Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

PENATALAKSANAAN NONFARMAKOLOGI dan FARMAKOLOGI


pada NONALCOHOLIC FATTY LIVER DISEASE (NAFLD)

Disusun oleh:

Riana Liza Songupnuan

11.2016.099

Dosen Pembimbing

dr. Lisa Kurnia Sari, SpPD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Periode 8 mei s/d 15 juli 2017

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

RSUD Bethesda Lempuyangwangi

YOGYAKARTA

2017

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan karena berkat rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan referat ini dengan judul Penatalaksanaan Nonfarmakologi dan Farmakologi
pada Nonalcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). Referat ini disusun sebagai sarana diskusi
dan pembelajaran di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
Bethesda Lempuyangwangi. Terima kasih juga saya ucapkan kepada pembimbing saya dr.
Lisa Kurnia Sari, SpPD yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing
saya menyelesaikan referat ini.

Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para
mahasiswa Fakultas Kedokteran, Dokter, dan masyarakat Indonesia tentunya. Serta semoga
dapat menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran, terutama di dalam keilmuan
Penyakit Dalam baik dari segi pengetahuan, pemahaman mengenai bagaimana penanganan
baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi terhadap nonalcoholic fatty liver disease.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan baik
mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca referat ini. Atas
perhatian yang diberikan saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, 10 Juni 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................1

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3

BAB II ISI

1. Definisi nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD).................................................4


2. Faktor resiko NAFLD .5
3. Patofisiologi.............................................................................................................6
4. Diagnosis NAFLD ..7
5. Tatalaksana NAFLD ..11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan......................................................................................................16

BAB IV

Daftar pustaka...........................................................................................................................17

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan homeostasis tubuh
meliputi metabolisme, biotransformasi, sintesis, penyimpanan dan imunologi. Sel- sel hati
(hepatosit) mempunyai kemampuan regenerasi yang cepat. Oleh karena itu sampai batas
tertentu, hati dapat mempertahankan fungsinya bila terjadi gangguan ringan. Pada gangguan
yang lebih berat, terjadi gangguan fungsi yang serius dan akan berakibat fatal.1
Penyebab penyakit hati bervariasi, sebagian besar disebabkan oleh virus yang
menular secara fekal-oral, parenteral, seksual, perinatal dan sebagainya. Penyebab
lain dari penyakit hati adalah akibat efek toksik dari obat-obatan, alkohol, racun, jamur
dan lain-lain. Di samping itu juga terdapat beberapa penyakit hati yang belum diketahui pasti
penyebabnya.1
Penyakit hati berlemak non alkohol (NAFLD) adalah spektrum penyakit hati, dari
steatosis sampai sirosis pada individu yang tidak mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang
signifikan. NAFLD menjadi masalah kesehatan yang sangat besar di negara-negara Asia
Pasifik, termasuk Indonesia. Sebuah literatur menunjukkan bahwa ada kejadian NAFLD yang
cukup tinggi di Indonesia, khususnya sekitar 30 %. Ketinggian tinggi di berbagai tempat
dikaitkan dengan peningkatan kejadian penyakit metabolik, seperti diabetes melitus,
dislipidemia, obesitas, atau sindrom metabolik.2
NAFLD juga merupakan faktor risiko karsinoma hepatocelullar, oleh karena itu
penting untuk dikelola. Hubungan antara NAFLD dan sindrom metabolik berhubungan
dengan resistensi insulin. Diagnosis NAFLD masih menjadi tantangan bagi praktisi. Hingga
saat ini, biopsi hati adalah standar emas untuk pembentukan diagnosis. Karena itu, mengingat
prosedurnya cukup invasif, tidak dilakukan sering.2
Secara umum, kecurigaan NAFLD didasarkan pada adanya fungsi hati yang abnormal,
pada individu yang risikonya telah dijelaskan di atas, sehingga NAFLD menjadi
kemungkinan pertama. Namun, pada individu dengan hasil fungsi hati normal, kemungkinan
NAFLD tidak dapat disisihkan.2

