Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SISTEM ENDOKRIN I

KONSEP ASKEP HIPERPARATIROIDISME


SEKUNDER PADA PENDERITA GGK

Dosen Pembimbing :
Sri Hananto Ponco, S.Kep, Ns, M.Kep

KELOMPOK 05
OLEH IV C S1-KEPERAWATAN
1. Hani Rosyada (15.02.01.2002)
2. Henik Susilowati (15.02.01.2004)
3. Khoiria Nur F (15.02.01.2012)
4. Mutiatus Sholiha (15.02.01.2024)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa


melimpahkan taufiq serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini sebagai tugas mata kuliah Sistem Endokrin 1.
Makalah ini disusun berdasarkan bekal ilmu pengetahuan sebatas yang
penulis miliki, sehingga tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan dari beberapa
pihak akan sulit bagi penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu,
ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Drs. H. Budi Utomo, Amd.Kep.,M.Kes., selaku Ketua Stikes
Muhammadiyah Lamongan.
2. Arifal Aris, S.Kep.,Ns., M.Kes., selaku kaprodi S1 Keperawatan Stikes
Muhammadiyah Lamongan.
3. Sri Hananto Ponco, S.Kep, Ns, M.Kep., selaku dosen pembimbing mata
pelajaran Sistem Endokrin 1.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis cantumkan, yang telah turut
mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari laporan yang kami buat ini jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu kami selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Besar harapan agar laporan ini berguna bagi para pembaca.

Lamongan, 15 Maret 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................iii
BAB A PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................1
C. Tujuan Penulisan .............................................................................2
BAB B PEMBAHASAN
A. Definisi ............................................................................................3
B. Etiologi.............................................................................................3
C. Manifestasi Klinis............................................................................4
D. Patofisiologi.....................................................................................4
E. Pathway............................................................................................6
F. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................7
G. Prognosa ..........................................................................................9
BAB C ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian........................................................................................10
B. Contoh Analisa dan Diagnosa Keperawatan....................................12
C. Contoh Nursing Care Plan................................................................13
D. Contoh Implementasi Keperawatan.................................................15
E. Contoh Evaluasi................................................................................16
BAB D PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................17
B. Saran.................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama sekresi hormone paratiroid (PTH), kelenjar paratiroid
bertanggung jawab mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler.
Hiperparatiroidisme adalah karakter penyakit yang disebabkan kelebihan
sekresi hormone paratiroid, hormon asam amino polipeptida. Sekresi hormon
paratiroid diatur secara langsung oleh konsentrasi cairan ion kalsium. Efek
utama dari hormon paratiroid adalah meningkatkan konsentrasi cairan kalsium
dengan meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfat dari matriks tulang,
meningkatkan penyerapan kalsium oleh ginjal, dan meningkatkan produksi
ginjal (Aziz, 2013).
Hiperparatiroidisme terjadi karena sekresi berlebihan hormon paratiroid
(PTH) dari satu atau lebih diantara empat kelenjar paratiroid. Hipertiroidisme
terbagi menjadi primer dan sekunder. Hipertiroidisme sekunder pada penderita
gagal ginjal kronis merupakan keadaan dimana sekresi hormon paratiroid yang
berlebihan yang diakibatkan oleh adanya kelainan di luar kelenjar paratiroid
yang menimbulkan hipokalsemia (Kowalak, 2011).
Penderita dengan kelainan hormon paratiroid, tidak tampak jelas pada kehidupan
sehari-hari. Kebanyakan pasien dengan kelainan hormon paratiroid mengalami gangguan
dari metabolisme kalsium dan fosfat. Prevalensi penyakit hiperparatiroid di
Indonesia kurang lebih 1000 orang tiap tahunnya (Tiasa, 2011).
Di Amerika Serikat sekitar 100.000 orang diketahui terkena penyakit
hiperparatiroid tiap tahun. Pada kasus hiperparatirodisme sekunder hampir
selalu terjadi pada pasien gagal ginjal kronik (Tiasa, 2011).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hiperparatiroid sekunder pada GGK?
2. Apa saja etiologi dari hiperparatiroid sekunder pada GGK ?
3. Apa saja manifestasi klinis dari hiperparatiroid sekunder pada GGK?
4. Bagaimana patofisiologi dari hiperparatiroid sekunder pada GGK?
5. Bagaimana pathway dari hiperparatiroid sekunder pada GGK?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari hiperparatiroid sekunder pada GGK?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari hiperparatiroid sekunder pada GGK?
8. Bagaimana asuhan keperawatan dari hiperparatiroid sekunder pada GGK?

