HIDROLOGI TEKNIK
Penyusun:
Universitas Hasanuddin
2011
HALAMAN PENGESAHAN
HIBAH PENULISAN
BUKU AJAR BAGI TENAGA AKADEMIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2011
Prof. Dr.Ir. Ahmad Munir, M.Eng. Dr. Ir. Mahmud Achmad, MP.
NIP 19600727 198903 1 003 NIP 19700603 199403 1 003
Mengetahui:
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKPP)
Berbagai tantangan dan halangan yang penulis hadapi dalam penulisan ini terutama dalam setting
gambar. Oleh karena itu lewat pengantar ini, saya memohon bila apa yang tersaji masih banyak
yang perlu dibenahi. Keterbatasan waktu dalam mebuat modul bahan ajar ini merupakan salah satu
faktor pembatas. Penulis tentu akan terus memperbaiki Modul ini untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan kemudahan bagi mahasiswa dalam mempelajari ilmu hidrologi.
Terima kasih saya sampaikan kepada Rektor UNHAS melalui LKPP yang telah memberikan
bantuan dana penulisan untuk mendukung terwujudnya buku ajar ini. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih kepada keluarga saya Istri tercinta Hj. Nahar Zakariah dan anak-anakku (Ainun, Uswah dan
Ariqah) yang telah dengan penuh pengertian dan dukungan dalam penyelesaian modul ini.
Penulis
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mengetahui GBRP dan kontrak pembelajaran
2. Mahasiswa memahami sistem evaluasi pembelajaran
Mata kuliah Hidrologi Teknik diikuti oleh rata-rata 50 mahasiswa peserta mata kuliah
setiap semester dengan kelulusan yang bervariasi dari A sampai ke E. Nilai A kurangdari
5%, A- sekira 10% sedangkan nilai B+ sampai D mendominasi sampai 75%, dan kurang
lebih 10% tidak lulus atau mengundurkan diri.
Kelulusan mahasiswa umumnya ditentukan dengan beberapa aspek meliputi: (i) Tingkat
Kognisi berupa kemampuan menghitung, mengolah data dan menganalisis persoalan
hidrologi seperti peluang kejadian hujan, kejadian banjir, air tanah, dan aspek dalam siklus
hidrologi lainnya; (ii) Tingkat Keterampilan (Skill) berupa kemampuan mengoperasikan
alat-alat ukur hidrologi dan klimatologi, dan mengolah data dengan perangkat lunak olah
data (terdistribusi atau spasial); dan (iii) Skala Sikap dan Soft Skill yang meliputi
kemampuan kerja kelompok dan bekerjasama, serta etika dalam penggunaan alat-
alat/instrumen laboratorium.
Berdasarkan rekam jejak kelulusan mahasiswa, umumnya nilai selalu rendah pada tingkat
kognisidimanamerekamasihlemahdalammenghitung,mengolahdanmenganalisisdata.
Sasaran Pembelajaran
Pada akhir penyajian matakuliah Hidrologi Teknik ini, mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan prinsip dan teori dasar hidrologi, mampu mendeskripsi komponen-komponen
siklus hidrologi dan proses dari masing-masing komponen. Mahasiswa juga diharapkan
memahami dan trampil dalam mengukur parameter hidrologi (hidrometri); menganalisis
distribusi kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia atau secara lokal di DAS; trampil
menggunakan perangkat lunak dalam analisis data dan proses hidrologi.
Pendekatan pembelajaran
Perkuliahanini menggunakan pendekatan ekspositori, penugasan, dan praktek
laboratorium dan lapangan
a. Metode Tatap Muka : ceramah, tanya jawab, diskusi, dan pemecahan
masalah
b. Tugas : Laporan Praktikum, penyajian makalah dan diskusi, dan Laporan
praktek lapangan
c. Media : LCD (presentasi), Penuntun Praktikum (CD), dan Modul
Pembelajaran (File PDF).
Evaluasi
Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan ini dievaluasi dengan komponen prestasi yang
telah ditunjukkan berupa:
a. Jumlah tatap muka (% kehadiran)
Hidrologi adalah cabang ilmu dari ilmu kebumian. Hidrologi merupakan ilmu yang
penting dalam asesmen, pengembangan, utilisasi dana manajemen summberdaya air
yang dewasa ini semakin meningkat realisasinya di berbagai level. Indonesia secara
umum juga mengalami berbagai permasalahan sumberdaya air yang membutuhkan
analisis hidrologi yang semakin rumit dalam mengatasinya. Hal ini mendorong para peneliti
bidang Hidrologi untuk semakin intensif dalam mengumpulkan data dan
informasi dari level global sampai pada tingkat prilaku air di sub-sub daerah aliran
sungai.
Pemahaman ilmu hidrologi akan membantu kita dalam menyelesaikan problem
berupa kekeringan, banjir, perencanaan sumberdaya air seperti dalam disain
irigasi/bendungan, pengelolaan daerah aliran sungai, degradasi lahan, sedimentasi dan
problem lain yang terkait dengan kasus keairan.
B. Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas, dan padat baik proses
di atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses kondensasi,
presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari
merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air
berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk air, es, atau kabut. Pada
perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau
langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah.
Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara
yang berbeda:
1. Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb.
kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan.
Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang
selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
2. Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-
celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak
akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah
permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
3. Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama
dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran
permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada
daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai
utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju
laut.
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan
sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan
berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-
komponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai
(DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud
dan tempatnya
Secara umum bagan alir distribusi air hujan dalam proses hidrologi dapat dilihat pada
Gambar 3 yang disajikan sebagai bentuk transformasi hyetograph menjadi streamflow
hydrograph melalui berbagai proses di bumi dan di atmosfir.
Gambar 3. Distribusi input presipitasi dalam siklus hidrologi
Siklus Biogeokimia
Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumf. Materi yang berupa
unsurunsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan Materi dasar makhluk
hidup dan tak hidup.
Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa
kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen
abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi jugs
melibatkan reaksireaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut siklus
biogeokimia.
Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus air, siklus oksigen, siklus karbon, siklus
nitrogen, dan siklus sulfur. Di sini hanya akan dibahas 3 macam siklus, yaitu siklus
nitrogen, siklus fosfor, dan siklus karbon.
yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat
aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob. Nostoc sp. dan Anabaena sp.
(ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen.
Nitrogen yang diikat biasanya dalam bentuk amonia. Amonia diperoleh dari hasil
penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri
nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan
diserap oleh akar tumbuhan. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah
menjadi amonia kembali, dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepaskan ke
udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem. Lihat Gambar.
2. Siklus Fosfor
Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada
tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah).
Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer
(pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air
laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak
terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk
fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan
diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus. Lihat Gambar
C. Hidrologi di Indonesia
Indonesia dalam mengimplemetasikan konsep keairan telah menuangkan dalam
bentuk perundangan berupa UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004 yang memuat konsep dasar keairan berupa definisi-definisi:
1. Air adalah semua air yang terdapat pada, diatas, ataupun dibawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air
laut yang berada di darat.
2. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
3. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
4. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat
pada, di atas, atau pun di bawah permukaan tanah
5. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
6. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau
ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.
7. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
Permasalahan sumberdaya air di Indonesia masih bertumpu pada aspek kuantitatif
seperti kejadian banjir dan kekeringan. Dimana air terlalu banyak pada musim hujan
dan terlalu sedikit pada musim kemarau. Distribusi ketersediaan air sepanjang waktu
sangat ditentukan oleh distribusi hujan sepanjang tahun dan ketersediaan sarana
penampungan air untuk mencegah kekurangan air pada musim kemarau.
Permasalahan sumber daya air ini dapat diselsesaikan dengan pemahaman yang
komprehensif tentang hidrologi wilayah/regional pada masing-masin DAS.
Pemahaman yang baik dapat mengatur ketersediaan air dalam jumlah dan waktu yang
cukup serta kualitas yang sesuai peruntukannya.
Bentruk transformasi hujan aliran dan simpanan air di wilayah sangat ditentukan oleh
kondisi bentang alam yang terdapat di wilayah jatuhnya hujan. Komposisi aliran
permukaandantampunganairsecarakuantitatifdapatdilihatpadaGambar9.
Gambar 9. Aliran permukaan dari dari curah hujan dan aliran mantap (air yang
tertampung di waduk, danau dan sungai) di pulau-pulau besar di
Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000)
Sebaran kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia cukup bervariasi dimana pulau
seperti Jawa, NTB dan Bali memiliki defisit air bila ditinjau dari aspek kebutuhan
domestik dan pertanian. Sementara pulau lainnya masih cenderung cukup dalam artian
ketersediaan aliran mantap. Meskipun demikian, kekurangan air di pulau-pulau
tersebut berpeluang terjadi pada periode waktu tertentu.