3
BAB II

ISI

1. Definisi nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)


NAFLD ditandai dengan akumulasi lemak hati yang berlebihan, terkait dengan
resistensi insulin (IR), dan ditentukan oleh adanya steatosis pada > 5% dari hepatosit,
menurut analisis histologis atau fraksi lemak kepadatan proton (memberikan
perkiraan kasar pada Fraksi volume bahan lemak di hati) > 5,6% dinilai oleh
spektroskopi resonansi magnetik proton (1H-MRS) atau kuantitatif lemak / air
selective magnetic resonance imaging (MRI). Menurut American Association for the
Study of Liver diseases (AASLD) memiliki syarat yaitu : (a) adanya bukti terdapat
steatosis hepatik baik dari pencitraan maupun dari histology; (b) tidak adanya
penyebab sekunder akumulasi lemak pada hati seperti konsumsi alcohol yang
bermakna, penggunaan obat-obatan yang bersifat steatogenik maupun kelainan
herediter. 3,4
NAFLD mencakup dua kondisi patologis yang berbeda dengan prognosis berbeda:
perlemakan hati non alkoholik (NAFL) dan steatohepatitis non-alkohol (NASH), yang
terakhir mencakup spektrum keparahan penyakit yang luas, termasuk fibrosis, sirosis dan
karsinoma hepatoselular (HCC) (Tabel 1).

Tabel 1. klasifikasi NAFLD dan Penyakit yang sama 3

* Juga disebut NAFLD Primer dan dikaitkan dengan faktor risiko metabolik / komponen Sindrom
Metabolik:

4
1. Lingkar pinggang 94 / 80 cm untuk pria / wanita Europid.
2. Tekanan arterial 130 / 85 mmHg atau diobati untuk hipertensi.
3. Glukosa puasa 100 mg / dl (5,6 mmol / L) atau diolah untuk T2DM.
4. Triasilgliserol serum> 150 mg / dl (> 1,7 mmol / L).
5. Kolesterol HDL <40/50 mg / dl untuk pria / wanita (<1.0 / <1,3 mmol / L).
Juga disebut NAFLD sekunder. Perhatikan bahwa NAFLD primer dan sekunder dapat hidup
berdampingan secara individual. Juga NAFLD dan AFLD dapat hidup berdampingan dengan subyek
dengan faktor risiko metabolik dan kebiasaan minum di atas batas aman. Bisa terjadi tanpa sirosis dan
bukti histologis NASH, tapi dengan faktor risiko metabolik yang menandakan ''burned-out NASH.

Diagnosis NAFLD memerlukan pengecualian kedua penyebab sekunder dan


konsumsi alkohol harian 30 g untuk pria dan 20 g untuk wanita. Konsumsi alkohol di
atas batas ini menunjukkan penyakit hati alkoholik. Hubungan antara alkohol dan
kerusakan hati tergantung pada beberapa kofaktor seperti, jenis minuman beralkohol,
pola minum, lama paparan, kerentanan individu / genetik.
Secara khusus, pasien yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah sedang mungkin
masih cenderung terhadap NAFLD jika mereka memiliki faktor risiko metabolik. Dari
catatan, dampak keseluruhan faktor risiko metabolik pada kejadian steatosis tampaknya
lebih tinggi daripada alkohol pada pasien ini. Diagnosis pasti NASH memerlukan biopsi
hati.3,4

2. Faktor resiko NAFLD

NAFLD dianggap merepresentasikan komponen hepatik dari sindroma metabolik


berupa obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin, diabetes, hipertrigliserida
dan hipertensi. Diabetes tipe 2 merupakan komponen utama dari sindroma metabolik dan
berkaitan dengan obesitas maupun NAFLD. Resistensi insulin memainkan peran besar
pada patogenesis NAFLD dimana ditemukan bahwa resistensi ringan sangat umum
terjadi pada stadium awal NAFLD dan semakin berat resistensi insulin (diabetes tipe
2) berhubungan dengan semakin beratnya stadium dari NAFLD.
Obesitas dikatakan sangat erat berkaitan dengan NAFLD, namun jelas bahwa tidak
seluruh individu dengan obesitas memiliki NAFLD kerena prevalensinya masih berkisar
20-90 %. Studi lain menunjukkan bahwa NAFLD juga terjadi pada subjek tanpa
obesitas dan hal ini umum terjadi pada pasien dengan kelainan lipodistrofi kongenital
atau didapat yang ditandai dengan kurangnya jumlah jaringan adiposa. Penemuan-