4
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hiperparatiroid sekunder pada GGK
2. Untuk mengetahui dari hiperparatiroid sekunder pada GGK ?
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari hiperparatiroid sekunder pada
GGK?
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari hiperparatiroid sekunder pada GGK?
5. Untuk mengetahui pathway dari hiperparatiroid sekunde rpada GGK?
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari hiperparatiroid sekunder
pada GGK?
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari hiperparatiroid sekunder pada
GGK?
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari hiperparatiroid sekunder pada
GGK?

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal secara perlahan
yang mengakibatkan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil
metabolisme tubuh terganggu (Sjamsuhidayat, 2010).
Hiperparatiroid adalah akibat dari kelebihan produksi hormon paratiroid
oleh kelenjar tiroid yang ditandai dengan dekalsifikasi tulang dan pembentukan
batu ginjal yang mengandung kalsium (Smeltzer, 2001).
Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang
berlebihan kerana rangsangan produksi yang tidak normal. Secara khusus,
kelainan ini berkaitan dengan kegagalan ginjal akut (Aziz, 2013).
Hiperparatiroid sekunder merupakan suatu keadaan dimana sekresi
hormon paratiroid meningkat lebih banyak dibanding dengan keadaan normal,
karena kebutuhan tubuh meningkat sebagai proses kompensasi. Pada keadaan
ini terdapat hiperplasi dan hiperfungsi merata pada keempat kelenjar paratiroid,
terutama dari chief cells (Tiasa, 2011).
Hipertiroidisme sekunder pada penderita gagal ginjal kronis merupakan
keadaan dimana sekresi hormon paratiroid yang berlebihan yang diakibatkan
oleh adanya kelainan di luar kelenjar paratiroid yang menimbulkan
hipokalsemia (Kowalak, 2011).

B. Etiologi
Pada hiperparatiroidisme sekunder terdapat kelainan di luar kelenjar
paratiroid yang menimbulkan hipokalsemia sehingga hormon paratiroid
diproduksi secara berlebihan untuk mengimbanginya (Kowalak, 2011).
Biasanya penyebab primer adalah gagal ginjal kronik, dan
glomerulonefritis atau pyelonefritis menahun. Pada keadaan gagal ginjal, ada
banyak factor yang merangsang produksi hormon paratiroid berlebih. Salah
satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan produksi vitamin D karena
penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia berperan penting dalam
perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan
produksi hormon paratiroid (Sjamsuhidayat, 2010).

6
Pada penyakit ini terdapat hiperplasia dan hiperfungsi dari kelenjar
paratiroid. Sebab primer adalah keadaan hipokalsemia kronik yang disebabkan
di antaranya oleh (Sjamsuhidayat, 2010):
a. Glomerulonefritis
b. Kongenital dari traktus urinarius pada anak-anak
c. Dialisis, dapat menyebabkan penurunan kadar kalsium darah.

