Anda di halaman 1dari 137

BUKU AJAR

HIDROLOGI TEKNIK

Penyusun:

DR. IR. MAHMUD ACHMAD, MP

Program Hibah Penulisan Buku Ajar Tahun 2011

Universitas Hasanuddin

2011
HALAMAN PENGESAHAN

HIBAH PENULISAN
BUKU AJAR BAGI TENAGA AKADEMIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2011

Judul Buku Ajar : Hidrologi Teknik

NamaLengkap : Dr. Ir. Mahmud Achmad, MP


NIP : 19700603 199403 1 003
Pangkat/Golongan : Lektor / III c
Prog.Studi/Jurusan : KeteknikanPertanian/TeknologiPertanian
Fakultas/Universitas : Pertanian/Univ. Hasanuddin
Alamat e-mail : mahmud_achmad@yahoo.com.au
Biaya : Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah)

Dibiayai oleh Dana DIPA BLU Universitas Hasanuddin


Tahun 2011 Sesuai SK Rektor Unhas
Nomor: H4.2/KU.10/2011 Tanggal

Makassar,23 November 2011

Dekan Fakultas Pertanian Penulis,


u.b.Wakil Dekan I

Prof. Dr.Ir. Ahmad Munir, M.Eng. Dr. Ir. Mahmud Achmad, MP.
NIP 19600727 198903 1 003 NIP 19700603 199403 1 003

Mengetahui:
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP)

Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc.


NIP. 19630501 198803 1 004
Halaman Sampul i
Halaman Pengesahan ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel vii
Daftar Gambar viii
I. PENDAHULUAN 1
II. SIKLUS HIDROLOGI 6
2.1 Pengertian, ruang lingkup dan peran ilmu hidrologi 6
2.2 Siklus hidrologi 6
2.3 Hidrologi di Indonesia 17
2.4 Latihan dan Penugasan 20
2.5 Daftar Pustaka 20
III. HUJAN DAN PARAMETER IKLIM 21
3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan 21
3.2 Klasifikasi Hujan 23
3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah 29
3.4 Latihan dan Penugasan 36
3.5 Daftar Pustaka 37
IV. EVAPOTRANSPIRASI 38
4.1 Pendahuluan 38
4.2 Evaporasi 40
4.3 Transpirasi 40
4.4 Evapotranspirasi 42
4.5 Evapotranspirasi Acuan 46
4.6 Latihan dan Penugasan 48
4.7 Tinjauan Pustaka 50
V. LIMPASAN HUJAN DAN HIDROMETRI 52
5.1 Pendahuluan 52
5.2 Aliran Permukaan 53
5.3 Aliran Sungai 53
5.4 Waktu Konsentrasi 61
5.5 Transformasi Hujan Aliran 69
5.6 Tipe Sungai dan Aliran 72
5.7 Latihan dan Penugasan 78
5.8 Daftar Pustaka 79
VI. INFILTRASI 80
6.1 Pendahuluan 80
6.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi 81
6.3 Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi 85
6.4 Pengukuran Infiltrasi 91
6.5 Contoh Soal 93
6.6 Latihan dan Penugasan 94
6.7 Daftar Pustaka 95
VII. PENELUSURAN BANJIR 96
7.1 Pendahuluan 96
7.2 Memilih Model Penelusuran Banjir 97
7.3 Penelusuran Aliran Tipe-Lump 98
7.4 Penelusuran Aliran Tipe-Terdistribusi 102
7.5 Metode Muskingum-Cunge 105
7.6 Latihan dan Penugasan 108
7.7 Daftar Pustaka 108
VIII. KOMPUTASI HIDROLOGI 110
8.1 Pendahuluan 110
8.2 Penyuntingan DEM 112
8.3 Menyunting Arah Aliran 116
8.4 Menyunting Elevations ke Create Streams 118
8.5 Analisa HEC-RAS 118
8.6 Penggambaran Dataran Banjir 124
8.7 Latihan dan Penugasan 126
8.8 Daftar Pustaka 126
PENUTUP 127
No Tabel URAIAN Hal

Tabel 4.1. Koefisien Tanaman (Kc) Padi Menurut Nedeco/Prosida 44


dan FAO
Tabel 4.2 Kisaran nilai koefisien panci pada berbagai level kecepatan 48
angin dan kelembaban udara
Tabel 4.3 Kisaran nilai ET pada berbagai kondisi iklim wilayah 48
Tabel 5.1 Korelasi Nilai Koefisien dan untuk pelampung batang 58
Tabel 5.2 Pengukuran kecepatan aliran berdasarkan kedalaman 60
Tabel 6.1 Laju Infiltrasi Menurut Jenis Tanah 84
Nomor
Uraian Hal
Gambar
Gambar 2.1. Siklus Hidrologi (T=transpirasi, E=evaporasi, P=hujan, R=aliran 7
ppermukaan, G=aliran airtanah dan I=infiltrasi). Sumber:
Viessman et.al., 1989)
Gambar 2.2 Kesetimbangan dan pergerakan air secara hidrologis. (Sumber: 8
Viessman et.al., 1989).
Gambar 2.3 Distribusi input presipitasi dalam siklus hidrologi 9
Gambar 2.4 Siklus Karbon di Bumi dan di Atmosfir 10
Gambar 2.5 Siklus Nitrogen di Alam (Koottatep, Polprasert & Oanh, 2000) 14
Gambar 2.6 Siklus Fosfor di Alam 15
Gambar 2.7 Siklus Karbon dan Oksigen di Alam 16
Gambar 2.8 Siklus Hidrologi Regional 17
Gambar 2.9. Aliran permukaan dari dari curah hujan dan aliran mantap (air 19
yang tertampung di waduk, danau dan sungai) di pulau-pulau
besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)
Gambar 2.10. Ketersediaan dan kebutuhan air secara umum di pulau-pulau 19
besar di Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)
Gambar 3.1 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi). 22
Gambar 3.2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam millimeter) 22
Gambar 3.3 Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah 24
kontinental dan laut
Gambar 3. 4 Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 25
1989)
Gambar 3.5 Tahap pengembangan massa udara thunderstorm (Maidment, 26
1989)
Gambar 3.6 Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude 27
Gambar 3.7 Bentuk butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 28
1989)
Gambar 3.8 Alat penakar hujan type weighing 29
Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office 30
Tilting-syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float;
C=Knife-edges; D=Double siphon tubes; E=Trigger;
Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: 30
magnet. D: switch
Gambar 3.11 Alat Penakar Hujan (manual dan otomatis) 31
Gambar 3.12 Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya 33
Gambar 3.13 Metode Isohyet 34
Gambar 3.14 Posisi Penakar pada suatu DAS 35
Nomor
Uraian Hal
Gambar

Gambar 4.1 Proses penguapan air dari badan air 39


Gambar 4.2 Komponen kesetimbangan energi pada tanaman 39
Gambar 4.3 Skema stomata pada daun tanaman 41
Gambar 4.4 Fraksi evaporasi dan transpirasi pada proses evapotranspirasi 41
Gambar 4.5 Skema faktor penentu evapotranspirasi 43
Gambar 4.6 Skema perhitungan evapotranspirasi aktual 44
Gambar 4.7 Penentuan Evaporasi dengan Grafik 45
Gambar 4.8 Panci Evaporasi Kelas A 47
Gambar 5.1 Morfologi Sungai dan bentuk pengalirannya 54
Gambar 5.2 Pembagian Penampang Melintang Sungai 55
Gambar 5.3 Profil distribusi kecepatan aliran sungai 56
Gambar 5.4 Pelampung tangkai dari batang bambu 57
Gambar 5.5 Prototipe alat Current meter 59
Gambar 5.6 Contoh Daerah Tangkapan Hujan 65
Gambar 5.7 Contoh Transformasi hidrograf hujan-aliran dan komponen 70
aliran sungai di suatu daerah tangkapan hujan
Gambar 5.8 Konsep pendugaan debit puncak dengan metode time-area 72
Gambar 5.9 Pola pergerakan air di sungai dalam tanggul/bantaran sungai 73
Gambar 5.10 Pola pengaliran air sungai (SPAS) 74
Gambar 5.11 Penentuan Orde Sungai 75
Gambar 5.12 Profil Aliran Sungai Hasil Pengukuran 76
Gambar 6.1 Skema komponen rainfall excess 88
Gambar 6.2 Monogram SCS 69
Gambar. 6.3 Metode grafis penentuan Konduktivitas Hidraulik Jenuh dengan 91
segitiga tekstur
Gambar 6.4 Infiltrometer 92
Gambar 7.1 Sifat translasi dan attenuasi banjir 97
Gambar 8.1 Menyunting DEM 113
Gambar 8.2 Penentuan batas DAS atau sub-DAS 114
Gambar 8.3 Kesalahan penggambara DAS 114
Gambar 8.4 Das hasil perbaikan/koreksi 115
Gambar 8.5 Hasil akhir penggambaran DAS 115
Gambar 8.6 Peta Citra 116
Gambar 8.7 Aliran Permukaan (stream flow) 117
Gambar 8.8 Menyunting arah aliran dan koreksi 117
Gambar 8.9 Koreksi atribut aliran 117
Gambar 8.10 Peta Penggunaan Lahan 120
Gambar 8.11 Penggunaan HEC-HMS 121
Gambar 8.12 Hasil Pengolahan HEC-RAS di WMS 123
Gambar 8.12 Pola dampak banjir stelah diproses 125
Puji syukur kehadirat Tuhan pencipta alam semesta dan yang menguasai ilmu pengetahuan karena
atas nikmat ilmu-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan buku ajar Hidrologi Teknik ini. Karena
banyaknya materi dan kajian tentang hidrologi, penulis membatasi tulisan ini sesuai kurikulum di
Program Studi Keteknikan Pertanian.

Berbagai tantangan dan halangan yang penulis hadapi dalam penulisan ini terutama dalam setting
gambar. Oleh karena itu lewat pengantar ini, saya memohon bila apa yang tersaji masih banyak
yang perlu dibenahi. Keterbatasan waktu dalam mebuat modul bahan ajar ini merupakan salah satu
faktor pembatas. Penulis tentu akan terus memperbaiki Modul ini untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan kemudahan bagi mahasiswa dalam mempelajari ilmu hidrologi.

Terima kasih saya sampaikan kepada Rektor UNHAS melalui LKPP yang telah memberikan
bantuan dana penulisan untuk mendukung terwujudnya buku ajar ini. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada keluarga saya Istri tercinta Hj. Nahar Zakariah dan anak-anakku (Ainun, Uswah dan
Ariqah) yang telah dengan penuh pengertian dan dukungan dalam penyelesaian modul ini.

Makassar, November 2011

Penulis
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mengetahui GBRP dan kontrak pembelajaran
2. Mahasiswa memahami sistem evaluasi pembelajaran

Kondisi Pembelajaran di Teknik Pertanian


Dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran di Program studi Keteknikan Pertanian
Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNHAS, maka dipandang perlu untuk
membuat kelengkapan bahan pengajaran dalam bentuk yang dapat digunakan oleh dosen
dan mahasiswa sebagai acuan dasar dalam proses pembelajaran. Salah satu bahan yang
dapat dijadikan acuan dalam proses pembelajaran pada Mata Kuliah Hidrologi Teknik
adalah MODUL yang dibuat dalam bentuk interaktif dan disertai contoh-contoh kasus
dalam bidang Sumber Daya Air secara menyeluruh dan terintegrasi.

Mata kuliah Hidrologi Teknik diikuti oleh rata-rata 50 mahasiswa peserta mata kuliah
setiap semester dengan kelulusan yang bervariasi dari A sampai ke E. Nilai A kurangdari
5%, A- sekira 10% sedangkan nilai B+ sampai D mendominasi sampai 75%, dan kurang
lebih 10% tidak lulus atau mengundurkan diri.

Kelulusan mahasiswa umumnya ditentukan dengan beberapa aspek meliputi: (i) Tingkat
Kognisi berupa kemampuan menghitung, mengolah data dan menganalisis persoalan
hidrologi seperti peluang kejadian hujan, kejadian banjir, air tanah, dan aspek dalam siklus
hidrologi lainnya; (ii) Tingkat Keterampilan (Skill) berupa kemampuan mengoperasikan
alat-alat ukur hidrologi dan klimatologi, dan mengolah data dengan perangkat lunak olah
data (terdistribusi atau spasial); dan (iii) Skala Sikap dan Soft Skill yang meliputi
kemampuan kerja kelompok dan bekerjasama, serta etika dalam penggunaan alat-
alat/instrumen laboratorium.

Berdasarkan rekam jejak kelulusan mahasiswa, umumnya nilai selalu rendah pada tingkat
kognisidimanamerekamasihlemahdalammenghitung,mengolahdanmenganalisisdata.

Oleh karena itu, keberadaan MODUL PEMBELAJARAN HIDROLOGI TEKNIK


diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran mahasiswa dalam hal peningkatan
kemampuan kognitif dan keterampilan dalam bidang Hidrologi Teknik.

Sasaran Pembelajaran
Pada akhir penyajian matakuliah Hidrologi Teknik ini, mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan prinsip dan teori dasar hidrologi, mampu mendeskripsi komponen-komponen
siklus hidrologi dan proses dari masing-masing komponen. Mahasiswa juga diharapkan
memahami dan trampil dalam mengukur parameter hidrologi (hidrometri); menganalisis
distribusi kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia atau secara lokal di DAS; trampil
menggunakan perangkat lunak dalam analisis data dan proses hidrologi.

Deskripsi Mata Kuliah


Matakuliah ini merupakan mata ajaran yang membahas aspek-aspek yang berkaitan
penyebaran, siklus dan proses air di atmosfir dan di bumi serta manfaat dan bahaya air bagi
manusia. Ruang lingkup mata kuliah Hidrologi Teknik mencakup pengertian dan ilmu
yang terkait dengan hidrologi; genesa dan penyebaran air; proses dan komponen siklus
hidrologi; identifikasi dan deskripsi satuan analisis untuk kajian hidrologi; pengukuran
komponen/parameter hidrologi (hidrometri), analisis hujan, evapotranspirasi dan
perhitungannya, limpasan permukaan; dan dasar komputasi hidrologi. Pelaksanaan kuliah
menggunakan pendekatan ekspositori dalam bentuk ceramah dan tanya jawab (diskusi)
dengan penggunaan LCD. Kelengkapan kuliah berupa penyelesaian tugas penyusunan dan
penyajian makalah kelompok, diskusi dan pemecahan masalah, serta praktikum
laboratoriun dan lapangan. Di akhir perkuliahan juga dilaksanakan praktek
lapangan agar mahasiswa memiliki keterampilan dalam menganalisa masalah-masalah
hidrologi di lapangan. Tahap penguasaan mahasiswa selain evaluasi melalui UTS dan UAS juga
evaluasi terhadap tugas, penyajian, diskusi, dan laporan praktikum lapangan.

Pendekatan pembelajaran
Perkuliahanini menggunakan pendekatan ekspositori, penugasan, dan praktek
laboratorium dan lapangan
a. Metode Tatap Muka : ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemecahan
masalah
b. Tugas : Laporan Praktikum, penyajian makalah dan diskusi, dan Laporan
praktek lapangan
c. Media : LCD (presentasi), Penuntun Praktikum (CD), dan Modul
Pembelajaran (File PDF).
Evaluasi
Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan ini dievaluasi dengan komponen prestasi yang
telah ditunjukkan berupa:
a. Jumlah tatap muka (% kehadiran)

b. Partisipasi aktif dalam kegiatan kelas


c. Partisipasi dalam praktikum (Laboratorium dan Lapangan) dan Laporan
praktikum Lab/Lapangan
d. Tugas Makalah dan Presentasi
e. Kuis
f. UTS dan UAS

GBRP (GARIS BESAR RANCANGAN PEMBELAJARAN)


MINGGU SASARAN MATERI STRATEGI KRITERIA BOBOT
KE PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN PENILAIAN NILAI
(%)
1. Kontrakkuliah PengertiandanRuang Keaktifan (1)
2. Mampumenjelaskan LingkupHidrologi Caramengemukakan
1
KonsepHidrologi PermasalahanHidrologi Kuliah/ pendapat(2) 5
diIndonesia Diskusi Tingkat analisis (2)

3. Mampumenjelaskan Siklus Hidrologi Keaktifan (1)


SiklusHidologidan Kesetimbangan Air Caramengemukakan
2 komponennya SiklusKomponenlaindi Kuliah/Diskusi pendapat(2) 5
Bumi Tingkat analisis (2)

4. Mampumenjelaskan Pengertiandanproses Keaktifan (1)


proseskejadianhujan kejadianhujan Caramenghitung(3)
5. Mampumenjelaskan Karakteristik Hujan Caramenggambar
metodepengukuranhujan PengukuranHujan areahujan(4)
danalatukurnya Hujan Wilayah Tingkat analisis (2)
6. Mampumengidentifikasi
3-4 danmenganalisis Kuliah/Penugasan 10
karakeristikhujan
7. Mampumenghitungrata
ratahujanwlayah
8. Mampumenjelaskan
parameteriklimlain
9.Mampumenjelaskan
prosesevapotranspirasi
Evaporasi Keaktifan (1)
10.Mampumenjelaskan
Transpirasi, Dokumentasi (3)
parameter
Evapotranspirasi Kreatifitas(3)
evapotranspirasi
Pengukuran Evaporasi Menghitung (3)
11.Mampumelakukan
Perhitungan ETP
perhitungan
evapotranspirasipotensial Kuliah/
5-6 (Penmann)denganbenar 10
Belajarmandiri
12.Mampumelakukan
perhitungan
evapotranspirasiaktual
(Penmann)dengan
benarMengerticara
pengukuranerosi

13.Mampumenjelaskan Pengertian PengenalanAlatUkur


pengertianrunoff Aliran Permukaan (3)
14.Mampumengukur Aliran Sungai PengukuranLapang
penampangpengaliran APengetian (4)
sungai(prakteklapangan) Alat Ukur Penghitungan (2)
15.Mampumelakukan Pengukuran Debit Laporan/Bahan
pengukurankecepatan Perhitungan Debit presentasi(5)
aliransungaidengan Teknik Presentasi (3)
pelampungdancurrent Teknik menjawab (3)
meter(prakteklapangan)
16.Mampumenghitungdebit
aliransungaihasil
pengukuran(praktek Praktikum/Praktek
78 lapangan) Lapangan/ 20
17.Mampumenjelaskantipe Presentasi/Diskusi
tipePolaPengaliran
AirSungai(SPAS)
18.Memahamimetoda
Rasionalsebagai
pendugaandebitsungai
19.Mampumenghitung
intensitashujan
20.Mampumenenukanwaktu
konsentrasidenganWMS
21.Mampumenghitungdebit
puncak

23.Mampumenjelaskan Pengertian PengenalanAlatUkur
konsepinfiltrasi,perkolasi Faktoryang (2)
danpermeabilitas mempengaruhiinfiltrasi pengukuranLapang
24.Mampumenjelaskan Pengukuranlapangan (2)
perbedaanantarakonsep PerhitunganFungsi Penghitungan(4)
infiltrasi,perkolasidan Infilrtasi Laporan/Bahan
permeabilitas Diskusi(4)
25.Mampumenghitunglaju Kuliah/Praktikum/ Teknik
911 infiltrasidankapasitas PraktekLapangan/ mengemukakan 15
infiltrasisertakoefisien Diskusi pendapat(3)
fungsiinfiltrasi(Kostiakov,
Horton,danHoltan)
26.Mampumelakukan
pengukuraninfiltrasi
denganringinfiltrometer
dilapangan.