5
penemuan tersebut menunjukkan bahwa obesitas dan NAFLD merupakan konsekuensi
yang sama dari suatu kelainan lain yang mendasari, atau bahwa obesitas
meningkatkan resiko perkembangan NAFLD setelah pajanan penyebab tertentu,
misal alkohol. Kadar konsumsi alkohol yang dianggap aman untuk individu normal
dapat berbahaya untuk individu dengan obesitas.3-5

Table 2. faktor resiko NAFLD5

3. Patofisiologi NAFLD
Hingga saat ini, teori yang masih berkembang tentang patogenesis NAFLD
dan NASH adalah two-hit theory teori, namun banyak faktor yang diyakini berperan
dalam terjadinya NAFLD dan perkembangannya. Sindrom metabolik dan resistensi
insulin adalah kondisi umum yang ditemukan pada pasien NAFLD, namun tidak
semua individu dengan resistensi insulin mengembangkan NAFLD dan sebaliknya,
oleh karena itu faktor lain juga diprediksi berperan dalam terjadinya NAFLD.2,6
Faktor genetik yang terkait dengan endogen anti-oksidan dan distribusi lemak
diduga berperan dalam perkembangan penyakit, di mana beberapa mengalami
perkembangan pada NASH, namun tidak pada individu lain. Penumpukan lemak
dalam hepatosit, terutama dalam bentuk trigliserida menjadi syarat mutlak terjadinya
NAFLD, namun kelainan metabolik utama yang menyebabkan hal ini melibatkan
banyak faktor.2,6
Memahami patogenesis NAFLD menunjukkan bahwa asam lemak bebas
memainkan peran penting, dan trigliserida diduga memiliki peran protektif. Asam
lemak bebas menginduksi radang melalui faktor nuklir-B (NF-B) dan juga
menyebabkan disfungsi mitokondria. Teori lain yang dikenal sebagai teori hit ketiga,
adalah modifikasi dari dua teori hitung dimana kematian radang hepatocyte terjadi,
tidak diimbangi dengan regenerasi.2,6

6
Gambar 1. Patogenesis NAFLD berdasarkan hit teori ke-32

Molekul, peroksidasi lipid terjadi sebagai akibat stres oksidatif melalui


disfungsi mitokondria, aktivasi sitokrom P450, dan kelebihan zat besi. Stres oksidatif
menyebabkan kerusakan sel melalui kerusakan organel, DNA dan mtDNA melalui
proses peradangan yang dimediasi oleh aktivasi NF-KB dan degradasi IKB.
Peradangan yang terjadi juga dimediasi oleh tekanan retikulum endoplasma yang
juga menyebabkan apoptosis, yang selanjutnya diperparah oleh nekrosis, stres
oksidatif, dan aktivasi NF-KB dan jalur mitogenik lainnya.2,6
Insulin berperan dalam pengaturan metabolisme asam lemak, dimana 25%
asam lemak berasal dari lipogenesis yang dikendalikan oleh protein pengikat elemen
regulasi sterol (SREBP) yang kerjanya adalah dimediasi oleh insulin. Pada NAFLD,
terjadi penurunan kadar asam lemak tak jenuh ganda, terutama asam linolenat dan
peningkatan kadar asam lemak disertai dengan penurunan kemampuan oksidasi asam
lemak. Regulator yang berkontribusi terhadap kejadian ini, seperti SREBP,
peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR), dan reseptor farnesyl X
dimediasi oleh efek insulin dan adipositoksin.2,6