C. Manifestasi Klinis
Karena hiperparatiroidisme sekunder disebabkan oleh berbagai macam
etiologi, maka manifestasi klinis yang sering muncul selalu disertai dengan
adanya manifestasi klinis akibat kelainan yang mendasarinya, yaitu gagal ginjal
atau defisiensi vitamin D (osteomalasia atau miopati) (Aziz, 2013).
Pasien mungkin tidak atau mengalami tanda-tanda dan gejala akibat
terganggunya beberapa sistem organ pada kasus hiperparatiroidisme sekunder
yang lama dan berat. Gejala apatis, keluhan mudah lelah, kelemahan otot,
mual, muntah, konstipasi, hipertensi dan aritmia jantung dapat terjadi, semua
ini berkaitan dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah. Manifestasi
psikologis dapat bervariasi mulai dari emosi yang mudah tersinggung dan
neurosis hingga keadaan psikosis yang disebabkan oleh efek langsung kalsium
pada otak serta sistem saraf. Peningkatan kadar kalsium akan menurunkan
potensial eksitasi jaringan saraf dan otot (Aziz, 2013).
Bahkan, dapat terjadi neksrosis avaskular pada caput femoris karena
adanya renal distrofi yang menyebabkan nyeri sendi panggul. Secara umum,
efek dari hiperkalsemia adalah sebagai berikut (Aziz, 2013):
1. Sistem saraf pusat: Perubahan mental, penurunan daya ingat, emosional
tidak stabil, depresi, gangguan tidur, koma.
2. Neuromuscular: Tenaga otot berkurang (paroxysmal muscular weakness),
rasa sakit pada sendi dan otot akibat penimbunan kalsium, pruritus, dan
pergerakan tangan yang abnormal pada saat tidur.
3. Gastrointestinal: Ulkus peptikum, pankreatitis, nausea, vomiting, reflux, dan
kehilangan nafsu makan.
4. Kardiovaskular: Hipertensi.
5. Mata: Konjunctivitis, keratopathy.
6. Kulit: Pruritus akibat penimbunan kalsium

D. Patofisiologi

7
Hiperparatiroidisme sekunder biasanya ditandai dengan adanya hiperplasia
kelenjar paratiroid. Keempat kelenjar biasanya akan mengalami hiperplasia,
tapi kadang hanya 1-2 kelenjar yang mengalami hiperplasia.
Hiperparatiroidisme sekunder kebanyakan merupakan akibat dari keadaan
gagal ginjal kronik, dimana biasanya berkembang pada pasien hemodialisis.
Pada gagal ginjal kronik terjadi berbagai abnormalitas biokimia, termasuk
penurunan kemampuan ekskresi fosfat melalui urin. Keadaan ini akan
mengakibatkan peningkatan kadar fosfat dalam darah, sehingga meningkatkan
kadar produk kalsium-fosfat. Sehingga kadar kalsium darah cenderung
menurun, keadaan ini disebut sebagai hipokalsemia (Smeltzer, 2001).
Keadaan hiperfosfatemia dan kerusakan parenkim ginjal berhubungan
dengan penyebab penurunan kemampuan ginjal dalam memproduksi
dihydroxycholecalciferol (vitamin D aktif), yang berperan dalam absorbsi
kalsium di saluran intestinal. Berbagai keadaan yang menyebabkan terjadinya
hipokalsemia kronis ini, menstimulasi tubuh untuk melakukan suatu reaksi
kompensasi untuk mengembalikan kadar kalsium dalam darah sehingga
mendekati angka normal. Cara kompensasi tubuh yang digunakan yaitu dengan
overproduksi PTH yang secara tidak langsung diikuti dengan hiperplasia
kelenjar paratiroid. PTH terutama bekerja pada tulang, usus dan ginjal
(Kowalak, 2011).
Dalam ginjal, PTH meningkatkan resorpsi kalsium dari lumen tubulus
ginjal. Dengan demikian mengurangi eksresi kalsium dalam urine. PTH juga
meningkatkan bentuk vitamin D3 aktif dalam ginjal, yang selanjutnya
memudahkan ambilan kalsium dari makanan dalam usus (Kowalak, 2011).
Pada saat kadar kalsium serum mendekati 12 mg/dL, tubular ginjal
mereabsorpsi kalsium secara berlebihan sehingga terjadi keadaan
hiperkalsiuria. Hal ini dapat meningkatkan insidens nefrolithiasis, yang mana
dapat menimbulkan penurunan kreatinin klearens dan gagal ginjal. Peningkatan
kadar kalsium ekstraselular dapat mengendap pada jaringan halus. Rasa sakit
timbul akibat kalsifikasi berbentuk nodul pada kulit, jaringan subkutis, tendon
(kalsifikasi tendonitis), dan kartilago (khondrokalsinosis) (Kowalak, 2011).