27.Mengetahuicaraprakiraan Penngertian Kektifan (2)
banjirjangkapendek Modelpenelusuran PraktekKomputasi(5)
28.Menghitunghidrograf banjir Kuliah/Diskusi Penghitungan (4)
satuandarisuatutitik Tipe Lump kelompok/Prentasi/ Laporan/Bahan
1213 15
ukurkebagiansungailain Tipe terdistribusi Penugasan Diskusi(4)
29.Mengetahuiperhitungan
debitbanjir

30.Mengetahuiderivasi
hidrografsintetik

31.Mengetahuiaplikasi Aplikasi Komputer Keaktifan(2) 20


komputerdalamanalisis Teknikmengoperasikan PengenalanSoftware
hidrologi modelWMS (4)
32.Mengetahuiperhitungan PerhitunganDebit Pengolahan data (6)
menggunakankomputer Rencana Penyajianhasil/
33.Mengetahuiperhitungan Laporan(8)
banjirrencana
menggunakankomputer
34.Mengetahuiperhitungan
1415
debitmenggunakan Kuliah/Praktek/
komputer PembuatanLaporan
35.Mengetahuiperhitungan
banjirrencana
menggunakankomputer
36.Mengetahuiperhitungan
debitmenggunakan
komputer



16 Soalujian(materidan Akumulasi 100
37.Penguasaanmateri UJIKOMPETENSIDAN
praktek) Kemampuan
REMEDAIL

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mengetahui pengertian, ruang lingkup dan peranan Ilmu hidrologi,
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Siklus Hidrologi, dan, Hidrologi di Indonesia

A. Pengertian, ruang lingkup dan peranan Ilmu hidrologi

Hidrologi adalah cabang ilmu dari ilmu kebumian. Hidrologi merupakan ilmu yang
penting dalam asesmen, pengembangan, utilisasi dana manajemen summberdaya air
yang dewasa ini semakin meningkat realisasinya di berbagai level. Indonesia secara
umum juga mengalami berbagai permasalahan sumberdaya air yang membutuhkan
analisis hidrologi yang semakin rumit dalam mengatasinya. Hal ini mendorong para peneliti
bidang Hidrologi untuk semakin intensif dalam mengumpulkan data dan
informasi dari level global sampai pada tingkat prilaku air di sub-sub daerah aliran
sungai.
Pemahaman ilmu hidrologi akan membantu kita dalam menyelesaikan problem
berupa kekeringan, banjir, perencanaan sumberdaya air seperti dalam disain
irigasi/bendungan, pengelolaan daerah aliran sungai, degradasi lahan, sedimentasi dan
problem lain yang terkait dengan kasus keairan.

B. Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas, dan padat baik proses
di atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses kondensasi,
presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari
merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air
berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk air, es, atau kabut. Pada
perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau
langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah.
Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara
yang berbeda:
1. Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb.
kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan.
Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang
selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
2. Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-
celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak
akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah
permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
3. Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama
dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran
permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada
daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai
utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju
laut.
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan
sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan
berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-
komponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai
(DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud
dan tempatnya

Secara umum bagan alir distribusi air hujan dalam proses hidrologi dapat dilihat pada
Gambar 3 yang disajikan sebagai bentuk transformasi hyetograph menjadi streamflow
hydrograph melalui berbagai proses di bumi dan di atmosfir.
Gambar 3. Distribusi input presipitasi dalam siklus hidrologi

Siklus Karbon (C)


Diagram dari siklus karbon. Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak
karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton
Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar
reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak
termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen
Bagian terbesar dari karbon yang berada di atmosfer Bumi adalah gas karbon dioksida
(CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas
yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basis molar, meskipun sedang
mengalami kenaikan), namun ia memiliki peran yang penting dalam menyokong
kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan
kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas
tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam
dekade terakhir ini, dan berperan dalam pemanasan global.
Gambar 4. Siklus Karbon di Bumi dan di Atmosfir

Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara:


1. Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk mengubah
karbon dioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan
yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat.
2. Pada permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan CO2 akan
lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan terbawa oleh
sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat ke
kedalaman laut atau interior laut (lihat bagian solubility pump).
3. Di laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang
tinggi, organisme membentuk jaringan yang mengandung karbon, beberapa
organisme juga membentuk cangkang karbonat dan bagian-bagian tubuh
lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke bawah (lihat
bagian biological pump).
4. Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak
memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer.
Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap CO2 atmosferik
karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya
dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse
reaction).

Karbon dapat kembali ke atmosfer dengan berbagai cara pula, yaitu:


1. Melalui pernafasan (respirasi) oleh tumbuhan dan binatang. Hal ini merupakan
reaksi eksotermik dan termasuk juga di dalamnya penguraian glukosa (atau
molekul organik lainnya) menjadi karbon dioksida dan air.
2. Melalui pembusukan binatang dan tumbuhan. Fungi atau jamur dan bakteri
mengurai senyawa karbon pada binatang dan tumbuhan yang mati dan
mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi
metana jika tidak tersedia oksigen.
3. Melalui pembakaran material organik yang mengoksidasi karbon yang
terkandung menghasilkan karbon dioksida (juga yang lainnya seperti asap).
Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, produk dari industri
perminyakan (petroleum), dan gas alam akan melepaskan karbon yang sudah
tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer. Hal inilah yang merupakan
penyebab utama naiknya jumlah karbon dioksida di atmosfer.
4. Produksi semen. Salah satu komponennya, yaitu kapur atau gamping atau
kalsium oksida, dihasilkan dengan cara memanaskan batu kapur atau batu
gamping yang akan menghasilkan juga karbon dioksida dalam jumlah yang
banyak.
5. Di permukaan laut dimana air menjadi lebih hangat, karbon dioksida terlarut
dilepas kembali ke atmosfer.
6. Erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepaskan gas ke atmosfer.
Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah
karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer secara kasar hampir sama dengan
jumlah karbon dioksida yang hilang dari atmosfer akibat pelapukan silikat;
Kedua proses kimia ini yang saling berkebalikan ini akan memberikan hasil
penjumlahan yang sama dengan nol dan tidak berpengaruh terhadap jumlah
karbon dioksida di atmosfer dalam skala waktu yang kurang dari 100.000
tahun.
Karbon di biosfer
Sekitar 1900 gigaton karbon ada di dalam biosfer. Karbon adalah bagian yang penting
dalam kehidupan di Bumi. Ia memiliki peran yang penting dalam struktur, biokimia,
dan nutrisi pada semua sel makhluk hidup. Dan kehidupan memiliki peranan yang
penting dalam siklus karbon:
1. Autotroph adalah organisme yang menghasilkan senyawa organiknya sendiri
dengan menggunakan karbon dioksida yang berasal dari udara dan air di sekitar
tempat mereka hidup. Untuk menghasilkan senyawa organik tersebut mereka
membutuhkan sumber energi dari luar. Hampir sebagian besar autotroph
menggunakan radiasi matahari untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, dan
proses produksi ini disebut sebagai fotosintesis. Sebagian kecil autotroph
memanfaatkan sumber energi kimia, dan disebut kemosintesis. Autotroph yang
terpenting dalam siklus karbon adalah pohon-pohonan di hutan dan daratan dan
fitoplankton di laut. Fotosintesis memiliki reaksi 6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2
2. Karbon dipindahkan di dalam biosfer sebagai makanan heterotrop pada
organisme lain atau bagiannya (seperti buah-buahan). Termasuk di dalamnya
pemanfaatan material organik yang mati (detritus) oleh jamur dan bakteri untuk
fermentasi atau penguraian.
3. Sebagian besar karbon meninggalkan biosfer melalui pernafasan atau respirasi.
Ketika tersedia oksigen, respirasi aerobik terjadi, yang melepaskan karbon
dioksida ke udara atau air di sekitarnya dengan reaksi C6H12O6 + 6O2
6CO2 + 6H2O. Pada keadaan tanpa oksigen, respirasi anaerobik lah yang
terjadi, yang melepaskan metan ke lingkungan sekitarnya yang akhirnya
berpindah ke atmosfer atau hidrosfer.
4. Pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan, kayu yang digunakan untuk
tungku penghangat atau kayu bakar, dll.) dapat juga memindahkan karbon ke
atmosfer dalam jumlah yang banyak.
5. Karbon juga dapat berpindah dari bisofer ketika bahan organik yang mati
menyatu dengan geosfer (seperti gambut). Cangkang binatang dari kalsium
karbonat yang menjadi batu gamping melalui proses sedimentasi.
6. Sisanya, yaitu siklus karbon di laut dalam, masih dipelajari. Sebagai contoh,
penemuan terbaru bahwa rumah larvacean mucus (biasa dikenal
sebagai
"sinkers") dibuat dalam jumlah besar yang mana mampu membawa banyak
karbon ke laut dalam seperti yang terdeteksi oleh perangkap sedimen [1].
Karena ukuran dan kompisisinya, rumah ini jarang terbawa dalam perangkap
sedimen, sehingga sebagian besar analisis biokimia melakukan kesalahan
dengan mengabaikannya.
Penyimpanan karbon di biosfer dipengaruhi oleh sejumlah proses dalam skala waktu
yang berbeda: sementara produktivitas primer netto mengikuti siklus harian dan
musiman, karbon dapat disimpan hingga beberapa ratus tahun dalam pohon dan hingga
ribuan tahun dalam tanah. Perubahan jangka panjang pada kolam karbon (misalnya
melalui de- atau afforestation) atau melalui perubahan temperatur yang berhubungan
dengan respirasi tanah) akan secara langsung mempengaruhi pemanasan global

Siklus Biogeokimia
Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumf. Materi yang berupa
unsurunsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan Materi dasar makhluk
hidup dan tak hidup.
Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa
kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen
abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi jugs
melibatkan reaksireaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut siklus
biogeokimia.
Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus air, siklus oksigen, siklus karbon, siklus
nitrogen, dan siklus sulfur. Di sini hanya akan dibahas 3 macam siklus, yaitu siklus
nitrogen, siklus fosfor, dan siklus karbon.

1. Siklus Nitrogen (N2)


Gasnitrogenbanyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat
ditambat/difiksasi terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar (misalnya jenis
polongan) dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan
hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir.
Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit
(N02- ), dan ion nitrat (N03- ).
Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar
tumbuhan lain, misalnya Marsiella crenata. Selain itu, terdapat bakteri dalam
tanah

yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat
aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob. Nostoc sp. dan Anabaena sp.
(ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen.
Nitrogen yang diikat biasanya dalam bentuk amonia. Amonia diperoleh dari hasil
penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri
nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan
diserap oleh akar tumbuhan. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah
menjadi amonia kembali, dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepaskan ke
udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem. Lihat Gambar.

Gambar 5. Siklus Nitrogen di Alam (Koottatep, Polprasert & Oanh, 2000)

2. Siklus Fosfor
Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada
tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah).
Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer
(pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air
laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak
terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk
fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan
diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus. Lihat Gambar

Gambar 6. Siklus Fosfor di Alam

3. Siklus Karbon dan Oksigen


Di atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara
berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan
asap pabrik. Karbon dioksida di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk
berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia
dan hewan untuk berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama
akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai
bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.
Di ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung.
Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai
menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang
memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain.
Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, COz yang mereka keluarkan menjadi
bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air.

Gambar 7. Siklus Karbon dan Oksigen di Alam

Kesetimbangan Air Regional


Konsep kesetimbangan air juga dapat dinyatakan secara regional atau dalam suatu
kawasan seperti pada suatu daerah tangkapan hujan (catchment area) atau pada suatu
daerah pengaliran sungai (DAS atau Sub-DAS).
Kesetimbangan air dapat diklasifikasikan berdasarkan posisinya dalam bumi menjadi:
i. Kesetimbangan air di atas permukaan tanah,
Kesetimbangan air di atas permukaan tanah dapat dinyatakan dengan
persamaan:
P + R1 R2 + Rg Es Ts I = Ss
ii. Kesetimbangan air di bawah permukaan tanah
Kesetimbangan air di bawah permukaan tanah dapat dinyatakan dengan
persamaan:
I + G1 G2 Rg Eg Tg = Sg
iii. Kesetimbangan total adalah merupaka kombinasi dari persamaan
kesetimbangan air di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah yang
dinyatakan dengan persamaan:.
P (R2 R1) (Es + Eg) (Ts + Tg) (G2 G1) = (Ss + Sg).
Kesetimbangan regional air tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

C. Hidrologi di Indonesia
Indonesia dalam mengimplemetasikan konsep keairan telah menuangkan dalam
bentuk perundangan berupa UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004 yang memuat konsep dasar keairan berupa definisi-definisi:
1. Air adalah semua air yang terdapat pada, diatas, ataupun dibawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air
laut yang berada di darat.
2. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
3. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
4. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat
pada, di atas, atau pun di bawah permukaan tanah
5. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.


6. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau
ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.

7. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
Permasalahan sumberdaya air di Indonesia masih bertumpu pada aspek kuantitatif
seperti kejadian banjir dan kekeringan. Dimana air terlalu banyak pada musim hujan
dan terlalu sedikit pada musim kemarau. Distribusi ketersediaan air sepanjang waktu
sangat ditentukan oleh distribusi hujan sepanjang tahun dan ketersediaan sarana
penampungan air untuk mencegah kekurangan air pada musim kemarau.

Disamping persoalan kuantitas, kualitas air juga menjadi permasalahan di Indonesia


dimana kualitas air permukaan sudah sangat kotor, misalnya air di Sungai Citarum
yang berbau dan berwarna hitam.

Permasalahan sumber daya air ini dapat diselsesaikan dengan pemahaman yang
komprehensif tentang hidrologi wilayah/regional pada masing-masin DAS.
Pemahaman yang baik dapat mengatur ketersediaan air dalam jumlah dan waktu yang
cukup serta kualitas yang sesuai peruntukannya.

Bentruk transformasi hujan aliran dan simpanan air di wilayah sangat ditentukan oleh
kondisi bentang alam yang terdapat di wilayah jatuhnya hujan. Komposisi aliran
permukaandantampunganairsecarakuantitatifdapatdilihatpadaGambar9.

Gambar 9. Aliran permukaan dari dari curah hujan dan aliran mantap (air yang
tertampung di waduk, danau dan sungai) di pulau-pulau besar di
Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)
Sebaran kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia cukup bervariasi dimana pulau
seperti Jawa, NTB dan Bali memiliki defisit air bila ditinjau dari aspek kebutuhan
domestik dan pertanian. Sementara pulau lainnya masih cenderung cukup dalam artian
ketersediaan aliran mantap. Meskipun demikian, kekurangan air di pulau-pulau
tersebut berpeluang terjadi pada periode waktu tertentu.
Gambar 10. Ketersediaan dan kebutuhan air secara umum di pulau-pulau besar di
Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000).
SOAL LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan:


a. Hidrologi
b. Presipitasi
2. Jelaskan peranan hidrologi dalam pemecahan permasalahan sumberdaya air yang
ada di Indonesia
3. Gambarkan siklus hidrologi dan jelaskan komponen-komponen penyusunnya
4. Diskusikan ketersediaan dan kebutuhan air di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.
New York.

Kodoatie, RJ dan Sjarief, R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi.
Yogyakarta.

Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw-
Hills. New York.

Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper
Collins Pub. New York.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan
4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah
5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain

3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan


Presipitasi atau Hujan adalah peristiwa jatuhnya air/es dari atmosfer ke permukaan
bumi dan atau laut dalam bentuk yang berbeda. Hujan di daerah tropis (termasuk
Indonesia) umumnya dalam bentuk air dan sesekali dalam bentuk es pada suatu
kejadian ekstrim, sedangkan di daerah subtropis dan kutub hutan dapat berupa air atau
salju/es.
Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu.
Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa
tertentu seperti perhari, perbulan, permusim atau pertahun (Sitanala, 1989). Curah
hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan
rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang
bersangkutan. Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu
yang ditinjau dari curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan
curah hujan perjam. Harga-harga yang diperoleh ini dapat digunakan untuk
menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya perancangan sesuai dengan tujuan
yang dimaksud (Sosrodarsono dan Takeda, 1999).

Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah
satu konsekuensi dari variabliltas hujan adalah terjadinya fluktuasi curah hujan di
setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir
yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya.

Dinamikan Atmosfir: Variabel utama yang digunakan untuk menggambarkan kondisi


dinamik atmosfir adalah are kerapatan udara, tekanan udara, dan suhu. Persamaan lama
menghubungkan variabel atmosfir dengan laju atmosfir melalaui sistem 6 persamaan
(konservasi massa, konservasi energi, hukum gas ideal, dan 3 persamaan konservasi
momentum, komponen masing-masing persamaan memiliki parameter laju) pada enam
parameter (tekanan, temperature, kerapatan, dan 3 komponen laju).

Salah satu komponen siklus hidrologi yang sangat penting dan selalu diukur
adalah hujan. Pengukuran hujan telah dilakukan sejak lama dengan melakukan
penakaran hujan. Penakar hujan pertama berada di Korea tahun 1400an, dan 200 tahun
kemudian, Sir Christopher Wren menginvensi alat penakar hujan otomatis.
Gambar 3.1/2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi dan millimeter).

Data rekaman meteorologi dan hidrologi dimaksudkan untuk penilaian sumber


daya air, evaluasi kejadian banjir puncak di wilayah pertanian dan perkotaan/
permukiman Kebutuhan data dapat bervariasi dari menit ke menit sampai bulanan dan
tahunan.

Proses Kejadian Hujan

Pembentukan hujan merupakan proses fisika awan Sejumlah proses fisik


terdapat dalam proses terjadiinya hujan, dan proses tersebut memiliki hubungan dengan
berbagai issu dari kualitas lingkungan sampai perubahan iklim.

1. Terbentuknya awan

Awan terbentuk ketika udara menjadi sangat jenuh (supersaturated), dimana ketika
teknan uap aktual mencapai atau melebihi tekanan uap jenuh: Supersaturation terjadi
melalui pengembangan dan pendinginan kolom udara yang menyebabkan uap air
terkondensasi pada partikel atmosfir. Proses ini disebut nukleasi (nucleation). Aeroso;
atmosfir yang merupakan suspensipadat atau bahan cair dengan kecepatan jatuh kecil
memegang peranan penting dalam permulaan kondensasi dengan memfasilitasi tempat
proses nukleasi bagi uap air. Dua tipe awan dapat dibedakan atas awan dingin (cold
clouds) dan awan panas (warm clouds). Awan dengan suhu di atas 0 0C disebut awan dingin.

2. Struktur Awan

Di awal abad 20, Wegener menyatakan bahwa pada campuran awan yang terbentuk
dari condensasi uap merupakan mekanisme umum terjadinya hujan yang terkadang
juga membentuk salju dan es. Jenis hujan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh suhu
lapisan atmosfir antara terjadinya hujan dan permukaan tanah (lapisan yang dilewati hujan).

Droplet atau butiran hujan bertumbuh pada awan yang suhunya lebih tinggi
(warm clouds) melalui proses kondensasi, kollisi (collision), dan koalesens
(coalescence). Umumnya awan yang terbentuk di wilayah tropis adalah awan dengan
suhu diatas 0oC. Jenis awan ini mencairkan partikel kristal yang terbentuk di wilayah
atmosfir dengan suhu di bawah 0oC. Proses ini juga mengecilkan kristal hujan dan
membentuk butiran hujan.

Gambar 3.3 Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah kontinental


dan laut

3. Proses Jatuhnya Air Hujan


Mekanisme jatuhnya air hujan secara umum terjadi karena proses konveksi dan
pembentukan awan berlapis (stratiform). Kedua mekanisme ini berbeda dalam
proses pembentukan dan pembesaran ukuran dan berat butiran hujan yang
menyebabkan pergerakan vertikal udara yang berasosiasi dengan awan pembentuk
hujan.
Pada mekanisme stratiform, gerakan vertikal udara lemah, partikel hujan
diinisiasi dekat permukaan atas awan hingga proses terjadinya pengembangan
hujan cukup lama (berjam-jam). Untuk mekanisme konvektif, gerakan udara
vertikal sangat cepat sehingga pembesaran partikel butiran hujan diinisiasi dengan
cepat saat terbentuknya awan. Hal ini menyebabkan proses jatuhnya butiran hujan
sangat cepat (sekitar 45 menit).
Mekanisme lain dalam proses hujan adalah kombinasi konvektif dan
stratiform yang merupakan proses pengangkatan massa udara dan uap air secara
orografis melalui pegungungan dan perbukitan.