Gambar 10. Ketersediaan dan kebutuhan air secara umum di pulau-pulau besar di
Indonesia (Kodoatie dan Suripin, 2000).
SOAL LATIHAN
DAFTAR PUSTAKA
Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.
New York.
Kodoatie, RJ dan Sjarief, R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw-
Hills. New York.
Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper
Collins Pub. New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan
4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah
5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain
Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah
satu konsekuensi dari variabliltas hujan adalah terjadinya fluktuasi curah hujan di
setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir
yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya.
Salah satu komponen siklus hidrologi yang sangat penting dan selalu diukur
adalah hujan. Pengukuran hujan telah dilakukan sejak lama dengan melakukan
penakaran hujan. Penakar hujan pertama berada di Korea tahun 1400an, dan 200 tahun
kemudian, Sir Christopher Wren menginvensi alat penakar hujan otomatis.
Gambar 3.1/2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi dan millimeter).
1. Terbentuknya awan
Awan terbentuk ketika udara menjadi sangat jenuh (supersaturated), dimana ketika
teknan uap aktual mencapai atau melebihi tekanan uap jenuh: Supersaturation terjadi
melalui pengembangan dan pendinginan kolom udara yang menyebabkan uap air
terkondensasi pada partikel atmosfir. Proses ini disebut nukleasi (nucleation). Aeroso;
atmosfir yang merupakan suspensipadat atau bahan cair dengan kecepatan jatuh kecil
memegang peranan penting dalam permulaan kondensasi dengan memfasilitasi tempat
proses nukleasi bagi uap air. Dua tipe awan dapat dibedakan atas awan dingin (cold
clouds) dan awan panas (warm clouds). Awan dengan suhu di atas 0 0C disebut awan dingin.
2. Struktur Awan
Di awal abad 20, Wegener menyatakan bahwa pada campuran awan yang terbentuk
dari condensasi uap merupakan mekanisme umum terjadinya hujan yang terkadang
juga membentuk salju dan es. Jenis hujan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh suhu
lapisan atmosfir antara terjadinya hujan dan permukaan tanah (lapisan yang dilewati hujan).
Droplet atau butiran hujan bertumbuh pada awan yang suhunya lebih tinggi
(warm clouds) melalui proses kondensasi, kollisi (collision), dan koalesens
(coalescence). Umumnya awan yang terbentuk di wilayah tropis adalah awan dengan
suhu diatas 0oC. Jenis awan ini mencairkan partikel kristal yang terbentuk di wilayah
atmosfir dengan suhu di bawah 0oC. Proses ini juga mengecilkan kristal hujan dan
membentuk butiran hujan.
Ada enam kelas sistem kejadian hujan secara umum yang diuraikan seperti
berikut:
a. Siklon Extratropis
Sirkulasi udara yang terdiri dari massa udara (streams) yang bergerak secara
normal dan stabil mengikuti pola gerakan di atas permukaan bumi. Suhu dan
kelembaban udara sangat tergantung pada asal gerakan udara; masssa udara
kontinental kutub dingin dan kering; massa udara laut tropis panas dan lembab.
Wilayah disekitar daerah tropis sangat berbeda sehingga dua airan udara paralel
dengan suhu berbeda sehingga memicu ketidak stabilan di lapisan antara keduanya
yang cenderung menyebabkan terjadinya siklon.
Kejadian kurva siklon ekstratropis curve dapat mencapai ribuan kilometer.
Pengangkatan vertiakal dalam siklon ekstratropis diasosiasikan dengan posisi kurva
dengan kecepatan kurng dari 0.1 km/jam. Kebanyakan hujan pada siklon ini
didominasi oleh mekanisme stratiform yang dimicu oleh kejadian konvektif seperti
terlihat pada Gambar 3.4.
membentuk partikel hujan di awan tapi tidak mencapai bumi karena proses
pengangkatan udara yang kuat, (2) tahap pematangan dimana gesekan partikel
hujan menyebabkan gerak ke bumi sehingga butiran hujan jatuh, dan (3) tahap
dissipasi dimana butiran hujan kecil terus jatuh. Umumnya thunderstorms tidak
menghasilkan curah hujan yang tinggi pada wilayah yang luas. Kejadian
thunderstorms dalam skala sedang (mesoscale convective systems, MCS)
merupakan penyebab utama terjadinya banjir di berbagai tempat.
f. Hujan Orografis
Pengaruh Orografis dapat merubah type kejadian hujan di atas . Hujan orografis
pada prinsipnya memiliki mekanisme: (1) inisiasi konveksi, (2) pengangkatan
dalam skala besar, dan (3) pertumbuhan yang lambat.
1. Karakteristik Hujan
Ada dua faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan, yakni kecepatan jatuh butiran
hujan dan distribusi ukuran butiran hujan. Kedua faktor ini mempengaruhi proses yang
terjadi di tanah saat hujan jatuh.
butiran (dalam mm). Distribusi ukuran butiran secara khusus dinyatakan sebagai
fungsi N(D) yang menunjukkan densitas butiran hunan sebagai suatu fungsi
diameter butiran hujan. Distribusi butiran hujan umumnya dinyatakan dengan
distribusi Marshall-Palmer:
N(D) = No exp(-D)
dimana N(D) dan No adalah jumlah butiran per meter kubik per mm masing-
masing diameter butiran hujan dan dalam mm. Nilai No adalah 8000 m-3mm-1.
Marshall dan Palmer menghubungkan parameter dengan laju hujan dengan
rumus:
= 4,1 R-0,21
R adalah laju hujan (mm/jam). Beberapa peralatan otomatis dikembangkan untuk
mengukur distribusi ukuran butirsn hujan termasuk distrometer dan raindrop
camera.
Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tilting-
syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float; C=Knife-edges;
D=Double siphon tubes; E=Trigger;
Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D:
switch.
. (3.1)
(3.2)
Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan
efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan.
Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus:
Re = Rtot (125 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm (3.3)
Re = 125 + 0,1 Rtot ; Rtot > 250 mm (3.4)
Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)
Keterangan:
CH = Curah hujan rata-rata wilayah
CHi = Curah hujan pada stasiun i
n = Jumlah stasiun penakar hujan
2. Metode Poligon Thiessen
Metode poligon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata
tertimbang. Masing-masing pos penakar hujan mempunyai daerah pengaruh
sendiri-sendiri seperti terlihat pada Gambar 3.12 (d). Metode penggambaran
poligon dapat dilihat pada Gambar 3.12 (a), (b) dan (c). 3
(3.6
Intensitas Hujan
Dalam perencenaan bangunan hidrologi dan hidraulik, intensitas hujan merupakan
data atau informasi yang dibutuhkan dalam penentuan debit rencana. Oleh karena
itu perlu disajikan metode penentuan intensitas hujan untuk wilayah yang tidak
memiliki pengamatan intensitas hujan akibat keterbatasan alat ukur.
Ada beberapa metode untuk menghitung intensitas hujan secara empiris yakni:
1. Metode Talbot (1881)
(3.7)
2. Metode Sherman (1905); hanya digunakan untuk t < 2 jam
(3.8)
3. Metode Ish
(3.9)
4. Metode Mononobe
(3.10)
Keterangan:
i = intensitas hujan (mm/jam)
t = waktu atau durasu hujan (menit: rumus 1-3; jam: rumus 4)
a, b, m = tetapan
d24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
n = jumlah pasangan data i dan t
Metode ini lebih teliti dibandingkan dengan metode rata-rata aritmetik.
CONTOH SOAL :
Suatu DAS seperti pada Gambar 3.14 memiliki data curah hujan seperti pada Tabel 3.1.
Hitunglah curah hujan wilayah dengan menggunakan (i) rata-rata aritmetika dan (ii)
metode Poligon Thiessen.
Gambar 3.14. Posisi Penakar pada suatu DAS
3.4 PENUGASAN
1. Kumpulkan data curah hujan harian suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung
satu tahun.
2. Kumpulkan data curah hujan bulanan dari suatu wilayah (sub-DAS) selama
kurung waktu 10 tahun.
Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw-
Hills. New York.
Sastrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999, Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya
Pramita. Bandung.
Todd, 1983, Introduction to Hydrology. McGraw-Hill, New York
Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper
CollinsPub.NewYork.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses evapotranspirasi
4.1 Pendahuluan
Evapotranspirasi adalah perpaduan dua proses yakni evaporasi dan transpirasi.