4. Diagnosis NAFLD
Pemeriksaan laboratorium

Konsentrasi ALT (SGPT) dan atau AST (SGOT) biasanya mengalami


peningkatan ringan sampai sedang, mencapai 1-4 kali dari batas atas nilai normal
dengan rasio AST/ALT kurang dari 1. Rasio tersebut khas bagi NAFLD
walaupun hal tersebut tergantung pada keparahan penyakit; dimana sebaliknya yaitu
7
rasio AST/ALT lebih dari 1 berhubungan dnegan fibrosis dan progresi penyakit.
Namun, perlemakan hati alkoholik yang tidak terlalu parah juga memiliki rasio
AST/ALT kurang dari 1, oleh karena itu hal ini dapat berguna untuk
membedakan perlemakan hati alkoholik dari non-alkoholik namun
diperlukan interpretasi yang hati-hati
Gamma-glutamintranspeptidase (GGT) hampir selalu meningkat, alkalin
Phospatase (AP) bisa meningkat beragam sampai dengan 2 kali batas normal atas.
Hasil tes fungsi hati seperti albumin, bilirubin dan waktu prothrombin
biasanya normal, kecuali bila terdapat sirosis dan gagal hati.
Beberapa peneliti telah mengembangkan berbagai tes untuk membedakan
NASH dari steatosis sederhana, antara lain oleh Pelekar et al yang memeriksa 8- epi-
PGF2, TGF- dan asam hialuronat. Penelitian lain juga dikembangkan Poynard et al
yang mengembangkan SteatoTest.
Sejumlah penelitian juga telah dilakukan dalam menemukan predictor
noninvasif dalam mendiagnosis fibrosis lanjut dan sirosis pada pasien NAFLD,
antara lain FibroTest, Hepascore dan APRI (AST-to-platelet Ratio Index). Mediator-
mediator inflamasi yang terlibat dalam hipotesis multi-hit juga menjadi fokus
penelitian alat diagnosis yang potensial.

Pencitraan

Pencitraan abdomen sering dilakukan dalam mengkonfirmasi kecurigaan


NAFLD. Keberadaan lemak pada hati dapat diketahui melalui berbagai pencitraan
noninvasive. Pada praktek sehari-hari, steatosis sering dideteksi melalui ultrasonografi
(USG), computerized axial tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
bila jumlah lemak telah melebihi 25-30% berat hati. Pencitraan hati tidak sensitive
bagi individu dengan steatosis yang tidak terlalu berat, dan tidak ada satupun
modalitas pencitraan yang membedakan steatosis dengan NASH ataupun NASH
dengan fibrosis. USG merupakan modalitas paling terjangkau dimana MRI adalah
yang temahal.5-6

Hasil USG pada steatosis memberikan gambaran peningkatan ekogenitas yang


difus (relative terhadap ginjal). Fibrosis atau sirosis memberikan gambaran yang sama
tanpa memandang etiologinya.5-6

8
Hasil CT pada steatosis memberikan gambaran parenkim hati dengan densitas
rendah yang biasanya difus pada penderita NAFLD. Unenhanced CT merupakan
metode CT paling akurat dalam mendeteksi dan mengetahui karakter steatosis.
Pemeriksaan kuantitatif perlemakan dapat dilakukan lebih lanjut dengan contrast
enhanced CT yang bersifat kurang sensitive terhadap steatosis ringan dibanding
unenhanced CT, namun tetap berguna untuk mendeteksi steatosis ringan dan berat.5-6

Perbedaan lenggokan frekuensi antara air dan proton lemak digunakan sebagai
dasar diagnosis NAFLD melalui MRI. Perlemakan hati juga menghasilkan intensitas
sinyal yang rendah bila dibandingkan dengan otot yang berdekatan.5-6

Kadang-kadang infiltrasi lemak yang didapatkan bersifat fokal, sehingga pada


USG atau CT dapat salah diinterpretasikan sebagai lesi keganasan. MRI dapat
membedakan space-occupying-lesions dan infiltrasi lemak fokal serta daerah hati
normal yang terisolasi (isolated areas of normal liver).5-6