E. Pathway

8
Gagal Ginjal Hemodialisis Peningkatan kadar
fosfor dalam darah
Kronis
Hiperparatiroid
Peningkatan kalsium Hipokalsemi dan
Sekunder
pada tubulus ginjal hiperfosfatemia

Efek reseptor Hiperkalsemia Mual Muntah


Hiperkalsiuria
Peningkatan Tidak nafsu
Batu ginjal Traktus digestinal
resorbsi Ca dari
makan
tulang
Gangguan Nutrisi menurun
eliminasi urin Kelemahan
Absorbsi usus
tulang progresif Ketidakseimbangan
meningkat
Poliuria Konstipasi Kelemahan Nutrisi kurang dari
otot kebutuhan
Kekurangan
volume cairan Intoleransi
aktivitas
F. Pemeriksaan Penunjang
Hiperparatiroidisme didiagnosis ketika tes menunjukkan tingginya level
kalsium dalam darah disebabkan tingginya kadar hormon paratiroid. Penyakit
lain dapat menyebabkan tingginya kadar kalsium dalam darah, tapi hanya
hiperparatiroidisme yang dapat menaikkan kadar kalsium dalam level yang
tinggi (Tiasa, 2011).
Kenaikkan kadar kalsium serum saja merupakan gambaran yang
nonspesifik karena kadar dalam serum ini dapat berubah akibat diet, obat-
obatan dan perubahan pada ginjal serta tulang. Perubahan tulang dapat
dideteksi dengan pemeriksaan sinar-x atau pemindai tulang pada kasus-kasus
penyakit yang sudah lanjut. Penggambaran dengan sinar X pada abdomen bisa
mengungkapkan adanya batu ginjal dan jumlah urin selama 24 jam dapat
menyediakan informasi kerusakan ginjal dan resiko batu ginjal. Pemeriksaan
antibodi ganda hormon paratiroid digunakan untuk membedakan
hiperparatiroidisme dengan keganasan, yang dapat menyebabkan
hiperkalsemia (Tiasa, 2011).
Pemeriksaan USG, MRI, Pemindai thallium serta biopsi jarum halus telah
digunakan untuk mengevaluasi fungsi paratiroid dan untuk menentukan lokasi
kista, adenoma serta hiperplasia pada kelenjar paratiroid. Tes darah
mempermudah diagnosis hiperparatiroidisme karena menunjukkan penilaian

9
yang akurat berapa jumlah hormon paratiroid. Sekali diagnosis didirikan, tes
yang lain sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya komplikasi. Karena
tingginya kadar hormon paratiroid dapat menyebabkan kerapuhan tulang
karena kekurangan kalsium, dan pengukuran kepadatan tulang sebaiknya
dilakukan untuk memastikan keadaan tulang dan resiko fraktura.8
Salah satu kelemahan diagnostik adalah terjadinya penurunan bersihan fragmen
akhir karboksil PTH pada pasien gagal ginjal, menyebabkan peningkatan palsu
kadar PTH serum total. Penetuan PTH amino akhir atau PTH utuh
direkomendasikan untuk menilai fungsi paratiroid pasien gagal ginjal (Tiasa,
2011).
Hiperparatiroidisme sekunder pada umumnya menunjukkan hasil
pemeriksaan penunjang sebagai berikut (Kowalak, 2011):
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hormon paratiroid meningkat
b. Kalsium serum dapat normal atau menurun
c. Fosfat serum menurun pada defisiensi vitamin D, Fosfat serum
meningkat pada insufisiensi atau gagal ginjal
d. Kadar 25-hydroxyvitamin D menurun, kurang dari 20 ng per milliliter
(50 nmol per liter)
2. Radiologis: Rontgen (komplikasi pada organ target)
a. Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi
b. Cystic-cystic dalam tulang
c. Trabeculae di tulang
d. Erosi subperiostal
e. Nefrolithiasis
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk evaluasi pembesaran kelanjar paratiroid.
4. PA: osteoklas, osteoblast, dan jaringan fibreus bertambah

F. Penatalaksanaan
Adapun tindakan yang dapat dilakukan pada penderita hiperparatiroidisme
sekunder antra lain (Smeltzer, 2001)
1. Konservatif
Berikut pilihan terapi non bedah yang dianjurkan bagi pasien
hiperparatiroidisme sekunder pada kasus gagal ginjal kronik:
a. Restriksi konsumsi fosfat, jika dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar 25-hydroxyvitamin D >30 ng/mL.
b. Suplementasi kalsium dibatasi kurang dari 2 gr/hari

