Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
2.1. Definisi
HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma
Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi
segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas,
(pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi
dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam
pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat
didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2,
disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat
dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologist ditemukan pola
retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air
bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS. (2),(5)
2.2. Insidensi
Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian
pada bayi baru lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun.
Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD
atau komplikasinya. (9),(8)
HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik
dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi
kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang
dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. (9)
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia
kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan
operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi
terdahulu mengalami HMD. (9)
Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang
menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan
pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress
pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi
kongenital kronik. (4)
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. (9) Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan
menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. (4)
Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin releasing
hormon pada ibu. (4)
2.4. Patologi
Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi menyerupai liver.
Secara mikroskopis, terdapat atelektasis luas. Beberapa ductus alveolaris, alveoli
dan bronchiolus respiratorius dilapisi mebran kemerahan homogen atau granuler.
Debris amnion, perdarahan intraalveolar, dan emfisema interstitial dapat
ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan positive end expiratory
pressure (PEEP). Karakteristik HMD jarang ditemukan pada penderita yang
meninggal kurang dari 6-8 hari sesudah lahir. (9)
Membran hyalin tidak didapatkan pada bayi dengan RDS yang meninggal
Ditandai dengan alveoli yang kolaps berselang-seling dengan alveoli yang
mengalami hiperaerasi, kongesti vaskuler, dan membran hyalin (fibrin, debris sel,
eritrosit, netrofil dan makrofag). Membran hyalin terlihat sebagai materi yang
eosinifil dan amorf, membatasi atau mengisi rongga alveolar dan menghambat
pertukaran gas.
2.6. Diagnosis
2.6.1. Gejala klinis
Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya
takipneu (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif
setelah 48-72 jam pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer,
edema paru, ronki halus inspiratoir. (2)
Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR
score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti
ada distress nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24
jam. (2),(12)
2.6.4. Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan
derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. (8)
2.6.6. Amniosentesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion
dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin-
spingomielin (2)
2.6.7. Tes apung paru
Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan
untuk mengetahui apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan
test ini syaratnya mayat harus segar. (1)
Keluarkan alat-alat dalm rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu
kesatuan, pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat. Apungkan seluruh alat-
alat tersebut pada bak yang berisi air. Bila terapung, lepaskan organ paru-paru,
baik yang kiri maupun yang kanan. Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila
terapung lanjutkan dengan pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat 5
lobus, kiri 2 lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang tenggelam,
mana yang terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus
5 potong dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
Apungkan ke-25 potongan kecil-kecil tersebut. Bila terapung, letakan potongan
tersebut pada 2 karton, dan lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian
dimasukkan kembali ke dalam air. Bila terapung berarti tes apung positif, paru-
paru mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup. Bila hanya
sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap pernah
dilahirkan hidup. (1)
2.7.4. Lain-lain
Penyakit jantung sianotik ( anomali total aliran balik vena pulmonal),
sirkulasi fetal yang persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi
pleura, eventrasi diafragma, dan kelainan kongenital seperti malformasi kistik
adenomatoid, limfangiektasi pulmonal, hernia diafragma, atau emfisema lobaris
harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan gambaran rontgen.
(9)
Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan
kadang muncul sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan
mematikan. Perdarahan paru, sepsis. (9)
Hal-hal yang dapat menimbulkan edema paru seperti PDA, obstruction of
pulmonary venous drainage, hypoplastic left heart syndrome, dan edema pulmo
neurogenik, sekunder darimperdarahan intracranial. (8)
Hal-hal yang diasosiasikan dengan hipoaerasi paru seperti sedasi ibu,
hipoksemia berat, hipotermia, kerusakan CNS. Keadan ini tidak menimbulkan
gambaran opak granular bilateral pada rontgen thoraks (berbeda dengan RDS). (8)
2.8. Pencegahan
2.8.1. Mencegah kelahiran prematur
Yang terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari
operasi caesar yang tidak perlu, penganan yang baik dari kehamilan dan
persalinan yang berisiko tinggi, prediksi dan terapi intra uterin dari imaturitas
paru-paru. (9)
Menurut Goldenberg, hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
kelahiran prematur adalah, ibu yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu
yang bekerja terlalu keras selama kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah
ibu mengalami anemia, hal ini ternyata dapat mengurangi angka kelahiran
prematur. Pada 10 % wanita hamil yang menjalani apus vagina pada kehamilan 24
27 minggu, ditemukan fibronektin yang merupakan penanda terjadinya infeksi.
Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang prematur, oleh karena itu sedang
dilakukan penelitian apakah aman bila ibu hamil dengan infeksi diberikan terapi
metronidazol. (5)
Pada saat menentukan waktu untuk induksi persalinan atau operasi caesar,
perkiraan lingkar kepala fetus dengan USG dan penentuan konsentrasi lecithin
pada cairan amnion dengan rasio lecithin : sphingomyelin, menurunkan
kemungkinan lahirnya bayi prematur. Pemantauan intrauterin antenatal dan
intrapartum menurunkan kemungkinan terjadinya asfiksia, yang dikaitkan dengan
meningkatnya insidensi dan beratnya HMD. (9)
2.11 Prognosa
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko
tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan
penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan
pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus,
peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi
yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan
telah mengurangi mortalitas 40 %. (9)
Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU
menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat <> 2.500 gr bertahan. Meski
85 90 % bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator
adalah normal, penampakan luar lebih baik pada yang berta badannya > 1.500 gr,
sekitar 80 % dari yang beratnya <>(9)