Perkembangan NAFLD menjadi NASH hanya dapat dibuktikan secara pasti


dengan melakukan biopsy hati. Namun, saat ini sudah banyak teknik non-invasif yang
dikembangkan dan dapat dipakai sebagai pendekatan untuk mengatahui resiko
seseorang menderita NASH atau fibrosis, sehingga dapat mengurangi tindakan yang
invasiv pada pasien. Teknik tersebut antara lain:5-6

a. Model prediktif : penggunaan model prediktif ini mengabungkan hasil


klinis dan hasil laboratorium untuk memprediksi adanya NASH pada
biopsi hati. Salah satu contoh model prediktif ini adalah skor HAIR
(hipertensi, kadar alanine, aminotransferase (ALT), dan insulin resistance)
serta NASH predictive index (berdasarkan usia, jenis kelamin, BMI,
homeostatic model assessment dari resistensi insulin dan loq (aspartate
aminotransferase)(AST)x ALT). Penggunaan model-model prediktif ini
cukup menjanjikan (dengan area dibawah kurva ROC sebesar 0,90 dan
0,87), namun penggunaannya belum tervalidasi secara eksternal pada
penelitian kohort prospektif lain.
b. Hasil laboratorium: cytokeratin (CK) 18 merupakan serum marker
terjadinya NASH, dimana CK-18 protein filament mayor dalam hepatosit
akan meningkat saat terjadi apoptosit. CK-18 dapat diukur dalam plasma
dengan menggunakan antibody monoclonal enzyme-linked immunosorbent

9
assay (ELISA). Marker ini telah divalidasi secara luas dan digunakan
dalam beberapa penelitian, serta merupakan tes non-invasif yang paling
menjanjikan. Namun, tes ini belum tersedia secara komersial serta belum
memiliki nilai cut-off untuk identifikasi NASH.
c. Hasil pencitraan : MRI secara non-invasif dapat mendeteksi adanya
steatosis hepatic dan memiliki akurasi yang cukup baik dalam mendeteksi
sirosis dengan hipertensi porta. Namun, penggunaannya kurang dapat
diandalkan dalam mendeteksi NASH. Teknik pencitraan terbaru, seperti
ultrasonography based transient elastography (fibroscan) dan magnetic
resonance elastography (MRE) memberikan kemungkinan baru dalam
menentukan keparahan fibrosis hati dan hubungannya dengan NASH.
Transien elastography (TE) mengirimkan gelombang melaui kulit, yang
kemudian masuk dalam sirkulasi hati. Kecepatan gelombang yang
dihantarkan memiliki hubungan dengan liver stiffnes (kekakuan organ
hati) yang ada. Semakin kaku hati, semakin berat derajat fibrosisnnya.

Tabel 3. Alogaritma pendekatan pada pasien NAFLD6

10
5. Penatalaksaan pada pasien dengan non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)

Tatalaksana pasien dengan NAFLD menyangkut beberapa strategi yaitu,


modifikasi gaya hidup, memperbaiki komponen dari sindrom metabolic,
farmakoterapi yang ditunjukan untuk hati pada pasien resiko tinggi, dan mengatasi
komplikasi sirosis. Manajemen tersebut bergantung pada derajat penyakit, seperti
pasien dengan steatohepatitis dan fibrosis, membutuhkan modifikasi gaya hidup yang
lebih agresif, dan dapat dipertimbangkan farmakoterapi seperti pioglitazon atau
vitamin E.

a. Modifikasi gaya hidup6


- Penurunan berat badan
Penurunan berat badan menjadi tatalaksana awal bagi semua pasien penderita
NAFLD. Promrat dkk, melaoprkan pada 31 orang dengan obesitas serta NASH
yang menjalani perubahan gaya hidup (pola makan dan aktivitas fisik sedang
selama 200 menit perminggu) menunjukan perbaikan gambaran histologis hati
seperti pengurangan nekrosis, steatosis dan inflamasi. Secara umum, penurunan
berat badan sebanyak 3-5% akan memberikan perbaikan pada steatosis, akan
tetapi penurunan berat badan lebih besar (10%) untuk memberikan perbaikan
inflamasi. Penurunan berat badan diharapkan terjadi secara bertahap yaitu 0,5
kg/minggu, karena dengan adannya penurunan berat badan yang dramatis
(>1,6kg/minggu) diasosiasikan dengan adanya inflamsi portal dan progresivitas
dari fibrosis.
Penggunaan orlistat untuk membantu penurunan berat badan, memberikan
beberapa hasil. Harison et al menunjukan bahwa penggunaan orlistat
meningkatkan perbaikan enzim hati, histopatologi hati, dan membantu penurunan
berat badan. Studi lain menunjukan pemberian orlistat dapat memperbaiki stenosis
dan nilai SGPT.
- Diet
Perubahan pola makan menjadi salah satu upaya menurunkan berat badan.
Panduan rekomendasi diet lain untuk pasien NAFLD adalah pengurangan kalori
sebanyak 600-800 kalori per hari atau restriksi kalori menjadi 25-30 kkal/kg/hari
dari berat badan ideal, protein sebesar 1-1,5 gr/kg/hari, dan restriksi karbohidrat
menjadi 40-50% dari total kalori, restriksi lemak menjadi <30% kalori dengan
asam lemak jenuh <10 %, sebaiknya konsumsi buah dan sayuran dibandingkan
11
dengan makan tinggi fruktosa. Makanan rendah karbohidrat diasosiasikan dengan
reduksi dari trigliserid dan serum aminotranfarase.

