Anda di halaman 1dari 2

IJIN DAN LARANGAN PHK

I. PENDAHULUAN
Tingkat pengangguran di Indonesia semakin memprihatinkan. Menurut data
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah pengangur di Indonesia tahun
2007 mencapai 38 juta. Terdiri dari pengangur terbuka (9.132.104 orang) dan
setengah penganggur ( 28.869.000 orang ).

Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya Republik Indonesia
sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar 1945. Pasal 27 menyebutkan
setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
Kemanusiaan.

Namun setelah 62 tahun Republik Indonesia merdeka, pasal 27 tersebut tak kunjung
terwujud. Bukannya semakin sejahtera, semakin lama rakyat semakin menderita.
Petani kehilangan tanah pertaniannya, nelayan kehilangan tangkapan ikan, kaum
miskin kota tergusur dan buruh kehilangan pekerjaannya. Sementara pemerintah tidak
mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat. Akibatnya angka
pengangguran tetap tinggi.

Padahal intisari dari UUD 1945 Pasal 27 diatas adalah, bahwa sudah merupakan
kewajiban pemerintah untuk menjamin tersedianya pekerjaan dan penghidupan bagi
rakyatnya. Menjamin tersedianya lapangan kerja bagi rakyat dan menjamin setiap
orang tidak kehilangan pekerjaan dan penghidupannya. Dengan demikian
penghilangan hak orang atas pekerjaannya, yang lazim disebut dengan PHK
(Pemutusan hubungan kerja) adalah melanggar UUD 1945.

Namun pada kenyataannya, jangankan untuk memperoleh kehidupan yang layak.


Untuk memperoleh pekerjaan, jaminan hidup ataupun perlindungan masih jauh dari
harapan. Malahan, buruh atau pekerja yang sudah memiliki pekerjaan (walau ala
kadarnya) dalam prakteknya sangat mudah kehilangan pekerjaan dengan cara
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

II. LARANGAN PHK


PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak-hak dan kewajiban (prestasi dan kontra-prestasi)
antara pekerja/buruh dengan pengusaha. (Pasal 1 angka 25) UUK No 13 Tahun 2003.

Prinsip utama PHK adalah dipersulit. Oleh karena itu dalam hal-hal tertentu
pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap Pekerja/Buruh, walaupun si
Pekerja/Buruh tidak dapat melaksanakan kewajiban bekerja sesuai dengan
perintah di Pengusaha.

Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 (Pasal 153 ayat 1) dengan tegas
menyebutkan, bahwa Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan buruh :

pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan


dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-
menerus;
pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
pekerja/buruh menikah;
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

PHK karena alasan-alasan tersebut, adalah batal demi hukum (batal dengan
sendirinya) dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh tersebut.

Jika Pengusaha melakukan PHK karena alasan-alasan tersebut, maka lembaga


Penyelesaian Hubungan Industrial baik Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, Pengadilan
Hubungan Industrial dan Mahkamah harus membatalkannya dan memerintahkan
Pengusaha untuk mempekerjakan Pekerja/Buruh.

Anda mungkin juga menyukai