10
c. Vitamin D dan analognya:
1. Calcitriol
Penekanan sekresi hormon paratiroid dengan low-dose calcitriol
mungkin dapat mencegah hiperplasia kelenjar paratiroid dan
hiperparatiroidisme sekunder.
2. Analog calcitriol: Paricalcitol, doxercalciferol, maxacalcitol, dan
falecalcitriol

d. Kalsimimetik, seperti cinacalcet


Kalsimimetik digunakan efeknya dalam meningkatkan sensitivitas
reseptor kalsium dan menghambat pengeluaran dari PTH. Selain itu,
kalsimimetik juga dapat menurunkan kadar fosfor dalam darah.
Penyembuhan dengan calcitriol dan kalsium dapat mencegah atau
meminimalisir hiperparatiroidisme sekunder. Kontrol kadar cairan fosfat
dengan diet rendah fosfat juga penting. Pasien yang mengalami dialysis-
dependent chronic failure membutuhkan calcitriol, suplemen kalsium,
fosfat bebas aluminium, dan cinacalcet (sensipar) untuk memelihara level
cairan kalsium dan fosfat.
2. Operatif
Pasien yang mengalami nyeri tulang atau patah tulang, pruritus, dan
calciphylaxis perlu perawatan dengan pendekatan operatif. Kegagalan pada
terapi medis untuk mengontrol hiperparatiroidisme juga mengindikasikan
untuk menjalani operasi. Umumnya, jika terjadi hiperparatiroidisme
persisten berat dengan kadar hormon paratiroid lebih tinggi dari 800 pg/mL
dan keadaan hiperkalsemia dan hiperfosfatemia walaupun dengan
pengoreksian kadar kalsium dan fosfor, serta tebukti adanya kelainan pada
tulang, paratiroidektoimi sebaiknya dipertimbangkan.

G. Prognosis
Pengobatan hiperparatiroidisme sekunder pada kebanyakan pasien
berhasil. Pasien yang menjalani pengangkatan kelenjar paratiroid mempunyai
kira-kira 10% resiko kumatnya penyakit. Hal ini mungkin berkaitan dengan
fungsi yang berlebihan atau hilangnya kelenjar dileher atau hiperplasia.
Adakalanya pasien yang telah menjalani operasi, dapat mengalami

11
hipoparatiroidisme persisten, sehingga pasien demikian membutuhkan
suplementasi kalsium dan calcitriol seumur hidup (Sjamsuhidayat, 2010).

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas pasien:
Umur : Hiperparatiroid sering di alami pada usia 50 tahun ke
atas
Jenis kelamin : wanita dua kali beresiko dari pada laki-laki
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering dialami yaitu sakit kepala, Mual, Muntah,
kelemahan, dan kelelahan otot.
b. Riwayat penyakit sekarang
Keadaan yang tampak biasanya pasien terlihat lemah, adanya
peningkatan ukuran kelenjar tiroid, anoreksia, obstipasi, dan nyeri
lambung yang akan disertai penurunan berat badan, depresi, nyeri
tulang dan sendi.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang berhubungan dengan penyakit pasien sekarang biasanya
adalah penyakit ginjal trauma / fraktur tulang, riwayat radiasi daerah
leher dan kepala, adanya riwayat infeksi saluran kensing atau pernah
obstruksi batu, dan mengkonsumsi obat antibiotik terlalu lama
d. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada keluarga Adakah penyakit yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga
dengan hiperparatiroid
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum
Keadaan umum lemah, kesadaran menurun sampai syok, hipovolemik
b. Tanda-tanda vital :
1. Tekanan darah : Meningkat
2. Pernafasan : Meningkat
3. Nadi : Meningkat
4. Suhu : Meningkat
c. Pemeriksaan ROS
1. Breath (B1)
Gejala : nafas pendek, batuk dengan / tanpa sputum kental dan
banyak.
Tanda : takipnea, dispnea, peningkatan frekensi/kedalaman
(pernafasan Kussmaul)