Evaporasi adalah proses penguapan atau hilangnya air dari tanah dan badan-badan air
(abiotik), sedangkan transpirasi adalah proses keluarnya air dari tanaman (boitik)
akibat proses respirasi dan fotosistesis.
Kombinasi dua proses yang saling terpisah dimana kehilangan air dari
permukaan tanah melalui proses evaporasi dan kehilangan air dari tanaman melalui
proses transpirasi disebut sebagai evapotranspirasi (ET).
Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen
penting dalam hidrologi karena proses tersebut dapat mengurangi simpanan air dalam
badab-badan air, tanah, dan tanaman. Untuk kepentingan sumber daya air, data ini
untuk menghitung kesetimbangan air dan lebih khusus untuk keperluan penentuan
kebutuhan air bagi tanaman (pertanian) dalam periode pertumbuhan atau periode
produksi. Oleh karena itu data evapotranspirasi sangat dibutuhkan untuk tujuan irigasi
atau pemberian air, perencanaan irigasi atau untuk konservasi air.
Evapotranspirasi ditentukan oleh banyak faktor yakni:
a. Radiasi surya (Rd): Komponen sumber energi dalam memanaskan badan-badan
air, tanah dan tanaman. Radiasi potensial sangat ditentukan oleh posisi geografis
lokasi,
c. Kelembaban relatif (RH): Parameter iklim ini memegang peranan karena udara
memiliki kemampuan untuk menyerap air sesuai kondisinya termasuk temperatur
udara dan tekanan udara atmosfit
d. Temperatur: Suhu merupakan komponen tak terpisah dari RH dan Radiasi. Suhu
ini dapat berupa suhu badan air, tanah, dan tanaman ataupun juga suhu atmosfir.
Proses terjadinya evaporasi dan transpirasi pada dasarnya akibat adanya energi yang
disuplai oleh matahari baik yang diterima oleh air, tanah dan tanaman. Gambar 4.1 dan
Gambar 4.2 merupakan ilustrasi proses penyerapan energi yang menyebabkan
evaporasi dan transpirasi.
4.2 Evaporasi
Evaporasi adalah proses dimana air dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air
(vaporization) dan dipindahkan dari permukaan penguapan (vapour removal). Air
dapat terevaporasi dari berbagai permukaana seperti danau, sungai, tanah dan vegetasi
hijau.
Energi dibutuhkan untuk merubah bentuk molekul air dari fase cair ke fase
uap. Radiasi matahari langsung dan faktor lingkungan yang mempengaruhi suhu udara
merupakan sumber energi. Gaya penggerak untuk memindahkan uap air dari
permukaan penguapan adalah perbedaan tekanan antara uap air di permukaan
penguapan dan tekanan udara atmosfir. Selama berlangsungya proses, udara sekitar
menjadi jenuh secara perlahan dan selanjutnya proses akan melambat will dan
kemungkinan akan berhenti jika udara basah tidan dipindahkan ke atmosfir.
Pergantianudarajenuh dengan udara kering sangat tergantung pada kecepatan angin.
Oleh karena itu, radiasi surya, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan
angin merupakan parameter iklim yang dipertimbangkan dalam penentuan proses
evaporasi.
Jika permukaan penguapan adalah permukaan tanah, maka tingkat penutupan
tanaman pelindung (crop canopy) dan jumlah air tersedia pada permukaan penguapan
juga menjadi faktor yang mempengaruhi proses evaporasi. Kejadian hujan, irigasi dan
gerakan vertikal air dalam tanah dari muka air tanah dangkal merupakan sumber
pembasahan permukaan tanah. Jika tanah dapat menyuplai air dengan cepat yang
memenuhi kebutuhan evaporasi, maka evaporasi dari tanah ditentukan hanya oleh
kondisi meteorologi. Akan tetapi, bila interval antara hujan dan irigasi cukup lama dan
kemampuan tanah mnegalirkan lengas ke dekat permukaan tanah kecil, maka
kandungan air di lapisan topsoil meturun dan menyebabkan permukaan tanah menjadi
kering. Pada lingkungan dimana air terbatas, maka jumlah air tersedia menjadi faktor
pembatas. Berkurannya supplai air ke permukaan tanah menyebabkan evaporasi
menurun drastis. Proses ini mungkin akan terjadi dalam beberapa hari.
4.3 Transpirasi
Proses transpirasi meliputi penguapan cairan (air) yang terkandung pada jaringan
tanaman dan pemindahan uap ke atmosfir. Tanaman umumnya kehilangan air melalui
stomata. Stomata merupakan saluran terbuka pada permukaan daun tanaman melalui
proses penguapan dan perubahan wujud menjadi gas seperti disajikan pada Gambar
4.3. Air bersama beberapa nutrisi lain diserap oleh akardan ditransportasikan ke
seluruh tanaman. Proses penguapan terjadi dalam daun, yang disebut ruang
intercellular, dan pertukaran uap ke atmossfir dikontrol oleh celah stomata (stomatal
aperture). Hampir semua air yang diserap oleh akar keluar melalui proses transpirasi
dan hanya sebahagian kecil saja yang digunakan dalam tanaman.
Transpirasi seperti evaporasi langsung tergantung pada suplai energi, tekan uap
air dan angin. Kandungan lengas tanah dan kemampuan tanah melewatkan air ke akar
juga menentukan laju transpirasi, termasuk genangan air dan salinitas air tanah. Laju
transprasi juga dipengaruhi oleh karakteristik tanaman, aspek lingkungan dan praktek
pengolahan dan pengelolaan lahan. Perbedaan jenis tanaman akan memberikan laju
transpirasi yang berbeda. Bukan hanya tipe tanaman saja, tetapi juga pertumbuhan
tanaman, lingkungan dan manajemen harus dipertimbangkan dalam penentuan
transpirasi.
menutup dan membukanya stomata, (3) faktor tanah, mencakup kondisi tanah, aerasi
tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Linsley
dkk., 1979).
b. Metode Thornthwaite
ETo = 1,6 [(10 T/I)]a ...... (4.6)
a = 0,49 + 0,0179 I 0,0000771 I2 + 0,000000675 I3
Keterangan:
T = Suhu Rata-rata Bulanan (0C)
I = Indeks Panas Tahunan
harga koefisien panci berkisar antara 0,4 0,85 yang dipengaruhi oleh kecepatan
angin dan kelembaban nisbih udara rata-rata. Selanjutnya dikatakan untuk daerah
tropis seperti Indonesia dimana kecepatan angin lemah sampai sedang dan kelembaban
nisbih udara rata-rata diatas 70 %, harga Kp hanya berkisar dari 0,65 0,85.
Tabel 4.2 Kisaran nilai koefisien panci pada berbagai level kecepatan angin
dan kelembaban udara
Linsley dan Franzini (1979), menganjurkan penggunaan nilai Kp = 0,70 yang
umum digunakan di daerah tropis.
Tabel 4.3 Kisaran nilai ET pada berbagai kondisi iklim wilayah
meter adalah 5 m/det. Bila radiasi rata-rata efektif adalah 550 kal/cm2/hari nilai n/D =
0,4, Hitung besarnya nilai evapotranspirasi hari tersebut.
Jawaban:
Hitung Tekanan Udara Mutlak
ea = h x e = 0,7 x 17,53 = 12,27 mmHg
e ea = 17,73 17,27 = 5,26 mmHg
Hitung Evapotranspitasi
Ep = 0,7 x 3,6 = 2,5 mm/hari
4.7 PENUGASAN
1. Baca buku FAO No. 56 tentang kebutuhan air tanaman (Crop Water Requirement),
kenudian buat ringkasan perhitungan metode yang digunakan untuk menghitung
ETP tanaman pada suatu wilayah (sesuai data lokasi data CH yang diambil pada
tugas sebelumnya).
2. Kumpulkan data kecepatan angin, radiasi, suhu, dan tekanan dari suatu stasiun
klimatologi dalam waktu satu tahun.
3. Kumpulkan data evaporasi dari suatu stasiun klimatologi dalam waktu satu tahun.
4. Hitung evaporasi dan bandingkan nilai dari hasil ukur (panci Kelas A)
Faust, Samual D., Osman M. Aly, (1981), Chemstry of Natural Waters, Ann Arbor
Science, Michigan.
Freeze R. Allan, John A. Cherry (1979), Groundwater, Englewood Cliffs, New Jersey.
Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta: Andi.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Sprong, D., (1979), Lakes in The Humid Tropical Areas of The World, Arrevem of the
literature.