Ada enam kelas sistem kejadian hujan secara umum yang diuraikan seperti
berikut:

a. Siklon Extratropis

Sirkulasi udara yang terdiri dari massa udara (streams) yang bergerak secara
normal dan stabil mengikuti pola gerakan di atas permukaan bumi. Suhu dan
kelembaban udara sangat tergantung pada asal gerakan udara; masssa udara
kontinental kutub dingin dan kering; massa udara laut tropis panas dan lembab.
Wilayah disekitar daerah tropis sangat berbeda sehingga dua airan udara paralel
dengan suhu berbeda sehingga memicu ketidak stabilan di lapisan antara keduanya
yang cenderung menyebabkan terjadinya siklon.
Kejadian kurva siklon ekstratropis curve dapat mencapai ribuan kilometer.
Pengangkatan vertiakal dalam siklon ekstratropis diasosiasikan dengan posisi kurva
dengan kecepatan kurng dari 0.1 km/jam. Kebanyakan hujan pada siklon ini
didominasi oleh mekanisme stratiform yang dimicu oleh kejadian konvektif seperti
terlihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3. 4 Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 1989)


b. Midlatitude Thunderstorms
Seperti halnya siklon ekstratropis yang merupakan contoh hujan stratiform, maka
midlatitude thunderstorms merupakan contoh hujan konveksi. Massa udara
thunderstorms terbentuk dari massa udara tak stabil secara konveksi dalam jumlah
yang relatif besar dari kandungan uap rendah dan gesekan angin kecil. Struktur
spasial hujan ditentukan dengan pola acak pada thunderstorm.
Studi pada akhir 1940an memberikan hasil proses kejadian hujan
thunderstorm yang memiliki karakterisrik siklus, (1) membetuk awan cumulus
yang

membentuk partikel hujan di awan tapi tidak mencapai bumi karena proses
pengangkatan udara yang kuat, (2) tahap pematangan dimana gesekan partikel
hujan menyebabkan gerak ke bumi sehingga butiran hujan jatuh, dan (3) tahap
dissipasi dimana butiran hujan kecil terus jatuh. Umumnya thunderstorms tidak
menghasilkan curah hujan yang tinggi pada wilayah yang luas. Kejadian
thunderstorms dalam skala sedang (mesoscale convective systems, MCS)
merupakan penyebab utama terjadinya banjir di berbagai tempat.

c. Kluster Awan Tropis (Tropical Cloud Clusters)


Gambar 3.6 menunjukkan bahwa secara global curah hujan rata-rata tahunan di
wilayah tropis merupakan yang terbesar. Curah hujan yang maksimum tersebut
berasosiasi dengan kluster awan yang terjadi pada zona putaran angin yang
memusat. Kluster awan, seperti halnya pada sistem awan tropis, konveksi
merupakan pemicu awal kejadian hujan. Meskipun sistem awan tropis meliputi
jangkauan skala yang luas, kebanyakan hujan karena proses kluster awan jatuh
pada luas wilayah yang dapat mencapai 50.000 km2. Hujan tropis memainkan
peranan penting dalam sirkulasi global dan berkaitan erat dengan anomali
sirkulasi atmosfir seperti El-Nino.

Gambar 3.6 Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude.

d. Hujan Monsoon ( Monsoon Rainfall)


Akumulasi hujan terbesar selama periode lebih dari 24 jam berasosiasi dengan
Asian monsoon. India dan Asia Tenggara adalah lokasi utama kejadian hujan
monsoon selama musim panas di Asia. Indonesia dan Malaysia sering
mengalami hujan monsoon ekstrim selama periode Winter di Asia. Istilah
monsoon diadopt dari bahasa arab yang berarti musim. Karakteristik umum
iklim monsoon ditandai oleh arah angin yang berlawanan pada dua musim.
Misalnya di Indonesia dikenal dengan Musim Angin Timur (banyak hujan) dan
Musim Angin Barat (kurang hujan).

e. Hujan Badai (hurricanes)


Badai umumnya dikenal di wilayah pasifik yang menyebabkan hujan ektrim di
wilayah pesisir pantai sepanjang Samudra Atlantik dan Pasifik. Kejadian hujan
badai merupakan proses ektrim dari konveksi dan stratiform. Kejadian badai
masih merupakan proses yang diperdebatkan.

f. Hujan Orografis
Pengaruh Orografis dapat merubah type kejadian hujan di atas . Hujan orografis
pada prinsipnya memiliki mekanisme: (1) inisiasi konveksi, (2) pengangkatan
dalam skala besar, dan (3) pertumbuhan yang lambat.

1. Karakteristik Hujan
Ada dua faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan, yakni kecepatan jatuh butiran
hujan dan distribusi ukuran butiran hujan. Kedua faktor ini mempengaruhi proses yang
terjadi di tanah saat hujan jatuh.

2. Kcepatan jatuh butiran hujan


Kecepatan terminal suatu bola padat butiran hujan merupakan proportional dari
akar pangkat dua dari diameter butiran. Air yang jatuh melewati udara
menimbulkan gaya aerodinamik yang menyebabkan butiran hujan bergetar dan terdeformasi.
Diameter butiran hujan kurang dari 0.35 mm umumnya bulat dan
jatuh ke bumi dengn ukuran yang dapat mencapai diameter 1 mm dengan bentuk
lonjong (oblate spheroid). Butiran yang lebih besar umumnya ujungnya cembung
(flattened concave). Untuk butiran hujan besar, vibrasi dan deformasi seringkali
memecah butirsn hujan.
Gambar 3.7 Bentuk butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 1989)
Kecepatan jatuh hujan dapat diestimasi dengan rumus Gunn and Kinzer:
v(D) = 3,86 D 0.67 .
(3.1)
Keterangan v(D) adalah kecepatan jatuh butiran hujan, dan D adalah diameter
butiran hujan pada kisaran antara 0.8 dan 4.0 mm.
3. Distribusi Ukuran Butiran
Distribusi ukuran butiran hujan dalam volume di atmosfir dikarakterisasi oleh
hubungan densitas butiran (dalam butiran per meter kubik) dan distribusi
ukuran

butiran (dalam mm). Distribusi ukuran butiran secara khusus dinyatakan sebagai
fungsi N(D) yang menunjukkan densitas butiran hunan sebagai suatu fungsi
diameter butiran hujan. Distribusi butiran hujan umumnya dinyatakan dengan
distribusi Marshall-Palmer:
N(D) = No exp(-D)
dimana N(D) dan No adalah jumlah butiran per meter kubik per mm masing-
masing diameter butiran hujan dan dalam mm. Nilai No adalah 8000 m-3mm-1.
Marshall dan Palmer menghubungkan parameter dengan laju hujan dengan
rumus:
= 4,1 R-0,21
R adalah laju hujan (mm/jam). Beberapa peralatan otomatis dikembangkan untuk
mengukur distribusi ukuran butirsn hujan termasuk distrometer dan raindrop
camera.

3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah

Alat Penakar Hujan


Berbagai alat ukur atau penakar telah dikembangkan untuk menakar hujan. Dua tipe
penakar: terekam dan tak terekam. Alat penakar hujan terekam otomatis menyajikan
data akumulasi curah hujan pada waktu tertentu sampai pada data per menit atau lebih
detail. Perekam data hujan otomatis biasanya dilengkapi dengan telemetri melalui
sistem transmisi real-time dan kelengkapan khusus untuk manajemen sumber daya air.
Ada tiga tipe perekam data hujan:
weighing type, float and siphontype,
dan tipping-bucket type. Gambar 3.8
adalah ilustrasi penakar hujan
weighing type. Alat penakat tak
terekam terdiri dari penadah/wadah
silinder sederhana dan sebuah
batang pengkalibrasi yang
merupakan bagian penakaran.

Gambar 3.8 Alat penakar hujan type weighing

Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tilting-
syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float; C=Knife-edges;
D=Double siphon tubes; E=Trigger;
Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D:
switch.

Curah Hujan Efektif (Re)


Hujan yang diharapkan terjadi selama satu musim tanam berlangsung disebut curah
hujan efektif. Masa hujan efektif untuk suatu lahan persawahan dimulai dari
pengolahan tanah sampai tanaman dipanen, tidak hanya selama masa pertumbuhan
(Pasandaran dan Taylor, 1984).
Curah hujan efektif untuk tanaman lahan tergenang berbeda dengan curah hujan
efektif untuk tanaman pada lahan kering dengan memperhatikan pola periode musim
hujan dan musim kemarau. Perhitungan curah hujan efektif dilakukan atas dasar
prinsip hubungan antara keadaan tanah, cara pemberian air dan jenis tanaman
(Handayani, 1992).
Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian
hasil pengamatan pada stasiun curah hujan yang ada di daerah irigasi/daerah
sekitarnya dimana sebelum menentukan curah hujan efektif terlebih dahulu ditentukan
nilai curah hujan andalan yakni curah hujan rata-rata setengah bulanan (mm/15 hari)
dengan kemungkinan terpenuhi 80% dan kemungkinan tak terpenuhi 20% dengan
menggunakan rumus analisis (Chow, 1994):

. (3.1)
(3.2)

Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan
efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan.
Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus:
Re = Rtot (125 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm (3.3)
Re = 125 + 0,1 Rtot ; Rtot > 250 mm (3.4)
Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)

Curah Hujan Wilayah


Hampir semua analisis hidrologi membutuhkan data distribusi hujan. Biasanya curah
hujanrata-ratayang mewakili suatu DAS atau Sub-DAS dapat ditentukan dengan
beberapa cara.
1. Rata-rata Aritmetik
Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun
penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang
terdapat di dalam DAS.
(3.5)

Keterangan:
CH = Curah hujan rata-rata wilayah
CHi = Curah hujan pada stasiun i
n = Jumlah stasiun penakar hujan
2. Metode Poligon Thiessen
Metode poligon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata
tertimbang. Masing-masing pos penakar hujan mempunyai daerah pengaruh
sendiri-sendiri seperti terlihat pada Gambar 3.12 (d). Metode penggambaran
poligon dapat dilihat pada Gambar 3.12 (a), (b) dan (c). 3

Gambar 3.12 Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya


Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:

(3.6

Dimana Ai adalah luas yang diwakili oleh stasiun i.


3. Metode Isohyet
Metode Isohyet adalah metode penentuan curah hujan wilayah berdasarkan kontur
curah hujan berdasarkan data curah hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar wilayah
(lihat Gambar 3.13).

Intensitas Hujan
Dalam perencenaan bangunan hidrologi dan hidraulik, intensitas hujan merupakan
data atau informasi yang dibutuhkan dalam penentuan debit rencana. Oleh karena
itu perlu disajikan metode penentuan intensitas hujan untuk wilayah yang tidak
memiliki pengamatan intensitas hujan akibat keterbatasan alat ukur.
Ada beberapa metode untuk menghitung intensitas hujan secara empiris yakni:
1. Metode Talbot (1881)

(3.7)
2. Metode Sherman (1905); hanya digunakan untuk t < 2 jam

(3.8)

3. Metode Ish

(3.9)
4. Metode Mononobe

(3.10)
Keterangan:
i = intensitas hujan (mm/jam)
t = waktu atau durasu hujan (menit: rumus 1-3; jam: rumus 4)
a, b, m = tetapan
d24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
n = jumlah pasangan data i dan t
Metode ini lebih teliti dibandingkan dengan metode rata-rata aritmetik.
CONTOH SOAL :
Suatu DAS seperti pada Gambar 3.14 memiliki data curah hujan seperti pada Tabel 3.1.
Hitunglah curah hujan wilayah dengan menggunakan (i) rata-rata aritmetika dan (ii)
metode Poligon Thiessen.
Gambar 3.14. Posisi Penakar pada suatu DAS

Solusi: (Gunakan Kalulator atau Spreadsheet)


(i) Dengan mengunakan rata-rata aritmetika diperoleh nilai curah hujan 3.20 in.
(ii) Dengan mengunakan metode Poligon Thiessen diperoleh nilai 3.45 in (lihat
Tabel 3.1).

3.4 PENUGASAN
1. Kumpulkan data curah hujan harian suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung
satu tahun.
2. Kumpulkan data curah hujan bulanan dari suatu wilayah (sub-DAS) selama
kurung waktu 10 tahun.

3.5 SOAL LATIHAN


1. Apa yang dimaksud dengan:
a. Curah hujan wilayah
b. Intensitas hujan
2. Jelaskan proses terjadinya hujan dan sebutkan tipe-tipe hujan.
3. Gambarkan poligon Thiessen Gambar berikut dan hitung luas masing-masing
bagian dengan planimeter atau dengan screen digitasi pada Arc-GIS. Hitung Curah
hujan wilayah dengan metode aritmetika jika CH di Stasiun A sampai K, adalah:
29,79; 34,97; 25,6; 24,21; 24,60; 42,61; 42,35; 15,51; 39,99; 43,04; dan 28,41.
4. Diskusikan metode penentuan curah hujan wilayah, kelebihan dan kekurangan
masing-masing metode.
3.6 DAFTAR PUSTAKA
Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.
New York.

Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw-
Hills. New York.

Maidment, DR. (ed) 1989. Handbook of Hydrology. McGraw-Hill, New York.

Soemartono, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sastrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999, Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya
Pramita. Bandung.
Todd, 1983, Introduction to Hydrology. McGraw-Hill, New York

Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper
CollinsPub.NewYork.

Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses evapotranspirasi

2. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter evapotranspirasi

3. Mahasiswa mampu melakukan perhitungan evapotranspirasi potensial


(Penmann) dengan benar

4. Mahasiswa mampu melakukan perhitungan evapotranspirasi aktual (Penmann)


dengan benar
5.

4.1 Pendahuluan
Evapotranspirasi adalah perpaduan dua proses yakni evaporasi dan transpirasi.
Evaporasi adalah proses penguapan atau hilangnya air dari tanah dan badan-badan air
(abiotik), sedangkan transpirasi adalah proses keluarnya air dari tanaman (boitik)
akibat proses respirasi dan fotosistesis.
Kombinasi dua proses yang saling terpisah dimana kehilangan air dari
permukaan tanah melalui proses evaporasi dan kehilangan air dari tanaman melalui
proses transpirasi disebut sebagai evapotranspirasi (ET).
Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen
penting dalam hidrologi karena proses tersebut dapat mengurangi simpanan air dalam
badab-badan air, tanah, dan tanaman. Untuk kepentingan sumber daya air, data ini
untuk menghitung kesetimbangan air dan lebih khusus untuk keperluan penentuan
kebutuhan air bagi tanaman (pertanian) dalam periode pertumbuhan atau periode
produksi. Oleh karena itu data evapotranspirasi sangat dibutuhkan untuk tujuan irigasi
atau pemberian air, perencanaan irigasi atau untuk konservasi air.
Evapotranspirasi ditentukan oleh banyak faktor yakni:
a. Radiasi surya (Rd): Komponen sumber energi dalam memanaskan badan-badan
air, tanah dan tanaman. Radiasi potensial sangat ditentukan oleh posisi geografis
lokasi,

b. Kecepatan angin (v): Angin merupakan faktor yang menyebabkan terdistribusinya


air yang telah diuapkan ke atmosfir, sehingga proses penguapan dapat berlangsung
terus sebelum terjadinya keejenuhan kandungan uap di udara,

c. Kelembaban relatif (RH): Parameter iklim ini memegang peranan karena udara
memiliki kemampuan untuk menyerap air sesuai kondisinya termasuk temperatur
udara dan tekanan udara atmosfit

d. Temperatur: Suhu merupakan komponen tak terpisah dari RH dan Radiasi. Suhu
ini dapat berupa suhu badan air, tanah, dan tanaman ataupun juga suhu atmosfir.
Proses terjadinya evaporasi dan transpirasi pada dasarnya akibat adanya energi yang
disuplai oleh matahari baik yang diterima oleh air, tanah dan tanaman. Gambar 4.1 dan
Gambar 4.2 merupakan ilustrasi proses penyerapan energi yang menyebabkan
evaporasi dan transpirasi.
4.2 Evaporasi
Evaporasi adalah proses dimana air dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air
(vaporization) dan dipindahkan dari permukaan penguapan (vapour removal). Air
dapat terevaporasi dari berbagai permukaana seperti danau, sungai, tanah dan vegetasi
hijau.
Energi dibutuhkan untuk merubah bentuk molekul air dari fase cair ke fase
uap. Radiasi matahari langsung dan faktor lingkungan yang mempengaruhi suhu udara
merupakan sumber energi. Gaya penggerak untuk memindahkan uap air dari
permukaan penguapan adalah perbedaan tekanan antara uap air di permukaan
penguapan dan tekanan udara atmosfir. Selama berlangsungya proses, udara sekitar
menjadi jenuh secara perlahan dan selanjutnya proses akan melambat will dan
kemungkinan akan berhenti jika udara basah tidan dipindahkan ke atmosfir.
Pergantianudarajenuh dengan udara kering sangat tergantung pada kecepatan angin.
Oleh karena itu, radiasi surya, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan
angin merupakan parameter iklim yang dipertimbangkan dalam penentuan proses
evaporasi.
Jika permukaan penguapan adalah permukaan tanah, maka tingkat penutupan
tanaman pelindung (crop canopy) dan jumlah air tersedia pada permukaan penguapan
juga menjadi faktor yang mempengaruhi proses evaporasi. Kejadian hujan, irigasi dan
gerakan vertikal air dalam tanah dari muka air tanah dangkal merupakan sumber
pembasahan permukaan tanah. Jika tanah dapat menyuplai air dengan cepat yang
memenuhi kebutuhan evaporasi, maka evaporasi dari tanah ditentukan hanya oleh
kondisi meteorologi. Akan tetapi, bila interval antara hujan dan irigasi cukup lama dan
kemampuan tanah mnegalirkan lengas ke dekat permukaan tanah kecil, maka
kandungan air di lapisan topsoil meturun dan menyebabkan permukaan tanah menjadi
kering. Pada lingkungan dimana air terbatas, maka jumlah air tersedia menjadi faktor
pembatas. Berkurannya supplai air ke permukaan tanah menyebabkan evaporasi
menurun drastis. Proses ini mungkin akan terjadi dalam beberapa hari.
4.3 Transpirasi
Proses transpirasi meliputi penguapan cairan (air) yang terkandung pada jaringan
tanaman dan pemindahan uap ke atmosfir. Tanaman umumnya kehilangan air melalui
stomata. Stomata merupakan saluran terbuka pada permukaan daun tanaman melalui
proses penguapan dan perubahan wujud menjadi gas seperti disajikan pada Gambar

4.3. Air bersama beberapa nutrisi lain diserap oleh akardan ditransportasikan ke
seluruh tanaman. Proses penguapan terjadi dalam daun, yang disebut ruang
intercellular, dan pertukaran uap ke atmossfir dikontrol oleh celah stomata (stomatal
aperture). Hampir semua air yang diserap oleh akar keluar melalui proses transpirasi
dan hanya sebahagian kecil saja yang digunakan dalam tanaman.

Transpirasi seperti evaporasi langsung tergantung pada suplai energi, tekan uap
air dan angin. Kandungan lengas tanah dan kemampuan tanah melewatkan air ke akar
juga menentukan laju transpirasi, termasuk genangan air dan salinitas air tanah. Laju
transprasi juga dipengaruhi oleh karakteristik tanaman, aspek lingkungan dan praktek
pengolahan dan pengelolaan lahan. Perbedaan jenis tanaman akan memberikan laju
transpirasi yang berbeda. Bukan hanya tipe tanaman saja, tetapi juga pertumbuhan
tanaman, lingkungan dan manajemen harus dipertimbangkan dalam penentuan
transpirasi.

4.4 Evapotranspirasi Tanaman


Evapotranspirasi tanaman (ETc) adalah perpaduan dua istilah yakni evaporasi
dan transpirasi. Kebutuhan air dapat diketahui berdasarkan kebutuhan air dari suatu
tanaman. Apabila kebutuhan air suatu tanaman diketahui, kebutuhan air yang lebih
besar dapat dihitung (Hansen dkk., 1986). Evaporasi yaitu penguapan di atas
permukaan tanah, sedangkan transpirasi yaitu penguapan melalui permukaan dari air yang
semula diserap oleh tanaman. Atau dengan kata lain, evapotranspirasi adalah banyaknya air
yang menguap dari lahan dan tanaman dalam suatu petakan karena
panas matahari (Asdak, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah suhu air, suhu udara
(atmosfir), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari. Pada waktu
pengukuran evaporasi, kondisi/keadaan iklim ketika itu harus diperhatikan, mengingat
faktor itu Sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Sosrodarsono dan Takeda,
1983).
Transpirasi pada dasarnya merupakan proses dimana air menguap dari tanaman
melalui daun ke atmosfer. Sistem perakaran tanaman mengadopsi air dalam jumlah
yang berbeda-beda dan ditransmisikan melalui tumbuhan dan melalui mulut daun
(Viesman dkk., 1972).
Menurut Sri Harto (1993), ada dua bentuk transpirasi yaitu :
a. Transpirasi stomata, dimana air lepas melalui pori-pori pada stomata daun
b. Transpirasi kutikular, dimana air menguap dari permukaan daun ke atmosfir
melalui kutikula.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses transpirasi adalah suhu, kecepatan
angin, kelembaban tanah, sinar matahari, gradien tekanan uap. Juga dipengaruhi oleh
faktor karakteristik tanaman dan kerapatan tanaman (Kartasapoetra dan Sutedjo,
1994).
Evapotranspirasi (ETc) adalah proses dimana air berpindah dari permukaan
bumi ke atmosfer termasuk evaporasi air dari tanah dan transpirasi dari tanaman
melalui jaringan tanaman melalui transfer panas laten persatuan area (Hillel, 1983).
Ada 3 faktor yang mendukung kecepatan evapotranspirasi yaitu (1) faktor iklim
mikro, mencakup radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, (2) faktor tanaman,
mencakup jenis tanaman, derajat penutupannya, struktur tanaman, stadia
perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme

menutup dan membukanya stomata, (3) faktor tanah, mencakup kondisi tanah, aerasi
tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Linsley
dkk., 1979).

