Anda di halaman 1dari 24

Systemik Lupus Erytematosus

(SLE)
TUGAS IMMUNOHEMATOLOGI
Prof. Dr. Ami Ashariati, dr, SpPD, K-Hom

Disusun oleh:

GINA KHAIRINISA : 091524353002

KHAIRUNNISA BINTI ABDUL RAUF : 091524353005

PROGRAM STUDI S2 IMUNOLOGI


PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) terjadi akibat terganggunya


regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto antibodi yang berlebihan,
limfadenopati terjadi pada 50% dari seluruh pasien SLE pada waktu tertentu selama
perjalanan penyakit tersebut. Sistemik lupus eritematosus (SLE) merupakan salah satu
penyakit autoimun yang disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas dan secara garis
besar dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu endokrin-metabolik, lingkungan dan
genetik.Gangguan renal juga terdapat pada sekitar 52% penderita SLE. Pada sebagian
pasien, gangguan awal pada kulit dapat menjadi prekursor untuk terjadinya gangguan
yang bersifat lebih sistemik. Lebih jauh lagi diketahui bahwa kerusakan jaringan itu
tidak hanya diperantarai oleh immune complex, tetapi juga oleh sel T, sitokin,
kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk dari aktivasi
komplemen. Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah karena sampai saat ini
belum ada penamganan yang menghasilkan penyembuhan secara total.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit penyakit multisistem yang


disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune complex di mana sistem
kekebalan tubuh mulai bertindak melawan organ dan jaringan sendiri. Ini adalah
penyakit yang tidak mudah untuk didiagnosa karena terdapat gejala yang mungkin hadir
dalam keragaman organ dalam tubuh yang membuatnya menjadi penyakit kompleks.
Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya
gen tertentu yang rentan. SLE lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan
pria. Ini dapat terjadi pada semua usia tetapi individu biasanya muda di kelompok usia
10 sampai 50 tahun dipengaruhi oleh lupus. Ketika melihat distribusi rasial, Asia dan
Afrika-Amerika lebih sering terkena penyakit ini dibandingkan dengan ras lain.
Biasanya, organ yang terkena paling umum adalah kulit yang terkena di 70-80%
kasus lupus eritematosus sistemik. Ruam kupu-kupu khas sangat unik untuk penyakit
ini dan digunakan oleh diagnosticians untuk mendeteksi penyakit ini.
B. KLASIFIKASI SLE

SLE adalah salah satu dari beberapa jenis lupus. Jenis lain adalah lupus kutaneus
(dikoid) kronik, lupus karena obat, lupus kutaneus subakut, dan lupus neonatal.
Penderita dengan gambaran seperti lupus, tetapi tidak memenuhikriteria biasanya
didiagnosa sebagai undiferentiented connective tissue disease (UCTD).

Tabel. Tipe lupus Erytematous (koopman, 2000)

1. Systemik lupus erytematous (SLE)

2. Chronik cutaneus (discoid) lupus (CLE)

3. Subacute cutaneus lupus erytematous (SCLE)

4. Drug-induced lupus erytematous (DILE)

5. Neonatal lupus erythematous

C. PATOFISIOLOGI

SLE merupakan penyakit kronis yang terjadi akibat disfungsi sistem imun,
pengenalan self-antigen sebagai benda asing yang berakibat kepada inflamasi dan
kerusakan tisu dan organ etiologic SLE adalah multifactorial dan merupakan interaksi
multifaktorial antara faktor genetic, hormonal dan faktor lingkungan.

Kepekaan genetik pada SLE


Munculnya SLE pada kembar identik, peningkatan frekuensi SLE pada first degree
relatives dan peningkatan resiko terjadinya SLE pada saudara kandung membuktikan
adanya factor genetik yang berperan pada terjadinya SLE.
Gen yang banyak diteliti pada penderita SLE adalah gen untuk major histocompatibility
(MHC). Kepekaan terhadap SLE melibatkan gen polimorfik MHC class II. MHC class II
allotypes HLA-DR2 dan -DR3 dikatakan berhubungan dan berkorelasi positif terhadap
terjadinya SLE.

Selain itu, pada penderita SLE juga didapatkan defisiensi komplemen yang diekspresikan
oleh gen MHC class III yang mengkode komponen protein C2 dan C4. Menurunnya
aktifitas komplemen meingkatkan kepekaan terhadap SLE karena terganggunya
netralisasi dan clearance self cells dan antigen luar. Adanya defisiensi protein komplemen
berakibat defek pada clearance kompleks imun sehingga menyebabkan deposisi kompleks
imun pada berbagai organ.