- Suplementasi diet

Penggunaan asam lemak omega 3 diduga dapat memberikan perbaikan


profil lipid seperti menurunkan trigliserid, menurunkan resistensi insulin dan
sintesis sitokin; hal ini berkaitan dengan pathogenesis dari NAFLD. Secara umum,
efek akan dicapai dengan penggunaan omega-3 lebih dari 0,83 gram/hari. Omega-
3. Omega-3 memperbaiki metabolisme lipid di hati, sebagai pengatur faktor
transkripsi seperti reseptor protein peroksisom-poliferator (PPAR), protein
pengikat unsur penyandi sterol (SREBP-1), dan elemen bakar yang responsif
terhadap unsur karbohidrat (ChERBP) yang berperan dalam Perkembangan
NAFLD sampai NASH.

Dalam publikasi mereka di tahun 2012, Di Minno dkk meninjau 7 studi


tentang penggunaan omega-3 dalam NAFLD, dari 7 penelitian tersebut, beberapa
pengacakan dilakukan, namun jumlah subjek yang termasuk dalam studi tidak
besar dan dosis yang digunakan bervariasi. Studi tersebut menunjukkan bahwa
profil transaminase dan hati yang disempurnakan omega-3, beberapa penelitian
mengukur resistansi model atostostatik terhadap perkiraan (HOMA IR) dan
menunjukkan perbaikan.

Meta analisa dan analisis sistematis lainnya mengungkapkan bahwa


suplementasi asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) berpengaruh terhadap
parameter biokimia, seperti akumulasi lemak hati dan transaminase, namun jika
melakukan meta analisis terhadap RCT, tidak ada perbaikan signifikan pada
transaminase. Dalam review ini dosis omega-3 sepertinya memberikan perbedaan
yang signifikan, namun durasi pemberiannya lebih berpengaruh.

Vitamin E dikenal sebagai suatu antioksidan lipofilik dan memberikan


efek dengan mereduksi peroksidase lemak, menangkal radikal bebas dan
menstabilisasi membrane fosfolipid sel. Vitamin E juga dapat menghambat
ekspresi hepatic transorming growth factor 1 dan melindungi dari fibrosis hati.
Menurut rekomendasi untuk pasien nondiabetes dengan NASH. Akan tetapi tidak
direkomendasikan pada pasien NASH dengan diabetes, NAFLD tanpa biopsi hati,

12
sirosis NASH, atau sirosis kriptogenik. Efek positif dari pemberian vitamin E
diduga akan menghilang saat pemberhentian terapi, oleh karena itu mungkin
diperlukan jangka panjang. Akan tetapi, penggunaan jangka panjang diasosiasikan
dengan peningkatan mortalitas oleh sebab.
Penggunaan suplementasi diet lainya seperti resveratrol, anthocyanin, ekstak
teh hijau, kafein, bawang putih, jahe, kayu manis, temulawak, vitamin D, dan
probiotik secara teoritis mungkin dapat memberikan manfaat pada NAFLD. Hal
ini berkaitan dengan beragam efek yang diberikan dari zat-zat tersebut yang dapat
memodulasi patogenesis NAFLD. Akan tetapi penggunaan tersebut belum
didukung dari data yang kuat dari uji klinis.