Doonrenbos dan Pruitt (1977), menjelaskan bahwa untuk menghitung kebutuhan


air tanaman berupa evapotranspirasi dipergunakan persamaan:
ETc = Kc ETo .............................................................................. (4.1)
Keterangan:
Etc = evapotranspirasi potensial (mm/hari)
Eto = evapotranspirasi acuan (mm/hari)
Kc = koefisian konsumtif tanaman

Koefisien konsumtif tanaman (Kc) didefinisikan sebagai perbandingan antara


besarnya evapotranspirasi potensial dengan evaporasi acuan tanaman pada kondisi
pertumbuhan tanaman yang tidak terganggu. Dalam hubungannya dengan
pertumbuhan dan perhitungan evapotranspirasi acuan tanaman (ETo), maka
dimasukkan nilai Kc yang nilainya tergantung pada musim, serta tingkat pertumbuhan
tanaman (Allen, et al., 1998).

Gambar 4.6 Skema perhitungan evapotranspirasi aktual


Nilai koefisien tanaman dibagi atas empat fase pertumbuhan, yaitu : Kc initial
(Kc in), Kc development (Kc dev), Kc middle (Kc mid), dan Kc end. Kc in merupakan
fase awal pertumbuhan tanaman selama kurang lebih dua minggu, sedangkan Kc dev
adalah koefisien tanaman untuk masa perkembangan (masa antara fase
initial dan middle). Kc mid merupakan Kc untuk masa pertumbuhan dan
perkembangan termasuk persiapan dalam masa pembuahan. Kc end merupakan Kc
untuk pertumbuhan akhir tanaman dimana tanaman tersebut tidak berproduksi lagi.
Tabel 4.1. Koefisien Tanaman (Kc) Padi Menurut Nedeco/Prosida dan FAO Bulan
Nedeco/Prosida FAO
Bulan
Varietas Varietas Varietas Varietas
biasa unggul biasa unggul
0,5 1,20 1,35 1,10 1,10
1,0 1,20 1,30 1,10 1,10
1,5 1,20 1,24 1,10 1,05
2,0 1,27 0 1,10 1,05
2,5 1,32 1,12 1,10 0,95
3,0 1,33 0 1,05 0
3,5 1,40 0,95
4,0 1,30 0
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, 1986

Vermeiren dan Jobling (1980), mengemukakan beberapa cara untuk


menghitung Kc (Koefisien tanaman) sesuai tingkat pertumbuhan tanaman adalah:
a. Koefisien tanaman untuk awal pertumbuhan tanaman (Kc ini)

Kc ini = Kc ini (A1) + ............................ (4.2)


)
Keterangan:
Kc ini (A1) : Koefisien tanaman (Diambil dari grafik)
Kc ini (B1) : Koefisien tanaman (Diambil dari grafik)
I : Laju infiltrasi pada sebelum penanaman (cm/jam)
b. Koefisien tanaman untuk fase menengah pertumbuhan tanaman (Kc mid)
Kc mid = Kc mid + [0,04(U2 2) 0,004 (RHmin 45)] (h/3)0,3 .................. (4.3)
Keterangan:
Kc mid : Koefisien tanaman (Diambil dari tabel)
U2 : Kecepatan angin sebelum tanam (m/s)
RHmin : Kelembaban relatif sebelum tanam (%)
h : Tinggi tanaman pada tahap pertengahan (m)
c. Koefisien tanaman untuk fase akhir pertumbuhan tanaman
Kc end = Kc end + [0,04(U2 2) 0,004 (RH min 45)] (h/3)0,3 .. (4.4)
Keterangan:
Kc end : Koefisien tanaman (Diambil dari tabel)
U2 : Kecepatan angin sebelum tanam (m/s)
Rhmin : Kelembaban udara minimal (%)
h : Tinggi tanaman pada tahap akhir (m)

4.5 Evapotranspirasi Acuan (ETo)


Evapotranspirasi acuan (ETo) adalah nilai evapotranspirasi tanaman rumput-
rumputan yang terhampar menutupi tanah dengan ketinggian 8 15 cm, tumbuh
secara aktif dengan cukup air, untuk menghitung evapotranspirasi acuan (ETo) dapat
digunakan beberapa metode yaitu (1) metode Penman, (2) metode panci evaporasi, (3)
metode radiasi, (4) metode Blaney Criddle dan (5) metode Penman modifikasi FAO
(Sosrodarsono dan Takeda, 1983).
Menduga besarnya evapotranspirasi tanaman (Handayani, 1992), ada beberapa
tahap harus dilakukan, yaitu menduga evapotranspirasi acuan; menentukan koefisien
tanaman kemudian memperhatikan kondisi lingkungan setempat; seperti variasi iklim
setiap saat, ketinggian tempat, luas lahan, air tanah tersedia, salinitas, metode irigasi,
dan budidaya pertanian. Beberapa metode pendugaan evapotranspirasi acuan :
a. Metode Blaney Cridle
ETo = c [P ( 0,46 T + 8)] .. (4.5)
Keterangan:
c = Koefisien Tanaman Bulanan
p = Presentase Bulanan jam-jam Hari Terang dalam Tahun
T = Suhu Udara (0C)

b. Metode Thornthwaite
ETo = 1,6 [(10 T/I)]a ...... (4.6)
a = 0,49 + 0,0179 I 0,0000771 I2 + 0,000000675 I3
Keterangan:
T = Suhu Rata-rata Bulanan (0C)
I = Indeks Panas Tahunan

c. Metode Pan Evaporasi


ETo = Kp Ep ... (4.7)
Keterangan:
Kp = Koefisien Panci
Ep = Evaporasi Panci (mm/hari)
Gambar 4.8 Panci Evaporasi Kelas A
d. Metode Penman
ETo = c (W Rn + (1 W) f(u) (ea ed) ) ................................................. (4.8)
Metode Penman modifikasi (FAO) digunakan untuk luasan lahan dengan data
pengukuran temperatur, kelembaban, kecepatan angin dan lama matahari bersinar
(Doorenbos dan Pruitt, 1977).
Harga koefisien panci evaporasi (Kp) tergantung pada iklim, tipe panci dan
lingkungan panci. Untuk tipe Pan A yang dikelilingi oleh tanaman hijau pendek maka

harga koefisien panci berkisar antara 0,4 0,85 yang dipengaruhi oleh kecepatan
angin dan kelembaban nisbih udara rata-rata. Selanjutnya dikatakan untuk daerah
tropis seperti Indonesia dimana kecepatan angin lemah sampai sedang dan kelembaban
nisbih udara rata-rata diatas 70 %, harga Kp hanya berkisar dari 0,65 0,85.
Tabel 4.2 Kisaran nilai koefisien panci pada berbagai level kecepatan angin
dan kelembaban udara
Linsley dan Franzini (1979), menganjurkan penggunaan nilai Kp = 0,70 yang
umum digunakan di daerah tropis.
Tabel 4.3 Kisaran nilai ET pada berbagai kondisi iklim wilayah

4.6 CONTOH SOAL


Suatu wilayah dengan tanaman yang memiliki faktor f = 0,7. Suhu udara rata-rata
adalah 20oC, koefisien konveski h = 0,7 dengan kecepatan angin pada ketinggian 2

meter adalah 5 m/det. Bila radiasi rata-rata efektif adalah 550 kal/cm2/hari nilai n/D =
0,4, Hitung besarnya nilai evapotranspirasi hari tersebut.

Jawaban:
Hitung Tekanan Udara Mutlak
ea = h x e = 0,7 x 17,53 = 12,27 mmHg
e ea = 17,73 17,27 = 5,26 mmHg

Hitung Suhu Mutlak


Ta = Tc + 273 = 20 + 273 = 293 K

Hitung Radiasi Gelombang Pendek


Rc = Ra (0,25 + n/D) = 256,3 kal/cm2/hari
Rt = (1 0,06) Rc = 240,9 kal/cm2/hari
Rb = 117,4 x 10-9 x 2934 (0,47 0,077(12,27))(0,2+0,8*0,4) = 90,1 kal/cm2/hari
Hitung Energi Budget
H = Rt Rb = 240,9 90,1 = 150,8 kal/cm2/hari
Hitung Energi Penguapan Saat Kondisi Jenuh
Es = 0,35 (e ea)(0,5 + 0,54 u2)
= 0,35 x (5,26) x (0,5 + 0,54 x 5) = 5,9 mm/hari
Hitung Evaporasi Permukaan Air Bebas

Hitung Evapotranspitasi
Ep = 0,7 x 3,6 = 2,5 mm/hari

4.7 PENUGASAN
1. Baca buku FAO No. 56 tentang kebutuhan air tanaman (Crop Water Requirement),
kenudian buat ringkasan perhitungan metode yang digunakan untuk menghitung
ETP tanaman pada suatu wilayah (sesuai data lokasi data CH yang diambil pada
tugas sebelumnya).

2. Kumpulkan data kecepatan angin, radiasi, suhu, dan tekanan dari suatu stasiun
klimatologi dalam waktu satu tahun.

3. Kumpulkan data evaporasi dari suatu stasiun klimatologi dalam waktu satu tahun.

4. Hitung evaporasi dan bandingkan nilai dari hasil ukur (panci Kelas A)

4.8 SOAL LATIHAN


1. Apa yang dimaksud dengan:
a. Evaporasi
b. Transpirasi
c. Evapotranspirasi

2. Jelaskan faktor yang mempengaruhi nilai Evapotranspirasi.


3. Hitung evapotranspirasi potensial dengan metode Penmann di daerah yang berada
pada 10oLS pada bulan Agustus. Data yang diberikan adalah temperatur rata-rata
28oC, kecepatan angin pada 2 m di atas tanah adalah 200 km/hari, RH sebesar
70%, koefisien refleksi permukaan 25%, dan n/N adalah 80%.

4.9 DAFTAR PUSTAKA


Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Black, Peter E., (1991), Watershed Hydrology, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey.
Doorenbos J., A.H Kassam, (1979), Yield Respons to Water, FAO, Rome.

Faust, Samual D., Osman M. Aly, (1981), Chemstry of Natural Waters, Ann Arbor
Science, Michigan.
Freeze R. Allan, John A. Cherry (1979), Groundwater, Englewood Cliffs, New Jersey.

(6) Hohnholz J. H., Applied Geography and Development, p. 8-23.

Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta: Andi.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.

Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.

Soewarno, (1991), Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hdrometri),


Nova, Bandung

Sprong, D., (1979), Lakes in The Humid Tropical Areas of The World, Arrevem of the
literature.

Todd,(1983),IntroductiontoHydrology.McGrawHill.USA.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian runoff
2. Mahasiswa mampu mengukur penampang pengaliran sungai (praktek lapangan)
3. Mahasiswa mampu melakukan pengukuran kecepatan aliran sungai dengan
pelampung dan current meter (praktek lapangan)
4. Mahasiswa mampu menghitung debit aliran sungai hasil pengukuran (praktek
lapangan)
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tipe-tipe Pola Pengaliran Air Sungai (SPAS)
6. Mahasiswa memahami metoda Rasional sebagai pendugaan debit sungai
7. Mahasiswa mampu menghitung intensitas hujan
8. Mahasiswa mampu menenukan waktu konsentrasi dengan WMS
9. Mahasiswa mampu menghitung debit puncak
5.1 Pendahuluan
Salah satu komponen dalam siklus hidrologi adalah limpasan hujan. Komponen
limpasan hujan dapat berupa runoff (aliran permukaan) ataupun aliran yang lebih besar
seperti aliran air di sungai.
Limpasan akibat hujan ini dapat terjadi dengan cepat dan dapat pula setelah
beberapa jam setelah terjadinya hujan. Lama waktu kejadian hujan puncak dan aliran
puncak sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah tempat jatuhnya hujan. Makin besar
perbedaan waktu kejadian hujan puncak dan debit puncak, makin baik kondisi wilayah
tersbut dalam menyimpan air di dalam tanah.
Wilayah Indonesia dengan kondisi tropis dimana hujan terjadi terpusat pada
enam bulan periode hujan menyebabkan kita harus bisa melakukan rekayasa
konservasi air dengan cara menyimpan air hujan sebanyak mungkin di dalam tanah

selama musim hujan dan memanfaatkannya setelah datangnya periode musim


kemarau. Disamping itu, penyimpanan air hujan yang baik akan mampu meredam
kejadian aliran puncank yang tinggi yang dapat menyebabkan banjir.

5.2 Aliran Permukaan (Runoff)


Aliran air yang terjadi di permukaan tanah setelah jenuhnya tanah lapisan permukaan
disebut runoff. Air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran
permukaan (runoff) setelah tanah di lapisan permukaan jenuh oleh air hujan dan proses
hujan memiliki intensitas lebih besar dari laju perkolasi. Aliran permukaan kemudian
saling bertemu pada jaringan pengaliran yang kecil sebagai anak-anakan sungai.
Aliran tersebut terus berkumpul dan selanjutnya akan bertemu di sungai sebagai aliran
air yang lebih besar dimana aliran permukaan berpadu dengan aliran bawah
permukaan (interflow) dan aliran dasar (base flow).
Aliran permukaan akibatkejadian hujan pada suatu tempat dapat dinyatakan
dengan rumus:
Roff = P I ..
(5.1)
Dimana Roff adalah aliran permukaan (mm), P adalah hujan (mm) dan I adalah
infiltrasi (mm).
5.3 Aliran Sungai
Sungai merupakan salah satu unsur penting dalam siklus air di bumi, oleh
karena itu pemahaman perilaku sungai dan pengelolaannya merupakan pengetahuan
penting dalam keteknikan pertanian, demikian pula ahli bidang ilmu lain. Ahli
lingkungan misalnya, meneliti sedimen sungai yang berasal dari buangan limbah serta
pengaruhnya terhadap lingkungan.
Sedangkan ahli teknik keairan, mengelola sungai untuk keperluan reservoir,
perencanaan bangunan dan penanggulangan daya rusak air. Untuk keperluan tersebut,
diperlukan pengetahuan tentang sungai dan pengalirannya, seperti morfologi sungai,
sejarah perkembangan sungai serta pola pengaliran sungai.

Gambar 5.1 Morfologi Sungai dan bentuk pengalirannya


Sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah
tertentu dan mengalirkannya ke laut. Sungai itu dapat digunakan juga untuk berjenis-
jenis aspek seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan
lain lain. Dalam bidang pertanian sungai berfungsi sebagai sumber air yang penting
untuk irigasi (Sosrodarsono dan Takeda, 1993).
Dua proses penting dalam sungai adalah erosi dan pengendapan, yang
dipengaruhi oleh jenis aliran air dalam sungai yaitu:
a. aliran laminer: jika air mengalir dengan lambat, partikel akan bergerak ke dalam
arah paralel terhadap saluran.

b. aliran turbulen: jika kecepatan aliran berbeda pada bagian atas, tengah, bawah,
depan dan belakang dalam saluran, sebagai akibat adanya perubahan friksi, yang
mengakibatkan perubahan gradien kecepatan. Kecepatan maksimum pada aliran
turbulen umunya terjadi pada kedalaman 1/3 dari permukaan air terhadap
kedalaman sungai.
Pembagian penampang sungai untuk pengukuran lebar sungai dan kedalaman
adalah sebagai berikut:

Gambar 5.2 Pembagian Penampang Melintang Sungai

Sungai adalah jalur aliran air di atas permukaan bumi yang di samping
mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung dalam air sungai tersebut.
Jadi sedimen terbawa hanyut oleh aliran air, yang dapat dibedakan sebagai muatan
dasar (bed load) dan muatan melayang (suspended load). Sedang muatan melayang
terdiri dari butiran halus, senantiasa melayang di dalam aliran air. Untuk butiran yang
sangat halus, walaupun air tidak lagi mengalir, tetapi butiran tersebut tidak mengendap
serta airnya tetap saja keruh dan sedimen semacam ini disebut muatan kikisan (wash
load).
Untuk kebutuhan usaha pemanfaatan air, pengamatan permukaan air sungai
dilaksanakan pada tempat tempat dimana akan dibangun bangunan air seperti
bendungan, bangunan bangunan pengambil air dan lain lain. Utnuk kebutuhan
usaha pengendalian sungai atau pengaturan sungai, maka pengamatan itu dilaksanakan
pada tempat yang dapat memberikan gambaran mengenai banjir termasuk tempat
tempat perubahan tiba tiba dari penampang sungai (Sosrodarsono dan Takeda,
1993).
Sungai seringkali dikendalikan atau dikontrol supaya lebih bermanfaat atau
mengurangi dampak negatifnya terhadap kegiatan manusia.
Berdasarkan kemanfaatan bangunan penyusun sungai, bagian sungai dapat
dikelompokkan menjadi beberapa komponen yaitu:
a. Bendung dan bendungan dibangun untuk mengontrol aliran, menyimpan air atau
menghasilkan energi.

b. Tanggul dibuat untuk mencegah sungai mengalir melampaui batas dataran


banjirnya.
c. Kanal-kanal dibuat untuk menghubungkan sungai-sungai untuk mentransfer air
maupun navigasi
d. Badan sungai dapat dimodifikasi untuk meningkatkan navigasi atau diluruskan
untuk meningkatkan rerata aliran.
Gambar 5.3 Profil distribusi kecepatan aliran sungai

Debit sungai adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang
lintang pada suatu titik tertentu per satuan waktu, pada umumnya dinyatakan m3/detik.
Debit sungai diperoleh setelah mengukur kecepatan air dengan alat pengukur atau
pelampung untuk mengetahui data kecepatan aliran sungai dan kemudian
mengalirkannya dengan luas melintang (luas potongan lintang sungai) pada lokasi
pengukuran kecepatan tersebut (Sosrodarsono dan Tominaga, 1984)
Menurut Asdak (1995), debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air)
yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Rumus umum
yang biasa digunakan adalah:
Q=vxA .(5.2)
Keterangan:
Q = Debit aliran sungai (m3/detik)
A = Luas bagian penampang basah (m2)
v = Kecepatan aliran (m/detik)

Menurut Soewarno (1991), pengukuran debit dapat dilakukan secara langsung


(direct) atau tidak langsung (indirect). Pengukuran debit dikatakan langsung apabila
kecepatan alirannya diukur secara langsung dengan alat ukur kecepatan aliran.
Berbagai alat ukur kecepatan aliran adalah sebagai berikut:
1. Pengukuran kecepatan aliran dengan pelampung (floating method);
2. Pengukuran menggunakan alat ukur arus (current meter);
3. Pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan zat warna (dillution method).

Menurut Sosrodarsono dan Tekeda (1993), dari cara-cara pengukuran debit di


atas cara menghitung debit dengan pengukuran kecepatan dan luas penampang
melintang yang paling sering digunakan adalah metode pelampung. Cara tersebut
dapat dengan mudah digunakan meskipun aliran permukaan tinggi. Cara ini sering
digunakan karena tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang hanyut dan
mudah dilaksanakan. Pelampung tangkai merupakan satu contoh pelampung yang
digunakan untuk mengukur kecepatan aliran. Dimana pelampung tangkai terbuat dari
setangkai kayu atau bambu yang diberi pemberat pada ujung bawahnya. Seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 5.4. Pelampung tangkai dari batang bambu

Pelampung jenis ini memiliki tingkat ketilitian yang lebih tinggi dibanding
pelampung jenis lain yang tidak memiliki pemberat. Akan tetapi kedalaman
pelampung tidak boleh mencapai dasar sungai sehingga tangkai tidak dipengaruhi oleh
bagian kecepatan yang lambat pada lapisan bawah. Jadi hasil yang didapat adalah
lebih tinggi dari kecepatan rata-rata sehingga pelampung harus disesuaikan dengan
sesuatu koefisien.
Menurut Francis (1856), harga ini dapat dihitung menurut rumus sebagai
berikut:
(5.3)
Keterangan:

Pada nilai yang tertentu berdasarkan perbandingan kedalaman tangkai dan


kedalaman air , koefisien dapat ditentukan dengan Table 5.1.