Todd,(1983),IntroductiontoHydrology.McGrawHill.USA.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian runoff
2. Mahasiswa mampu mengukur penampang pengaliran sungai (praktek lapangan)
3. Mahasiswa mampu melakukan pengukuran kecepatan aliran sungai dengan
pelampung dan current meter (praktek lapangan)
4. Mahasiswa mampu menghitung debit aliran sungai hasil pengukuran (praktek
lapangan)
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tipe-tipe Pola Pengaliran Air Sungai (SPAS)
6. Mahasiswa memahami metoda Rasional sebagai pendugaan debit sungai
7. Mahasiswa mampu menghitung intensitas hujan
8. Mahasiswa mampu menenukan waktu konsentrasi dengan WMS
9. Mahasiswa mampu menghitung debit puncak
5.1 Pendahuluan
Salah satu komponen dalam siklus hidrologi adalah limpasan hujan. Komponen
limpasan hujan dapat berupa runoff (aliran permukaan) ataupun aliran yang lebih besar
seperti aliran air di sungai.
Limpasan akibat hujan ini dapat terjadi dengan cepat dan dapat pula setelah
beberapa jam setelah terjadinya hujan. Lama waktu kejadian hujan puncak dan aliran
puncak sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah tempat jatuhnya hujan. Makin besar
perbedaan waktu kejadian hujan puncak dan debit puncak, makin baik kondisi wilayah
tersbut dalam menyimpan air di dalam tanah.
Wilayah Indonesia dengan kondisi tropis dimana hujan terjadi terpusat pada
enam bulan periode hujan menyebabkan kita harus bisa melakukan rekayasa
konservasi air dengan cara menyimpan air hujan sebanyak mungkin di dalam tanah
b. aliran turbulen: jika kecepatan aliran berbeda pada bagian atas, tengah, bawah,
depan dan belakang dalam saluran, sebagai akibat adanya perubahan friksi, yang
mengakibatkan perubahan gradien kecepatan. Kecepatan maksimum pada aliran
turbulen umunya terjadi pada kedalaman 1/3 dari permukaan air terhadap
kedalaman sungai.
Pembagian penampang sungai untuk pengukuran lebar sungai dan kedalaman
adalah sebagai berikut:
Sungai adalah jalur aliran air di atas permukaan bumi yang di samping
mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung dalam air sungai tersebut.
Jadi sedimen terbawa hanyut oleh aliran air, yang dapat dibedakan sebagai muatan
dasar (bed load) dan muatan melayang (suspended load). Sedang muatan melayang
terdiri dari butiran halus, senantiasa melayang di dalam aliran air. Untuk butiran yang
sangat halus, walaupun air tidak lagi mengalir, tetapi butiran tersebut tidak mengendap
serta airnya tetap saja keruh dan sedimen semacam ini disebut muatan kikisan (wash
load).
Untuk kebutuhan usaha pemanfaatan air, pengamatan permukaan air sungai
dilaksanakan pada tempat tempat dimana akan dibangun bangunan air seperti
bendungan, bangunan bangunan pengambil air dan lain lain. Utnuk kebutuhan
usaha pengendalian sungai atau pengaturan sungai, maka pengamatan itu dilaksanakan
pada tempat yang dapat memberikan gambaran mengenai banjir termasuk tempat
tempat perubahan tiba tiba dari penampang sungai (Sosrodarsono dan Takeda,
1993).
Sungai seringkali dikendalikan atau dikontrol supaya lebih bermanfaat atau
mengurangi dampak negatifnya terhadap kegiatan manusia.
Berdasarkan kemanfaatan bangunan penyusun sungai, bagian sungai dapat
dikelompokkan menjadi beberapa komponen yaitu:
a. Bendung dan bendungan dibangun untuk mengontrol aliran, menyimpan air atau
menghasilkan energi.
Debit sungai adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang
lintang pada suatu titik tertentu per satuan waktu, pada umumnya dinyatakan m3/detik.
Debit sungai diperoleh setelah mengukur kecepatan air dengan alat pengukur atau
pelampung untuk mengetahui data kecepatan aliran sungai dan kemudian
mengalirkannya dengan luas melintang (luas potongan lintang sungai) pada lokasi
pengukuran kecepatan tersebut (Sosrodarsono dan Tominaga, 1984)
Menurut Asdak (1995), debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air)
yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Rumus umum
yang biasa digunakan adalah:
Q=vxA .(5.2)
Keterangan:
Q = Debit aliran sungai (m3/detik)
A = Luas bagian penampang basah (m2)
v = Kecepatan aliran (m/detik)
Pelampung jenis ini memiliki tingkat ketilitian yang lebih tinggi dibanding
pelampung jenis lain yang tidak memiliki pemberat. Akan tetapi kedalaman
pelampung tidak boleh mencapai dasar sungai sehingga tangkai tidak dipengaruhi oleh
bagian kecepatan yang lambat pada lapisan bawah. Jadi hasil yang didapat adalah
lebih tinggi dari kecepatan rata-rata sehingga pelampung harus disesuaikan dengan
sesuatu koefisien.
Menurut Francis (1856), harga ini dapat dihitung menurut rumus sebagai
berikut:
(5.3)
Keterangan:
Keterangan:
t1 = waktu pengaliran aliran permukaan (menit)
n = koefisien Manning (dimensionless)
L = Panjang pengaliran (m)
P = Curah hujan 24 jam (dua tahunan) ( m)
S = kemiringan lahan atau media pengaliran, ( m/m)
Metode Manning dengan prosedur dapat pula dilakukan dengan urutan sebagai
berikut:
The Manning equation in U.S. units: Q = (1.49/n)A(R2/3)(S1/2)
The Manning equation in S.I. units: Q = (1.0/n)A(R2/3)(S1/2)
Dimana R = A/P
V = Q/A
tc = L/(60V)
Keterangan:
Q = Debit aliran (m3/s)
V = kecepatan aliran (m/s)
R = Jari jari hidraulik (= A/P) (m)
A = Luas penampang prngaliran (m2)
P = wetted perimeter saluran (m)
S = kemiringan dasar saluran (m/m)
n = koefisien Manning (dimensioness)
L = panjang pengaliran (m)
tc = waktu konsentrasi (menit)
2. NRCS Method
Metode ini serupa dengan metode Manning
tc = L/(60V) ( menit)
V = 16.1345 S0,5 dimana ( V = 4.9178 S0,5 (m/det)) untuk permukaan alamiah
V = 20.3282 S0,5 dimana ( V = 6.1960 S0,5 (m/det)) untuk permukaan tertutup
Keterangan:
L = panjang pengaliran (m)
V = kecepatan aliran (m/s)
S = kemiringan pengaliran air (m/m)
Tc = waktu penngaliran (menit)
3. Metode FAA ( Kirpich & Kerby)
Persamaan ini dinyatakan dalam Chin (2000), Chow et al. (1988), Corbitt (1999),
and Singh (1992):
Pada bagian ini akan dipelajari dua perbedaan cara WMS yang dapat digunakan pada
penghitungan waktu konsentrasi untuk simulasi TR-55 (waktu puncak dihitung dengan
cara yang sama), yaitu:
1. Jarak limpasan dan kemiringan lereng tiap DAS dihitung secara otomatis pada saat
anda membuat modelnya dari TIN atau DEM dan menghitung data DAS. Nilai ini
kemudian dapat digunakan untuk beberapa eprasmaan dalam WMS untuk
menghitung waktu puncah atau waktu konsentrasi..
2. Jika anda menginginkan pengontrolan yang lebih terhadap waktu puncak atau
wkatu konsentrasi , akan akan menggunakan penghitungan waktu pada liputan
untuk menentukan arah aliran penting pada setiap sub-DASnya, sebuah persamaan
digunakan untuk melakukan estimasi travel time dan waktu konsentrasi aliran.
Panjang dihitung pada setiap arc sedangkan kemiringan lereng diambil dari TIN
atau DEM.
Pada bagian ini penetuan waktu konsentrasi dua sub-DAS dan travel time antara titik
outlet yang ditunjukkan pada gambar di bawah. Anda akan menggunakan persamaan
TR-55, atau anda dapat menyusun persamaan itu sendiri.
Banyak model hidrologi, termasuk TR-55 menggunakan composite curve number
untuk menghitung losses. Sebuah composite curve number dihitung untuk setiap DAS
dengan melakukan overlay antara Peta Penggunaan Lahan dan Peta Tanah.
titik ini menampilkan titik terjauh dari outlet untuk DAS tersebut. Sekarang, tampilan
arcs akan dibuat dari titik ini ke outlet dengan langkah-langkah berikut:
1. Pilihlah Perangkat Pemilih Titik (Select Feature Point)/Node tool
2. Pilihlah kedua titik yang barusan dibuat gunakan SHIFT untuk memilih langsung
keduanya
3. Pilihlah Feature Objects | Node->Flow Arcs
4. Pilihlah Create multiple arcs
5. Pilihlah OK
Pilihan Create multiple arcs akan mengakibatkan WMS memecah arah aliran pada
setiap sub-DAS, yang telah dihasilkan TIN. Metode TR-55 (atau lainnya) menggunakan
tiga perbedaan bagian aliran untuk menghitung waktu konsentrasi: sheet flow (hingga
300 feet), shallow concentrated flow, dan open channel flow. WMS akan secara
mengotomatis memecah arc antara overland dan channel flow, dua dari tiga bagian akan
siap didefinisikan. Anda akan membutuhkan pembagian sheet flow dari shallow
concentrated flow sebelum menset persamaannya.