Gen terkait mannose binding protein (MBP), tumor necrosis factor (TNF), FcRIIA
dan FcRIIIA, heat shock protein 70 juga meningkatkan kepekaan seseorang terhadap
SLE.

Seks dan pengaruh hormone pada SLE


SLE adalah predominan pada wanita. Onset pertama SLE biasanya setelah pubertas dan
sebeum menopause.
Didapatkan metabolisme estrogen yang abnormal pada penderita SLE yaitu peningkatan
16 hydroxylation of estrone sehingga terjadinya peningkatan konsentrasi 16
hydroxyestrone. Metabolit terhidroksilasi ini membawa efek tumerogenic estrogen pada
tubuh.

Peningkatan konsentrasi estrogen memfasilitasi respon humoral yang berakibat


peningkatan proliferasi sel B dan produksi antibodi. Peningkatan estrogen juga
menyebabkan inhibisi respon sel T seperti proliferasi dan penghasilan IL-2. Terlihat
disini, estrogen memperparah SLE dengan memperpanjang survival sel autoimun,
menigkatkan produksi sitokin tipe Th2 dan menstimulsi sel B untuk memproduksi
antibodi.

Inhibisi respon Th1 dan peningkatan ekspresi CD40L pada sel T penderita lupus
meningkatkan kinerja Th2 dan akhirnya menyebabkan hiperaktifitas sel B.

Pemberian estrogen eksogenus bisa menyebabkan eksaserbasi akut pada penderita SLE.
Pil oral kombinasi dan Hormone Replacement Therapy (HRT) meruakan contoh estrogen
eksogenus yang biasa ditemukan.
Faktor lingkungan
Paparan kepada cahaya matahari dikenal sebagai faktor yang bias menginduksia dan
menyebabkan eksaserbasi lupus sistemik dan kutaneus. Sinar UV, khususnya UVB
merupakan trigger utama pada penderita SLE. Studi terbaru menyataka paparan terhadap
sinar UV menyebabkan kematian sel keratinosit yang akhirnya menyebabkan peningkatan
antigen sitoplasma dan nucleus. Ini bias menginduksi system imun dan memprovokasi
autoimuniti.
Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) juga dikaitkan dengan timbulnya SLE. Infeksi virus ini
meginduksi respon imun spesifik dengan molecular mimicracy dan mengganggu regulasi
imun.

Autoantibodi
Gangguan imunologi utama pada pasien SLE adalah adanya produksi autontibodi.
Autoantibodi ini tertuju kepada molekul self yang ditemukan pada nukleus, sitoplasma,
dan permukaan sel. Antinuclear antibody (ANA) adalah karakteristik dan ditemukan pada
hampir 95% pasien. Anti-double stranded DNA (anti dsDNA) dan anti-smith juga
merupakan ciri khas SLE. Antigen untuk Anti-Sm adalah small nuclear
ribonucleoprotein (snRNP).

Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya.

Incidence % Antigen detected Clinical importance

Antinuclear 98 Multiple nuclear Substrat sel manusia lebih sensitive dari


antibodies murine. Pemeriksaan negatif yang
berturut-turut menyingkirkan SLE.

Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE;Anti-


ssDNAtidak.Titer yang tinggi berkorelasi
dengan nephritis dan tingkat aktivitas SLE.

Anti-Sm 30 Protein Spesifik untuk SLE.


complexed to 6
species or small
nuclear RNA

Anti-RNP 40 Protein Titer tinggi pada sindrom dengan


complexed to manifestasi
U1RNA polimyositis,scleroderma,lupus dan mixed
connective tissue disease.Jika + tanpa anti-
DNA,resiko untuk nephritis rendah.

Anti-Ro(SS-A) 30 Protein Berhubungan dengan Sjorgens


complexed to y1- Syndrome,subacute cutaneus
y5 RNA. lupus,inherited C deficiencies,ANA-
negative lupus,lupus in eldery,neonatal
lupus,congenital
heart block.Dapatmenyebabkan nephritis.

Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotein Selalu berhubungan dengan anti-


Ro.Resiko nephritis rendah bila
+.Berhubungan dengan Sjorgens Synd.

Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced


lupus(95%) daripada spontaneous lupus.

Antiphospholipid 50 Phospholipid 3 tipe- lupus


anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan
false-positive test for syphilis(BFP).LA
dan aCL berhubungan dengan
clotting,fetal
loss,thrombocytopenia,valvular heart
disease.Antibodi pada 2-glycoprotein I
bagian dari grup ini.

Antierythrocyte 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini dapat


mrnnyebabkan hemolisis.

Antiplatelet 30 Platelet surface + Berhubungan dengan thrombocytopenia


cytoplasma pada 15% penderita.

Antilymphocyte 70 Lymphocyte Kemungkinan berhubungan dengan


surface leukopenia dan abnormal fungsi sel T.

Antiribosomal 20 Ribosomal P Berhubungan dengan psikosis atau depresi


protein dengan CNS SLE.

ANA Anti- Rheumatoid Anti- Ani- Anti- Anti Anti Anti- ANCA
Native Factor Sm SS-A SS-B SCL- Centromere Jo-1
DNA 70

Rheumatoid Arthritis 30-60 0-5 72-85 0 0-5 0-2 0 0 0 0

SLE 95- 60 20 10-25 15-20 5-20 0 0 0 0-1


100
Sjorgen Syndrome 95 0 75 0 60-70 60-70 0 0 0 0

Diffuse scleroderma 80-95 0 25-33 0 0 0 33 1 0 0

Limited 80-95 0 33 0 0 0 20 50 0 0
scleroderma(CREST
syndrome)

Polymiositis 80-95 0 33 0 0 0 0 0 20-30 0

Wegeners 0-15 0 50 0 0 0 0 0 0 93-96


granulomatosis

ANA = Antinuclear antibody , ANCA = Anticytoplasmic antibody

Semua angka diatas menunjukan frekwansi dalam %.

Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada


SLE, antara lain :

Anemia 60%
Leukopenia 45%
Trombocytopenia 30%
False test for syphilis 25%
Lupus anticoagulant 7%
Anti-cardiolipin antibody 25%
Direct coomb test positive 30%
Proteinuria 30%
Hematuria 30%
Hypocomplementemia 60%
ANA 95-100%
Anti-native DNA 50%
Anti-Sm 20%

Apoptosis
Apoptosis merupakan proses yang menyebabkan kematian sel secara terprogram atau
programmed cell death. Tujuannya adalah supaya konten intraseluler tidak terbebas ke
microenvironment ekstraseluler. Pada kondisi normal, sel apoptotic di makan oleh
makrofag tanpa menginduksi inflamasi maupun respon imun.
Pada kondisi apoptosis normal, sel akan mengerucut dan dan sitoplasma menjadi lebih
dense dan organel akan dikemas menjadi ebih rapi. Kromatin akan dikondensasi ke
dalam nuclear envelope (pyknosis). Kemudian DNA di dalam nuclear envelope akan di
fragmentasi (karyorrexhis) menjadi unit yang lebih kecil yaitu chromatin bodies.
Membrane sel akan membentuk budding yang dinamakan blebs. Sel akan memecah
menjadi apoptotic bodies yang akhirnya akan difagositosis.

Pada SLE, terjadi peningkatan apoptosis sel sehingga meningkatnya peluang untuk
terjadinya leakage dari antigen intraseluler yang mampu menginduksi system imun dan
terjadinya pembetukan immune complexes. Clearance terhadap sel apoptotik ini oleh
makrofag juga terganggu sehingga terjadinya penumpukan antigen intraseluler

Penyebab defek pada clearance sel apoptosis pada SLE masih belum jelas. Ini mungkin
terkait dengan menurunnya jumlah protein komplemen C2, C4 dan C1q seperti yang
dibahas di bagian gen. Reseptor C1q pada permukaan fagosit sangat berperan pada
clearance sel apoptosis. Penderita dengan defisiensi homozigus pada komponen
komplemen tersebut akan menunjukkan gejala yang lebih parah.

Gangguan respon imun


SLE dikenal sebagai penyakit autoimun dengan berbagai penyimpangan dari system imun
dasar yang melibatkan sel B, sel T, dan sel dari monocytic lineage yang berakibat aktivasi
sel B poliklonal, peningkatan produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun.
Terjadi loss of tolerance pada sel T dan sel B pada penderita SLE. Ini menyebabkan
produksi antibodi IgG yang mengenal self antigen termasuk DNA, DNA-protein
complexes dan RNA-protein complexes.