Tabel 5.1. Korelasi Nilai Koefisien dan untuk pelampung batang


Metode lain dalam penentuan kecepatan aliran sungai adalah dengan
menggunakan benda apung adalah sebagai berikut :
v=L/t (5.4)
Keterangan:
v : kecepatan aliran (m/s)
L : jarak tempuh pelampung (m)
t : waktu tempuh (detik)
Current meter adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran (kecepatan arus)
air sungai atau aliran air lainnya. Ada dua tipe current meter yaitu tipe baling-baling
(propeller type) dan tipe canting (cup type). Penggunaan alat tersebut dilakukan
dengan tongkat berskala atau dengan menggunakan perahu. Bila menggunakan
tongkat, ujung tongkat dipasang pada bagian alat yang telah tersedia lalu dimasukkan
ke dalam air. Dan bila menggunakan perahu, alat dimasukkan ke dalam air dengan
menggunakan tali berskala yang ujungnya diikatkan pada bagian alat pemberat yang
tersedia. Skala pada tali atau tongkat ini berfungsi untuk menunjukkan kedalaman
pengukuran yang dikehendaki.
Gambar 5.5 Prototipe alat Current meter
Prinsip dasar pengukuran debit aliran air sungai/saluran dengan peralatan
Current meter adalah sebagai berikut:
a. Gambar profil penampang pengaliran dengan mengukur kedalaman sepanjang
potongan melintang sungai. Biasanya dilakukan pengukuran tiap jarak 1 m.
b. Luas penampang basah ditetapkan berdasarkan pengukuran kedalaman air dan
lebar permukaan air. Kedalaman dapat diukur dengan meteran, mistar pengukur,
kabel, atau tali berskala.
c. Tentukan jumlah segmen yang akan diukur dan posisi pengukuran dengan current
meter dengan memperhatikan kedalaman ukur (lihat Tabel 5.2)
d. Kecepatan diukur pada masing-masing titik ukur dengan current meter minimal 2
kali ulangan untuk menghindari kekeliruan pembacaan.
e. Hitung kecepatan rata-rata masing-masing segment (dengan luasannya).

f. Hitung debit aliran total dengan rumus:


(5.5)
Posisi pengukuran kecepatan aliran didasarkan pada kedalaman air yang
diukur, seperti ditunjukkan oleh Tebel 5.2.

Tabel 5.2. Pengukuran kecepatan aliran berdasarkan kedalaman


Tipe Kedalaman Air (d) Titik pengamatan dari Kecepatan rata-rata pada
permukaan vertikal
Satu titik 0.3 0.6 m 0,6d v = v0.6
Dua titik 0.6 3 m 0,2d dan 0,8 d v = (v0.2+v0.8)
Tiga titik 36m 0,2d; 0,6d dan 0,8d v = (v0.2+2v0.6+v0.8)
Lima titik >6m s; 0.2d; 0.6d; 0.8d; v=1/10
dan b (dasar) (vs+3v0.2+2v0.6+3v0.8+vb)
Keterangan: vs diukur 0,3 m dari permukaan air
vb diukur 0,3 m di atas dasar permukaan sungai

Pengukuran debit dikatakan secara tidak langsung apabila kecepatan alirannya


tidak diukur langsung, akan tetapi dihitung berdasarkan rumus hidraulis debit dengan
rumus Manning, Chezy, serta Darcy Weisbach. Salah satu rumusnya yaitu rumus
Manning dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
v = .R2/3.S1/2 .(5.6)
Q = Av ..(5.7)
Keterangan:
Q : debit air (m3/detik)
A : luas penampang (m2)
v : kecepatan aliran (m/s)
R : jari-jari hidrolik (m)
S : Slope/kemiringan (m/m)
n : koefisien dasar saluran (0,01)

5.4 Waktu Konsentrasi


Travel times adalah waktu untuk konsentrasi, waktu puncak, dan waktu perjalanan
sepanjang rute; merupakan hal yang sangat penting pada analisa model hidrologi.
Penentuan Metode Manual
1. Metode Manning
Metode penentuan waktu konsentrasi dengan Manning dapat dilakukan
karena pada metode ini, diketahui kecepatan aliran dan jarak pengaliran. Dengan
berdarkan pada karakteristik DAS berupa kemiringan aliran dan profil atau
penampang pengaliran, maka waktu konsentrasi dapat ditentukan dengan
persamaan kinematik Manning sebagai berikut:

Keterangan:
t1 = waktu pengaliran aliran permukaan (menit)
n = koefisien Manning (dimensionless)
L = Panjang pengaliran (m)
P = Curah hujan 24 jam (dua tahunan) ( m)
S = kemiringan lahan atau media pengaliran, ( m/m)
Metode Manning dengan prosedur dapat pula dilakukan dengan urutan sebagai
berikut:
The Manning equation in U.S. units: Q = (1.49/n)A(R2/3)(S1/2)
The Manning equation in S.I. units: Q = (1.0/n)A(R2/3)(S1/2)
Dimana R = A/P
V = Q/A
tc = L/(60V)
Keterangan:
Q = Debit aliran (m3/s)
V = kecepatan aliran (m/s)
R = Jari jari hidraulik (= A/P) (m)
A = Luas penampang prngaliran (m2)
P = wetted perimeter saluran (m)
S = kemiringan dasar saluran (m/m)
n = koefisien Manning (dimensioness)
L = panjang pengaliran (m)
tc = waktu konsentrasi (menit)
2. NRCS Method
Metode ini serupa dengan metode Manning
tc = L/(60V) ( menit)
V = 16.1345 S0,5 dimana ( V = 4.9178 S0,5 (m/det)) untuk permukaan alamiah
V = 20.3282 S0,5 dimana ( V = 6.1960 S0,5 (m/det)) untuk permukaan tertutup
Keterangan:
L = panjang pengaliran (m)
V = kecepatan aliran (m/s)
S = kemiringan pengaliran air (m/m)
Tc = waktu penngaliran (menit)
3. Metode FAA ( Kirpich & Kerby)
Persamaan ini dinyatakan dalam Chin (2000), Chow et al. (1988), Corbitt (1999),
and Singh (1992):

FAA equation: t = G (1.1 - c) L0,5 / (100 S)1/3

Kirpich equation: t = G k (L / S0,5) 0,77


Kerby equation: t = G (L r / S0,5) 0,467
c = Rational method runoff coefficient. See table below.
k = Kirpich adjustment factor. See table below.
L = Longest watercourse length in the watershed, ft.
r = Kerby retardance roughness coefficient. See table below.
S = Average slope of the watercourse, ft/ft or m/m.
t = Time of concentration, minutes.
V = Average velocity in watercourse, ft/min. V=L/t.

Tabel Koefisien untuk Metode FAA


Rational Runoff Coefficient for FAA
Ground Cover Method, c (Corbitt, 1999;
Singh, 1992)
Lawns 0.05 - 0.35
Forest 0.05 - 0.25
Cultivated land 0.08-0.41
Meadow 0.1 - 0.5
Parks, cemeteries 0.1 - 0.25
Unimproved areas 0.1 - 0.3
Pasture 0.12 - 0.62
Residential areas 0.3 - 0.75
Business areas 0.5 - 0.95
Industrial areas 0.5 - 0.9
Asphalt streets 0.7 - 0.95
Brick streets 0.7 - 0.85
Roofs 0.75 - 0.95
Concrete streets 0.7 - 0.95

Tabel Koefisien untuk Metode Kirpich


Penentuan dengan WMS (Komputasi)

Pada bagian ini akan dipelajari dua perbedaan cara WMS yang dapat digunakan pada
penghitungan waktu konsentrasi untuk simulasi TR-55 (waktu puncak dihitung dengan
cara yang sama), yaitu:
1. Jarak limpasan dan kemiringan lereng tiap DAS dihitung secara otomatis pada saat
anda membuat modelnya dari TIN atau DEM dan menghitung data DAS. Nilai ini
kemudian dapat digunakan untuk beberapa eprasmaan dalam WMS untuk
menghitung waktu puncah atau waktu konsentrasi..

2. Jika anda menginginkan pengontrolan yang lebih terhadap waktu puncak atau
wkatu konsentrasi , akan akan menggunakan penghitungan waktu pada liputan
untuk menentukan arah aliran penting pada setiap sub-DASnya, sebuah persamaan
digunakan untuk melakukan estimasi travel time dan waktu konsentrasi aliran.

Panjang dihitung pada setiap arc sedangkan kemiringan lereng diambil dari TIN
atau DEM.
Pada bagian ini penetuan waktu konsentrasi dua sub-DAS dan travel time antara titik
outlet yang ditunjukkan pada gambar di bawah. Anda akan menggunakan persamaan
TR-55, atau anda dapat menyusun persamaan itu sendiri.
Banyak model hidrologi, termasuk TR-55 menggunakan composite curve number
untuk menghitung losses. Sebuah composite curve number dihitung untuk setiap DAS
dengan melakukan overlay antara Peta Penggunaan Lahan dan Peta Tanah.

1 Membaca File TIN


Pertama, anda akan membaca TIN yang telah diproses dan digunakan untuk membatasi
dua sub-DAS. TIN mempunyai tujuan yang sama dengan cakupan drainase yang
dikombinasikan dengan DEM.
1. Sorot ke Drainage Delineation
2. Pilihlah File | Open
3. Bukalah aftr55.tin
4. Pilihlah TIN | Compute Basin Data
5. Pilihlah Current Coordinates
6. Tentukan unit Horizontal dan Vertikal ke SI Unit
7. Pilihlah OK
8. Pilihlah hectares untuk Basin Areas, dan Meters untuk Distances
9. Pilihlah OK
10. Pilihlah Display | Display Options
11. Pilihlah bagian TIN

12. Matikan Triangles


13. Pilihlah bagian TIN Drainage
14. Matikan Displaying Drainage Basin Boundaries
15. Pilihlah OK

2 Mendefinisikan Arah Aliran


Arah aliran dapat secara otomatis diikuti melalui TIN atau DEM menggunakan
flowpath.
1. Pilihlah Modul Map
2. Bentangkan Direktori Data Peta (Map Data Folder) pada Data Tree
3. Klik-Kanan pada General coverage pada Data Tree
4. Pilihlah Properties dari pop-up menu
5. Set Coverage type ke Time Computation
6. Pilihlah OK
7. Pilihlah Create Feature Points
8. Buat titik pada dua lokasi yang ditandai dengan X pada gambar berikut. Pastikan
bahwa hanya terdapat satu titik di dalam setiap batas DAS.

titik ini menampilkan titik terjauh dari outlet untuk DAS tersebut. Sekarang, tampilan
arcs akan dibuat dari titik ini ke outlet dengan langkah-langkah berikut:
1. Pilihlah Perangkat Pemilih Titik (Select Feature Point)/Node tool
2. Pilihlah kedua titik yang barusan dibuat gunakan SHIFT untuk memilih langsung
keduanya
3. Pilihlah Feature Objects | Node->Flow Arcs
4. Pilihlah Create multiple arcs
5. Pilihlah OK
Pilihan Create multiple arcs akan mengakibatkan WMS memecah arah aliran pada
setiap sub-DAS, yang telah dihasilkan TIN. Metode TR-55 (atau lainnya) menggunakan
tiga perbedaan bagian aliran untuk menghitung waktu konsentrasi: sheet flow (hingga
300 feet), shallow concentrated flow, dan open channel flow. WMS akan secara
mengotomatis memecah arc antara overland dan channel flow, dua dari tiga bagian akan
siap didefinisikan. Anda akan membutuhkan pembagian sheet flow dari shallow
concentrated flow sebelum menset persamaannya.
1. Pilihlah Feature Vertex tool
2. Gambar berikut mengidentifikasikan lokasi kira-kira 200-300 kaki downstream dari
awal arah aliran. Pilihlah satu verteks diantaranya.
3. Pilihlah Feature Objects | Vertex<->Node
4. Ulangi untuk verteks lainnya, atau gunakan multi select

sekarang anda mempunyai tiga arc untuk setiap DAS. Arc ini akan digunakan untuk
penghitungan waktu konsentrasi pada analisis TR-55. Travel time untuk aliran dari
DAS atas ke bagian bawah DAS. Ini akan membutuhkan arah aliran antara outlet atas
dan bawah.

1. Pilihlah Feature Objects | Streams->Flow Arcs


2. Dengan menggunakan Node->Flow Arcs dan Streams->Flow Arcs akan secara
otomatis mengeneralisasi arah aliran dari TIN begitu pula jika dari DEM dan
dapat pula dibuat secara manual menggunakan Peta Kontur.

3 Menentukan Persamaan pada Waktu Hitung Arc


Dengan menggunakan segmen dari arah aliran yang telah dibuat anda kini dapat
menentukan persamaan yang akan digukanakan dalam menghitung travel time. Ikuti
gambar berikut untuk menentukan persamaan.
1. Pilihlah Select Feature Arc tool
2. Klik-Ganda pada arc dengan label 1 Defaultnya TR-55 sheet flow equation arc akan
tampil, yang perlu dilakukan adalah menentukan indeks kekasaran Manning dan
pola hujan 2yr-24hr. Panjang dan kemiringan lereng secara default adalah dari arc
terpilih.
3. Klik pada bari n Mannings
4. Masukkan Nilai 0.24
5. Klik pada baris rainfall
6. Masukkan Nilai 1.1
7. Pilihlah OK
8. Ulangi langkah tersebut untuk arc dengan label 4, dengan Indeks Manning = 0.15
dan rainfall = 1.1
9. Pilihlah OK
Kini anda telah mendefinisikan persamaan untuk segmen overland sheet flow pada tiap
basin, selanjutnya untuk shallow concentrated flow:
1. Klik-Ganda pada arc dengan label 2

2. Ubah equation type ke TR-55 shallow conc eqn


3. Klik pada baris Paved
4. Masukkan no
5. Pilihlah OK

5.5 Transformasi Hujan Aliran


Hujan yang sampai ke permukaan tanah akan ditransformasikan sebahagian menjadi
limpasan tepat setelah tanah menjadi jenuh dan laju perkolasi lebih rendah dari
intensitas hujan.
Kejadian aliran air sangat ditentukan oleh transformasi hujan dari langit
kemudian sebahagian mengalami abstraksi dan diternsepsi oleh tanaman penutup.
Tanah yang sampai di tanah mengalami infiltrasi dan menjadi jenuh. Setelah itu
terjadilah aliran permukaan yang disebut runoff.
Proses tranformasi ini sering disebut model transformasi hujan-aliran atau
dalam bentuk transformasi hydrograf hujan menjadi hidrograf aliran.
5.7 Contoh Transformasi hidrograf hujan-aliran dan komponen aliran sungai
di suatu daerah tangkapan hujan
Salah satu hal yang menjadi perhatian alhi hidrologi adalah debit aliran puncak
dimana kejadiannya dapat merusak wilayah yang sungai dan daerah bantaran sungai
bahkan bila sampai di wilayah pertanian dan pemukiman. Aliran air yang besar dan
cepat ini dapat menimbulkan kerusakan harta benda dan bahkan korban jiwa. Oleh
karena itu diperlukan suatu mekanisme pendugaan debit puncak. Ada beberap metode yang
sering digunakan untuk melakukan untuk pendugaan tersebut.
1. Metode Rational
Metode yang paling sederhana dalam pendugaan debit puncak adalah metode rational.
Metode ini sering pula disebut formula Lloyd-Davies, yang telah digunakan sejak

tahun 1906 di Inggeris oleh Lloyd-Davies. Formula ini menentukan debit puncak
(Qp) dengan rumus:

Qp=CiA (5.8)

Dimana C adalah koefisien pengaliran yang tergantung pada karakteristik DAS, i


adalah intensitas hujan dan A adalah luas daerah pengaliran.

2. Metode Time-Area

Metode time-area menetukan runoff atau discharge dari hujan melalui pengembangan
dan penyempurnaan metode rational dimana debit puncak Qp dihitung dengan
menjumlahkan kontribusi aliran setiap sub-sub das dengan menggunakan sistem
kontur waktu (isochrones). Setiap garis mewakili flow-time menuju sungai dimana Qp
dihitung. Gambar 5.6 menunjukkan konsep metode time-area.
Aliran dari masing masing daerah yang dibatasi dua isochrones (TT,T)
ditentukan dari perkalian intensitas rata-rata hujan efektif (i) dari waktu TT sampai
waktu T dan luasan (A). Kemudian Q4, aliran pada garis aliran X saat waktu 4 jam
dihitung dengan:

Q4=i3A1+i2A2+i1A3+i0A4 . (5.9)

Demikian pula halnya untuk Q yang lain pada garis aliran X ditentukan dengan cara
yang sama dengan Q4. Pada sistem ini dibutuhkan waktu konsentrasi yang kemudian
dibagi-bagi. Penentuan waktu konsentrasi dapat dilihat pada bagian sebelumnya.
Gambar 5.8 Konsep pendugaan debit puncak dengan metode time-area
5.6 Tipe Sungai dan Aliran
Sungai merupakan sumber air utama bagi masyarakat yang berada di daerah berilkim
monsoon. Kondisi pengaliran air di sungai sangat ditentukan oleh jenis tanah yang
menjadi daerah pengaliran sungai. Aliran air sungai sering kali berubah berdasarkan
jenis tanah dan batuan penyusun daerah pengaliran sungai.
Sungai yang berada di daerah alluvial dan endapan memiliki kecenderungan untuk
berubah arah ketika energi yang dimiliki aliran sungai meningkat. Energi aliran
(kinetik) ini menyebabkan penerobosan tanah oleh air dan membentuk aliran baru
seperti yang terjadi di beberapa sungai di Sulawesi misalnya Sungai Larian di Provinsi
Sul-Bar dan Sungai Rongkong di Provinsi Sul-Sel.
Perubahan aliran sungai kerap kali dianalogikan dengan umur sungai. Sungai muda
cenderung berubah arah dalam periode waktu tertentu, sementara sungai tua cenderung
tetap pada aliran yang ada.
Gambar 5.9 Pola pergerakan air di sungai dalam tanggul/bantaran sungai

Gerakan air dan angin di permukaan lahan dapat membentuk pola aliran secara
alamiah mengikuti arah gerakan air sedara gravitasional. Meskipun demikian ada
beberapa hal yang merupakan faktor yang mempengaruhi pembentukan pola aliran
termasuk slope atau kemiringan lahan, sifat tanah dan batuan dasar penyusun DAS, dan
sejarah gerakan hidraulika aktivitas batuab beku, dan transport sedimen.
Tipe pola aliran yang paling umum adalah dendritik. Pola ini dicirikan oleh
banyaknya aliran-aliran kecil yang berhubungan dari orde rendah ke orde yang tinggi.
Pola Trellis dicirikan oleh aliran utama yang panjang yang dialiri oleh sejumlah
anakan-anakan sungai pendek. Pola tipe Radial banyak ditemukan di daerah
pegunungan dengan tanah dan batuan yang umumnya masih berkembang. Hal ini sering
menimbulkan aliran yang terpisah-pisah menuruni pegunungan dan sangat jarang
ditemukan alira yang lurus kecuali pada daarah curam dengan material dasar yang
homogen. Pola Braided dicirikan oleh sejumlah percabangan sungai dan saluran air
bada wilayah bantaran sungai. Aliran Braided umumnya membawa banyak sedimen,
namun sering memiliki debit air yang kecil diistilahkan dengan incipient forms of
meandering) dimana kenyataan bahwa kelokan sungai terrbentuk oleh sedimen dan
pengaruh kecepatan aliran air yng memasukinya.
Gambar 5.10 Pola pengaliran air sungai (SPAS)

Orde sungai adalah urutan aliran air berdasarkan anakan sungai yang dihitung dari
aliran sungai terluar. Penetuan orde sungai dapat dilihat pada Gambar 5.9.
SOLUSI:
Tahap pertaman adalah menggambar profil penampang sungai untuk tujuan
perhitungan luas penampang sungai.
Tahap kedua adalah menghitung luas masing-masing segment

Luas Segmen D

Luas D =

= 1.49 m2

Luas Segmen E

Luas E = Luas A =

= 0.12 m2

Atotal = Luas A + Luas B + Luas C + Luas D + Luas E

= 0.465 + 2.03 + 1.99 + 1.49 + 0.12

= 6.095 m2
Tahap ketiga adalah menentukan kecepatan rata-rata menggunakan rumus berikut.

Dept < 0,6

0,6 m dept < 2 m =

Selanjutnya, dilakukan lagi pengambilan data kecepatan rata-rata untuk segmen


dengan rumus:

Nilai di dalam tabel di bawah ini adalah nilai kecepatan rata-rata yang dihitung dengan
menggunakan rumus di atas :

Maka debit masing-masing titik adalah:


Debit titik A (Q1)

Q1 =
= 6.095 m2 x 0.040 = 0.241 m/s

Debit titik B (Q2)


Q2 =
= 6.095m2 x 0.043 = 0.262 m/s

Debit titik C (Q3)


Q3 =
= 6.095 m2 x 0.038 = 0.232 m/s

Debit titik D (Q4)


Q4 =
= 6.095 m2 x 0.053 = 0.323 m/s
Qtot = Q1 + Q2 + Q3 +Q4
= 0.241 m/s + 0.262m/s + 0.232 m/s + 0.323 m/s
= 1.060 m/s

5.7 LATIHAN DAN PENUGASAN


1. Diskusikan dengan kelompok arti penting aliran permukaan bagi pertanian?

2. Sebutkan tipe-tipe aliran sungai dan penciri dari masing-masing tipe pengaliran
(SPAS).

3. Hasi Pengukuran di sungai Tello diperoleh sebagai berikut:

Jika lebar sungai 30 meter, hitunglah DEBIT air sesaat sungai tersebut.