13
2. Blood (B2)
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi,
Tanda : hipertensi (nadi kuat, edema jaringan, pitting pada
kaki, telapak tangan), disritmia jantung, pucat, kecenderungan
perdarahan.
3. Brain (B3)
Gejala : penurunan daya ingat, depresi, gangguan tidur,
koma
Tanda : gangguan status mental, penurunan tingkat
kesadaran, ketidak mampuan konsentrasi, emosional tidak stabil
4. Bladder (B4)
Gejala : penurunan frekuensi urine, obstruksi traktus
urinarius, gagal fungsi ginjal (gagal tahap lanjut), abdomen
kembung,diare, atau konstipasi.
Tanda : perubahan warna urine, oliguria, hiperkalsemia,
Batu ginjal biasanya terdiri dari kalsium oksalat atau kalsium fosfat
5. Bowel (B5)
Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
Tanda : distensi abdomen, perubahan turgor kulit,
kelainan lambung dan pankreas (tahap akhir), Ulkus peptikum
6. Bone (B6)
Gejala : kelelahan ekstremitaas, kelemahan, malaise.
Tanda : penurunan rentang gerak, kehilangan tonus otot,
kelemahan otot, atrofi otot
d. Pengkajian berdasarkan pola gordon
1. Pola persepsi dan manajemen kesehatan
Biasanya klien mengetahui tentang penyebab penyakit yang
dideritanya. Sebelum sakit klien bisa melakukan perawtan diri
sendiri namun selama sakit klien mengalami penurunan dalam
pemeliharaan kesehatan, dan bergantung pada orang lain.
2. Pola nutrisi dan metabolik
Biasanya sebelum sakit pola makan klien teratur, selama sakit klien
mengalami anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan
3. Pola eliminasi
Biasanya sebelum sakit pola eliminasi klien teratur, selama sakit
pola eliminasi terganggu terjadi penurunan frekuensi urine
4. Pola aktivitas dan latihan

14
Biasanya sebelum sakit klien dapat melakukan aktivitas secara
mandiri namun selama sakit klien mengalami kelelahan
ekstremitaas, kelemahan, dan malaise
5. Pola istirahat dan tidur
Biasanya selama sakit klien tidak bisa istirahat total
6. Pola persepsi sensori dan kognitif
Biasanya selama sakit klien mengalami penurunan kemampuan
sensasi
7. Pola peran dan hubungan
Pasien mengalami masalah dikarenakan adanya keterbatasan
bergerak
8. Pola seksualitas dan produksi
Tidak terkaji
9. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya klien ingin cepat sembuh dan tidak ingin mengalami
penyakit seperti ini lagi.
10. Pola koping dan toleransi stres
Biasanya mengalami rasa cemas terhadap penyakitnya
11. Pola nilai da keyakinan
Biasanya tergantung pada kebiasaan, ajaran dan aturan dari agama
yang dianut oleh individu tersebut

B. Contoh Analisa Data

Data Etiologi Problem


DS : Pasien mengatakan tidak obstruksi mekanik Gangguan pola
dapat BAK dengan lancar eliminasi urin
DO : adanya perubahan warna
urin dan volume urine <400
ml/kg/jam
DS : Pasien mengatakan merasa output yang Ketidakseimbang
tidak nafsu makan berlebih an nutrisi kurang
DO : BB menurun, pasien dari kebutuhan
mengalami mula dan muntah tubuh
TD :< normal (100-120/60-80
mmHg)
RR : 17 x/menit (normal)
Nadi : <normal (60-80x/menit)
DS : Intoleransi Kelemahan otot
- Pasien mengeluh tidak dapat aktivitas
beraktivitas secara mendiri
- Pasien mengeluh kesulitan

15
untuk bergerak dengan normal
DO:
- pasien tampak lemas
- Suhu normal (37,5oC)
TD :< normal (100-120/60-80
mmHg)
RR : 17 x/menit (normal)
Nadi : <normal (60-80x/menit)
Calsium : <12 mg/mL