Aktivasi sel B dan T memerlukan stimulasi dari antigen yang spesifik. Bahan kimia,
DNA dan fosfolipid dari dinding sel bakteri dan antigen virus dapat memicu produksi
autoantibodi pada mencit. Self antigen seperti protein DNA dan RNA juga bisa memicu
produksi autoantibodi. Antigen-antigen ini di kenal oleh antigen presenting cell,
kemudian diproses menjadi peptide dan mempresentasikan peptide tersebut kepada sel T.
Sel T yang teraktivasi akan menstimulasi sel B untuk memproduksi autoantibodi.
Interaksi antara sel T dan sel B ini memerlukan beberapa sitokin seperti IL-10 dan
beberapa molekul aksesoris seperti CD40/CD40L.

Aktivasi sel B pada pasien SLE adalah abnormal, dimana didapatkan peningkatan jumah
sel B yang teraktivasi di sirkulasi darah perifer. Sel B pada pasien SLE dikatakan lebih
sensitif terhadap efek stimulasi sitokin seperti IL-6. Sel B pada pasien SLE lebih
cenderung untuk melakukan aktivasi poliklonal terhadap stimuli antigen dan sitokin.
Pada penderita SLE, didapatkan peningkatan respon Th2 sekaligus produksi sitokin Th2
yang berlebihan. IL-10 merupakan sitokin yang merupakan stimulator yang poten untuk
proliferasi dan differensiasi sel B. IL-10 juga merupakan mediator potensial untuk
aktivasi poliklonal sel B pada SLE.
Multiple gene
Environmental triggers Role of hormones
susceptibility

Immune dysregulation

Defective clearance mechanism

Apoptotic
cells
B cell

APC

T cell

Autoantibody

Defective clearence

Immune complexes

Tissue injury and


damage
D. GEJALA KLINIS

Gejala pasien SLE sebenarnya diuji negatif untuk ANA yang membuat kriteria
diagnostik ini lebih lanjut sulit untuk digunakan. Hal ini membawa kita untuk
mempertimbangkan kriteria diagnostik lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis
penyakit ini. Bahkan dokter Anda harus memperhitungkan 11 kriteria diagnostik yang
berbeda sebelum diagnosis dikonfirmasi SLE tercapai.

Berikut adalah 11 kriteria diagnostik:

1. Karakteristik butterfly rash: Ruam di jembatan dari hidung dan pipi, dalam pola
kupu-kupu dan sering disebut ruam kupu-kupu.
2. perubahan kulit: Dibesarkan bercak merah pada kulit mungkin timbul. Ini disebut
ruam diskoid.
3. Fotosensitifitas: Sensitivitas terhadap sinar matahari.
4. Borok: Mulut atau ulkus hidung mungkin timbul pada penyakit ini.
5. Arthritis: Nyeri sendi adalah temuan biasa pada pasien lupus.
6. Jantung atau paru-paru perubahan juga dapat diamati.
7. Perubahan sistem saraf juga hadir dalam lupus.
8. Perubahan ginjal juga hadir pada pasien lupus.
9. Perubahan darah juga dapat terjadi.
10. Anti-dsDNA (anti-double-stranded acidantibodies deoksiribonukleat): Antibodi
dalam DNA yang hadir.
11. ANA antibodi: Antibodi dikenal sebagai ANA (antibodi anti-nuklir) yang hadir
dalam darah.