5.8 DAFTAR PUSTAKA


Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.

Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.

Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York

Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.


Pradnya Paramitha. Bandung.

Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England.

Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.

Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep infiltrasi, perkolasi dan permeabilitas
2. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara konsep infiltrasi, perkolasi dan
permeabilitas
3. Mahasiswa mampu menghitung laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi serta koefisien
fungsi infiltrasi (Kostiakov, Horton, dan Holtan)
4. Mahasiswa mampu melakukan pengukuran infiltrasi dengan ring infiltrometer di
lapangan.

6.1 Pendahuluan
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam
tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke
tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju
maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas
infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap
kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas
infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan.
Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan
intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi yang tidak
kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk
seterusnya mengalir ke sungai disekitar.
Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke
permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya air
dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam tanah
maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada kondisi
kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah yang lebih
rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran antara (interflow)
dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang berada pada lapisan air
tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke samping dan ke atas) dengan gaya
kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar.

Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk kedalam
tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada suatu
tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat tertentu laju
infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju perkolasi.

Ketika air hujan jatuh diatas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik
permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk
kedalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan
kedalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Di
bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam tanah, sedangkan
pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus keatas, kebawah, dan
kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori
yang relative kecil.
Mekanisme infiltrasi melibatkan 3 proses yang tidak saling mempengaruhi :
a. proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah
b. tertampungnya air hujan tersebut didalam tanah
c. proses mengalirnya air tersebut ketempat lain (bawah, samping, atas)
6.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi
Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal
maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam
satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam
atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju infiltrasi
tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f fp dan f I (Soemarto, 1999).
Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi
setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan
kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-82
beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan
lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi
oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah (Maryono, 2004).
Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah
sebagai berikut:
1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang
jenuh.
2. Kadar air atau lengas tanah
3. Pemadatan tanah oleh curah hujan
4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan
dari partikel liat
5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah
6. Struktur tanah
7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik)
8. roporsi udara yang terdapat dalam tanah
9. Topografi atau kemiringan lahan
10. Intensitas hujan
11. Kekasaran permukaan tanah
12. Kualitas air yang akan terinfiltrasi
13. Suhu udara tanah dan udara sekitar
Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat dikategorikan
menjadi dua faktor utama yaitu:
1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat
kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time).
2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah.
Selain dari beberapa factor yang menentukan infiltrasi diatas terdapat pula sifat-
sifat khusus dari tanah yang menentukan dan membatasi kapasitas infiltrasi (Arsyad, 1989)
sebagai berikut:
a. Ukuran pori
Laju masuknya hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran pori dan
susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori aerasi, oleh karena
pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang memungkinkan air keluar
dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik. 83
b. Kemantapan pori
Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak
terganggu selama waktu tidak terjadi hujan.
c. Kandungan air
Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang.
d. Profil tanah
Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya
air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka proses
infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air
hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah.
Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan
gaya kapiler tanah. Oleh karena itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air
yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Laju air infiltrasi
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah.
Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil dibandingkan dengan
tanah dalam keadaan kering (Asdak, 2002).
Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal kedalam
tanah melalui profil tanah. Dengan demikian, mekanisme infiltrasi melibatkan tiga
proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 2002):
a. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah.
b. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.
c. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas).

Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan pada permukaan tanah, pada kedalam
tertentu, pada lahan kosong atau pada lahan bervegetasi. Walaupun satuan infiltrasi
serupa dengan konduktivitas hidraulik, terdapat perbedaan antara keduanya. Hal itu
tidak bisa secara langsung dikaitkan kecuali jika kondisi batas hidraulik diketahui,
seperti kemiringan hidraulik dan aliran air lateral atau jika dapat diperkirakan. Laju
infiltrasi memiliki kegunaan seperti studi pembuangan limbah cair, evaluasi potensi
lahan tanki septik, efisiensi pencucian dan drainase, kebutuhan irigasi, penyebaran air
dan imbuhan air tanah, dan kebocoran saluran atau bendungan dan kegunaan lainnya
(Kirkby, M.J., 1971).
Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang
berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin besar
pula. Atas dasar ukuran pori tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin akan pori
besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan sedikit pori halus.
Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir jauh lebih besar daripada
tanah liat.
Tanah-tanah yang bertekstur kasar menciptakan struktur tanah yang ringan.
Sebaliknya tanah-tanah yang terbentuk atau tersusun dari tekstur tanah yang halus
menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang bertekstur berat. Tanah dengan struktur
tanah yang berat mempunyai jumlah pori halus yang banyak dan miskin akan pori
besar. Sebaliknya tanah yang ringan mengandung banyak pori besar dan sedikit pori
halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi dari kedua jenis tanah tanah tersebut akan
berbeda pula, yaitu tanah yang berstruktur ringan kapasitas infiltrasinya akan lebih
besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang berstruktur berat (Saifuddin, 1986).
Menurut Boedi Susanto (2008), laju infiltrasi berbeda menurut jenis tanahnya
seperti pada tabel berikut:
Tabel 6.1. Laju Infiltrasi Menurut Jenis Tanah
Jenis Tanah Laju Infiltrasi (mm/menit)
Tanah ringan (sandy soil) 0,212 0,423
Tanah sedang (loam clay, loam silt) 0,042 0,212
Tanah berat (clay, clay loam) 0,004 0,042

Sifat transmissi lapisan tanah tergantung pada lapisan-lapisan dalam tanah.


Lapisan tanah dibedakan 4 horizon (Soesanto, 2008) :
1. Horizon A, yang teratas, sebagian bahan organik tanaman
2. Horizon B, merupakan akumulasi dari bahan koloidal A, ketebalan permeabilitas
sangat menentukan laju infiltrasi
3. Horizon C, kadang-kadang disebut sub soil, terbentuk dari pelapukan bahan induk
4. Horizon D, merupakan bahan induk (bed rock)

Arti Pentingnya Infiltrasi


Infiltrasi mempunyai arti penting terhadap beberapa hal berikut :

a. Proses limpasan (run off)

Daya infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang dapat diserap kedalam tanah. Makin
besar daya infiltrasi, perbedaan antara intensitas hujan dengan daya infiltrasi 85
menjadi makin kecil. Akibatnya limpasan permukaannya makin kecil, sehingga debit
puncaknya juga akan lebih kecil.

b. Pengisian lengas tanah (Soil Moisture) dan air tanah

Pengisian lengas tanah dan air tanah penting untuk tujuan pertanian. Akar tanaman
menembus zone tidak jenuh dan menyerap air yang diperlukan untuk evapotranspirasi
dari zona tidak jenuh. Pengisian kebali lengas tanah sama dengan selisih antara infiltrasi
dan perkolasi (jika ada). Pada permukaan air tanah yang dangkal dalam
lapisan tanah yang berbutir tidak begitu besar, pengisian kembali lengas tanah ini dapat
pula diperoleh dari kenaikan kapiler air tanah.

6.3 Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi

Penentukan besarnya infiltrasi dapat dilakukna dengan melalui tiga cara yaitu:
1. Menentukan perbedaan volume air hujan buatan dengan volume air larian pada
percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan (metode simulasi
laboratorium).
2. Menggunakan alat ring infiltrometer (metode pengukuran lapangan).
3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan (metode separasi
hidrograf).
Singh (1989) menyajikan beberapa model infiltrasi yang telah diusulkan dan
digunakan pada kebanyakan analisa hidrologi dan hidraulik yang berkaitan dengan
sistem keairan. Model - model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas
yakni: (1) model empiris, dan (2) model konseptual.
Model empiris menyatakan kapasitas infiltrasi sebagai fungsi waktu. Dimana
kadar lengas tanah memiliki sifat dinamis terhadap waktu, sehingga laju infiltrasi
ditentukan oleh kondisi lengas tanah mula-mula saat proses infiltrasi mulai terjadi.
Adapun model- model empiris infiltrasi diantaranya adalah Model Kostiakov, Model
Horton, Model Holtan dan Model Overton. Uraian masing-masing model disajikan
sebagai berikut:
a. Model Kostiyakov
Model Kostiakov menggunakan pendekatan fungsi power dengan tidak
memasukkan kadar air awal dan kadar air akhir (saat laju infiltrasi tetap) sebagai
komponen fungsi. Fungsi infiltrasi dan laju infiltrasi disajikan pada persamaan 6.1
dan persamaa 6.2.
F = atb , 0<b<1 .. (6.1)
.. (6.2)

Dimana a dan b adalah konstanta. Konstanta a dan b tergantung pada karakteristik


tanah dan kadar air tanah awal. Konstanta ini tidak bisa ditentukan sebelumnya dan
biasanya ditentukan dengan penarikan sebuah garis lurus pada kertas grafik untuk
data empirik atau dengan menggunakan metode pangkat terkecil. Karena
kesederhanaannya, metode ini sering diterapkan pada pelajaran irigasi permukaan.

b. Model Horton

Model Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam
hidrologi. Horton mengakui bahwa kapasitas infiltrasi berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstant. Ia menyatakan
pandangannya bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor
yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam tanah.
Faktor yang berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan retakan
tanah oleh koloid tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran struktur
permukaan lahan dan pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah oleh tetesan
air hujan. Model Horton dapat dinyatakan secara matematis mengikuti persamaan
6.3:
f = fc + (fo fc)e-kt ; i fc dan k = konstan .. (6.3)

Keterangan;
f : laju infiltrasi nyata (cm/h)
fc : laju infiltrasi tetap (cm/h)
fo : laju infiltrasi awal (cm/h)
k : konstanta geofisik
Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Kelemahan
utama dari model ini terletak pada penentuan parameternya f0, fc, dan k dan
ditentukan dengan data-fitting. Meskipun demikian dengan kemajuan sistem
komputer proses ini dapat dilakukan dengan program spreadsheet sederhana. 87
c. Model Holtan
Model Holtan pada dasarnya serupa dengan model Horton, akan tetapi pada
model ini, Holtan menambahkan faktor vegetasi dalam persamaan sehingga fungsi
matematiknya berubah menjadi fungsi power dan bukan fungsi eksponensial
seperti pada Model Horton. Fungsi matematik model Holtan disajikan sebagai
berikut:
(6.4)

Dengan Fp adalah infiltrasi potensial. a dan n adalah konstanta untuk vegetasi


tanah. Holtan berpendapat bahwa kapasitas infiltrasi berbanding lurus dengan ruang
pori yang tersedia. Model Holtan agak cocok dimasukkan untuk model batas air
dalam ilmu tata air karena dia menghubungkan laju infiltrasi (f) dengan
kelembaban tanah. Kekurangan dari model ini adalah spesifikasi kedalaman
permukaan air tanah bebas. Kedalaman mempengaruhi infiltrasi secara signifikan.

d. Model Overton

Overton pada tahun 1964 merumuskan kembali model Holtan. Dia


mencatat bahwa ruang pori-pori yang tersedia pada awal terjadinya hujan tidaklah
selalu terisi seluruhnya sebelum kapasitas infiltrasi menjadi tetap. Jarak antar ruang
pori-pori yang terisi tergantung pada tumbuh-tumbuhan penutup tanah. Persamaan
matematik infiltrasi dan laju infiltrasi Model Overton disajikan pada persamaan 6.5
dan 6.6.
........................... (6.5)
............................ (6.6)

Dimana d = (fc/a)0.5 dan J = (afc)0.5.


Model infiltrasi selain model empiris adalah model konseptual yang menganalogikan
proses infiltrasi sebagai faktor terinterasi dengan aspek hidrologi lain. Beberapa model
konseptual adalah Model SCS, Model HEC, Model Philip, dan Model Hidrograf. Uraian
model konseptual adalah sebagai berikut:
a. Model SCS
Model Soil Conservation Services (SCS) merupakan model konseptual yang
dikembangkan oleh USDA. Model ini menggunakan pendekatan penggunaan/
penutupan lahan, jenis tanah dan kondisi hidrologi wilayah. Hasil yang diperoleh
dalam model ini adalah nilai infiltrasi dan laju infiiltrasi wilayah (unit lahan) pada
suatu DAS atau Sub-DAS.
.................................... (6.7)

.................................... (6.8)

Dimana b adalah persentase faktor vegetasi, P adalah laju curah hujan (cm/s) dan p
adalah intensitas curah hujan (cm/s), dan S adalah potensial storage (cm). Soil
Concervation Service (SCS), mengembangkan suatu prosedur yang sering disebut
metode curve-number untuk menaksir runoff. Metode ini selanjutnya dikenal
dengan model SCS.

Gambar 6.1 Skema komponen rainfall excess


Bila nilai CN (curve number) telah ditentukan, maka aliran permukaan langsung dapat
ditentukan dengan menggunakan monogram SCS.
Gambar 6.2 Monogram SCS
b. Model HEC
Model HEC merupakan model infiltrasi dasar pada suatu hubungan non linear
antara intensitas curah hujan dan kapasitas infiltrasi.
. (6.9)

(6.10)

Dimana k adalah koefisien penurunan air ke dalam tanah, k adalah perubahan


koefisien penurunan air, p adalah intensitas curah hujan (cm/s), D adalah defisiensi
kelembaban tanah dan x adalah eksponen antara 0 dan 1. Jika x = 0, f tidak terikat
oleh P, asumsi ini dibuat normal dan termasuk dalam kebanyakan persamaan
infiltrasi. Jika x = 1, f berbanding lurus dengan parameter p. Study hidrology yang
di kembangkan oleh HEC mengindikasikan bahwa x biasanya antara 0,3 sampai 0,9
untuk konsistensi.
c. Model Philip Tanah Dua-Lapis

Pada satu seri dari papernya, Philip memperkenalkan analisis dari infiltrasi
berdasarkan persamaan Fokker-Planck, atau persamaan aliran untuk tanah homogen
dengan kadar lengas tanah awal dan suplai air yang berlebihan dipermukaan.
Parameter S dan C merupakan fungsi difusi air tanah awal dan kadar air permukaan
dari tanah
(2.14)
(2.15)

.... (2.16)
Keterangan, f = laju ifiltrasi (cm/h)
S = Sportivity (cm/h)
C = kostanta (cm/h)
t = interval waktu (s).
d. Model Hydrograf
Jika akurasi data curah hujan dan runoff yang tersedia pada suatu bidang tanah
kecil, jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah dapat ditentukan dengan
menggunakan model yang disebut model hydrograf. Model ini didasarkan pada
pendapat berikut: (1) intersepsi dan infiltrasi kecil, (2) infiltrasi merupakan abstrak
utama bahwa curah hujan dikurang dengan infiltrasi akan mendekati aliran
permukaan. Model ini lebih sering digunakan untuk menentukan neraca air.
................. (2.17)

Keterangan; P = curah hujan (cm/s),


q = discharge (cm/s)
D = surface detention (cm)
F = kapasitas infiltrasi (cm)
Laju infiltrasi umumnya tergantung dari horizon A dan B, karena
kapasitas infiltrasi C tidak akan terpenuhi oleh laju infitrasi, sedangkan D tidak
tertembus air, sehingga sifat transmissi lapisan tanah dikelompokkan menjadi 2
fenomena.
Jika kapasitas perkolasi lebih besar dari kapasitas infiltrasi maka lapisan di
bawahlapisanpermukaan tidak akan jenuh air dan laju infiltrasiditentukan oleh infiltrasi.
Jika kapasitas perkolasi lebih kecil dari kapasitas infiltrasi maka lapisan bawah
akan jenuh air dan laju infiltrasi ditentukan oleh laju perkolasi.
Untuk lahan yang sulit pengambilan sample kpnduktivitas hidrauliknya
di lapangan, maka dapat juga dilakukan pendekatan nilai kondukttivitas hidraulik
dengan menggunakan data tekstur tanah seperti yang diperlihatkan pada diagram
segitiga tekstur.

Gambar. 6.3 Metode grafis penentuan Konduktivitas Hidraulik Jenuh dengan segitiga
tekstur

6.5 Pengukuran Infiltrasi


Infiltrasi dapat diukur dengan cara berikut :
a. Dengan infiltrometer
Infiltrometer dalam bentuk yang paling sederhana terdiri atas tabung baja yang
ditekankan kedalam tanah.Permukaan tanah di dalam tabung diisi air.Tinggi air dalam
tabung akan menurun, karena proses infiltrasi. Kemudian banyaknya air yang
ditambahkan untuk mempertahankan tinggi air dalam tabung tersebut harus diukur.
Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat aliran ke samping di bawah
tabung. Dengan cara ini infiltrasinya dapat dihitung dari banyaknya air yang
ditambahkan kedalam tabung sebelah dalam per satuan waktu.
Gambar 6.4 Infiltrometer
b. Dengan testplot
Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer hanya dapat dilakukan terhadap
luasan yang kecil saja, sehingga sukar untuk mengambil kesimpulan terhadap
besarnya infiltrasi bagi daerah yang lebih luas.

Untuk mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan
digenangi air. Daya infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan agar
permukaannya konstan. Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang berskala
besar.

c. Lysimeter
Lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam
tanah diisi tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan
fasilitas drainage dan pemberian air. Dengan persamaan neraca air (waterbalance)
seperti berikut:
P+I=D+ES .. (2.18)
Keterangan : I = pemberian (supply) air
D= air yang dikeluarkan
E= penguapan (evapotranspirasi)
S= tampungan air dalam tanah

Untuk mencapai tujuan ini lebih baik digunakan lysimeter timbang, dengan
lysimeter timbang besarnya infiltrasi dengan kondisi curah hujan yang sebenarnya
dapat dipelajari. Curah hujan harus diukur dengan alat pencatat hujan (recording rain
gauge) yang harus ditemptkan di dekat lysimeter tersebut.
6.6 CONTOH SOAL
1. Suatu data hasil pengukuran disajikan sebagai berikut:
t (mnt) fob(cm/mnt) t (mnt) fob(cm/mnt)
0 0,00 25 1,24
1 2,50 35 1,16
2 2,25 48 1,06
3 2,13 65 0,98
5 1,86 85 0,94
8 1,68 105 0,91
12 1,50 125 0,89
17 1,38

Tentukan laju ifiltrasi air dengan rumus Kostiakov, Horton, Holtan, dan Phillip.
Gambarkan Kurva dan Hasil observasi dan semua model.
Penyelesaian
Dengan menggunakan spreadsheed maka fungsi masing-masing model diperoleh seperti
berikut:
Fungsi Model
-0.16.
f = 0.407 t Kostiakov
0,287t
f = 0,242 + (0,5 - 0,242)e- Horton
f = 0,039 (-2,091 f)2 + 0,239 Holton
f = 0,5*0.143 t-0,5 + 0,214 Phillip

Fungsi model kemudian di gambarkan dengan menggunakan spreadsheet kembali:


6.7 LATIHAN DAN PENUGASAN
1. Diskusikan dengan kelompok kelebihan dan kekurangan masing-masing model
infiltrasi yang telah anda baca. Buat file dalam bentuk word dan Presentasi.
2. Turunkan fungsi infiltrasi Horton dan Holtan dari hasil pengukuran sebagai berikut:
Waktu f (mm/jam)
1 2,50
5 1,75
50 1,00
3. Lengkapi data DAS anda dengan mencari nilai CN berdasarkan kondisi hidrologi
wilayah dan penutupan lahan. Hasil perhitungan CN ini akan digunakan pada
pendugaan limpasan permukaan langsung.
4. Lakukan pemasangan Infltrometer di lapangan dengan mengamati laju penurunan
air dalam periode waktu tertentu (tergantung jenis tanah). Kemudian
a. Gambarkan kurva laju infiltrasi
b. Tentukan fungsi infiltrasi yang sesuai untuk plot data anda
(Asistensi sebelum melakukan pengambilan data di Laboratorium Hidrologi dan
Mekanika Fluida)
6.8 DAFTAR PUSTAKA

Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.

Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta: Andi.

Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.

Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York

Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.


Pradnya Paramitha. Bandung

Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.

Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui cara prakiraan banjir jangka pendek
2. Menghitung hidrograf satuan dari suatu titik ukur ke bagian sungai lain
3. Mengetahui perhitungan debit banjir
4. Mengetahui derivasi hidrograf sintetik

7.1 Pendahuluan
Permasalahan utama yang dihadapi praktisi hidrologi adalah mengestimasi
hydrograph menaik dan menurun dari suatu sungai pada sebaran titik pengaliran
terutama selama periode banjir. Permasalahn ini dapat diatasi dengan teknik
penelusuran aliran atau penelusuran banjir yang mengolah sifat-sifat hydrograph banjir
di hulu atau di hilir dari suatu titik ke titik yang lain sepanjang aliran sungai.
Penelusuran dilakukan dari titik dimana ada data pengamatan hidrograf aliran untuk
memudahkan proses penelusuran itu sendiri.
Suatu hidrograf banjir dapat dimodifikasi dengan dua cara sebagaimana air
hujan mengalir menuruni jaringan pengaliran air (drainage network). Pertama waktu
berkumpulnya aliran-aliran untuk terjadinya aliran dan puncaknya pada suatu titik di
daerah hilir. Ini disebut sebagai translasi. Kedua, besarnya laju aliran puncak yang
bergerak menuju titik di aliran bawah, serta lama waktu aliran mencapai titik bawah.
Modifikasi hidrograf ini disebut attenuation.
Penurunan hidrograf aliran di bagian bawah seperti B pada Gambar 7.1 dari
hulu yang disebabkan oleh pola hidrograf banjir A merupakan hal penting untuk
diperhatikan dalam manajemen sungai sebagai upaya prediksi banjir di wilayah bagian
river basin. Dalam hal disain, penelusuran hidrograf banjir juga penting untik
mengatur kapasitas spillway reservoir. Disamping itu jadwal pencegahan banjir atau
evaluasi tinggi bangunan jagaan banjir di tanggul sungai peru juga diperhatikan.

Gambar 7.1 Sifat translasi dan attenuasi banjir


7.2 Memilih Model Penelusuran Banjir
Pemilihan model penelusuran aliran untuk tujuan penerapan tertentu dipengaruhi oleh
tingkat berbagai kepentingan dengan mempertimbangkan faktor sebagai berikut:
1. Model menyajikan informasi hidraulik yang sesuai untuk menjawab pertanyaan
atau problem pemangku kepentingan;
2. Tingkat akurasi model;
3. Kebutuhan akurasi dalam penerapan penelusuran aliran;
4. Tipe dan ketersediaan kebutuhan data;
5. Ketersediaan fasilitas dan biaya komputasi;
6. Familiaritas dengan model yang diberikan;
7. Pengembangan dokumen, level kemampuan dan ketersediaan wadah atau paket
model penelusuran;
8. Kekompleksan formulasi matematika model penelusuran yang akan dikembangkan
dengan bahasa pemrograman komputer; dan
9. Kapabilitas dan ketersediaan waktu untuk membangun model penelusuran.

Dengan pertimbangan pertimbangan di atas, maka pemilihan model


penelusuran dapat dilakukan dengan asumsi bahwa tidak ada suatu model yang paling
tepat melainkan memiliki konsekuensi yang besar untuk mewujudknnya. Model
penelusuran yang sederhana paling cepat dan mudah karena keserhanaan komputasi
akan ada. Akan tetapi pertimbangan keakuratan akan membatasi penerapan model.
Akurasi Model Penelusuran Reservoir. Dalam aplikasi reservoir, akurasi model
penelusuran level-kolam sangat relatif terhadap keakurasian model penelusuran
dinamis terdistribusi
Akurasi Model Penelusuran Sungai. Pada penerapan penelusuran aliran sungai, tipe
lump dan kinematik and model penelusuran diffusi menunjukkan keuntungan
kesederhanaan dimana dampak dari aliran balik (backwater) tidak ada. Pertimbangan
kekauratan membatasi model dalam penerapannya dimana hubungan kedalaman air
dan debit adalah nilai tunggal, dan nilai pergerakan menaik hydrograph dan
kemiringan dasar saluran tidaklah kecil.
7.3 Penelusuran Aliran Tipe-Lump
Bentuk sederhana dari aliran tak tunak sepanjang pengalira air sungai adalah model
lumped dimana seluruh daerah pengaliran dianggap seragam kondisinya. Pendugaan
dilakukan jika ada aliran masuk (I) maka dapat diprediksi debit hidrograf keluar (Q)
sebagai fungsi waktu misalnya I(t) dan Q(t).
Prinsip konservasi massa dengan menghitung perbedaan antara dua aliran akan
sama dengan laju perubahan simpanan air (S) dalam suatu periode waktu seperti
disajikan pada persamaan berikut:
.. (7.1)

Fungsi sederhana simpanan terhadap debit keluaran Q, misalnya S = f(Q), atau


tinggi permukaan air h, misalnya S = f(h). Bentuk sederhana hubungan tinggi
permukan air dan simpanan biasanya ditunjukkan pada danau atau reservoir. Bentuk
hubungan akan menjadi lebih kompleks bila pada sepanjang pengaliran (sungai dan
anak sungai) simpanan menjadi fungsi dari inflow dan outflow.
Solusi persamaan untuk Q(t) dengan berbagai pendekatan simpanan dapat
dilakukan melalui penelusuran aliran seragam. Teknik grafis dan penyelesaian
persamaan matematis telah diterapkan. Model aliran lump (DAS seragam) relatif lebih
sederhana dibandingkan dengan distributed flow routing. Akan tetapi pengabaian
dampak aliran balik (waterback atau water-hammer) dapat menjadi sumber ketidak
akuratan hidrograf yang mengalami perubahan tiba-tiba sepanjang reservoir. Metode
Lump dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe yakni: (1) tipe level-pool untuk reservoir,
(2) tipe simpanan (storage) untuk sungai, dan (3) tipe sistem linear dengan
karakterisasi fungsi respon, dan hubungan inflow-outflow atau input-output yang
didefinisikan dengan teknik integral konvolusi (convolution integral).

Level-Pool Reservoir Routing


Dalam sistem ini reservoir diasumsikan selalu memiliki permukaan datar
sepanjang muka air di reservoir. Penelusuran aliran tak tunak tidak akan terjadi
lama dan hidrograf tidak berubah dengan cepat terhadap waktu, sehingga reservoir
dapat didekati dengan teknik sederhana sebagai level-pool routing. Elevasi
permukaan air h berubah terhadap waktu t, dan outflow dari reservoir diasumsikan
sebagai fungsi h(t). Pendekatan ini menghasilkan suatu persamaan diferensial yang
dapat diselesesaikan dengan beberapa teknik numerik seperti metode Runge-Kutta
atau metode integrasi iterasi trapezoid.
Metode Iterative Trapezoidal Integration. Pada metode ini aturan trapesium
digunakan untuk mengintegralkan persamaan konservasi massa. Acuan waktu
terdiri dari pembagian waktu dengan interval t, misal t = 0, t, 2t, ... , jt, (j + 1 )

.. (7.2)

Dimana luas permukaan Sa merupakan fungsi h. Dengan menggunakan nilai rata-


rata untuk I(t) dan Q(t) sepanjang interval t dan substitusi (7.2) ke persamaan
(7.1) maka diperoleh:

. (7.3)
Inflow pada waktu j dan j+1 diketahui dari hidrograf inflow; outflow Q pada waktu
j dapat dihitung dari elevasi permukaan air yang diketahui hi dengan persamaan
spillway. Luas permukaan SaJ ditentukan dari nilai hi. Parameter yang belum
diketahui adalah hj+1,QJ+1, SaJ+1; Q dan Sa merupakan persamaan nonlinear dari
hJ+1. Sehingga persamaan (7.3) dapat diselesaikan hJ+1 melalui metode iterasi
seperti Newton-Raphson:
. (7.4)
Muskingum River Routing
Metode Muskingum dikembangkan oleh McCarthy sebagai metode yang dikenal
luas untuk penelusuran aliran tipe lump. Metode ini mengasumsikan simpanan
sebagai fungsi variabel inflow-discharge dan persamaan simpanan:

S=K[XI+(I-X)Q] (7.5)

Laju perubahan simpanan dS/dt pada persamaan 7.1 dinyatakan sebagai berikut:

(7.6)
dimana superscripts j dan j+1 menujukkan waktu antara interval tj. Substitusi
persamaan (7.6) ke dalam (7.1) menghasilkan persamaan:

(7.7)

dimana penelusuran aliran Muskingum memberikan 3 koefisien:

(7.8)

dan C1+ C2 + C3 = 1, dan K/3 < t < 5 K merupakan batasan untuk

Contoh Soal
Jika waktu tempuh titik berat massa banjir antara huku dan hilir 9 jam dan faktor
x=0,33. Gunakan cara Muskingum untuk mencari hidrograf aliran di hilir dengan
menggunkan hidrograf aliran di hulu berikut (kehilangan air dan backwater
diabaikan):
7.4 Penelusuran Aliran Tipe-Terdistribusi
Aliran tak tunak pada suatu pengaliran air secara tepat digambarkan sebagai suatu
proses tersdistribusi karena laju/debit aliran, kecepatan, dan kedalaman (elevation) air
bervariasi terhadap ruang (pada penampang pengaliran sepanjang saluran). Estimasi
perilaku dari suatu sistem saluran dapat ditentukan dengan emnggunakan penelusuran
aliran terdistribusi berdasarkan persamaan differensial lengkapaliran tak-tunak satu
dimensi (Persamaan Saint-Venant). Persamaan ini menghitung secara komputasi debit
aliran dan kedalaman air sebagai fungsi ruang dan waktu dan bukan hanya waktu
seperti pada metode penelusuran aliran lump. Penelusuran aliran terdistribusi yang
didasarkan pada Persamaan Saint-Venant dikenal dengan dynamic routing
(penelusuran dinamis). Penyederhanaan bentuk persamaan Saint-Venant yang
didasarkan sebagai persamaan kinematik dan diffusi (zero-inertia) apat digunakan
untuk penelusuran aliran terdistribusi.
Persamaan Saint-Venant. Persamaan asal Saint-Venant adalah persamaan konservasi
massa:
(7.9)

dan persamaan momentum:

(7.10)

1.5
Dalam hal ini t adalah waktu, x adalah jarak sepanjang pengaliran air, A adalah
luas penampang, V adalah kecepatan, q adalah inflow atau outflow lateral terdistribusi
sepanjang sumbu x pengaliran, g adalah tetapan gaya grafitasi, h adalah elevasi
permukaan air (dari datum/acuan) misalnya dh/dx = dy/dx - So dimana y adalah
kedalaman aliran dan So adalah kemiringan dasar saluran pengaliran, dan Sf adalah
kemiringan gesekan yang dapat dievaluasi secara seragam. Persamaan steady-flow
empirical resistance seperti persamaan Chezys atau Manning adalah persamaan
diferensial parsial hyperbolik quasi-linear dengan dua dependent parameter (V dan h)
yang bervariasi pada satu dimensi (arah x) dan dua independent parameter (x dan t).
Luas penampang pengaliran A dan gradien Sf merupakan fungsi dari h dan/atau
V. Tak ada solusi analitis dari persamaan differensial kompleks untuk hampir semua
praktek penerapan dalam model penelusuran banjir. Turunan persamaan Saint-Venant
mengikuti beberapa asumsi dasar:
(1) Aliran satu dimensi,
(2) Panjang sungai yang dipengaruhi oleh gelombang banjir umumnya lebih
besar dari kedalaman aliran,
(3) Percepatan vertikal diabaikan dan distribusi tekanan vertikal gelombang
adalah hidrostatik,
(4) Densitas/kerapatan massa air konstan,
(5) Dasar dan dinding saluran ditentukan dan tidak berubah-ubah, and
(6) Kemiringan dasar saluran So realitif kecil, (kurang dari 15 persen).
Aplikasi Penelusuran Aliran Terdistribusi. Model tedistribusi yang menghitung debit
lairan Q dan tinggi permukaan air h berguna untuk menentukan kedalaman genangan
banjir, kebutuhan tinggi bangunan seperti jembatan atau wilayah sempadan sungai,
and keceptan aliran air dalam transport pemindahan polutan. Model terdistribusi dapat
juga digunakan untuk penerapan lain seperti pendugaan banjir real time di sungai,
pemberian dan pengaliran air irigasi, melalui saluran, peta inundasi perencanaan dam-
break, perubahan gelombang transient yang terjadi di reservoir oleh pintu atau turbin,
longsor akibat gelombang di reservoir, dan aliran tank tunak di sistem pembuangan air
hujan.
Model Penelusuran Terdistribusi Sederhana. Sebelum perkembangan komputer
pesat,atauuntukkepentinganekonomidankepraktisannyadalamsumberkomputasi,
dalam penyelesaian persamaan Saint-Venant yang kompleks, maka dikembangkanlah
beberapa model terdistribusi yang disederhanakan. Model didasarkan pada persamaan
konservasi massa dan berbagai penyederhanaan persamaan momentum.

Model Gelombang Kinematik. Tipe tersederhana model penelusuran terdistribusi


adalah model gelombang kinematik. Model ini diperkenalkan oleh Lighthill dan
Whitham. Model ini didasarkan pada bentuk sederhana dari persamaan momentum
sebagai berikut:
Sf So = 0 (7.11)
dimana So adalah kemiringan dasar saluran (watercourse) dan komponen (dh/dx).
Asumsi ini menganggap momentum aliran unsteady sama dengan pada aliran seragam
tuank (steady) seperti yang ditinjau pada persamaan Chezy, Manning atau persamaan
sejenisnya dimana debit sebagai fungsi tunggal oleh kedalaman, misalnya, dA/dQ =
dA/dQ =1/c. Juga dA/dt = dA/dQ * dQ/dt dan Q = A V. Persamaan 7.9 dapat
dikembangkan menjadi persamaan klasik gelombang kinematik seperti berikut:
(7.12)

Dalam hal ini kecepatan gelombang kinematik atau celerity (c) didefinisikan sebagai:
c = k' V (7.13)
dimana k' adalah rasio kinematika, yang merupakan perbandingan celerity gelombang
kinematik dengan kecepatan aliran. Jika persamaan Manning digunakan untuk aliran
tunak uniform, maka rasio kinematika dinayatak dengan persamaan:
(7.14)

dimana B adalah lebar atas saluran pengaliran, A = luas penampang pengaliran, P


wetted perimeter, dan dP/dy adalah turunan P terhadap kedalaman air y. Untuk aliran
pada saluran segiempat, k' = 5/3. Metode penyelesaian persamaan gelombang
kinematik terdiri dari solusi analitis menggunakan metode karakteristik atau solusi
langsung dengan teknik pendekatan finite-difference secara explicit atau implicit.
Persamaan gelombang kinematik secara teoritis tidak mempertimbangkan kejadian
gelombang hydrograph. Model gelombang kinematik terbatas aplikasinya pada single-
value, stage-discharge ratings yang ada dimana tidak ada rating loop dan pengaruh
backwater tidak signifikan. Sejak adanya model gelombang kinematik, gangguang
gelombang dapat dipropagasi hanya kearah hilir, aliran sebaliknya tidak dapat
diprediksi. Model gelombang kinematik digunakan sebagai komponen model
hidrologi suatu DAS untuk penelusuran aliran overland flow; dan tidak
direkomendasikan untuk saluran kecuali hydrograph menaik sangat kecil, kemiringan
saluran moderat sampai curam, dan kejadian hydrograph cukup kecil.

Model Difusi Gelombang. Model gelombang kinematik sederhana yang laina adalah
model diffusion wave (zero-inertia), dengan pendekatan persamaan momentum
sebagai berikut:
(7.15)

Teknik pendekatan finite-difference (explicit dan implicit) telah digunakan untuk


mendapatkan solusi simultaneous persamaan penyusun. Model ini mempertimbangkan
pengaruh backwater tetapi tidak menunjukkan distribusi secara langsung terhadap
waktu sepanjang penelusuran; keakurasiannya juga rendah untuk hydrograph menaik
cepat, seperti kejadian kerusakan bendung, gelombang hujan badai, atau pelepasan
cepat air dari dam dan terputus-putus, dimana propagasi melalui pengaliran
berkemiringan sedang sampai datar.

7.5 Metode Muskingum-Cunge


Metode Muskingum dapat dimodifikasi dengan menghitung koefisien routing sebagai
bagian yang ditunjukkan oleh Cunge and peneliti lain yang merubah kinematika
berasarkan Metode Muskingum menjadi bentuk analogi difusi yang mampu
memprediksi perubahan hydrograph. Modifikasi metode Muskingum (dikenal dengan
Metode Muskingum-Cunge) lebih efektiv digunakan dalam teknik penelusuran aliran
terdistribusi. Persamaan recursive dapat diaplikasikan untuk masing-masing dan
untuk setiap waktu
(7.16)

dimana terdapat kesamaan dengan Metode Muskingum tetapi dikembangkan untuk


memasukkan pengaruh aliran inflow lateral C4. Qj+1 sama dengan Ij+1 untuk
Muskingum sedangkan Qj dan Qj+1 juga sama dengan I, dan Qj' pada motode
Muskingum. Koefisien C1, C2, dan C3 adalah nilai positif yang jumlahnua harus sama
dengan 1.
(7.17)

dalam hal ini K adalah tetapan simpanan berdimensi waktu, dan X adalah weighting-
factor menunjukkan arti penting inflow dan outflow terhadap simpanan. Di sini dapat
ditunjukkan bahwa finite-difference menyajikan persamaan klasik gelombang
kinematik; akan tetapi, jika X dinyatakan sebagai fungsi bagian dari sifat aliran, maka
kombinasi persamaan penyusun akan menjadi persamaan analogi difusi parabolic yang
mempertimbangkan gelombang hidrograf banjir tetapi tidak berlaku aliran balik
(negative) atau backwater. Model ini relatif akurat dibanding Model Muskingum. Pada
metode Muskingum-Cunge, K dan X dihitung dengan:
(7.18)

(7.19)

dimana c adalah celerity, Q adalah discharge, B lebar atas saluran yang berkaitan
dengan Q, Se adalah slope energi yang didekati dengan Sf untuk kondisi awal aliran, D
adalah kedalaman hydraulic (A/B), dan k' adalah rasio gelombang kinematik. Bar
menunjukkan variabel dengan nila rata-rata sepanjang pengaliran x selama Untuk
kesalahan numerik minimal ditentukan oleh scheme, step waktu t dan step jarak harus
sesuai.
(7.20)
dimana M 5, Tr adalah waktu selama menaiknya hydrograph, dan
(7.21)

dimana q adalah debit rata-rata per lebar pengaliran (Q/B) dan So adalah kemiringan
dasar saluran.

Pengembangan Persamaan Saint-Venant. Persamaan Saint-Venant lebih powerful


dan bermanfaat dimana bentuk konservasi atau divergen ditambahkan ke dalam
persamaan aliran lateral luas simpanan saluran dan dampak sinuositas. Pengembagan
persamaan Saint-Venant adalah pada persamaan konservasi massa:
(7.22)

dan persamaan momentum

(7.23)

Dimana h adalah water-surface elevation, A adalah luas penampang pengaliran air, Ao


adalah luas permukaan saluran tak aktif (off-channel storage) yang sering dikleluarkan
dan menyajikan friksi tahanan yang lebih tinggi untuk bagian luas penampang, sc and
sm adalah koefisien sinuositas depth-weighted yang benar untuk sinus departure dalam
saluran dari sumbu x floodplain, x adalah jarak longitudinal rata-rata pengaliran
terukur sepanjang pusat pengaliran, t adalah waktu, q adalah debit persatuan lebar
sungai lateral inflow atau outflow (inflow adalah positive dan outflow adalah
negative), p adalah koefisien momentum untuk distribusi kecepatan tak seragam
terhadap luas penampang, g adalah konstanta percepatan gravitasi, Sf adalah
kemiringan gesekan batas, and Sec adalah kemiringan kontraksi-ekspansi (large eddy
loss).

Kehilangan oleh Gesekan. Kehilangan akibat gesekan Sf dievaluasi dari persamaan


Manning untuk aliran uniform dan steady adalah:

(7.24)

K adalah faktor pengaliran saluran.

Efek Ekspansi dan Kontraksi. Bentuk variabel Sec dihitung dengan:

(7.25)

Routing Parameters. Faktor penelusuran ditentukan dengan rumus:


(7.26)
.
Lateral Flow Momentum. L adalah dampak momentum lateral aliran, dan memiliki
(1) bentuk lateral inflow, L = -qvx' dimana Vx adalah inflow lateral pada sumbu x
saluran utama; (2) seepage lateral outflow, L = -0.5qQ/A; dan (3) bulk lateral outflow,
L = -qQ/A.
7.6 PENUGASAN
1. Kembangkan model penelusuran banjir pada komputer (spreadsheet atau program
buatan dengan bahasa komputer lain seperti Fortran, Visual Basic atau Delphi)
sesuai dengan model yang telah dijelaskan.
2. Cari data hidrograf aliran sungai di DAS yang anda kerjakan dan lakukan sistem
penelusuran di daerah hilirnya (dekat wilayah pertanian atau pemukiman) dengan
model yang telah dibangun pada no. 1..
3. Hidrograf di sungai pada titik A berpenampang beton dengan n = 0,020. Lebar
saluran 100 m dengan panjang pengaliran 10 km berkemiringan dasar 0,015. Saat
mula-mula Q adalah 18,5 m3/det.