1. Pilihlah Feature Vertex tool
2. Gambar berikut mengidentifikasikan lokasi kira-kira 200-300 kaki downstream dari
awal arah aliran. Pilihlah satu verteks diantaranya.
3. Pilihlah Feature Objects | Vertex<->Node
4. Ulangi untuk verteks lainnya, atau gunakan multi select
sekarang anda mempunyai tiga arc untuk setiap DAS. Arc ini akan digunakan untuk
penghitungan waktu konsentrasi pada analisis TR-55. Travel time untuk aliran dari
DAS atas ke bagian bawah DAS. Ini akan membutuhkan arah aliran antara outlet atas
dan bawah.
tahun 1906 di Inggeris oleh Lloyd-Davies. Formula ini menentukan debit puncak
(Qp) dengan rumus:
Qp=CiA (5.8)
2. Metode Time-Area
Metode time-area menetukan runoff atau discharge dari hujan melalui pengembangan
dan penyempurnaan metode rational dimana debit puncak Qp dihitung dengan
menjumlahkan kontribusi aliran setiap sub-sub das dengan menggunakan sistem
kontur waktu (isochrones). Setiap garis mewakili flow-time menuju sungai dimana Qp
dihitung. Gambar 5.6 menunjukkan konsep metode time-area.
Aliran dari masing masing daerah yang dibatasi dua isochrones (TT,T)
ditentukan dari perkalian intensitas rata-rata hujan efektif (i) dari waktu TT sampai
waktu T dan luasan (A). Kemudian Q4, aliran pada garis aliran X saat waktu 4 jam
dihitung dengan:
Q4=i3A1+i2A2+i1A3+i0A4 . (5.9)
Demikian pula halnya untuk Q yang lain pada garis aliran X ditentukan dengan cara
yang sama dengan Q4. Pada sistem ini dibutuhkan waktu konsentrasi yang kemudian
dibagi-bagi. Penentuan waktu konsentrasi dapat dilihat pada bagian sebelumnya.
Gambar 5.8 Konsep pendugaan debit puncak dengan metode time-area
5.6 Tipe Sungai dan Aliran
Sungai merupakan sumber air utama bagi masyarakat yang berada di daerah berilkim
monsoon. Kondisi pengaliran air di sungai sangat ditentukan oleh jenis tanah yang
menjadi daerah pengaliran sungai. Aliran air sungai sering kali berubah berdasarkan
jenis tanah dan batuan penyusun daerah pengaliran sungai.
Sungai yang berada di daerah alluvial dan endapan memiliki kecenderungan untuk
berubah arah ketika energi yang dimiliki aliran sungai meningkat. Energi aliran
(kinetik) ini menyebabkan penerobosan tanah oleh air dan membentuk aliran baru
seperti yang terjadi di beberapa sungai di Sulawesi misalnya Sungai Larian di Provinsi
Sul-Bar dan Sungai Rongkong di Provinsi Sul-Sel.
Perubahan aliran sungai kerap kali dianalogikan dengan umur sungai. Sungai muda
cenderung berubah arah dalam periode waktu tertentu, sementara sungai tua cenderung
tetap pada aliran yang ada.
Gambar 5.9 Pola pergerakan air di sungai dalam tanggul/bantaran sungai
Gerakan air dan angin di permukaan lahan dapat membentuk pola aliran secara
alamiah mengikuti arah gerakan air sedara gravitasional. Meskipun demikian ada
beberapa hal yang merupakan faktor yang mempengaruhi pembentukan pola aliran
termasuk slope atau kemiringan lahan, sifat tanah dan batuan dasar penyusun DAS, dan
sejarah gerakan hidraulika aktivitas batuab beku, dan transport sedimen.
Tipe pola aliran yang paling umum adalah dendritik. Pola ini dicirikan oleh
banyaknya aliran-aliran kecil yang berhubungan dari orde rendah ke orde yang tinggi.
Pola Trellis dicirikan oleh aliran utama yang panjang yang dialiri oleh sejumlah
anakan-anakan sungai pendek. Pola tipe Radial banyak ditemukan di daerah
pegunungan dengan tanah dan batuan yang umumnya masih berkembang. Hal ini sering
menimbulkan aliran yang terpisah-pisah menuruni pegunungan dan sangat jarang
ditemukan alira yang lurus kecuali pada daarah curam dengan material dasar yang
homogen. Pola Braided dicirikan oleh sejumlah percabangan sungai dan saluran air
bada wilayah bantaran sungai. Aliran Braided umumnya membawa banyak sedimen,
namun sering memiliki debit air yang kecil diistilahkan dengan incipient forms of
meandering) dimana kenyataan bahwa kelokan sungai terrbentuk oleh sedimen dan
pengaruh kecepatan aliran air yng memasukinya.
Gambar 5.10 Pola pengaliran air sungai (SPAS)
Orde sungai adalah urutan aliran air berdasarkan anakan sungai yang dihitung dari
aliran sungai terluar. Penetuan orde sungai dapat dilihat pada Gambar 5.9.
SOLUSI:
Tahap pertaman adalah menggambar profil penampang sungai untuk tujuan
perhitungan luas penampang sungai.
Tahap kedua adalah menghitung luas masing-masing segment
Luas Segmen D
Luas D =
= 1.49 m2
Luas Segmen E
Luas E = Luas A =
= 0.12 m2
= 6.095 m2
Tahap ketiga adalah menentukan kecepatan rata-rata menggunakan rumus berikut.
Nilai di dalam tabel di bawah ini adalah nilai kecepatan rata-rata yang dihitung dengan
menggunakan rumus di atas :
Q1 =
= 6.095 m2 x 0.040 = 0.241 m/s
2. Sebutkan tipe-tipe aliran sungai dan penciri dari masing-masing tipe pengaliran
(SPAS).
Jika lebar sungai 30 meter, hitunglah DEBIT air sesaat sungai tersebut.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep infiltrasi, perkolasi dan permeabilitas
2. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara konsep infiltrasi, perkolasi dan
permeabilitas
3. Mahasiswa mampu menghitung laju infiltrasi dan kapasitas infiltrasi serta koefisien
fungsi infiltrasi (Kostiakov, Horton, dan Holtan)
4. Mahasiswa mampu melakukan pengukuran infiltrasi dengan ring infiltrometer di
lapangan.
6.1 Pendahuluan
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam
tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke
tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju
maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas
infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap
kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas
infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan.
Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan
intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi yang tidak
kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi air tanah untuk
seterusnya mengalir ke sungai disekitar.
Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke
permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya air
dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam tanah
maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada kondisi
kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah yang lebih
rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran antara (interflow)
dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang berada pada lapisan air
tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke samping dan ke atas) dengan gaya
kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar.
Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk kedalam
tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada suatu
tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat tertentu laju
infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju perkolasi.
Ketika air hujan jatuh diatas permukaan tanah, tergantung pada kondisi biofisik
permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk
kedalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan
kedalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Di
bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam tanah, sedangkan
pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus keatas, kebawah, dan
kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori
yang relative kecil.
Mekanisme infiltrasi melibatkan 3 proses yang tidak saling mempengaruhi :
a. proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah
b. tertampungnya air hujan tersebut didalam tanah
c. proses mengalirnya air tersebut ketempat lain (bawah, samping, atas)
6.2 Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi
Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal
maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam
satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam
atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju infiltrasi
tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f fp dan f I (Soemarto, 1999).
Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi
setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan
kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-82
beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan
lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi
oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah (Maryono, 2004).
Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi adalah
sebagai berikut:
1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang
jenuh.
2. Kadar air atau lengas tanah
3. Pemadatan tanah oleh curah hujan
4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan
dari partikel liat
5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah
6. Struktur tanah
7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik)
8. roporsi udara yang terdapat dalam tanah
9. Topografi atau kemiringan lahan
10. Intensitas hujan
11. Kekasaran permukaan tanah
12. Kualitas air yang akan terinfiltrasi
13. Suhu udara tanah dan udara sekitar
Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat dikategorikan
menjadi dua faktor utama yaitu:
1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air mendapat
kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time).
