pro-
Soviet Sandinista di Nikaragua.[98] Intervensi Reagan terhadap Grenada dan Libya mendapat
dukungan dari publik AS, namun dukungannya pada Contra mengundang kontroversi.[251]
Sementara itu, Soviet sendiri mengeluarkan biaya tinggi dalam memfasilitasi intervensi mereka
terhadap asing. Meskipun Brezhnev meyakini pada tahun 1979 bahwa Perang Soviet-
Afganistan akan berlangsung singkat, gerilyawan Muslim, yang dibantu oleh AS dan negara-
negara lainnya, mengobarkan perlawanan sengit terhadap invasi tersebut.[252] Kremlin
mengirimkan hampir 100.000 tentara untuk mendukung rezim boneka di Afganistan, yang
dijuluki oleh para pengamat luar dengan "perang 'Vietnam'-nya Soviet".[252] Namun, dampak
perang Afganistan ini jauh lebih parah bagi Soviet ketimbang dampak Perang Vietnam bagi
Amerika Serikat, karena konflik ini juga bertepatan dengan periode kekacauan dan krisis internal
dalam birokrasi dan perekonomian Soviet.[253]
Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS memprediksikan pada awal 1980-an, ia
menyatakan bahwa "invasi yang mengakibatkan krisis dalam negeri bagi Soviet... mungkin itu
adalah hukum termodinamika entropi... yang terjebak dengan sistem Soviet, yang sekarang
tampaknya lebih banyak mengeluarkan energi untuk menjaga keseimbangannya ketimbang
untuk memperbaikinya. Kita bisa melihat periode kebangkitan asing pada saat mengalami
keruntuhan internal".[254][255]

Tahun-tahun terakhir (19851991)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (19851991)
Mikhail Gorbachev dan Ronald Reagan menandatangani Traktat INFdi Gedung Putih, 1987

Reformasi Gorbachev[sunting | sunting sumber]


Informasi lebih lanjut: Mikhail Gorbachev, perestroika, dan glasnost
Setelah tanggal 11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis
Uni Soviet yang kelima untuk menggantikan Konstantin Chernenko yang sudah wafat.
Pada saat Mikhail Gorbachev, yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris Jenderal pada tahun
1985,[225] perekonomian Soviet sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam dalam
penerimaan mata uang asing akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun 1980-
an.[256] Masalah ini memaksa Gorbachev untuk mengambil langkah-langkah guna
membangkitkan kembali keterpurukan Soviet.[256]
Gorbachev menyatakan bahwa untuk membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan
yang mendalam dalam struktural Soviet. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan
agenda reformasinya yang disebut perestroika atau restrukturisasi.[257] Perestroika
memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota produksi, kepemilikan swasta atas bisnis dan juga
membuka jalan bagi investor asing. Langkah ini dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya
negara dari pembiayaan militer yang mahal untuk menunjang Perang Dingin ke pengembangan
sektor sipil yang lebih produktif.[257]
Meskipun muncul skeptisisme dari negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini terbukti
berkomitmen untuk memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk, bukannya
melanjutkan perlombaan senjata dengan Barat.[117][258] Untuk melawan penentang reformasinya
yang berasal dari internal partai, Gorbachev secara bersamaan memperkenalkan glasnost, atau
keterbukaan. Kebijakan ini memungkinkan meningkatnya kebebasan pers dan transparansi
lembaga-lembaga negara.[259]Glasnost dimaksudkan untuk mengurangi korupsi dalam
tubuh Partai Komunis dan memoderasi penyalahgunaan kekuasaan di Komite
Sentral.[260] Glasnost juga memungkinkan meningkatnya kontak antara warga Soviet dan Dunia
barat, khususnya dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi bagi
peningkatan dtenteantara kedua negara.[261]
Perbaikan hubungan[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavk, Traktat INF, dan START I
Menanggapi konsesi politik dan militer Kremlin yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan
kembali perundingan dengan Soviet terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan
senjata.[262] Perundingan pertama diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa,
Swiss.[262] Dalam perundingan tersebut, kedua pemimpin negara, disertai oleh seorang
penerjemah, sepakat untuk mengurangi persenjataan nuklir di masing-masing negara sebesar
50 persen.[263] Perundingan kedua, Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavk, diselenggarakan
di Islandia. Perundingan tersebut berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah Strategi
Inisiatif Pertahanan Reagan yang ingin dieliminasi oleh Gorbachev, namun Reagan
menolaknya.[264] Negosiasi akhirnya gagal, namun dalam perundingan ketiga pada tahun 1987,
kedua belah pihak berhasil menghasilkan terobosan dengan ditandatanganinya Traktat
Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF). Traktat ini menghapuskan keberadaan semua senjata
nuklir, rudal balistik, dan rudal jelajah di kedua belah pihak dengan jarak antara 500 dan 5.500
kilometer beserta infrastrukturnya.[265]
Ketegangan antara Timur dengan Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an.
Tahun 1989, bertempat di Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush,
menandatangani perjanjian START I, yang mengakhiri perlombaan senjata antar kedua
negara.[266] Selama tahun-tahun berikutnya, Soviet dihadapkan pada keruntuhan perekonomian
yang diakibatkan oleh turunnya harga minyak dunia dan besarnya pembiayaan militer.[267] Selain
itu, penempatan militer di negara sekutunya diakui tidak relevan lagi bagi Soviet, dan pada
tahun 1987, Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia tidak akan ikut campur lagi dalam
urusan dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa Timur.[268]
Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afganistan,[269] dan setahun kemudian Gorbachev
menyetujui reunifikasi Jerman,[267] satu-satunya alternatif untuk menanggapi skenario
Tianmen.[270] Ketika Tembok Berlin runtuh, konsep "Common European Home" yang dicetuskan
oleh Gorbachev mulai terbentuk.[271]
Pada tanggal 3 Desember 1989, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Malta, Gorbachev
dan George H. W. Bush secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin sudah
berakhir.[272] Setahun kemudian, dua negara tersebut bermitra dalam Perang Teluk melawan
Irak.[273]
Goyahnya sistem Soviet[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Perekonomian Uni Soviet, Revolusi 1989, dan Baltic Way

Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989.

Pada tahun 1989, sistem aliansi Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya
dukungan militer dari Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta
Warsawa juga kehilangan kekuasaan.[269] Di Uni Soviet sendiri, kebijakan glasnost melemahkan
ikatan yang selama ini menyatukan Soviet.[268] Bulan Februari 1990, dengan semakin
memuncaknya isu pembubaran Uni Soviet, para pemimpin Partai Komunis terpaksa
menyerahkan tampuk kekuasaannya yang telah bertahan selama 73 tahun.[274]
Pada saat yang sama, isu kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong negara-
negara Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara Baltik mulai menarik diri dari
Soviet sepenuhnya.[275] Gelombang revolusi damai 1989 yang melanda Eropa Tengah dan
Eropa Timur meruntuhkan kedigjayaan komunisme Soviet di negara-negara seperti Polandia,
Hongaria, Cekoslowakia dan Bulgaria.[276] Rumania menjadi satu-satunya negara Blok Timur
yang menggulingkan kekuasaan komunis secara keras dengan mengeksekusi kepala
negaranya.[277]
Pembubaran Uni Soviet[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: January 1991 events in Latvia, Upaya kudeta di Soviet 1991, Sejarah
Uni Soviet (19821991), dan Pembubaran Uni Soviet

Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, akhir resmi dari Uni Soviet

Sikap permisif Gorbachev terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet,
bahkan Bush, yang berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet,
mengutuk pembunuhan pada bulan Januari 1991 di Latvia dan Lituania. Bush memperingatkan
bahwa hubungan ekonomi akan dibekukan jika kekerasan terus terjadi.[278] Uni Soviet secara
fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal pada tahun 1991 dan meningkatnya jumlah republikan
Soviet, khususnya di Rusia, yang mengancam akan memisahkan diri dari Uni
Soviet. Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, yang didirikan pada tanggal 21 Desember
1991, dipandang sebagai entitas penerus Uni Soviet, namun, menurut para pemimpin Rusia,
tujuannya adalah untuk "memungkinkan perpisahan secara beradab" antara republik-republik
Soviet dan juga sebanding dengan kelonggaran konfederasi.[279] Uni Soviet secara
resmi dibubarkan pada tanggal 25 Desember 1991.[280]