Gejala penyakit dapat spontan atau didahului factor presipitasi seperti kontak dengan
sinar matahari,infeksi,obat,penghentian kehamilan,trauma fisik/psikis.Setiap serangan
biasanya didahului gejala umum seperti demam,malise,kelemahan,anorexia,berat badan
menurun,iritabilitas.Manifestasi yang paling menonjol kadang-kadang dengan menggigil.
1. Manifestasi kulit berupa butterfly appearance.Manifestasi kulit yang lain berupa lesi
discoid,erythema palmaris,periungual erythema,alopecia.Mucous membran lession
cenderung muncul pada periode exacerbasi.pada 20% penderita juga didapatkan
fenomena Raynaud.
2. Manifestasi gastrointestinal berupa nausea,diare,GIT discomfort.Gejala menghilang
dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobait denganadekuat.Nyeri GIT mungkin
disebabkan peritonitis sterildan arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus
yang mengakibatkan ulserasi usus.Arteritis juga dapat menimbulkan pancreatitis.
3. Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia,myalgia,myopathi.
4. Joint symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita.Atritis
cenderung menjadi deformasi,dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan pada
pemeriksaan radiografi.
5. Manifestasi ocular ,termasuk conjungtivitis,fotofobia,transient atau permanent
monooculr blindness dan pandangan kabur.Pada pemeriksaan fundus dapat juga
ditemukan cotton-wool spots pada retina(cytoid bodies).
6. Pleurisi , pleural effusion , bronchopneumonia , pneumonitis sering dijumpai.Pleural
effusion unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral.Mungkin
didapatkan sel LE pada cairan pleura.Pleural effusion menghilang dengan terapi yang
adekuat.Restriktif pulmonary disease juga mungkin dijumpai.
7. Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari micarditis dan
hipertensi.Cardiac aritmia juga sering dijumpai.Valvular incompetence yang sering
dijumpai adalah mitral regurgitasi.
8. Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan dengan
polyarteritis nodusa ,termasuk ditemukan adanya aneurysma pada
percabangannya.Abdominal pain (setelah makan),illeus,peritonitis,perforasi dapat
terjadi.
9. Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa
psikosis,epilepsi,sindroma otak organik ,periferal dan cranial neuropathies,transverse
myelitis,stroke.Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat
kortikosteroid.Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau
menaikan dosis steroid.Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikan,dan pada
psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.
10. Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.Manifestasi yang
paling sering berupa proteinuria.Histopatologi lesi renal bervariasi mulai
glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif
difus.Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif
dan mematikan.Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi ,insidens yang
bermakna semakin menurun.Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa
nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.Nefritis lupus difus merupakan
manifestasi terberat.Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik,hipertensi,gagal ginjal
kronik.
11. Adenopathi menyeluruh dapat ditemukan,terutama pada anak-anak,dewassa muda,dan
kulit hitam.Splenomegali terjadi pada 10% penderita.Secara histologis lien
menunjukan fibrosis periarterial(onion skin lesion).
12. Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan ,tetapi jarang disertai icterus.
13. Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE.
14. Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP
jarangditemukan.Anti Ds-DNA,hipocomplementemia serta complex immune juga
jarang ditemukan.
Gejala Umum Lupus :
a. Umumnya lupus pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, kelelahan atau
kegelisahan.
b. Sistem saraf (sistem saraf pusat): ini dapat menghasilkan gejala sakit kepala
belum biasa persisten, kehilangan memori atau kebingungan.
c. Sistem Opthalmological: Lupus adalah penyakit yang mempengaruhi pembuluh
darah dan saraf mata. Hal ini dapat menyebabkan gejala mata kering atau
bengkak. Perubahan ini juga dapat menghasilkan gejala photosensitivity.
d. Rongga mulut: Fitur yang paling umum dari lupus di rongga mulut adalah luka di
wilayah rongga mulut.
e. Sistem dermatologis: Lupus dikenal karena ruam kupu-kupu khas. semacam ini
ruam terlihat pada 50% dari mereka yang menderita lupus. Ini adalah ruam yang
hadir melalui jembatan dari hidung dan membentang di atas wilayah pipi dalam
bentuk kupu-kupu. Ada juga jenis lain dari ruam kulit yang hadir dalam pasien
yang menderita lupus. jenis lain dari kondisi kulit termasuk gatal-gatal atau luka.
Semua jenis manifestasi kulit dapat memperburuk dari paparan sinar matahari.
Eksaserbasi tiba-tiba pada paparan sinar matahari menandakan lupus. Tiba-tiba,
rambut rontok dijelaskan juga dapat dianggap sebagai gejala lupus.
f. Sistem cardiopulmonary: Lupus juga dapat memiliki efek penting pada jantung
dan paru-paru dari individu yang menderita itu. Ini dapat menghasilkan penyakit
paru-paru seperti radang selaput dada dan pneumonitis menyebabkan kerusakan
paru yang luas. emboli paru juga umum pada individu yang menderita lupus. Ini
dapat menghasilkan gejala sesak napas dan nyeri di dada diperburuk oleh
bernapas dalam-dalam.
g. Sistem ginjal: Sekitar 50% dari mereka yang menderita lupus eritematosus
sistemik akan mengembangkan beberapa bentuk manifestasi ginjal. Lupus dapat
menghasilkan peradangan pada ginjal yang dikenal sebagai lupus nephritis. Hasil
lupus yang disebabkan peradangan ini mungkin berakhir di komplikasi serius
seperti gagal ginjal. Tapi gejala lupus ini bervariasi dan karenanya sulit untuk
memprediksi. Proteinuria adalah kondisi di mana protein hadir dalam urin pasien.
Ini mungkin merupakan tanda dari lupus yang menyerang ginjal. Pembengkakan
pada kaki dan kaki yang dikenal sebagai pedal edema mungkin juga
mengisyaratkan kerusakan ginjal pada individu. Persistent dijelaskan tekanan
darah tinggi juga dapat dikaitkan dengan kerusakan ginjal pada penderitaan
individu dari lupus.
h. Sistem pencernaan: Ada banyak kondisi lambung dan usus yang dapat diperburuk
oleh lupus. Lupus dapat memperburuk penyakit yang sudah ada seperti kondisi
ulcerative colitis, pankreatitis dan hati. Ini mungkin menghasilkan tanda-tanda
variabel gejala termasuk mual, muntah, berulang dan sakit perut terus-menerus,
infeksi kandung kemih dan hadir darah dalam urin.
i. Sistem reproduksi: SLE juga mungkin memiliki efek pada sistem reproduksi dan
dapat menghasilkan masalah kesuburan.
j. Sistem hematologi: Sirkulasi di ujung jari Anda, jari kaki dan ujung hidung
mungkin akan terpengaruh dalam lupus dalam kondisi yang dikenal sebagai
fenomena Raynaud. Ini adalah fenomena yang berhubungan cukup erat dengan
lupus.
k. Sistem muskuloskeletal: sistem lupus lain yang umum adalah nyeri sendi persisten
dan pembengkakan. Hal ini dapat dihasilkan oleh efek dari antibodi menyerang
jaringan-jaringan ini menghasilkan jenis arthritis yang karakteristik untuk lupus.
Kaki dan kaki bengkak juga dapat diproduksi oleh peradangan antibodi terkait.
Sistemik Penyakit autoimun