C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola eliminasi urin b.d obstruksi mekanik
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d output yang
berlebih
3. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot
D. Nursing Care Plan
Tujuan & Kreteria
No Intervensi Rasional
Hasil
1. Setelah dilakukan O: Observasi output, - Mengetahui masalah
tindakan keperawatan warna dan bau urin,
selama 3x24 jam, pola serta pola berkemih - Memonitor
eliminasi kembali keseimbangan cairan
normal, dengan kriteria N: Ukur intake dan output
hasil : cairan setiap 4 jam - Relaksasi pikiran
K : pasien mengetahui dapat meningkatkan
penyebab terjadinya E: Anjurkan klien untuk kemampuan
gangguan pola melakukan relaksasi berkemih
eliminasi ketika duduk berkemih
A: pasien mampu - Meningkatkan
mengungkapkan C: Kolaborasi dengan tim fungsi ginjal dan
perasaannya selama medis dalam pemberian bladder
pola eliminasi terapi (palpasi dan
terganggu perkusi)
P: pasien mampu
melakukan
penanganan sendiri
pada saat mengalami
gangguan pola
eliminasi
P: pola eliminasi
kembali normal

16
- volume urine 1200
ml/kg/jam
- warna urine kuning
transparan
2. Setelah dilakukan O: Lakukan observasi - Mengetahui
tindakan keperawatan TTV dan keadaan perkembangan
selama 2x24 jam, umum pasien kondisi pasien
kebutuhan nutrisi
terpenuhi, dengan N: Berikan pasien makan- - Meningkatkan nafsu
kriteria hasil : makanan dalam makan dan
K : pasien mengetahui keadaan hangat mencegah terjadinya
penyebab terjadinya mual muntah
gangguan nutrisi E:Anjurkan untuk tidak
A : pasien tidak makan-makanan yang - Menghindari
merasakan mual dan mengandung asam terjadinnya mual
muntah lambung. muntah
P : pasien mampu
memenuhi C: Kolaborasi dengan tim - Untuk menetukan
kebutuhan nutrisi ahli gizi diet yang tepat
P : kebutuhan nutrisi
terpenuhi
- TTV dalam batas
normal
TD : 110/80 mmHg
RR : 20 x/menit
Nadi : 80 x/menit
S : 36oC
- calsium normal
3. Setelah dilakukan O : Observasi gangguan - Mengetahui
tindakan keperawatan keseimbangan gaya perubahan neurologi
selama 2x24 jam, jalan dan kelemahan yang mempengaruhi
intoleransi aktivitas otot keamanan pasien/
kembali terpenuhi, resiko cidera
dengan criteria hasil : N : Berikan lingkungan
K : pasien mengetahui yang tenang dan - Meningkatkan
penyebab terjadinya kurangi suara bising, kenyamanan,
intoleransi aktivitas pertahankan tirah menurunkan
A : pasien merasakan baring bila di kebutuhan oksigen
ada peningkatan indikasikan tubuh dan
pada aktivitasnya menurunkan
P: Pasien mampu E : Anjurkan klien istirahat regangan jantung

17
melakukan tindakan bila terjadi kelelahan dan paru.
untuk meningkatkan dan kelemahan,
kebutuhan anjurkan pasien - Meningkatkan
aktivitasnya melakukan aktivitas aktivitas secara
P : aktivitas pasien semampunya bertahap sampai
meningkat dan normal dan
kembali normal C : Kolaborasi dengan tim memperbaiki tonus
TTV dalam batas medis dalam pemberian otot
normal terapi
TD : 110/80 mmHg - Menentukan terapi
RR : 20 x/menit sesuai indikasi
Nadi : 80 x/menit
S : 36oC