Dampak[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dampak Perang Dingin

NATO/CSTO

NATO telah memperluas cakupannya ke negara-negara bekas Pakta Warsawa dan bekas Uni Soviet
sejak berakhirnya Perang Dingin.
Setelah Perang Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong pengeluaran
militer secara drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan warga di seluruh Uni Soviet
menganggur.[281] Sedangkan reformasi kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih
parah daripada yang dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.[282]
Setelah berakhir, Perang Dingin masih terus mempengaruhi dunia.[12] Setelah pembubaran Uni
Soviet, dunia pasca-Perang Dingin secara luas dianggap sebagai dunia yang unipolar,
menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.[283][284][285] Perang
Dingin juga membantu mendefenisikan peran politik Amerika Serikat di dunia pasca-Perang
Dunia II: pada tahun 1989 AS menjalin kerjasama militer dengan 50 negara dan memiliki
526.000[286] tentara di luar negeri yang tersebar di puluhan negara, dengan 326.000 terdapat di
Eropa (dua pertiganya di Jerman Barat),[287] dan sekitar 130.000 terdapat di Asia (terutama di
Jepang dan Korea Selatan).[286] Perang Dingin juga menandai puncak pengembangan industri-
militer, terutama di Amerika Serikat, dan pendanaan militer secara besar-
besaran.[288] Pengembangan industri militer ini memiliki dampak besar terhadap negara yang
bersangkutan; membantu membentuk kehidupan kemasyarakatan, kebijakan, dan hubungan
luar negeri negara tersebut.[289]
Pengeluaran militer Amerika Serikat selama berlangsungnya Perang Dingin diperkirakan sekitar
$ 8 triliun, sedangkan hampir 100.000 orang Amerika kehilangan nyawa mereka dalam Perang
Korea dan Perang Vietnam.[290] Sulit untuk memperkirakan jumlah korban dan kerugian dari
pihak Soviet, namun jika dilihat dari komparasi produk nasional bruto mereka, maka biaya
keuangan yang dikeluarkan oleh Soviet selama Perang Dingin jauh lebih besar daripada yang
dikeluarkan oleh Amerika Serikat.[291]
Selain hilangnya nyawa warga sipil oleh para tentara tak berseragam, jutaan jiwa juga tewas
dalam perang proksi antar kedua negara adidaya di berbagai belahan dunia, terutama di Asia
Tenggara.[292] Sebagian besar perang proksi dan bantuan untuk konflik-konflik lokal turut
berakhir seiring dengan usainya Perang Dingin. Perang antar-negara, perang etnis, perang
revolusi, serta jumlah pengungsi menurun tajam pada tahun-tahun pasca-Perang Dingin.[293]
Di sisi lain, konflik-konflik antar-negara di Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terhapus pasca-
Perang Dingin. Ketegangan ekonomi dan sosial yang dulu dimanfaatkan sebagai "bahan bakar"
Perang Dingin terus berlangsung di Dunia Ketiga.[12] Kegagalan kontrol negara di sejumlah
wilayah yang dulunya dikuasai oleh pemerintah komunis telah menghasilkan konflik sipil dan
etnis baru, terutama di negara-negara bekas Yugoslavia.[12] Berakhirnya Perang Dingin telah
menghantarkan Eropa Timur pada era pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah
negara demokrasi liberal, sedangkan di bagian lain dunia, seperti di Afganistan, kemerdekaan
diikuti dengan kegagalan negara.[12]

Historiografi[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Historiografi Perang Dingin
Setelah istilah "Perang Dingin" dipopulerkan untuk merujuk pada ketegangan antara AS-Soviet
pasca-Perang Dunia II, penafsiran terhadap asal usul konflik telah menjadi sumber perdebatan
di kalangan sejarawan, ilmuwan politik, dan jurnalis.[294] Secara khusus, sejarawan tidak sepakat
mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan hubungan Soviet-AS setelah Perang
Dunia II, dan apakah konflik antara dua adidaya tersebut tak terelakkan atau bisa
dihindari.[295] Para sejarawan juga tidak sepakat mengenai apa defenisi persisnya Perang Dingin
itu, apa-apa saja yang menjadi sumber-sumber konfliknya, dan bagaimana untuk menguraikan
pola aksi dan reaksi antara kedua belah pihak.[12]
Meskipun penjelasan tentang asal usul dari konflik Perang Dingin dalam diskusi akademik
berlangsung dengan kompleks dan beragam, beberapa sekolah umum menetapkan pemikiran
pada subjek yang dapat diidentifikasi. Sejarawan umumnya berpendapat bahwa terdapat tiga
pendekatan yang berbeda untuk mempelajari Perang Dingin, yaitu: pendekatan "ortodoks",
"revisionisme", dan "pasca-revisionisme".[288]
Pendekatan "ortodoks" menyatakan bahwa Uni Soviet dan ekspansinya ke Eropa Timur lah
yang memicu berkobarnya Perang Dingin.[288] Kalangan "revisionis" menganggap bahwa
Amerika Serikat bertanggung jawab atas kerusakan perdamaian pasca-Perang Dunia II karena
berupaya untuk mengkonfrontasi dan mengisolasi Uni Soviet sebelum akhir Perang Dunia
II.[288] Sedangkan "pasca-revisionis" memandang Perang Dingin sebagai peristiwa yang lebih
bernuansa, dan berusaha untuk lebih menyeimbangkan mengenai siapa pihak yang
bertanggung jawab dalam Perang Dingin.[288] Kebanyakan historiografi mengenai Perang Dingin
menggunakan dua atau keseluruhan pendekatan ini.[31]

Anda mungkin juga menyukai