- Aktifitas fisik

Beberapa penelitian menunjukan dengan beraktivitas fisik saja tanpa


intervensi diet dapat memberikan perbaikan pada pasien dengan NAFLD. Hal ini
dapat tercapai dengan efek pengurangan berat badan, mengurangi lemak pada hati,
serta meningkatkan sensitivitas insulin. Efek positif ini tetap didapatkan walaupun
tidak terdapat penurunan berat badan. WGO tahun 2014 merekomendasikan
olaraga dengan intensitas sedang sebanyak 3-4 kali sehari, dengan target
pencapaian denyut nadi sebesar 60-70% dari denyut nadi maksimum menurut
umur.

b. Terapi farmakologis
- Metformin
Menurut rekomendasi tahun 2012 metfomin tidak direkomendasikan untuk
diberikan sebagai terapi pada pasien dengan NASH, oleh karena tidak
memberikan perbaikan histologi hati yang bermakna. Shields pada tahun 2009
melakukan suatu percobaan dengan membandingkan efektifitas metformin
(pemberian awal 500 mg per hari kemudian dinaikan 1000 mg per hari) disertai
olahraga, dan diet. Penelitian dilakukan selama 12 bulan. Dan didapatkan hasil
bahwa metformin hanya memberikan sedikit perbaikan pada fungsi hati dan
gambaran histologi hati.

13
- Thiazolidinedion
Pemberian thiazolidnedion menunjukan penurunan inflamsi ada hati, akan
tetapi efek ini hanya terjadi selama pemberian obat, sehingga diperlukan
pengobatan jangka panjang. Pemberian rosiglitazone selama 48 minggu pada
penderita NASH, didapatkan perbaikan gambaran histologi hati. Dalam
metanalisis tahun 2012, pioglitazone terbukti memberikan manfaat dalam
perbaikan degenerasi balon, inflamasi lobular, steatosis, dan nekroinflamasi dari
pasien NASH.

- Penghambat dipeptil peptidase-IV (DPP-IV)


Penggunaan penghambat DPP-IV sekarang ini sedang diteliti untuk mengatasi
diabetes pada NAFLD, hal ini dengan harapan dapat meningkatkan uptake
glukosa di perifer.

- Glucagon like peptide-1 (GLP-1)


Glp-1 memberikan proteksi pada sel hepatosit dari kematian dengan
mensupresi respon stress. Glp-1 memberikan proteksi pada sel hepatosit dari
kematian dengan mensupresi respon stress. Secara invitro, GLP-1 juga mensupresi
lipogenesis hati dengan mengaktivasi jalur AMP kinase dan menurunkan
akumulasi lemak pada hati. Pada penelitian yang membandingkan efektifitas
exenatide (n=49) dan metformin (n=68) pada pasien dengan diabetes mellitus tipe
2 dan NAFLD, ditemukan bahwa exenatide lebih baik dalam mengontrol glukosa
darah, menurunkan berat badan, dan perbaikan enzim hati.

- Statin
Penggunaaan statin sangat bermanfaat dalam menurunkan angka kejadian
kardiovaskuler pada kelompok beresiko, akan tetapi penggunaan statin pada
pasien dengan kondisi penyakit hati mendasar atau pasien dengan peningkatan
kadar enzim menjadi isu tersendiri. Penggunaan atorvastin bersamaan dengan
vitamin C 1 gram dan vitamin E 100 IU selama 1 tahun memperlihatkan
perbaikan gambaran histology hati seperti pengurangan degenerasi balon dan
inflamasi. Dari guideline pada tahun 2012, merekomendasikan bahwa statin tetap
diberikan pada pasien dislipidemia dengan NAFLD dan NASH, oleh karena
kecilnya resiko peningkatan angka kejadian kerusakan hati oleh statin.
14
- Ezetimibe
Ezetimibe merupakan niemann-pick C1-like 1 (NPC1L1) inhibitor, yang dapat
menyebabkan hambatan pada absorpsi lemak di usus. Suatu penelitian tahun 2009,
menunjukan pemberian simvastatin dengan ezetimibe (10mg/10mg) selama 4
tahun, dapat menurunakan SGOT, SGPT, kadar LDL, pada penderita NAFLD.
Selama 4 tahun tersebut tidak didapatkan efek samping, sehingga disimpulkan
pemberian ezetimibe aman. Pada penelitian lain, pemberian ezetimibe 10 mg/hari
selama 2 tahun, memberikan perbaikan nilai SGPT dan CRP, serta didapatkan
perbaikan signifikan pada steatosis, inflamasi, dan degradasi balon. Dalam suatu
konsensus tahun 2014 dituliskan bahwa ezemitibe merupakan suatu obat dengan
tingkat keamanan yang baik, meskipun data yang ada sedikit tetapi sebagian besar
memberikan efek positif terhadap pasien NAFLD. Tetapi diperlukan adanya uji
klinis lebih lanjut.