Pada penyakit autoimun sistemik, respon diarahkan menuju berbagai antigen target
dan melibatkan sejumlah organ dan jaringan. Penyakit ini mencerminkan cacat umum dalam
peraturan kekebalan tubuh yang menghasilkan sel T hiperaktif dan sel B. kerusakan jaringan
tersebar luas, baik dari respon imun sel dimediasi dan dari kerusakan sel langsung disebabkan
oleh auto-antibodi atau dengan akumulasi kompleks imun.

Sistem yang Terkena pada Systemic Lupus Erythematosus

Seperti yang disebutkan sebelumnya lupus adalah penyakit multi-sistem, oleh karena
itu dapat mempengaruhi kombinasi dari banyak sistem yang berbeda dalam tubuh. Sistem
ini mungkin akan terpengaruh pada waktu yang sama atau progresif selama perjalanan
penyakit. Gejala yang berbeda yang muncul dalam lupus menargetkan sistem yang berbeda,
yang mengarah ke tanda-tanda yang berbeda dan gejala yang berhubungan dengan
penyakit. Sistem tubuh dipengaruhi oleh lupus meliputi: Sistem dipengaruhi oleh SLE
Kewaspadaan Akan Penyakit SLE
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :

1. Wanita muda

2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari

3. Manifestasi sendi

4. Depresi dari hemoglobin,sel darah putih,sel darah merah,trombosit

5. Tes serologi ynag positif(ANA,anti-native DNA,serum complemen yang rendah).

Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :


1.Hematologi
Ditemukan anemia,leukopenia,thrombocytopenia

2.Kelainan Imunologi
Ditemukan ANA,Anti-Ds-DNA,rheumatoid factor,STS false positive,dan lain-lain.

Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1)


berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada SLE
dengan negatif ANA.