2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah.
Selain dari beberapa factor yang menentukan infiltrasi diatas terdapat pula sifat-
sifat khusus dari tanah yang menentukan dan membatasi kapasitas infiltrasi (Arsyad, 1989)
sebagai berikut:
a. Ukuran pori
Laju masuknya hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran pori dan
susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori aerasi, oleh karena
pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang memungkinkan air keluar
dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik. 83
b. Kemantapan pori
Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak
terganggu selama waktu tidak terjadi hujan.
c. Kandungan air
Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang.
d. Profil tanah
Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya
air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka proses
infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air
hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah.
Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan
gaya kapiler tanah. Oleh karena itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air
yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Laju air infiltrasi
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah.
Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil dibandingkan dengan
tanah dalam keadaan kering (Asdak, 2002).
Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal kedalam
tanah melalui profil tanah. Dengan demikian, mekanisme infiltrasi melibatkan tiga
proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 2002):
a. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah.
b. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.
c. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas).
Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan pada permukaan tanah, pada kedalam
tertentu, pada lahan kosong atau pada lahan bervegetasi. Walaupun satuan infiltrasi
serupa dengan konduktivitas hidraulik, terdapat perbedaan antara keduanya. Hal itu
tidak bisa secara langsung dikaitkan kecuali jika kondisi batas hidraulik diketahui,
seperti kemiringan hidraulik dan aliran air lateral atau jika dapat diperkirakan. Laju
infiltrasi memiliki kegunaan seperti studi pembuangan limbah cair, evaluasi potensi
lahan tanki septik, efisiensi pencucian dan drainase, kebutuhan irigasi, penyebaran air
dan imbuhan air tanah, dan kebocoran saluran atau bendungan dan kegunaan lainnya
(Kirkby, M.J., 1971).
Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang
berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin besar
pula. Atas dasar ukuran pori tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin akan pori
besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan sedikit pori halus.
Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir jauh lebih besar daripada
tanah liat.
Tanah-tanah yang bertekstur kasar menciptakan struktur tanah yang ringan.
Sebaliknya tanah-tanah yang terbentuk atau tersusun dari tekstur tanah yang halus
menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang bertekstur berat. Tanah dengan struktur
tanah yang berat mempunyai jumlah pori halus yang banyak dan miskin akan pori
besar. Sebaliknya tanah yang ringan mengandung banyak pori besar dan sedikit pori
halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi dari kedua jenis tanah tanah tersebut akan
berbeda pula, yaitu tanah yang berstruktur ringan kapasitas infiltrasinya akan lebih
besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang berstruktur berat (Saifuddin, 1986).
Menurut Boedi Susanto (2008), laju infiltrasi berbeda menurut jenis tanahnya
seperti pada tabel berikut:
Tabel 6.1. Laju Infiltrasi Menurut Jenis Tanah
Jenis Tanah Laju Infiltrasi (mm/menit)
Tanah ringan (sandy soil) 0,212 0,423
Tanah sedang (loam clay, loam silt) 0,042 0,212
Tanah berat (clay, clay loam) 0,004 0,042
Daya infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang dapat diserap kedalam tanah. Makin
besar daya infiltrasi, perbedaan antara intensitas hujan dengan daya infiltrasi 85
menjadi makin kecil. Akibatnya limpasan permukaannya makin kecil, sehingga debit
puncaknya juga akan lebih kecil.
Pengisian lengas tanah dan air tanah penting untuk tujuan pertanian. Akar tanaman
menembus zone tidak jenuh dan menyerap air yang diperlukan untuk evapotranspirasi
dari zona tidak jenuh. Pengisian kebali lengas tanah sama dengan selisih antara infiltrasi
dan perkolasi (jika ada). Pada permukaan air tanah yang dangkal dalam
lapisan tanah yang berbutir tidak begitu besar, pengisian kembali lengas tanah ini dapat
pula diperoleh dari kenaikan kapiler air tanah.
Penentukan besarnya infiltrasi dapat dilakukna dengan melalui tiga cara yaitu:
1. Menentukan perbedaan volume air hujan buatan dengan volume air larian pada
percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan (metode simulasi
laboratorium).
2. Menggunakan alat ring infiltrometer (metode pengukuran lapangan).
3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan (metode separasi
hidrograf).
Singh (1989) menyajikan beberapa model infiltrasi yang telah diusulkan dan
digunakan pada kebanyakan analisa hidrologi dan hidraulik yang berkaitan dengan
sistem keairan. Model - model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas
yakni: (1) model empiris, dan (2) model konseptual.
Model empiris menyatakan kapasitas infiltrasi sebagai fungsi waktu. Dimana
kadar lengas tanah memiliki sifat dinamis terhadap waktu, sehingga laju infiltrasi
ditentukan oleh kondisi lengas tanah mula-mula saat proses infiltrasi mulai terjadi.
Adapun model- model empiris infiltrasi diantaranya adalah Model Kostiakov, Model
Horton, Model Holtan dan Model Overton. Uraian masing-masing model disajikan
sebagai berikut:
a. Model Kostiyakov
Model Kostiakov menggunakan pendekatan fungsi power dengan tidak
memasukkan kadar air awal dan kadar air akhir (saat laju infiltrasi tetap) sebagai
komponen fungsi. Fungsi infiltrasi dan laju infiltrasi disajikan pada persamaan 6.1
dan persamaa 6.2.
F = atb , 0<b<1 .. (6.1)
.. (6.2)
b. Model Horton
Model Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam
hidrologi. Horton mengakui bahwa kapasitas infiltrasi berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstant. Ia menyatakan
pandangannya bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor
yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam tanah.
Faktor yang berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan retakan
tanah oleh koloid tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran struktur
permukaan lahan dan pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah oleh tetesan
air hujan. Model Horton dapat dinyatakan secara matematis mengikuti persamaan
6.3:
f = fc + (fo fc)e-kt ; i fc dan k = konstan .. (6.3)
Keterangan;
f : laju infiltrasi nyata (cm/h)
fc : laju infiltrasi tetap (cm/h)
fo : laju infiltrasi awal (cm/h)
k : konstanta geofisik
Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Kelemahan
utama dari model ini terletak pada penentuan parameternya f0, fc, dan k dan
ditentukan dengan data-fitting. Meskipun demikian dengan kemajuan sistem
komputer proses ini dapat dilakukan dengan program spreadsheet sederhana. 87
c. Model Holtan
Model Holtan pada dasarnya serupa dengan model Horton, akan tetapi pada
model ini, Holtan menambahkan faktor vegetasi dalam persamaan sehingga fungsi
matematiknya berubah menjadi fungsi power dan bukan fungsi eksponensial
seperti pada Model Horton. Fungsi matematik model Holtan disajikan sebagai
berikut:
(6.4)
d. Model Overton
.................................... (6.8)
Dimana b adalah persentase faktor vegetasi, P adalah laju curah hujan (cm/s) dan p
adalah intensitas curah hujan (cm/s), dan S adalah potensial storage (cm). Soil
Concervation Service (SCS), mengembangkan suatu prosedur yang sering disebut
metode curve-number untuk menaksir runoff. Metode ini selanjutnya dikenal
dengan model SCS.
(6.10)
Pada satu seri dari papernya, Philip memperkenalkan analisis dari infiltrasi
berdasarkan persamaan Fokker-Planck, atau persamaan aliran untuk tanah homogen
dengan kadar lengas tanah awal dan suplai air yang berlebihan dipermukaan.
Parameter S dan C merupakan fungsi difusi air tanah awal dan kadar air permukaan
dari tanah
(2.14)
(2.15)
.... (2.16)
Keterangan, f = laju ifiltrasi (cm/h)
S = Sportivity (cm/h)
C = kostanta (cm/h)
t = interval waktu (s).
d. Model Hydrograf
Jika akurasi data curah hujan dan runoff yang tersedia pada suatu bidang tanah
kecil, jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah dapat ditentukan dengan
menggunakan model yang disebut model hydrograf. Model ini didasarkan pada
pendapat berikut: (1) intersepsi dan infiltrasi kecil, (2) infiltrasi merupakan abstrak
utama bahwa curah hujan dikurang dengan infiltrasi akan mendekati aliran
permukaan. Model ini lebih sering digunakan untuk menentukan neraca air.