18
E. Implementasi
Jam/ No.
Implementasi Respon Pasien Ttd
Tgl Dx
07.00/ 1, 2 1. Mengobservasi output, warna DS : pasien bersedia
Senin &3 dan bau urin, serta pola untuk diobservasi
12-03- berkemih DO : ditemukan
2017 2. Mengobservasi TTV dan perubahan warna urin,
keadaan umum pasien jalan tidak tegak,
3. Mengobservasi gangguan Suhu normal (37,5oC)
keseimbangan gaya jalan dan TD :< normal (100-
kelemahan otot 120/60-80 mmHg)
RR : 17 x/menit
(normal)
Nadi : <normal (60-
80x/menit)
08.00 2 & 4. Memberikan pasien makan- DS : Pasien bersedia
3 makanan dalam keadaan hangat makan
5. Memberikan lingkungan yang DO : Pasien makan
tenang dan kurangi suara bising, dengan lahap, dan
pertahankan tirah baring bila di perasaan tenang
indikasikan
09.00 1 6. Mengukur intake dan output DS : pasien bersedia
cairan setiap 4 jam dikaji
DO : pasien terlihat
rileks
10.00 1,2 7. Menganjurkan klien untuk DS : pasien mampu dan
&3 melakukan relaksasi ketika bersedia melakukan
duduk berkemih tindakan yang telah
8. Menganjurkan untuk tidak diinstrusikan.
makan-makanan yang DO : pasien terlihat
mengandung asam lambung nyaman saat berkemih
9. Menganjurkan klien istirahat dan rasa lelah
bila terjadi kelelahan dan berkurang
kelemahan, anjurkan pasien
melakukan aktivitas
semampunya
13.00 3 Memandirikan klien dalam DS : pasien mengatakan
melakukan aktivitas sehari hari mampu melakukan
dan membantu jika dibutuhkan aktivitas secara mandiri
DO : pasien terlihat
senang
13.30 1, 2 10. Mengobservasi output, warna DS : pasien bersedia

19
&3 dan bau urin, serta pola untuk diobservasi
berkemih DO : ditemukan
11. Mengobservasi TTV dan
perubahan warna urin,
keadaan umum pasien jalan tidak tegak,
12. Mengobservasi Suhu normal (37,5oC)
gangguan
keseimbangan gaya jalan dan TD :< normal (100-
kelemahan otot 120/60-80 mmHg)
RR : 17 x/menit
(normal)
Nadi : <normal (60-
80x/menit)

F. Evaluasi
No.
Tgl/Jam Evaluasi
Dx
Senin / 1 S : Pasien mengatakan sudah bisa BAK dengan lancar dan bisa
12-03- mengontrol eliminasi urin
2017 O : Pasien tampak nyaman
14.30 A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi
Senin/ 2 S : Pasien mengatakan sedikit merasa mual dan sudah tidak
12-03- muntah
2017 O : Pasien menghabiskan dua sendok makan dari makanan yang
15.30 disediakan
A : Masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
Senin/ 3 S : Pasien mengatakanmasih terasa lemas
12-03- O : Aktivitas pasien dibantu perawat dan keluarga
2017 A : Masalah belum teratasi
17.30 P : Lanjutkan intervensi

20
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang
berlebihan kerana rangsangan produksi yang tidak normal. Secara khusus,
kelainan ini berkaitan dengan kegagalan ginjal akut.
Pada hiperparatiroidisme sekunder terdapat kelainan di luar kelenjar
paratiroid yang menimbulkan hipokalsemia sehingga hormon paratiroid
diproduksi secara berlebihan untuk mengimbanginya.
Manifestasi klinis yang sering muncul selalu disertai dengan adanya
manifestasi klinis akibat kelainan yang mendasarinya, yaitu gagal ginjal atau
defisiensi vitamin D (osteomalasia atau miopati).
Hiperparatiroidisme sekunder pada umumnya menunjukkan hasil
pemeriksaan penunjang, diantaranya adalah hormon paratiroid meningkat,
kalsium serum dapat normal atau menurun, fosfat serum menurun pada
defisiensi vitamin D, fosfat serum meningkat pada insufisiensi atau gagal
ginjal, kadar 25-hydroxyvitamin D menurun, kurang dari 20 ng per milliliter
(50 nmol per liter), tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi, Cystic-cystic dalam
tulang, trabeculae di tulang, erosi subperiostal, nefrolithiasis.
B. Saran
Dari kami pribadi mengakui bahwa makalah yang telah selesai kami susun
ini jauh dari kesempurnaan. Kami sangat mengharapkan kritikan maupun
saran dari pembaca agar makalah ini dapat lebih sempurna.

21
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. 2013. http://abdulaziz-fkp10.web.unair.ac.id/artikel_detail-81952-askep


%20endokrin-askep%20hipertiroidisme.html. Diakses tanggal 13 Maret,
2017.

Kowalak, J. P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidayat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth (8 ed., Vol. II). Jakarta: EGC.

Tiasa. 2011. http://dsecretofbody.blogspot.co.id/2011/06/hiperparatirodisme-


sekunder.html. Diakses 13 Maret 2017

22

Anda mungkin juga menyukai