Karena tidak ada tes menegaskan bahwa dapat digunakan untuk mendiagnosis lupus
eritematosus sistemik, ini membuat diagnosis lebih sulit. Tes yang paling umum yang
digunakan untuk mendiagnosis lupus eritematosus sistemik adalah penggunaan tes serologi
tingkat ANA dalam tubuh.
Tes ANA ini memeriksa jumlah antibodi antinuclear dalam darah. Sebuah titer
mengangkat antibodi ini hadir di lebih dari 98% persen dari mereka yang menderita lupus.
Namun, tidak adanya titer ANA antibodi mengangkat tidak memberikan jaminan bahwa
pasien tidak memiliki lupus.
ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE.Antibody double-stranded DNA(Anti-Ds
DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive.Depresi pada serum complement(didapatkan
pada fase aktif)dapat berubah menjadi normal pada remisi.Anti-Ds DNA juga berhubungan
dengan aktivitas daripada perjalanan penyakit SLE ,tetapi anti-Sm tidak.

F. TATA LAKSANA

Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang
sempurna).Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya
fase akut tidak terjadi. Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala,juga
memberi pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan melakukan
kegiatan sehari-hari.
Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,yaitu:
1.Monitoring teratur
2.Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
3.Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun
screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
4.Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang
adekuat.
5.Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan .

Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE.

1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):


NSAID ini berguna mengatasi SLE karena kemampuannya sebagai analgesik,
antiperitik dan antiinflamasi. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti
kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati SLE dengan
arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria.

2. Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama
diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit
terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara
mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan
meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi
netrfil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan
mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena sinar UV.
Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total,
HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.

3. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan
amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah
prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh
NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis
ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang
akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak
efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara
lain : vaskulitis, dermatitis berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis,
lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati
perifer dan krisis lupus.

4. Methoreksat
Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit
rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atauazathrioprin.
Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, eektif sebagai steroid sprring agent
dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan
mukulosketetal. Gansarge dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15
mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria.

5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.


Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan
pada SLE, yaitu Azathhioprine (Imuran AZA), Cylophosphamide (chitokxan, CTX),
Chlorambucil (leukeran, CHL), Cyclosporine A, Tacrolimus (FK506), Fludarabine,
Cladribine & Mycophenolate mofetil

6. Terapi hormonal
Terapi Hormonal yang digunakan antara lain Dehidroxyepiandrosterone Sulfate
(DHEAS) & Danazol

7. Pengobatan Lain

a. Dapsone
Dapsone, atau 4.4- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara mengganggu
metabolisme folat dan menghambat asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur
alternative komplemen serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50
tahun yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan
Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE,
dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima dapsone akan
mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan dosis.
b. Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE kutaneus
yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200 mg/hr. efek samping
yang terutama adalah warna kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan
menjadi kering.

c. Thalidomide
Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis pemeliharaan 25
sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter. Obat ini bekerja dengan
menghambat TNF alfa. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak
laporan mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia).

d. Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor Fc
reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia iun, dan pada
keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap
bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten
terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang berat.

e. External Device
Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE agak
terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoadsorption, UVA1light
(panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.

8. Transplantasi Sumsum Tulang


Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini masih
merupakan ekspwrimental untuk saat ini.

9. Pengobatan Terhadap Komplikasi


Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic,anti
hipertensi,mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal. Terhadap kejang-
kejang dapat diberikan antikonvulsan
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,Edisi ketiga;hal 150-159.


2. CC Mok, CS Lau, Pathogenesis of systemic lupus erythematosus, Department of
Medicine and Geriatrics, Tuen Mun Hospital, Hong Kong, 2003.
3. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004;Chapter 20;Arthritis and Musculosceletal
disorder ;page 805-807.
4. George Bertsias, Ricard Cervera, Dimitrio T Boumpas, systemic lupus erythematosus :
Pathogenesis and Clinical Features, 2012.
5. Harrissons Principle of Internal Medicine 15th Edition;Volume 2;page 1922- 1928.
6. http://rosetteb.weebly.com/journal-article-lupus.html
7. http://www.jointessential.com/what-is-systemic-lupus-erythematosus-sle/
8. http://www.discoverymedicine.com/Barbara-Dema/2014/05/22/advances-in-mechanisms-
of-systemic-lupus-erythematosus/
9. Manfred Relle and Andreas Schwarting, Role of MHC-Linked Susceptibility Genes in
the Pathogenesis of Human and Murine Lupus, Clinical and Developmental Immunology,
vol. 2012, Article ID 584374, 15 pages, 2012. doi:10.1155/2012/58437
10. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.11. Symposium
National Immunology Week 2004,Surabaya 9-10 Oktober 2004;hal201-213.
11. The Merck Manual Edisi 16 ,Jilid 2 ; hal.878-830.

Anda mungkin juga menyukai