................. (2.17)
Gambar. 6.3 Metode grafis penentuan Konduktivitas Hidraulik Jenuh dengan segitiga
tekstur
Untuk mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan
digenangi air. Daya infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan agar
permukaannya konstan. Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang berskala
besar.
c. Lysimeter
Lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam
tanah diisi tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan
fasilitas drainage dan pemberian air. Dengan persamaan neraca air (waterbalance)
seperti berikut:
P+I=D+ES .. (2.18)
Keterangan : I = pemberian (supply) air
D= air yang dikeluarkan
E= penguapan (evapotranspirasi)
S= tampungan air dalam tanah
Untuk mencapai tujuan ini lebih baik digunakan lysimeter timbang, dengan
lysimeter timbang besarnya infiltrasi dengan kondisi curah hujan yang sebenarnya
dapat dipelajari. Curah hujan harus diukur dengan alat pencatat hujan (recording rain
gauge) yang harus ditemptkan di dekat lysimeter tersebut.
6.6 CONTOH SOAL
1. Suatu data hasil pengukuran disajikan sebagai berikut:
t (mnt) fob(cm/mnt) t (mnt) fob(cm/mnt)
0 0,00 25 1,24
1 2,50 35 1,16
2 2,25 48 1,06
3 2,13 65 0,98
5 1,86 85 0,94
8 1,68 105 0,91
12 1,50 125 0,89
17 1,38
Tentukan laju ifiltrasi air dengan rumus Kostiakov, Horton, Holtan, dan Phillip.
Gambarkan Kurva dan Hasil observasi dan semua model.
Penyelesaian
Dengan menggunakan spreadsheed maka fungsi masing-masing model diperoleh seperti
berikut:
Fungsi Model
-0.16.
f = 0.407 t Kostiakov
0,287t
f = 0,242 + (0,5 - 0,242)e- Horton
f = 0,039 (-2,091 f)2 + 0,239 Holton
f = 0,5*0.143 t-0,5 + 0,214 Phillip
Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief. (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta: Andi.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui cara prakiraan banjir jangka pendek
2. Menghitung hidrograf satuan dari suatu titik ukur ke bagian sungai lain
3. Mengetahui perhitungan debit banjir
4. Mengetahui derivasi hidrograf sintetik
7.1 Pendahuluan
Permasalahan utama yang dihadapi praktisi hidrologi adalah mengestimasi
hydrograph menaik dan menurun dari suatu sungai pada sebaran titik pengaliran
terutama selama periode banjir. Permasalahn ini dapat diatasi dengan teknik
penelusuran aliran atau penelusuran banjir yang mengolah sifat-sifat hydrograph banjir
di hulu atau di hilir dari suatu titik ke titik yang lain sepanjang aliran sungai.
Penelusuran dilakukan dari titik dimana ada data pengamatan hidrograf aliran untuk
memudahkan proses penelusuran itu sendiri.
Suatu hidrograf banjir dapat dimodifikasi dengan dua cara sebagaimana air
hujan mengalir menuruni jaringan pengaliran air (drainage network). Pertama waktu
berkumpulnya aliran-aliran untuk terjadinya aliran dan puncaknya pada suatu titik di
daerah hilir. Ini disebut sebagai translasi. Kedua, besarnya laju aliran puncak yang
bergerak menuju titik di aliran bawah, serta lama waktu aliran mencapai titik bawah.
Modifikasi hidrograf ini disebut attenuation.
Penurunan hidrograf aliran di bagian bawah seperti B pada Gambar 7.1 dari
hulu yang disebabkan oleh pola hidrograf banjir A merupakan hal penting untuk
diperhatikan dalam manajemen sungai sebagai upaya prediksi banjir di wilayah bagian
river basin. Dalam hal disain, penelusuran hidrograf banjir juga penting untik
mengatur kapasitas spillway reservoir. Disamping itu jadwal pencegahan banjir atau
evaluasi tinggi bangunan jagaan banjir di tanggul sungai peru juga diperhatikan.
.. (7.2)
. (7.3)
Inflow pada waktu j dan j+1 diketahui dari hidrograf inflow; outflow Q pada waktu
j dapat dihitung dari elevasi permukaan air yang diketahui hi dengan persamaan
spillway. Luas permukaan SaJ ditentukan dari nilai hi. Parameter yang belum
diketahui adalah hj+1,QJ+1, SaJ+1; Q dan Sa merupakan persamaan nonlinear dari
hJ+1. Sehingga persamaan (7.3) dapat diselesaikan hJ+1 melalui metode iterasi
seperti Newton-Raphson:
. (7.4)
Muskingum River Routing
Metode Muskingum dikembangkan oleh McCarthy sebagai metode yang dikenal
luas untuk penelusuran aliran tipe lump. Metode ini mengasumsikan simpanan
sebagai fungsi variabel inflow-discharge dan persamaan simpanan:
S=K[XI+(I-X)Q] (7.5)
Laju perubahan simpanan dS/dt pada persamaan 7.1 dinyatakan sebagai berikut:
(7.6)
dimana superscripts j dan j+1 menujukkan waktu antara interval tj. Substitusi
persamaan (7.6) ke dalam (7.1) menghasilkan persamaan:
(7.7)
(7.8)
Contoh Soal
Jika waktu tempuh titik berat massa banjir antara huku dan hilir 9 jam dan faktor
x=0,33. Gunakan cara Muskingum untuk mencari hidrograf aliran di hilir dengan
menggunkan hidrograf aliran di hulu berikut (kehilangan air dan backwater
diabaikan):
7.4 Penelusuran Aliran Tipe-Terdistribusi
Aliran tak tunak pada suatu pengaliran air secara tepat digambarkan sebagai suatu
proses tersdistribusi karena laju/debit aliran, kecepatan, dan kedalaman (elevation) air
bervariasi terhadap ruang (pada penampang pengaliran sepanjang saluran). Estimasi
perilaku dari suatu sistem saluran dapat ditentukan dengan emnggunakan penelusuran
aliran terdistribusi berdasarkan persamaan differensial lengkapaliran tak-tunak satu
dimensi (Persamaan Saint-Venant). Persamaan ini menghitung secara komputasi debit
aliran dan kedalaman air sebagai fungsi ruang dan waktu dan bukan hanya waktu
seperti pada metode penelusuran aliran lump. Penelusuran aliran terdistribusi yang
didasarkan pada Persamaan Saint-Venant dikenal dengan dynamic routing
(penelusuran dinamis). Penyederhanaan bentuk persamaan Saint-Venant yang
didasarkan sebagai persamaan kinematik dan diffusi (zero-inertia) apat digunakan
untuk penelusuran aliran terdistribusi.
Persamaan Saint-Venant. Persamaan asal Saint-Venant adalah persamaan konservasi
massa:
(7.9)
(7.10)
1.5
Dalam hal ini t adalah waktu, x adalah jarak sepanjang pengaliran air, A adalah
luas penampang, V adalah kecepatan, q adalah inflow atau outflow lateral terdistribusi
sepanjang sumbu x pengaliran, g adalah tetapan gaya grafitasi, h adalah elevasi
permukaan air (dari datum/acuan) misalnya dh/dx = dy/dx - So dimana y adalah
kedalaman aliran dan So adalah kemiringan dasar saluran pengaliran, dan Sf adalah
kemiringan gesekan yang dapat dievaluasi secara seragam. Persamaan steady-flow
empirical resistance seperti persamaan Chezys atau Manning adalah persamaan
diferensial parsial hyperbolik quasi-linear dengan dua dependent parameter (V dan h)
yang bervariasi pada satu dimensi (arah x) dan dua independent parameter (x dan t).
Luas penampang pengaliran A dan gradien Sf merupakan fungsi dari h dan/atau
V. Tak ada solusi analitis dari persamaan differensial kompleks untuk hampir semua
praktek penerapan dalam model penelusuran banjir. Turunan persamaan Saint-Venant
mengikuti beberapa asumsi dasar:
(1) Aliran satu dimensi,
(2) Panjang sungai yang dipengaruhi oleh gelombang banjir umumnya lebih
besar dari kedalaman aliran,
(3) Percepatan vertikal diabaikan dan distribusi tekanan vertikal gelombang
adalah hidrostatik,
(4) Densitas/kerapatan massa air konstan,
(5) Dasar dan dinding saluran ditentukan dan tidak berubah-ubah, and
(6) Kemiringan dasar saluran So realitif kecil, (kurang dari 15 persen).
Aplikasi Penelusuran Aliran Terdistribusi. Model tedistribusi yang menghitung debit
lairan Q dan tinggi permukaan air h berguna untuk menentukan kedalaman genangan
banjir, kebutuhan tinggi bangunan seperti jembatan atau wilayah sempadan sungai,
and keceptan aliran air dalam transport pemindahan polutan. Model terdistribusi dapat
juga digunakan untuk penerapan lain seperti pendugaan banjir real time di sungai,
pemberian dan pengaliran air irigasi, melalui saluran, peta inundasi perencanaan dam-
break, perubahan gelombang transient yang terjadi di reservoir oleh pintu atau turbin,
longsor akibat gelombang di reservoir, dan aliran tank tunak di sistem pembuangan air
hujan.