- Fibrat
Fibrat merupakan agonis peroxisome proliferator activated receptors
(PPAR) dan digunakan untuk mengatasi dislipidemia khususnnya
hipertrigliseridemia. dalam penggunaannya terhadap NAFLD masih dibutuhkan
studi lebih lanjut. Dalam studi lain yang melibatkan 16 pasien dengan NAFLD,
diberikan fenofibrat sebesar 200 mg/hari diberikan selama 48 minggu. pada akhir
studi, pasien tersebut kemudian dilakukan biopsy hati ulang, dan didapatkan
perubahan histologi minimal yaitu pengurangan dari degenerasi balon, tetapi tidak
ada perubahan signifikan pada derajat steatosis, inflamasi lobular dan fibrosisi.

- Ursodeoxycholic acid ( UDCA)


Asam ursodeoxycholic dilaporkan memiliki efek yang baik pada percobaan
terapi NASH karena adannya efek anti inflamasi, antioksidan dan hepatoprotetktif
yang dimilikinya. Menurut chalasani et.al pada tahun 2012 UDCA tidak
direkomendasikan untuk terapi NAFLD.

15
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Terdapat beberapa pilihan terapi pada pasien dengan NAFLD dan bergantung pada
derajat keparahan penyakit. Perubahan gaya hidup dengan merubah pola makan, melakukan
aktivitas fisik secara rutin dan menurunkan berat badan perlu diterapkan pada semua pasien
dengan NAFLD. Pemberian farmakoterapi seperti vitamin E dan pioglitazone dapat diberikan
pada kelompok pasien dengan NASH tertentu. Selain daripada itu, terapi farmakologis
maupun suplementasi diet lainnya msih membutuhkan studi lebih lanjut sebelum dapat
dijadikan rekomendasi terapi rutin. Penanggan faktor sindroma metabolic lainnya juga perlu
dilakukan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Muchid.A, Wurjati R, Chusun, Komar Z, Purnama NR, Masrul. Pharmaceutical Care


untuk Penyakit Hati. Bakti Husada. 2007.
2. Aditya P, Rinaldi C, Lesmana A. Pharmacological and Non-Pharmacological
Treatment in Non-Alcoholic Fatty Liver Disease. Volume 14, No.3. The Indonesian
journal of gastroenterology, hepatology and digestive endoscopy. December 2013.
3. Journal of hepatology. Clinical Practice Guidelines for the management
of non-alcoholic fatty liver disease. EASL. 2016.
4. Chalasani N, Younossi Z, Lavine J, Diehl AM, Burnt EM, Cusi K, Charlton M,
Sanyal AJ. The Diagnosis and Management of Non-alcoholic Fatty Liver Disease,
Pratice Guideline. 2012.
5. CDK-200. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Nonalcoholic Fatty Liver
Disease.Vol.40.no. 1,th.2013.
6. Adiwinata R, Kristanto A, Christianty F, Ricard T, Edbert D. Tatalaksana Terknini
Perlemakan Hati Non Alkoholik. Jurnal penyakit dalam Indonesia. Vol 2, No.1.
Januari 2015.
7. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K simadibrata Marcellus, Setiyahadi B, Syam AF.
BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. JILID II, Edisi VI, InternalPublishing,
2013.

17

Anda mungkin juga menyukai