Waktu(mnt) 0 20 40 60 80 100 120 140 160
Q(m3/det) 19 52 344 430 383 202 92 30 21

Hitunglah penelusuran banjir di B dengan jarak 10 km dari hilir (A) dan gambarkan
hidrograf outflownya.

7.7 DAFTAR PUSTAKA


1. Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.

2. Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.

3. Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York

4. Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.


Pradnya Paramitha. Bandung.
5. Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England.

6. Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.

7. Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui aplikasi komputer dalam analisis hidrologi
2. Mengetahui perhitungan menggunakan komputer
3. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer
4. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer
5. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer
6. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer

8.1 Pendahuluan

Memperoleh data parameter hidrologi dalam seri yang panjang merupakan hal yang
sulit. Hal ini mendorong para ahli hidrologi khususnya yang fokus pada simulasi dan
permodelan untuk melakukan pendugaan parameter hidrologi seperti debit aliran di
suatu DAS. Kenyataan ini terjadi juga di Indonesia yang merupakan negara yang
sedang berkembang dimana alat ukur hidrologi belum tersebar merata di seluruh
wilayah Indonesia khususnya DAS-DAS yang kecil.

Fenomena ini merupakan tantangan tersendiri bagi ahli hidrologi untuk


mengkaji ketersediaan data baik melaluui pengadaan alat ukur sederhana sampai
pendugaan parameter hidrologi yang dikembangkan melalui model matematis atau
model lainnya. Untuk kasus di Indonesia dimana debit air merupakan komponen
utama dalam pengembangan sumberdaya air dalam upaya pemanfaatan dan juga upaya
pengendalian daya rusak air di suatu kawasan.
Secara umum model-model dalam hidrologi dapat dibagi menjadi:
a. Model Fisik: dikembangkan dengan analsis dimensi dan pemodelan fisik misalnya
pada model dam-break (scale model)
b. Model Matematik yang dapat dibagi lagi menjadi:
1. Model konseptual deteministk
2. Model empiris deterministik
3. Model konseptual stokastik
4. Model empiris stokastik

Masing-masing model diatas dapat berupa model linear ataupun non-linear


tergantung pada asumsi sistem yang digunakan.
Tiruan proses hidrologi untuk keperluan analisis tentang keberadaan air menurut aspek
jumlah, waktu, tempat, probabilitas dan runtun waktu (time series).
1. Rainfall runoff model: jumlah/waktu pada tempat tertentu.

Prinsip pemodelan: tata buku dan kesetimbangan air. Kegunaan: perkiraan


ketersediaan air (continuous flow) dan debit/ hidrograf aliran besar/banjir
(event flow).
Contoh: SSARR, SHE, MOCK, NASH, HEC-HMS, dll.

2. Frequency analysis: probabilitas kejadian suatu besaran hidrologi (hujan,


debit aliran) dengan nilai tertentu atau sebaliknya.

Prinsip pemodelan: fungsi distribusi probabilitas. Kegunaan: perkiraan


besaran hidrologi sebagai nilai besaran rancangan dengan kala ulang tertentu
(banjir rancangan, hujan rancangan).
Contoh: distribusi Normal, Log-Normal, Gumbel, Pearson III, dll.

3. Stochastic analysis: karakteristik runtun waktu suatu besaran hidrologi


(hujan, debit aliran).
Prinsip pemodelan: perilaku komponen perulangan (tetap), trend dan
simpangan (error). Kegunaan: pembangkitan data hidrologi (hujan, debit)
untuk input evaluasi unjuk kerja design capacity atau pedoman operasi
bangunan air
Contoh: Thomas Fiering, Matallas, ARIMA, dll.
Pada komputasi hidrologi ini, mahasiswa diarahkan untuk menggunakan model WMS

8.2 Penyuntingan DEM


Beberapa dari kenampakan medan, termasuk diatantarnya: jalan, kanal, reservoir,
danau, dam dan sebagainya, mungkin tidak disajikan secara sempurna oleh resolusi
DEM yang kasar. Adalah hal yang sangat mungkin dalam WMS untuk melakukan
penyuntingan sehingga informas obyek semacan itu dapat disajikan dengan baik.
Sehingga kapasitas penyimpanan dapat dihitung dari DEM dan untuk analisa analisa
lainnya.
Menyunting DEM agar lebih akurat dalam merepresentasikan informasi obyek dan analisa
drainase dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1. Menggambar DAS menggunakan TOPAZ
2. Mengisi Gap data
3. Menyunting arah aliran
4. Menyunting ketinggigian untuk membuat aliran
5. Menyunting ketinggian menggunakan arc
6. Menghitung kapasitas penyimpanan dari reservoir, dam atau DAS
7. Melakukan routing menggunakan input dari Hidrograf aliran

Menjalankan TOPAZ dan Penggambaran DAS


a. Membuka Data DEM
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah mvcanyon.dem dan trailmount.dem
3. Pilihlah Open
4. Pilihlah OK

b. Menjalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data
3. Pilihlah OK
4. Pilihlah OK
5. Pilihlah Close
6. Pilihlah Display | Display Options
7. Ubah Minimum Accumulation For Display ke 0.06 mi2
8. Pilihlah OK
9. Perbesar hingga seperti pada gambar 8-1

Gambar 8.1 Menyunting DEM


c Penggambaran DAS
1. Pilihlah Create Outlet titik tool

2. Klik di sembarang tempat pada DEM dimana OUTLET akan diletakkan.

3. Pilihlah OK ,anda anda diperingatkan bahwa OUTLET tidak berada pada


liran

4. Masukan X= 379589.5 dan Y= 4271008.5

5. Pilihlah DEM | Delineate Basins Wizard

6. Pilihlah OK

7. Pilihlah OK

Interpolasi DEM (Mengisi Gap Data DEM)


Penggambaran secara otomatis yang dihasilkan akan terlihat agak aneh, pertama pada
bagian atas kanan batas DAS tampak lurus lurus saja hal ini diakibatkan oleh tidak
adanya antar kontur dan aliran sungai yang terlalu jauh dari batas DAS.
Gambar 8.2 Penentuan batas DAS atau sub-DAS
a. Kesalahan Penggambaran DAS
1. Pilihlah Display | Display Options
2. Hidupkan pilihan No Data Cells
3. Pilihlah OK
4. Terdapat beberapa sel yang tidak ada data sehingga menggangu
penggambaran DAS.
5. Pilih OK

Gambar 8.3 Kesalahan penggambara DAS

1. Pilihlah Display | Frame citra


2. Sulih ke Terrain Data module
3. Pilihlah DEM | Fill
4. Pilihlah OK

b Menjalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data
3. Pilihlah OK
4. Pilihlah OK
5. Pilihlah Close
6. Hasilnya seperti yang digambarkan pada Gambar 8.4

Gambar 8.4 Das hasil perbaikan/koreksi


c. Penggambaran DAS
1. Pilihlah DEM | Delineate Basins Wizard
2. Anda akan ditanyakan apakah menghapus DAS yang sudah ada: OK, untuk
menghapus dan membuat kembali DAS yang telah dikoreksi data
kosongnya.

3. Pilihlah OK
4. Nah, hasilnya akan terlihat seperti pada Gambar 8-5

Gambar 8.5 Hasil akhir penggambaran DAS


8.3 Menyunting Arah Aliran
Arah aliran dapat tidak akurat berkaitan dengan presisi DEM. Arah aliran pada setiap
sel DEM dapat secara manual disunting dalam rangka meningkatkan akurasi
penggambaran DAS.
a. Bukalah DEM
1. Pilihlah File | New
2. Pilihlah OK
3. Pilihlah File | Open
4. Bukalah trailmount.dem
5. Pilihlah OK
b. Bukalah Citra
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah trailmountain.TIF
3. Zoom pada ke area seperti yang digambarkan pada Gambar 8-6

c. Jalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data
3. Pilihlah OK
4. Pilihlah OK
5. Pilihlah Close
Kini arah aliran terlihat berbeda dibanding dengan pola kontur pada citra latar seperti
yang digambarkan pada Gambar 8-7.
d. Menyunting Arah Aliran
Arah aliran yang keliru perlu dikoreksi

1. Gunakan Select DEM points dan Klik-Ganda pada salah satu titik yang
berangka; Maka akan tampil atribut DEM
2. Ubahlah arah aliran sesuai dengan pola yang benar yang ditunjukkan pada
Tabel 8-1
3. Pilihlah OK
4. Pilih Compute flow accumulations hanya setelah anda menyelesaikan
penyuntingan terakhir
5. Pilihlah OK
6. Ulangi langkah 1-5 untuk seluruh lokasi yang akan anda sunting.
8.4 Menyunting Elevations ke Create Streams
Sungai pada DEM umumnya dihasilkan oleh arah aliran dan akumulasinya, sementara
ketinggian dari DEM tidak selalu merepresentasikan ketinggian dari sungai itu sendiri
tetapi ketinggian dari kemungkinan ketinggian dari permukaan air. Ini dapat
menyebabkan sungai memiliki profil yang tidak alamiah dangan variasi kemiringan
yang drastis. Kita akan mencoba
membuatnya lebih mulus dan natural.
a. Menyunting Ketinggian Menggunakan Stream Arcs
1. Sulih ke Terrain Data module
2. Pilihlah Display | Display Options
3. Matikan pilihan: Stream, Flow Accumulation, Color Fill Drainage Basins, dan
Fill Basin Boundary Only
4. Pada Map tab, ubah Points/Node dan Vertices Radius ke nilai 2
5. Pilihlah OK
6. Pilihlah OK
7. Use Select Feature Arc Pilihlah arc
8. Pilihlah DEM | Edit Elevations
9. Pilihlah Cancel ; untuk menunda

8.5 Analisa HEC-RAS


HEC-RAS menyajikan analisa backwater curve untuk kondisi ketinggian dan
kecepatan air tak terganggu dan terganggu. Model ini bertujuan untuk (1)
Membangun model koseptual, (2) Kosep pemetaan data ke model hidrolik, (3)
Menjalankan simulasi dengan HEC-RAS dan (4) Menampilkan hasil pada WMS.
Menyiapkan Model Konsep
Langkah pertama membuat model HEC-RAS adalah membut model dengan
mendefinisikan dulu jangkauan sungai, posisi penampang melintang, dan orientasi,
lakasi dan zonasi materialnya. Model konseptual ini akan digunakan untuk membuat
skema jaringan dalam Modul River Hydraulic
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah wmsras.img
3. Pilihlah File | Open
4. Bukalah wmsras.tin
5. Pilihlah Display Options
6. Pilihlah TIN
7. Hapus centang pada Unlocked vertices
8. Hapus centang pada Triangles
9. Hapus centang pada TIN Contours
10. Pastikan Boundaries box Terpilih
11. Pilihlah OK

Membuat Peta Penggunaan Lahan / Tutupan Materials


Salah satu properti dari HEC-RAS adalah menggunakan nilai kekasaran.
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah file Materials.map
3. Pilihlah Edit | Materials
4. Klik tombol New 5X untuk membuat 5 material baru.
5. Ganti nama material
6. Jika anda menginginkan, anda dapat menset warna dan pola untuk tampilan
yang lebih baik.
7. Pilihlah OK
8. Pastikan Area Property adalah coverage = materials dan active pada Data
Tree
9. Klik Kanan pada Materials layer dan Pilihlah Properties
10. Ubah Coverage type dari General ke Area Property.
11. Pilihlah OK
12. Pilihlah Select Feature Polygon
13. Pilihlah polygon yang menyajikan area sungai (lih. Gambar 13-5)
14. Pilihlah Feature Objects | Attributes
15. Set tipe polygon ke Material dan pilihlah sungai.
16. Pilihlah OK

Membuat Skema Jaringan Hidrologi


WMS dapat berinteraksi menggunakan HEC-RAS dengan sebuah file geometri dari
HEC-GeoRAS. File ini berisi penampang data penampang melintang yang digunakan
oleh HEC-RAS sebagai sebuah data tergeoreferense, untuk file geometri ini, model
konseptual harus dikonvert ke diagram skema jaringan menggunakan River Module:
1. Pastikan pada Modul Map
2. Set Coverage pada centerline
3. Pilihlah River Tools | Map -> Schematic
HEC-RAS membutuhkan indeks kekasaran Manning pada penampang melintang ini:
1. Sulih ke 1D Hydraulic Module
2. Pilihlah HEC-RAS | Material Properties
3. Masukkan indeks kekasaran
Menggunakan HEC-RAS
Dengan Menggunakan HEC-RAS kita akan menset simulasi dan mengekspor hasil
simulasi tersebut pada WMS.
1. Pilihlah Edit | Geometric Data
2. Pilihlah OK
3. Pilihlah View | Set Schematic Plot Extents
4. Pilihlah Set to Computed Extents
5. Pilihlah OK hingga
Pertama, kita masukkan data panjang:
a. Klik-kiri pada node yang mengubungkan Wilayah barat dengan hulul.
b. Pilihlah Edit Junction dari menu pop-up
c. Aktifkan Jendela WMS
d. Sulih ke Modul Map
e. Pilihlah Measure Tool
f. Seperti yang digambarkan pada contoh dibawah runut, sepanjang garis
tengah.
g. Ulangi kembali pada dialog HEC-RAS
h. Masukkan panjang pada kolom yang berkatian dengan baris To: West
Tributary West Tributary
i. Ulangi langkah ini untuk menghitung bagian yang lain
j. Pilihlah OK
k. Pilihlah File | Exit Geometry Data Editor
Langkah selanjutnya adalah mendefinisikan aliran dan kondisi batas:
1. Pilihlah Edit | Steady Flow Data
2. Untuk Profile 1 (PF 1), masukkan 4000 untuk Hulu; masukan 5000 untuk
muara; untuk area barat masukan 1000
3. Klik pada Reach Boundary Conditions
Untuk analisisnya:
1. Klik pada Normal Depth. Masukkan nilai pada setiap ruas: 0.003 untuk
bagian atas, 0.001 untuk bagian bawah, dan 0.005 untuk area barat.
2. Pilihlah OK
3. Klik Apply Data
4. Pilihlah File | Exit Flow Data Editor
Kini kita siap untul melakukan steady flow analysis. Pertama kita perlu menset
pilihan:
1. Pilihlah Run | Steady Flow Analysis dari menu
2. Pilihlah Options | Flow Distribution Locations
3. Ubah Global subsections ke 3 pada kolom (LOB, Channel, dan ROB)
4. Pilihlah OK
5. Klik Compute. Ini merupakan analisa 1D
6. Tutup dialor Steady Flow Analysis
7. Keluar dari progra HEC-RAS

Post-Processing
Kita telah menganalisa ketinggian air di HEC-RAS, selanjutnya kita dapat melihat
solusi tersebut melalui WMS:
1. Dalam WMS, sulih ke modul 1D Hydraulic
2. Pilihlah HEC-RAS | Read Solution
3. Bukalah hecras.prj
4. Bentangkan folder 2D Scatter Data
5. Sulih ke Modul Map
6. Pilihlah coverage 1D-Hyd Centerline dari Data Tree
7. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations
8. Pilihlah pada a specified spacing untuk Create a data point
9. Masukkan 60
10. 1Pilihlah OK
11. Pilihlah coverage 1D-Hyd Cross Section dari Data Tree
12. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations
13. Pilihlah OK
14. Sulih ke Terrain Data module
15. Pilihlah Flood | Delineate
16. Centang pada Search radius dan masukkan 1000
17. Centang pada Quadrants
18. Masukan 4 untuk number of stages
19. Pilihlah OK
20. WMS akan menghitung dua dataset baru yang berhubungan dengan dataran
banjir dan permukaan air.
21. Bentangkan folder bernama New tin pada Data Tree
22. Bentangkan folder bernama W.S. (FLOOD) pada Data Tree
23. Pilihlah data set bernama W.S. Elev-PF 1 (FLOOD)
24. Pilihlah Display | Display Options
25. Pilihlah TIN tab
26. Centang pada TIN Contours dan Pilihlah Contours
27. Pilihlah Color fill between contours
28. Pilihlah OK 2X

Gambar 8.12 Hasil Pengolahan HEC-RAS di WMS


8.6 Penggambaran Dataran Banjir
Penggambaran dataran banjir di WMS di memerlukan data TIN dan sebaran titik
statisun air. Ketinggian dari TIN dapa diambil dari data survey atau konversi dari
DEM ke TIN. Data stasiun air dapat dimasukkan secara manual atau diambil dari
proyek HEC-RAS. Hal ini bertujuan:
1. Bereksperimen dengan berbagai pilihan penggambaran dataran banjir, termasuk
didalamnya: memasukkan data, pencarian jangkauan, dan arah alirannya.
Menjalankan penggambaran dataran banjir tersebut menggunakan teknik teknik:
i. Secara manual memasukkan data stasiun
ii. Pendekatan dengan Channel Calculator pada WMS
iii. Menghitung dengan HEC-RAS
2. Penggunaan Batas bajir, untuk:
Melakukan generalisasi kedalaman banjir, dampak dan area cakupannya.

a Pilihan pilihan Penggambaran Dataran Banjir


Ada beberapa pilihan penggambaran banjir:
1. Pilihlah File | Open
2. Bukalah flood.tin
Matikan display TIN ini:
3. Pilihlah Display | Display Options
4. Pilihlah TIN
5. Hapus centang pada Unlocked Vertices
6. Hapus centang pada Triangles
7. Pilihlah OK
8. Pilihlah File | Open
9. Bukalah samplescatter.wpr
10. Bentangkan folder Terrain Data pada Data Tree.
11. Bentangkan Land TIN pada Data Tree, dengan cara ini anda akan dapat
melihat solusi permukaan air
12. Pilihlah Flood | Delineate
13. Masukkan 100 untuk Max search radius
14. Masukkan sr100 untuk solution name
15. Pilihlah OK
Kini akan kita ubah Search radius dan menghitung kembali dataran banjir:
1. Pilihlah Flood | Delineate
2. Naikkan nilai Max search radius ke 500
3. Ubah solution name menjadi sr500
4. Pilihlah OK untuk menggambarakan dataran bajir baru
5. Bentangkan folder sr100 (FLOOD) dan Memilih data set sr100_fd.
6. Gambarkan dua dataran bajir lagi dengan menggunakan Max search = 1000 dan
2000. Berbeda antara 100 dan 500 yang hasilnya tampak berbeda, pada radius
1000 hingga 2000 tampak tidak jauh berbeda, kita dapat menggunakan 1000
jika dengan 2000 sudah tidak tampak jauh berbeda, selanjutnya kita gunakan
arah nilai arah aliran yang berbeda.
1. Pilihlah Flood | Delineate
2. Masukkan 1000 untuk Max search radius
3. Centang pada Flow path
4. Masukkan 500 untuk Max flow distance
5. Ganti Nama mejadi fp500
6. Pilihlah OK
7. Gambarkan dua dataran bajir lagi menggunakan nilai 1500 dan 3000.
8.7 PENUGASAN
1. Download DATA DEM dari website dengan menggunakan Global Mapper
untuk daerah DAS atau Sub-DAS yang anda kumpulkan data hidrologinya.
2. Lakukan delineasi DAS
3. Lakukan penggambaran aliran sungai
4. Hitung debit aliran rencana
5. Gambar dampak banjir 5 dan 10 tahunan.

8.8 DAFTAR PUSTAKA


----------, 2005. Manual and Tutorial WMS 8.1. Emrl.

Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.

Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.

Maidment, RD. (1989). Handbook of Hydrology. McGraw-Hill. New York

Sastrodarsono Suyono dan Kensaku Takeda, (1999), Hidrologi untuk Pengairan.


Pradnya Paramitha. Bandung.

Shaw, Elizabeth (1994). Hidrology in Practice. Taylor & Francis. England.

Todd, (1983), Introduction to Hydrology. Mc Graw Hill. New York.

Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Semoga buku ajar ini dapat menjadi penambah dalam khazanah ilmu hidrologi yang
memudahkan mahasiswa dalam memahami materi pembelajaran. Begitu banyak persoalan
bangsa Indonesia berkaitan dengan ilmu hidrologi dan sumber daya air, namun penguasaan dan
penerapan ilmu ini belum maksimal dalam upaya pengelolaan termasuk teknik pemanfaatan air,
dan pengendaliannya.

Akhirul klam, semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca.

Wassalam

Penulis

Anda mungkin juga menyukai