Model Penelusuran Terdistribusi Sederhana. Sebelum perkembangan komputer
pesat,atauuntukkepentinganekonomidankepraktisannyadalamsumberkomputasi,
dalam penyelesaian persamaan Saint-Venant yang kompleks, maka dikembangkanlah
beberapa model terdistribusi yang disederhanakan. Model didasarkan pada persamaan
konservasi massa dan berbagai penyederhanaan persamaan momentum.
Dalam hal ini kecepatan gelombang kinematik atau celerity (c) didefinisikan sebagai:
c = k' V (7.13)
dimana k' adalah rasio kinematika, yang merupakan perbandingan celerity gelombang
kinematik dengan kecepatan aliran. Jika persamaan Manning digunakan untuk aliran
tunak uniform, maka rasio kinematika dinayatak dengan persamaan:
(7.14)
Model Difusi Gelombang. Model gelombang kinematik sederhana yang laina adalah
model diffusion wave (zero-inertia), dengan pendekatan persamaan momentum
sebagai berikut:
(7.15)
dalam hal ini K adalah tetapan simpanan berdimensi waktu, dan X adalah weighting-
factor menunjukkan arti penting inflow dan outflow terhadap simpanan. Di sini dapat
ditunjukkan bahwa finite-difference menyajikan persamaan klasik gelombang
kinematik; akan tetapi, jika X dinyatakan sebagai fungsi bagian dari sifat aliran, maka
kombinasi persamaan penyusun akan menjadi persamaan analogi difusi parabolic yang
mempertimbangkan gelombang hidrograf banjir tetapi tidak berlaku aliran balik
(negative) atau backwater. Model ini relatif akurat dibanding Model Muskingum. Pada
metode Muskingum-Cunge, K dan X dihitung dengan:
(7.18)
(7.19)
dimana c adalah celerity, Q adalah discharge, B lebar atas saluran yang berkaitan
dengan Q, Se adalah slope energi yang didekati dengan Sf untuk kondisi awal aliran, D
adalah kedalaman hydraulic (A/B), dan k' adalah rasio gelombang kinematik. Bar
menunjukkan variabel dengan nila rata-rata sepanjang pengaliran x selama Untuk
kesalahan numerik minimal ditentukan oleh scheme, step waktu t dan step jarak harus
sesuai.
(7.20)
dimana M 5, Tr adalah waktu selama menaiknya hydrograph, dan
(7.21)
dimana q adalah debit rata-rata per lebar pengaliran (Q/B) dan So adalah kemiringan
dasar saluran.
(7.23)
(7.24)
(7.25)
2. Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
7. Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu:
1. Mengetahui aplikasi komputer dalam analisis hidrologi
2. Mengetahui perhitungan menggunakan komputer
3. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer
4. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer
5. Mengetahui perhitungan banjir rencana menggunakan komputer
6. Mengetahui perhitungan debit menggunakan komputer
8.1 Pendahuluan
Memperoleh data parameter hidrologi dalam seri yang panjang merupakan hal yang
sulit. Hal ini mendorong para ahli hidrologi khususnya yang fokus pada simulasi dan
permodelan untuk melakukan pendugaan parameter hidrologi seperti debit aliran di
suatu DAS. Kenyataan ini terjadi juga di Indonesia yang merupakan negara yang
sedang berkembang dimana alat ukur hidrologi belum tersebar merata di seluruh
wilayah Indonesia khususnya DAS-DAS yang kecil.
b. Menjalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data
3. Pilihlah OK
4. Pilihlah OK
5. Pilihlah Close
6. Pilihlah Display | Display Options
7. Ubah Minimum Accumulation For Display ke 0.06 mi2
8. Pilihlah OK
9. Perbesar hingga seperti pada gambar 8-1
6. Pilihlah OK
7. Pilihlah OK
b Menjalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data
3. Pilihlah OK
4. Pilihlah OK
5. Pilihlah Close
6. Hasilnya seperti yang digambarkan pada Gambar 8.4
3. Pilihlah OK
4. Nah, hasilnya akan terlihat seperti pada Gambar 8-5
c. Jalankan TOPAZ
1. Sulih ke Drainage module
2. Pilihlah DEM | Compute TOPAZ Flow Data
3. Pilihlah OK
4. Pilihlah OK
5. Pilihlah Close
Kini arah aliran terlihat berbeda dibanding dengan pola kontur pada citra latar seperti
yang digambarkan pada Gambar 8-7.
d. Menyunting Arah Aliran
Arah aliran yang keliru perlu dikoreksi
1. Gunakan Select DEM points dan Klik-Ganda pada salah satu titik yang
berangka; Maka akan tampil atribut DEM
2. Ubahlah arah aliran sesuai dengan pola yang benar yang ditunjukkan pada
Tabel 8-1
3. Pilihlah OK
4. Pilih Compute flow accumulations hanya setelah anda menyelesaikan
penyuntingan terakhir
5. Pilihlah OK
6. Ulangi langkah 1-5 untuk seluruh lokasi yang akan anda sunting.
8.4 Menyunting Elevations ke Create Streams
Sungai pada DEM umumnya dihasilkan oleh arah aliran dan akumulasinya, sementara
ketinggian dari DEM tidak selalu merepresentasikan ketinggian dari sungai itu sendiri
tetapi ketinggian dari kemungkinan ketinggian dari permukaan air. Ini dapat
menyebabkan sungai memiliki profil yang tidak alamiah dangan variasi kemiringan
yang drastis. Kita akan mencoba
membuatnya lebih mulus dan natural.
a. Menyunting Ketinggian Menggunakan Stream Arcs
1. Sulih ke Terrain Data module
2. Pilihlah Display | Display Options
3. Matikan pilihan: Stream, Flow Accumulation, Color Fill Drainage Basins, dan
Fill Basin Boundary Only
4. Pada Map tab, ubah Points/Node dan Vertices Radius ke nilai 2
5. Pilihlah OK
6. Pilihlah OK
7. Use Select Feature Arc Pilihlah arc
8. Pilihlah DEM | Edit Elevations
9. Pilihlah Cancel ; untuk menunda
Post-Processing
Kita telah menganalisa ketinggian air di HEC-RAS, selanjutnya kita dapat melihat
solusi tersebut melalui WMS:
1. Dalam WMS, sulih ke modul 1D Hydraulic
2. Pilihlah HEC-RAS | Read Solution
3. Bukalah hecras.prj
4. Bentangkan folder 2D Scatter Data
5. Sulih ke Modul Map
6. Pilihlah coverage 1D-Hyd Centerline dari Data Tree
7. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations
8. Pilihlah pada a specified spacing untuk Create a data point
9. Masukkan 60
10. 1Pilihlah OK
11. Pilihlah coverage 1D-Hyd Cross Section dari Data Tree
12. Pilihlah River Tools | Interpolate Water Surface Elevations
13. Pilihlah OK
14. Sulih ke Terrain Data module
15. Pilihlah Flood | Delineate
16. Centang pada Search radius dan masukkan 1000
17. Centang pada Quadrants
18. Masukan 4 untuk number of stages
19. Pilihlah OK
20. WMS akan menghitung dua dataset baru yang berhubungan dengan dataran
banjir dan permukaan air.
21. Bentangkan folder bernama New tin pada Data Tree
22. Bentangkan folder bernama W.S. (FLOOD) pada Data Tree
23. Pilihlah data set bernama W.S. Elev-PF 1 (FLOOD)
24. Pilihlah Display | Display Options
25. Pilihlah TIN tab
26. Centang pada TIN Contours dan Pilihlah Contours
27. Pilihlah Color fill between contours
28. Pilihlah OK 2X
Asdak Chay (1995). Hidrologi dan Pengeloaan daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press.
Linsley Ray K., Joseph B. Franzini, (1985), Teknik Sumber Daya Air, Eralanga,
Jakarta.
Viessmann, W., Lewis, GL., and Knapp, JW., (1989), Introduction to Hydrology.
Harper Collins Pub., New York.
Semoga buku ajar ini dapat menjadi penambah dalam khazanah ilmu hidrologi yang
memudahkan mahasiswa dalam memahami materi pembelajaran. Begitu banyak persoalan
bangsa Indonesia berkaitan dengan ilmu hidrologi dan sumber daya air, namun penguasaan dan
penerapan ilmu ini belum maksimal dalam upaya pengelolaan termasuk teknik pemanfaatan air,
dan pengendaliannya.
Wassalam
Penulis